Bestie Drive
Anan menyalakan lagu di spotify nya. Ia menolehkan kepalanya pada Haikal yang masih berpamitan pada Hermas yang mengendarai kendaraan berbeda.
Sedikit yang ia dengar, Haikal menyuruh Hermas untuk berhati-hati saat mengendarai mobil. Ia juga menitip pesan pada Hermas untuk di sampaikan ke bang Candra karena ia akan pulang terlambat sebab harus mengantar Anan terlebih dahulu.
“Lama banget, kaya ngasih wasiat.” keluh Anan, begitu Haikal memasuki mobilnya.
Haikal hanya tertawa kecil, “rutinitas Nan. Lo gatau aja, si Hermas kalo ga gue pamitin waktu balik sendiri pasti bawaannya bakalan gelisah.” jawab Haikal menjelaskan.
Anan mengangkat satu alisnya penasaran, “tau dari mana lu anaknya bakalan gelisah?” tanyanya kemudian.
“Feeling lah bro, kita aja udah berbagi di dalam rahim yang sama dengan waktu yang sama juga. Kadang gue suka bingung, gue bisa ngerasain apa yang Hermas rasain tanpa harus di ucapkan di kalimat.” ujar Haikal jujur.
Anan menatap jalanan yang mulai sepi karena sudah menunjukkan pukul tengah malam.
“Tapi lo ga selalu klop sama Hermas.” gumam Anan, membuat Haikal yang mendengar nya ikut bingung.
“Maksud lo?”
“Ya ga semua sih, cuma menurut gue lo dan Hermas ga selalu cocok di segala situasi.”
“Hmmmm, mungkin karena emang ada beberapa hal di gue dan dia ga bisa di satuin juga sih.”
“Indeed.”
Haikal dan Anan kembali terdiam, mereka hanya menikmati suasana kali ini dalam sepi.
“Nan, apa sih yang bikin lo masih belom bisa lupain Nada?” tanya Haikal tiba-tiba.
Anan menolehkan kepalanya, dirinya tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Haikal. “Nada itu yang melukis langit biru di hidup gue Kal, tapi dia juga yang mengubahnya jadi hujan.”
Haikal melihat raut wajah Anan melalui kaca dashboard. “Kalau di fikir lagi, lucu juga ya Nan. Nada itu harapan, yang harus lo ikhlaskan.” ucap Haikal mengejek.
Haikal belajar banyak hal sejak kepergian Nada. Mereka yang mengenal Nada, akan merindui sosok Nada jika mereka gagal mencari penggantinya. Sesingkat apa pun cerita nya, prihal melupakan bukan lah hal yang mudah.
Kemudian Haikal teringat dengan wanita yang ia temui tempo hari di Pujasera. Ia sudah menceritakan nya pada Hermas dan Delvin, tapi ia juga berniat untuk menceritakan hal ini pada Anan, karena ia ingin mengetahui bagaimana pendapat Anan.
Haikal mengetuk kemudi stir dengan ragu, apakah ia harus melakukannya atau tidak. “Nan, sebenernya gue mau cerita sesuatu sih. Tapi gue masih ragu.”
“Yaudah, gausah cerita kalo gitu.” potong Anan enteng. Haikal mendengus kesal, ia sudah menduga kalau jawaban Anan akan acuh seperti itu.
“Lo tau, gue sempet kaget karena ketemu orang yang suaranya mirip banget sama Nada.” ujar Haikal pada akhirnya.
Anan menolehkan kepalanya dengan cepat pada Haikal, “apa lo bilang?”
Haikal menundukkan pandangannya, tidak berani menatap Anan yang kini meminta penjelasan lebih lanjut padanya. Lagian Haikal sih, ngapain coba mancing mancing kaya gitu. Blunder sendiri kan jadinya.
“Gatau, gue merasa kalau itu bukan halu. Tapi Nan, gue tau betul gimana suara Nada. Gue sempet shock juga, dan gue kira kalau sangking rindunya sama Nada, mungkin gue berhalusinasi kalau orang itu punya suara kaya Nada. Tapi kemudian gue tersadar, kalau orang yang gue temui hari itu punya proposi tubuh dan tinggi yang mirip sama Nada.” jelas Haikal panjang lebar.
Anan mengeratkan kedua tangannya.
“Gue mungkin bilang lo harus lupain Nada dan yang lainnya, tapi lo tau betul Nan pemikiran gue jauh lebih rasional kalau berfikir soal Nada.” Sambungnya lagi, makin membuat Anan terdiam.
“Menurut lo, apa itu kemungkinan Nada?” tanya Anan pada akhirnya, setelah ia lebih memilih untuk terdiam sedikit lebih lama.
Haikal menggelengkan kepalanya, “Gue bilang, gue gue ga halu soal suara yang mirip Nada. Tapi di antara banyaknya manusia di bumi ini, banyak orang yang memiliki warna suara yang sama bukan?”
“Maksud ucapan lo saat ini apa?”
“Gue gatau juga, otak gue terbelah jadi dua saat ini. Gue yang mencoba untuk berfikir lebih faktual kalau Nada udah ga ada, dan gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalau dia udah di makamin di dalam tanah. Tapi di otak gue yang lain, gue berfikir kalau beberapa soal kematian Nada itu penuh kejanggalan. Apalagi sebelum Nada hilang, dia pake hoodie lo yang warna tosca. Tapi ketika jasad di temukan, dia ga pake hoodie itu. Walaupun gue tau, beberapa pihak udah menjelaskan kalau Nada mungkin sempat kena hipotermia dan membuat dia berhalusinasi kalau dia merasakan panas, kemudian lepas semua bajunya. Tapi tetep aja Anan, gue ga bisa menerima point yang itu. Sama sekali.”