Bekas

Raka membuka matanya dengan perlahan, mencoba menghindari cahaya yang menusuk. Pandangannya beralih pada Kinara yang sudah terbangun di ranjang pasien.

“Kinara?? Kenapa lo ga bangunin gue?” tanya Raka kelabakan, karena saat ini Kinara hanya terdiam memandangnya. Entah sedari kapan Kinara melakukan hal itu.

Raka hendak memencet bel pasien, guna memanggil perawat supaya mereka memeriksa keadaan Kinara saat ini. Tetapi belum sempat Raka memencet bel tersebut, tangan Kinara sudah menahannya.

“Gausah di panggi kak. Gue gapapa.” Kata Kinara singkat.

Raka duduk di kursi samping ranjang pasien, melihat keadaan Kinara dengan teliti. Apakah adik yang berada di depannya ini tengah berbohong atau tidak mengenai keadaannya.

“Kalau sakit bilang Kin.” Ujar Raka memperingatkan.

Kinara menggeleng, “Kalaupun sakit, bukan urusan lo juga kak. Gue udah terbiasa sakit, dan ga ada yang nanyain gue soal hal itu sebelumnya.” Jawab Kinara pelan.

Hati Raka mencelos, ucapan Kinara barusan sungguh menamparnya.

Dengan gemetar, tangan Raka meraih tangan sebelah kanan Kinara yang terpasang oleh infus dengan lembut. “Gue minta maaf Kin, gue minta maaf karena udah acuh sama lo selama ini. Kalau gue tau lo sakit kaya gini, gue seharusnya bisa memperlakukan lo sebaik mungkin.”

Kinara melihat Raka dengan tatapan nyalang. “Dengan lo bilang kaya gitu gue makin yakin kak, perhatian lo saat ini tuh cuma rasa kasihan doang.” Ucap Kinara kemudian.

Raka menggeleng kuat, “Ini penyesalan Kin, bukan karena kasihan. Ini penyesalan karena terlambat tau. Selama ini kakak juga tau, serenggang apa hubungan kita sampe lo ga mau kasih tau keadaan lo sebenarnya ke yang lainnya.”

Kinara mengalihkan pandangannya, enggan melihat Raka. Kinara takut, dirinya akan luluh lagi dengan ucapan seperti itu. Dan ketika ia sudah luluh, maka dirinya akan di buang lagi karena terlalu menyusahkan dan membebani yang lainnya.

“Udah ya kak, sakit gue urusan gue. Sakit gue ga ada hubungannya dengan perlakuan kalian semua selama ini. Ini emang udah jalan gue, dan gue ga pernah menyalahkan hal ini ke kalian juga.”

Pertahanan Raka runtuh. Tanpa takut malu Raka menangis tersedu sembari menelungkupkan kepalanya di samping Kinara. Penyesalannya nya menumpuk hingga setinggi gunung, atau bahkan lebih dari itu.

Ego nya menyakitinya, menyakiti Kinara juga. Andai dirinya lebih peka, andai dirinya lebih perhatian, Kinara tidak akan menanggung semuanya sendirian seperti ini.

Rasa takut Kinara untuk berpegangan dengan saudaranya yang lain, juga terbentuk karena penolakannya. Raka juga ikut andil besar untuk hal itu, dan dia menyesalinya.

Raka kini mengerti kenapa Kinara menjadi seperti ini. Karena meskipun lukanya sembuh, bekasnya akan tetap tersisa.