Anan

Kali ini mereka tidak jadi untuk kembali bertemu di cafe milik Hardin. Lah si Hardin anaknya malah ikutan ke apartemennya Adelio yang saat ini menjadi markas mereka. Padahal Hardin itu yang paling sibuk di antara semuanya, tapi dia menyempatkan diri buat ikutan gabung ke pertemuan teman-temannya yang lain setelah pertemuan Keira.

Untung aja apartemen Adelio itu cukup besar, dan masih muat lah kalau nampung geng mereka semua disini.

Ren dan Kayla baru saja tiba di apartemen Adelio juga. Baru kali ini Haikal tidak mengambil langkah seribu ketika melihat pasangan kekasih itu berada di satu tempat yang sama dengannya.

“Anan mana?” tanya Kayla khawatir, dan menghampiri si pemilik apartemen, Adelio.

“Di kamar gue, tadi anaknya cuma diem doang di sepanjang perjalanan. Akhirnya gue langsung suruh masuk kamar gue, buat nenangin diri.” jawab Adelio panjang lebar.

Kayla menganggukkan kepala mengerti, dan berjalan meninggalkan kumpulan manusia itu untuk pergi ke kamar Adelio.

“Cok, aku kaget tenan loh. Sumpah Demi Allah, semirip iku??” kata Binbin membuka pembicaraan setelah semuanya berkumpul.

Hermas dan Haikal hanya terdiam mendengarkan perdebatan teman temannya. Mereka berdua belum memberitahukan hal ini kepada saudaranya yang lain.

“Hermas, Haikal.... Lo berdua ga mau kasih tau hal ini ke Bang Candra atau yang lainnya gitu?” Ujar Hardin menimpali percakapan mereka. “Dan lo Del, lo ga mau kasih tau hal ini ke nyokap nya Nada?” sambungnya lagi melirik Adelio yang sedari tadi juga ikut terdiam.

Semua shock, semua kaget, semua bingung. YA GIMANA GA BINGUNG ANJIR?? Nada, orang yang sudah lebih dari tiga tahun pergi meninggalkan mereka semua, punya kembaran yang rupa nya mirip banget sama Nada.

“Aduh, kita beneran harus bahas ini secara mendetail sih.” sahut Hengky membuka suara. “Kita ga pernah ketemu si Keira kan selama tiga tahun ini? Dan ketika udah mulai kuliah offline, si Keira ini out of nowhere tiba-tiba aja muncul. Harusnya kalau memang dari awal dia tinggal di Malang, besar kemungkinan kita pernah ketemu dia.” lanjut Hengky.

“Terus maksud dari perkataan lo itu apa?” tanya Dinan tidak mengerti.

“Kita gatau, karena bukan ga mungkin manusia di dunia ini punya kembaran identik walaupun mereka tidak punya hubungan apapun.” ungkap nya, “Gue gamau kita ambil keputusan gegabah hanya karena paras Keira mirip dengan Nada. Bisa aja mereka memang mirip.” sambungnya lagi.

“Tapi Heng, lo masih inget kan kasus jasad Nada yang di temukan tanpa busana? Tim SAR memang bilang, ada kemungkinan itu sengaja di lakukan Nada, karena dia udah berhalusinasi akibat efek hipotermia nya yang lumayan parah dan mengira kalau suhu saat itu panas, dan bikin dia lepas semua busana yang sedang dia pakai. Tapi balik lagi, kita juga udah dengar ujaran Bang Delvin yang bilang kalau jarak dia meninggalkan Nada itu gak lebih dari setengah jam sampai dia nyampe di pos Paltuding alias itu alibi waktu yang sedikit banget. Kalau memang dalam jangka waktu sedekat itu Nada udah merasakan hipotermia yang parah, harusnya gejala untuk hal itu udah kelihatan sejak mereka masih di atas. Sedangkan yang lain bilang, kalau Nada beneran sehat banget waktu di atas.” jelas Dinan panjang lebar, membuat Hengky mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

“Kita gatau, karena banyak hal janggal di kematian Nada. Tim SAR mungkin emang menemukan jasad Nada tanpa busana, tapi busana Nada dimana? Sampai saat ini masih belum ketemu kan baju yang di pakai Nada saat itu hilang dimana? Sedangkan di penjelasan Tim SAR ada kemungkinan jasad Nada bisa jatuh karena dia menginjak tanah yang rapuh. Belum lagi terkait hal ini, mamanya Nada yang melarang melakukan otopsi, dan bikin kejelasan informasi soal Nada jadi abu-abu apa benar itu jasad Nada atau bukan.” sambung Dinan lagi dalam satu tarikan nafas.

