Bagian ketiga dari Anan
Nada menatap sendu jalanan yang kini ada di depannya. Gimana gimana? Kok sekarang Nada jadi di jalan? Perasaan tadi di dalem kamar deh sama Tiara.
Jadi gini, tadi selesai keduanya berbincang dan Tiara yang menenangkan Nada, Nada tuh sempet tidur. Karena ga mau menggangu tidurnya Nada, akhirnya Tiara beranjak keluar dari kamar itu. Siapa yang sangka kalau Nada ternyata cuma pura-pura, dan akhirnya dia kabur lewat jendela. Kalau kalian ga lupa, Nada udah pro dalam hal itu.
Cuma ya namanya Nada, ga klop kalau nggak ceroboh. Masalah dia sama, dia kabur tapi ga bawa uang sepeserpun selain ponsel nya. Beneran mau di ngatain bego, tapi anaknya jurusan fakultas kedokteran, ya pasti orang nya jauh dari kata bego.
Tapi untungnya kali ini ponsel dia terisi oleh paket internet. Jadi dirinya bebas buat hubungin siapapun sekarang. Masalah nya dia bawa ponsel miliknya, which is isi kontaknya cuma semua saudara nya yang kemaren dia pilih untuk di nomor dua kan. Malu dong kalo sampe harus telpon mereka, dan jemput Nada sekarang. Kemaren aja di suruh balik bareng nolak, pengen nyelesain masalah lah, apa lah. Sekarang malah pengen balik langsung ke rumah papa. Lucu emang Nada nih.
Akhirnya setelah pusing kelamaan mikir, dan pastinya juga pusing karena dia udah nangis lama, Nada memutuskan untuk menekan tombol call pada orang yang beberapa hari ini bahkan tidak pernah mencoba untuk menghubungi nya.
Belum ada lima detik panggilan berdering, Nada kaget karena Anan sudah mengangkat telpon darinya.
“Anan?”
”...”
Tidak ada jawaban yang terdengar, hingga Nada kembali memastikan apakah panggilannya dengan Anan benar-benar tersambung.
Tersambung ternyata, tetapi Anan memang memilih untuk diam dan tidak menjawab panggilan Nada barusan. Helaan nafas berat di keluarkan Nada, sudah banyak hal yang membebani fikiran nya, kali ini apa lagi?
“Dimana?”
tanya Anan kemudian, seolah menyadari situasi sulit yang kini tengah Nada hadapi. Nada melihat sekitarnya, dirinya tidak tahu persis sekarang ada di mana, karena sepanjang jalan dirinya hanya menghadap ke bawah, dan tidak melihat dengan benar jalanan di sampingnya.
“Eee, gatau.” cicitnya parau.
“Share location aja, gue otw. Ponselnya jangan di matiin.”
Ujar Anan kemudian dan Nada langsung menuruti perintah Anan. Dapat ia dengar dari sebrang telepon, suara Anan yang tengah berlari kemudian di susul dengan suara tutupan dari pintu mobil.
“Anan.”
Panggil Nada kemudian, memastikan.
“Iya Nada.”
“Hati-hati.”
Anan tidak tahu pasti, sudah sejak kapan dirinya hanya terdiam menatap gadis di sampingnya yang kini tengah tertidur dengan lamat.
Panggilan masuk yang sedari tadi terus terusan terlihat pada layar ponselnya dan juga Nada ia biarkan begitu saja. Dirinya tidak ingin mengangkat dan mengusik waktu tidur gadis di sampingnya ini.
Sedari awal, setelah dirinya berhasil menemukan tempat Nada berada, keduanya hanya bisa terdiam tanpa ada niatan untuk berbicara satu sama lain. Hingga pada akhirnya Nada menyerah dan memutuskan untuk tidur di kursi samping kemudi.
Anan juga menjalankan mobilnya tidak tahu arah, satu yang ia tahu, saat ini pasti Nada tidak ingin kembali baik ke rumah keluarga kandungnya, atau keluarga dari Keira.
Pada akhirnya Anan berhenti di sudut kota, dan memarkirkan mobilnya pada jalanan yang sepi di sana. Dengan ragu Anan mengulurkan tangan nya untuk menyentuh kelopak mata bagian atas Nada yang membengkak sejam tiga puluh menit yang lalu.
