Another Reason

“Lama bener.”

Buset dah, si Keira baru duduk di kursi kemudi aja udah denger keluhan keluar dari bibir Hansa. Keira hanya mencebik, tak ingin membahas keluhan Hansa lebih lanjut. Ya gimana dong? Dia juga sadar kok, kalau kelamaan make up.

“Mau kemana dulu?” tanya Keira lebih lanjut.

Hansa menolehkan kepalanya sekilas pada Keira. Beneran, ni anak udah kaya mau fashion show aja.

“Ke mall aja mau?” tanya Hansa meminta persetujuan. Keira hanya menganggukan kepala, tanda setuju.

'Ini mall mana yang di maksud ya buset, di Malang kan mall ga cuma satu doang.'

Ya udah lah, Keira lebih memilih untuk menyibukkan dirinya sendiri dengan melihat video tiktok yang lewat di berandanya.

Merasa ada yang kurang lengkap dari perjalanan mereka ini, Keira kembali menolehkan kepalanya menghadap Hansa.

“Opo maneh to?” tanya Hansa mengerti, karena Keira pasti ingin berbuat sesuatu.

“Hehehe, gue mau setel lagu. Boleh gak?” tanya Keira lagi, meminta persetujuan.

Hansa mengangguk-angguk kecil, memberikan akses lebih lanjut pada Keira untuk membuka ponselnya dan memutar playlist yang ada di Spotify Hansa.

“Estetik bener playlist lo.” puji Keira.

Ya ga salah sie....


“Gue gaperlu topi Nan.” ucap Adelio menolak perintah Anan untuk membeli topi camping.

Anan mengerinyitkan dahi tidak mengerti, padahal naik gunung tuh panas banget loh. Masa iya Adelio gamau topian?

“Gosong.” kata Anan singkat, mengundang gelak tawa dari Adelio.

Pertemanannya dengan Anan hampir menginjak tiga tahun sekarang. Setelah pertemuan nya yang awkward, sewaktu dirinya ke Malang dan mengajak Nada untuk makan mie ayam.

Siapa yang mengira, kalau mereka berdua bisa sedekat ini? Apalagi mereka berdua sangat cocok bila di pasangkan.

Anan yang kadang berlagak jadi orang bisu, dan Adelio yang ada di sampingnya selalu menerjemahkan segala hal yang tidak bisa Anan ungkapkan secara langsung.

Anan mengambil topi putih dari rak, dan mencobanya di kepalanya sendiri. Topi itu tampak pas melingkar di kepalanya.

“Lo aja yang beli deh.” bujuk Adelio lagi, masih tidak menyerah.

Anan kembali memusatkan perhatiannya pada Adelio. Dengan cekatan, dirinya mengambil satu topi dengan acak dan memasangkannya pada kepala Adelio.

“Cocok.”

“Anjir, ini kaya topinya rapper anjir? Yakali gue mau ngerapp di gunung.”

“Gapapa, biar setannya terhibur.”

“Engga gitu konsepnya anjir.”

“Permisi mas, saya mau ambil topi dulu ya.” ucap seseorang menyela pembicaraan mereka, dan mengambil topi putih yang baru saja di coba oleh Anan.

Dengan segera, Anan dan Adelio menyingkir dan memberikan akses pada laki-laki itu untuk mengambil topi.

“Kenapa lo taroh balik di rak sih? Padahal topi itu tadi cocok banget di lo.” ucap Adelio setelah pria itu pergi menjauh untuk menuju meja kasir.

“Gapapa, gue ga butuh topi juga.” ucap Anan tidak perduli, dan mengajak Adelio untuk menuju meja kasir dan membayar topi milik Adelio.

“Yaelah, terus lo butuhnya apa.” tanya Adelio memincing, dia sebel banget kalo Anan udah mode ignorant gini.

“Lo tau betul, apa yang gue butuhin Del.” kata Anan, membuat langkah Adelio terhenti.

'Pasti Nada kan?'


“Lama banget sih lo, ah bego.” ucap Keira ketus, karena begitu sampai di mall Hansa langsung pergi meninggalkan dirinya untuk masuk ke toko aksesoris.

Dengan tersenyum, Hansa langsung memakaikan topi putih yang baru saja dibelinya dari toko aksesoris tadi.

“Cakep.” puji Hansa singkat.

Keira meraba topi putih yang kini melingkar dengan nyaman di kepalanya. Duh dia jadi merasa bersalah, soalnya Hansa beliin topi buat dia eh tapi malah dia ketusin.

“Padahal lo ga harus beliin ini buat gue.” ucap Keira jujur, dia ga enak hati soalnya. Apalagi topi yang di beli Hansa termasuk brand yang lumayan terkenal.

“Gapapa, ayo ke bawah. Ke cafe nya.” ajak Hansa lagi menarik tangan Keira untuk mengikutinya.


“Ini Anan sama Adelio pacaran dimana sih?” tanya Hengky asal, karena mereka berdua belum kembali ke cafe sejak tadi.

Tenang aja, biarpun geng mereka banyak kaya pasukan semut, tapi cafe milik Hardin nih cukup luas kok. Bahkan kalau kalian mau main golf disini juga gapapa.

GAPAPA KALO KENA GAMPAR PENGUNJUNG LAIN MAKSUDNYA.

Balik lagi ke konteks, lagi pun wajah mereka kan pada ganteng ni. Si Hardin tuh sambil menyelam mancing ikan, dia dengan cerdik memanfaatkan ketampanan teman temannya untuk menarik pelanggan ke cafe.