“Dan lo, Haikal, Hermas. Lo berdua selalu bilang ke gue kan, kalau lo berdua ga suka hal yang ga pasti, tapi kalau itu tentang Nada, lo bakalan ambil ketidakpastian itu tanpa ragu. Sekarang gue tanya, terkait Keira apa lo ada keraguan?” cecar Dinan memberi pertanyaan.

“Keraguan, maksud lo?” sahut Felix tidak mengerti.

“Keraguan kalau Keira itu sebenarnya emang Nada.” jawab Dinan mantab.

“Lo kalau ngomong yang ngotak dikit dong?” tukas Dino cepat. “Lo kira ini The Penthouse dimana tokoh yang di season pertama itu meninggal, kemudian di season selanjutnya dia muncul lagi dengan keadaan sehat wal afiat?!” sambungnya kesal.

“Padahal gue udah jelasin teori gue tadi? Makanya gue mau tanya soal ketidakpastian itu. Lo tau, ini aneh banget karena kita kebetulan nya ketemu Keira juga disini, di Malang. I mean, gue mungkin masih bisa menerima kalau memang ketemu Keira di Papua kek, atau di Korea. Tapi ini di Malang? Like, wtf is wrong with this world. Emang dunia beneran sekecil daun kelor apa?” jawab Dinan lagi masih berpegang teguh pada pendiriannya.

“Lo jangan ngasih harapan kaya gitu Nan, kita ga tau kebenarannya kaya gimana. Bisa aja sebenarnya Keira udah ada di sekitar kita dan Nada dulu, cuma kita belum menyadari nya.” sanggah Ren yang sedari tadi terdiam mendengarkan perdebatan temannya. “Sekarang itu ga penting, soal Keira yang mirip Nada atau apapun itu. Yang terpenting, lo fikirin perasaan Hermas, Haikal, Adelio, dan pastinya Anan gimana saat ini. Jangan memperdebatkan hal yang bikin mereka berempat tambah terbebani. Gue yang cuma teman Nada dalam kurun waktu sekian aja udah cukup kaget dengan keadaan saat ini, apalagi mereka berempat yang emang punya hubungan khusus sama Nada?” lanjut Ren lagi.


“Anan?” panggil Kayla setelah memasuki kamar Adelio. Tak perlu mengetuk pintu, karena sudah pasti Anan tidak mau repot mengunci pintu kamar Adelio.

Anan tak menjawab panggilan Kayla, dan dirinya masih terus duduk termenung di atas kasur Adelio yang berwarna putih itu.

“Hei, ayo kita pulang dulu.” ajak Kayla lagi, masih belum menyerah.

Kayla menghela nafasnya pelan, ia familiar dengan kondisi sepupunya saat ini. Jujur saja, ketika mengetahui hal itu dari Ren, dirinya memang terkejut, tapi hal yang paling menyita pikirannya saat itu adalah kondisi Anan.

“Mirip banget Kay.” gumam Anan pelan.

“Gimana??”

“Semirip itu....”

“Anan stop!! Nada udah ga ada, dan dia Keira bukan Nada.” tampik Kayla cepat.

Anan menolehkan kepalanya perlahan menghadap Kayla.

Tetes air matanya jatuh begitu saja. Kayla bergerak mendekati Anan dan mengusap air mata sepupunya itu, ia ikut menangis bersama Anan. Serapuh itu Anan jika hal itu menyangkut soal ibundanya dan Nada.

“Anan, lo harus berfikir lebih rasional. Nada udah ga ada Anan, dan Keira yang hari ini lo temuin itu bukan Nada. Mereka hanya mirip. Tolong, jangan beri harapan lebih pada diri lo sendiri kaya gini. Gue gamau lo terluka lebih dalam lagi daripada masa lalu kita dulu.” imbuh Kayla kemudian.

Keduanya terdiam cukup lama, untuk menenangkan hati masing-masing.

“Kay, gatau kenapa setelah kepergian Nada, perjalanan jadi lebih melelahkan.”

“Soalnya lo hanya menganggap kalau lo mulai berjalan sendiri setelah Nada tiada. Padahal lo masih punya gue, punya anak-anak yang lain. Anan, gue cuman mau lo sembuh, sembuh atas apapun yang udah buat hati lo patah sepatah patahnya. Gue mau lo normal, gue mau lo bahagia, please gue takut lo makin cape dengan hal ini. Ayo Anan, coba mengerti kalau setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan.”