Anan khawatir, tentu saja. Tapi rasa khawatir nya ia tahan begitu melihat Nada yang tidur dengan pulas. Dalam diam, Anan mengelus kelopak mata Nada dengan perlahan. Dirinya tidak ingin membuat Nada terbangun oleh tindakannya itu.
“Anan.” panggil Nada serak, terbangun dari tidurnya.
“Iya.”
“Lo dimana?” tanya Nada dan meraba udara kosong di depannya. Beneran deh, Nada kayanya harus mulai berhenti buat nangis hebat, atau mata dia bakalan bengkak sampe gabisa di buka kaya gini lagi.
Anan mengambil tangan Nada yang masih berusaha meraih udara kosong di depannya, dan membawanya ke dalam genggaman hangat. “Gue disini.” ucap Anan singkat.
Nada kembali tenang, setidaknya untuk saat ini.
“Gue ga mau pulang ke rumah, Nan.” kata Nada mengadu.
Anan menganggukan kepala nya mengerti, walaupun saat ini pasti Nada tidak dapat melihatnya. “Ke rumah gue aja kalau gitu.” ujar Anan kemudian, masih setia memegang kedua tangan Nada.
“Gapapa?” tanya Nada pelan.
“Gapapa.”
Keduanya kembali terdiam, dan sepi mulai menguasai lagi. Tangan Nada masih berada di genggaman Anan, dan Nada rasa itu sudah cukup untuk mengobati rasa takutnya karena ia tidak bisa melihat apapun saat ini.
“Gue tadi beli tisu, udah gue taruh di dalam air dingin yang tadi juga gue beli. Kayanya sekarang udah dingin, mau di kompres mata nya?” tanya Anan kemudian, memecah keheningan. Nada bingung, sudah berapa lama dirinya tertidur dan melewatkan semua ini?
“Kita udah berapa lama pergi Nan?” tanya Nada kemudian, ingin memastikan.
Anan tidak menjawab, dan menempelkan tisu basah dengan telaten di atas mata Nada. Nada berjengit kaget merasakan dingin yang tiba-tiba menerpa kulitnya.
“Anan?”
“Udah tiga jam Nad, selebihnya ga gue itung.” jawab Anan kemudian, menjelaskan. “Gue ga mau menghitung waktu yang udah berlalu, terpenting sekarang gue udah sama lo.” lanjutnya lagi pelan, tapi masih terdengar Nada.
Nada menyentuh tangan Anan yang masih memegangi tisu basah. “Tapi kenapa kemaren waktu gue di rumah sakit, lo malah ga jengukin? Gue nungguin lo banget Anan.” Ujar Nada penuh penekanan pada Anan kemudian.
Anan menghela nafasnya pelan, dia sudah memperkirakan kalau akhirnya Nada akan menanyakan hal itu pada dirinya. Belum lagi kemarin Hermas juga memberitahu kalau Nada mencari nya.
“Maaf, gue belum sesiap itu.” jawab Anan pelan.
Nada ngerti kok, buat nerima kenyataan yang serba mendadak kaya gini juga perlu waktu. Lagipula Nada juga ga marah perihal Anan yang sama sekali ga menghampiri dia saat dia udah sadar, atau perihal Anan yang bahkan ga membalas chat nya yang terakhir. Nada ga marah, dan Nada ga kecewa dengan hal itu. Nada yakin, semua ada alasannya.
Saat ini ganti Anan yang menatap Nada lekat, “Ga marah?” tanya nya kemudian.
Nada menggeleng, “ga akan bisa marah juga kok. Yang lo lakuin juga bukan hal yang jahat.” jawab Nada tenang. “Dengan lo yang sekarang bela belain datang ke sini, demi gue, dan bahkan ga bertanya tentang perihal satu pun, itu jauh lebih berharga daripada gue harus marah sama lo Nan.” sambungnya lagi panjang lebar.
Anan tersenyum senang. Ini adalah senyuman paling tulus yang ia keluarkan setelah kurang lebih tiga tahun belakangan di penuhi oleh rasa sesak.
“Makasih ya Nad.”
“Makasih karena?”
“Udah kembali.”
Bibir Nada mengatup, dua kata tadi cukup membuat dirinya merasa haru.
“Dan juga, Happy late girlfriend day.”