Bunda
Nada terbangun pada tempat yang begitu asing bagi dirinya saat ini. Tidak lupa juga, rasa pusing masih mendominasi kepalanya.
“Hape? Hape gue mana jir?” tanya Nada mengeluh, dan meraba seluruh bagian kasur untuk menemukan ponselnya.
Terakhir kali perasaan dia lagi sama Anan di mobil deh, kok sekarang udah nyasar ke dimensi lain sih?
Nada bingung, karena dia khawatir saudaranya yang lain pasti lagi kocar kacir nyariin dia. Baru ketemu, masa udah ilang lagi sih?
Pintu kamar terbuka, menampilkan Anan yang membawa nampan berisi makanan dan juga segelas air putih. “Masih pusing?” tanya Anan lembut, dan segera menaruh nampan tadi pada nakas meja, kemudian duduk di samping Nada.
“Lo bawa gue kerumah lo beneran?” tanya Nada tergagap. Anan menganggukkan kepalanya. “Terus tadi lo gendong gue dari mobil buat pindah ke sini?”
Anan mengangguk lagi. “Kenapa? Masa malu sih. Kan ini bukan yang pertama.” ejeknya.
Kalau di pikir lagi, emang bener kata Anan, kalau gendong Nada waktu tidur itu bukan yang pertama. Dulu Anan juga pernah gendong dia dari mobil Haikal untuk di bawa ke sanggar pramuka.
“Orang tua lo mana? Aduh gue malu banget, pasti mikir gue yang enggak enggak.” keluh Nada kemudian, dan celingukan menatap pintu yang terbuka.
“Enggak kok, tadi katanya bunda pengen ngomong sama lo kalau udah bangun.”
“HAH? NGAPAIN?! GUE GA DI SIDANG KAN??”
Anan menyentil lembut dahi Nada yang tengah parno. “Sidang apasih, paling juga cuman nanya keadaan nya gimana.” kata Anan menenangkan.
Keduanya terdiam, baik Nada maupun Anan tidak berani membuka suara saat ini. Nada nya malu karena dia baper abis kena sentil Anan. Anan nya malu, karena dia abis nyentuh dahi nya Nada.
“Yaudah, makan dulu.” ujar Anan kemudian, menepis rasa canggung yang menguasai keduanya.
Tapi bukan Nada namanya kalau gak makin memperkeruh suasana. “Suap dong.” cicitnya pelan, membuat Anan kembali tegang.
“Mau?”
“Ya kan gue yang minta.”
Anan berdeham canggung, dirinya mulai mengambil piring tadi untuk mulai di suap kan pada Nada.
Nada makan dalam diam, Anan pun sama, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dirinya fokus menyuapi Nada makanan.
“Nyokap bokap gue juga kalah kalau gini mah, mereka aja ga pernah suap suapan kaya lo berdua.” suara Kayla dari pintu menyela.
Nada tersedak, Anan yang melihat hal itu buru buru menyodorkan segelas air untuk Nada minum. “Kay, bikin kaget aja.” tegur nya pada Kayla yang kini tengah tertawa puas.
Kayla menghampiri Nada dan menepuk pundak Nada perlahan. “Maaf, tadi emang sengaja godain. Kangen jaman SMA gue Nad, dulu lo yang selalu ngajarin gue buat godain cowo.” kelakar Kayla, dan mengambil duduk di samping Anan.
Nada tersenyum tipis, dirinya ingat kenangan sekolah yang cukup membuat masa mudanya itu berwarna.
“Di panggil tante itu Nan, sini gue aja yang suap Nada.” kata Kayla kemudian, sedikit mengusir Anan.
Anan menurut, dirinya mulai bangkit, dan berjalan menuju pintu untuk keluar. “Jangan lupa Nan, tutup pintu nya.” pesan Kayla lagi.
Setelah memastikan pintu tertutup, Kayla menolehkan kepalanya pada Nada. “Gimana sekarang, lo cerita dulu, atau gue dulu?”
Haikal terduduk diam di hadapan Adit dan Keenan yang kini tengah menatap intens dirinya.
Akibat menghilangnya Nada, pada akhirnya Bima memberitahukan lebih awal kalau ingatan Nada sudah pulih, dan ia akan segera kembali ke keluarga kandungnya sesegera mungkin.
Makanya sekarang ada Hermas dan Haikal yang di rumahnya Keira, karena keduanya lagi bingung nyariin Nada ada dimana.
“Kak Haikal saudaranya kak Keira yang asli?” tanya Keenan membuka pembicaraan setelah kondisi canggung cukup lama.
Haikal hanya dapat tersenyum bingung, soalnya Keenan udah tau identitas dia sekarang.
“Namanya Nada Caroline, bukan Keira Abigail.” ucap Hermas menyahuti ucapan Keenan. “Abis ini tolong kalian panggil nya Nada. Jangan buat saudara gue ga nyaman dengan terus terusan kalian panggil Keira.” lanjutnya dingin.
Rahang Adit mengeras, dirinya tidak suka dengan ucapan Hermas barusan. Apalagi mengetahui kalau Hermas adalah juniornya di satu fakultas, makin membuat dirinya di bodoh bodohi.