“Bacotan lo pacaran, ini kalo ada yang denger, dan gatau, bisa di kira homo beneran si Anan sama Adelio.” sahut Baejin kesal mendengar celetukan asal dari sahabatnya.

“Abis nempel mulu kaya jari sama upil.” ucap Hengky lebih lanjut, dan mengundang geplakan dari Dinan. Hengky menghindari pukulan dari Dinan dengan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.

“Analogi lo dari dulu tuh emang ga pernah bener.” ucap Dinan jijik.

“Males lah, temen gue main tangan semua bisa nya.” keluh Hengky sedih.

Javin hanya memandang sahabatnya dengan bingung. BENERAN BINGUNG MAU NGADEPINNYA GIMANA HADEHH.

Untung mereka udah kenal lumayan lama, jadi udah terbiasa. Ini mah kalo kenal sebentar doang, bisa kena mental semua.

“Eh, si Sylvia chat gue.” ucap Haikal tiba-tiba menyela, dan menunjukkan room chat nya dengan Sylvia.

“Buset dah brow, akeh tenan wedokan mu.” puji Binbin dari samping. (Buset dah brow, banyak bener cewe mu.)

“Baca yang betul tolol, dia nanyain Anan.” kata Haikal menyahuti dengan kesal.

“Tuh cewe ga cape apa ya, ngejar ngejar Anan dari semester satu?” tanya Yohan baru menimbrung. Soalnya dia baru selesai main game bareng Aldeo.

“Gatau malu emang.” sahut Hermas dari samping. Haikal hanya menggelengkan kepalanya pasrah, mulutnya Hermas emang gabisa di kontrol. Jadi temen-temennya yang lain, kalo denger kalimat ga ngenakin dari Hermas cuma bisa let it flow doang.

SEREM BENER.

“Kasih tau aja kita disini.” kata Dinan menanggapi Haikal, “Gue pengen Anan move on. Siapa tau Sylvia orang yang bisa bantu Anan buat move on.” sambungnya lagi, mengundang beragam tatapan dari sahabatnya.

Akhirnya setelah merenung panjang, Haikal menyetujui ide Dinan dan mulai memberikan lokasi online pada Sylvia.

Dinan bener, Anan udah harus mulai membuka lembaran baru di hidup dia. Sampai kapan dia hidup dengan penungguannya yang mustahil?


“Pesen apa?” tanya Hansa begitu tiba di cafe bawah mall bersama Keira.

Keira merapikan rambutnya yang agak berantakan di bawah topi. Merasa tidak nyaman, dirinya melepas ikat rambutnya dan mulai merapikan semula rambutnya yang kini tergerai.

“Buruan anjir, di belakang kita ada yang ngantri tuh.” ucap Hansa tidak sabaran.

“Yaudah anjir, gue Red velvet.” Ucap Keira ketus, dan meninggalkan Hansa yang masih berdiri di depan kasir untuk memesan minuman Keira.

Red velvet nya satu, terus ice coffee nya juga satu ya Mas.” ucap Hansa, kemudian mengeluarkan kartu ATM nya untuk membayar pesanan. Setelah selesai, dirinya dengan segera menyusul tempat dimana Keira berada.

“Anan, lo mau pesen apa?” tanya Hardin setelah melayani dua pembelinya tadi.

Anan melepas earphones yang sedari tadi memang menempel di telinga nya, “Americano 8 shot espresso. Terus buat Adelio, dia bilang mau Taro.” ucap Anan singkat.

Hardin menggelengkan kepalanya dengan tidak mengerti, “masih minum racun itu lo?” tanyanya bergurau, karena kecintaan Anan pada kopi cukup membuatnya ngeri. “eh gausah di bayar, kan gue traktir hari ini.” ucap Hardin langsung, begitu Anan menyodorkan ATM kepadanya.

Thanks.” ucap Anan tulus.

“Dah sana tunggu aja di meja, ntar gue anterin lagi.” kata Hardin dan berlalu ke belakang.

Anan mengerti, dan hendak menuju meja dimana tempat sahabatnya berkumpul. Kemudian atensinya teralihkan dengan ikat rambut warna maroon yang terjatuh di lantai.

'Pasti punya cewenya cowo yang tadi.'

Anan mengenggam tali rambut itu, dan hendak menghampiri keduanya untuk mengembalikan tali rambut pada si empunya.

“Anan, mau kemana?” belum sempat dirinya beranjak, Sylvia sudah ada di belakangnya dan memegang lengannya.

“Lo kok ada disini?”

“Itu tadi si Haikal chat katanya Anan lagi kumpul disini.”

“Sama siapa?”

“Naik grab sama si Gina hehe.”

Gina nih cewenya Dinan. Anak gue udah gede, sekarang udah punya pacar sendiri.

“Oh, gue mau ada urusan bentar.” Ucap Anan melepas pegangan Sylvia dan menolehkan kepalanya ke seluruh penjuru cafe untuk mencari pasangan kekasih yang tadi masih ada di jangkauan pandangannya.

“Urusan apa?” tanya Sylvia penasaran.

'Oh, udah pergi ternyata.'

Anan kembali memasukkan ikat rambut itu ke dalam kantongnya, “ga ada.” jawabnya singkat dan berjalan lebih dulu meninggalkan Sylvia untuk menuju meja tempat temannya berkumpul.