Atap Hari Esok

Raka tidak pernah menyangka bahwa hari seperti ini akan di hadapinya dalam kurun waktu yang tidak bisa ia perkirakan. Emosinya meledak-ledak, banyak hal yang ia sesali hingga saat ini. Hingga pada suatu titik, pada akhirnya Raka paham akan sesuatu.

Hal yang paling jahat adalah waktu.

Raka melihat Arsha yang masih terdiam dengan tatapan kosong nya. Hari sudah berlalu sejak Kinara di makamkan. Tapi luka pada hati adiknya yang bahkan tidak memiliki perpisahan terakhir dengan baik itu masih menganga dengan lebar.

Raka tidak akan mengusiknya dengan hal itu, karena ia tahu seberapa penyesalan yang kini tengah Arsha tanggung. Kata andaikan bahkan tidak akan bisa menutupi semua hal itu.

Setelah Arsha pergi hari itu untuk membeli barang yang Kinara inginkan, tiada berapa lama kondisi Kinara kembali menurun. Tidak ada yang tahu hingga Rila melihat banyak nya bulir keringat yang keluar di dahi Kinara saat AC menyala dengan penuh.

Semua terjadi dengan cepat saat dokter Hanan menerjang masuk begitu mendengar laporan dari Nabil yang berlari menuju ruang perawat. Kritisnya kondisi Kinara bahkan tidak di duga oleh siapapun, bahkan mama sendiri yang selalu mengawasi setiap perkembangan kesehatan Kinara.

Segera setelah Kinara di bawa untuk mendapatkan perawatan intensif, semua baru tersadar bahwa ada satu orang yang kurang disini. Dan orang itu adalah Arsha.

Arsha yang sudah pergi setengah jam lamanya membuat Arzhan geram karena ia selalu mengaktifkan mode hening pada ponselnya hingga dirinya tidak tahu notifikasi apa saja yang masuk.

Empat puluh lima menit kemudian, Arsha sudah datang dengan tergesa-gesa. Bulir keringat mengalir dari dahi nya, dan siapapun yang melihat pasti sudah tahu kalau Arsha berlari dengan kencang menuju ke rumah sakit.

“Adek... Kinara kenapa Zhan?” tanya Arsha dengan napas pendek.

Arzhan hanya menatap pintu perawatan intensif yang tertutup rapat. Kemudian Arsha berjalan dengan gontai menuju Nabil yang duduk dengan lemas di kursi rumah sakit. Dalam diamnya, Nabil tahu betul Arsha tengah menangis.

“Gak akan kenapa-napa Sha, lo tau Kinara sekuat apa.” ujarnya menenangkan.

Tapi nyatanya kalimat Nabil tidak terealisasikan dengan sempurna begitu empat jam penungguan mereka berakhir dengan kalimat penuh kecewa dari dokter Hanan.

Sekonyong-konyong nya Arsha menangis dengan keras memeluk Nabil yang sama hancurnya. Raka memegang Arzhan dengan tangannya yang bergetar, memeluk mama yang juga sudah di ambang kesadaran.

Dalam satu waktu mereka berbahagia karena bisa merayakan hari lahir nya, satu waktu mereka juga berduka mengantarkan kepergiannya.

Bachtiar memeluk erat Rila yang juga menangis kencang, karena pada dasarnya hati Rila sudah melunak di hari-hari terakhir. Tapi pada akhirnya Rila sendiri juga sama sama kehilangan kesempatan untuk langsung mengungkapkan nya.


Nabil duduk di samping Arsha yang masih terdiam dengan tatapan kosong di kamar Kinara. Nabil juga banyak menangis sedari kemarin, dirinya tidak mau berpura-pura kuat dengan suatu kehilangan yang pasti.

“Sha, mama nyuruh makan dulu. Ayo makan.” ajak Nabil kemudian. “Udah dia hari Sha, lo nggak makan apapun.” sambungnya lagi. Arsha hanya diam, tidak menghiraukan ucapan Nabil.

Dalam tangan Arsha, Nabil dapat melihat benda berwarna merah yang Arsha genggam dengan kuat. Itu kutek merah kemarin yang sempat Kinara pinta, walaupun pada akhirnya tidak akan pernah bisa Kinara pakai lagi.

Seolah menyatukan puzzle, akhirnya Nabil teringat akan sesuatu.

“Kalau dari yang urut ya kak, bintang biru itu bintang muda. Bintang warna kuning artinya setengah umur, bintang warna merah adalah bintang yang sekarat, katai putih artinya bintang yang sudah kehabisan cahaya nya.”

Mencocokkan dengan segala hal yang selalu Kinara ingatkan, dari ia yang menyukai warna biru hingga kemudian beralih pada warna kuning. Dan berakhir pada merah yang tidak sampai. Nabil tertawa sedih, bahkan hingga kepergiannya Kinara masih meninggalkan cerita yang indah.

Nabil memeluk Arsha dengan erat, pundaknya terasa jauh lebih ringan karena menyadari hal itu.

“Sekarang kita ga perlu khawatir lagi Sha, Kinara pasti sekarang bahagia disana. Karena dia pergi sebagai bintang berkatai putih.”


Arzhan termenung di dalam kamarnya sendiri. Hari-hari nya yang dahulu penuh, sekarang menjadi kosong. Dua hari terakhir sejak kepergian Kinara hanya ia habiskan untuk melamun.

Ingatan Arzhan berputar pada saat dirinya menemani Kinara untuk bermain hujan. Karena Kinara, dia tahu seberapa berartinya hujan dan juga kenangan di dalamnya. Kegelapan yang membawa keindahan di ujungnya, itu yang selalu Kinara tegasnya.

Tapi bukan kegelapan yang Arzhan takuti setelah ini. Tapi fakta bahwa Arzhan tahu, apapun hal indah yang menunggu di ujung hujan itu akan tetap Arzhan benci setelah ini.

Karena Arzhan tahu betul, hal yang paling menyiksa itu bukan tentang perginya, tapi tentang kisah selanjutnya dari orang yang Kinara tinggalkan.