Haikal mencolek paha Hermas pelan, dirinya menanggapi ungkapan perang yang telah Hermas lempar barusan.
Keenan terdiam setelah mendengar ucapan Hermas, banyak fikiran yang menganggu dirinya baru baru ini. “Tapi Keenan masih boleh anggap kak Keira, eh Nada jadi kakak Keenan kan?” tanya Keenan memelas.
Haikal yang hatinya lebih lembut dari saudara tirinya itu tidak tega. “Ga cuma Nada kok Nan, lo boleh anggap gue juga sebagai kakak mulai sekarang. Adek Nada, adek gue juga.” hibur Haikal.
Nada bersiap keluar dari kamar inap Kayla di rumah Anan. Dirinya sudah siap untuk menemui ibunda Anan. Masalahnya sekarang dia ga ada pilihan boleh ga siap, atau pilihan buat pingsan lagi. Dia harus beneran berani buat menghadapi tantangan itu.
Sedikit yang Nada ingat, dari Kayla. Ibunda Anan adalah orang yang lembut, tapi tegas. Anan sangat menyayangi ibundanya, apalagi dirinya juga adalah anak tunggal di keluarga ini.
“Kaya ketemu calon mertua aja ya Nad.” goda Kayla di samping Nada, yang sedang menuju kamar ibunda Anan.
“Ya bagus kalo calon mertua, tapi disini suasana nya gue kaya di anterin buat ketemu calon majikan gini dah rasanya.”
Kayla ketawa ngakak, dirinya ga tau kalau seorang Nada bisa se grogi itu untuk bertemu tantenya.
“Asli dah Nad, mending lo godain anak cowo satu sekolahan daripada takut gini ketemu nyokapnya Anan.”
Nada menatap pintu kayu coklat yang berhiaskan ukuran berbentuk bunga. Dirinya sudah sampai di depan kamar ibunda Anan.
“Aduh Kay, gimana nanti kalo gue kena bantai di dalem?” bising Nada menahan lengan Kayla sejenak untuk tidak masuk terlebih dahulu ke dalam kamar.
“Kena bantai apanya sih Nad? Nyokapnya Anan bukan tirani anjir.” ujar Kayla menenangkan, “udah ayo masuk. Anan pasti bantu di depan nyokap nya nanti.” sambungnya lagi dan menarik paksa Nada.
Sesuai yang di ucapkan Kayla, Anan sudah duduk di samping ibunya yang terbaring dan tengah memijat kaki ibunya dengan telaten. Nada baru pertama kali ini melihat pemandangan Anan yang seperti ini.
“Bun, ini Nada anaknya sudah bangun.” ujar Anan pelan, dan menepuk kaki bunda nya perlahan.
Bunda yang mengerti hal itu, langsung terbangun dari ranjangnya dan mengikuti arah pandang Anan yang masih menatap Nada dengan lekat.
Bunda tersenyum, anak perjakanya sedang jatuh cinta terlalu dalam pada gadis cantik di depannya.
“Gimana cah ayu, nyaman tidurnya?” tanya Bunda lembut kepada Nada yang masih canggung. “Udah ih Anan, bisa berlubang nanti wajah cewe kamu kalau kamu liatin terus kaya gitu.” sambungnya juga, menggoda Anan.
Bukannya malu, Anan masih tersenyum dan kembali menatap Nada lekat yang kini juga tengah menatapnya.
“Nyaman tante tidur saya, maaf juga udah ngerepotin disini.” jawab Nada kelabakan, bingung di liatin Anan sama bundanya.
“Kenapa panggil tante? Samain aja sama Anan, panggil bunda.” ujar bunda menyela.
Nada menggaruk tengkuknya tidak gatal, hal ini terlalu baru untuknya. “Iya bunda.” ujar Nada pada akhirnya, menurut.
Senyuman Anan melebar, mendengar Nada memanggil bunda nya dengan sebutan yang sama dengan dirinya.
“Senyum terus mulut lo, lama lama sobek nanti.” sahut Kayla yang masih melihat semuanya sedari tadi. “Itu senyuman paling lebar yang akhirnya bisa gue liat setelah tiga tahun ini ya Nan.” sambungnya makin membuat perasaan Nada tak karuan.
Nada tidak menyangka, kalau Anan akan menyukainya se besar itu. Dirinya merasa teralu kecil untuk menerima hal itu.
Bunda mengelus lengan Nada lembut, “Nada kalau mau nginep sini dulu, ga apa. Nginap aja disini, nanti tidur sama Kayla. Tapi kalau Nada mau pulang, bunda bakalan suruh Anan untuk antar. Semua terserah Nada mau gimana.” ujar bunda. “Semua masalah yang terjadi, itu punya cara penyelesaian sendiri-sendiri. Bedanya, apakah kamu mau mengambil atau tidak langkah itu tadi.” sambungnya lagi, panjang lebar.
Nada menatap bunda dengan pandangan yang tidak bisa di artikan. “Yang sayang kamu ada banyak Nada, kamu ga perlu merasa minder dan kecil untuk hal itu. Apapun alasannya, mereka akan tetap sayang sama kamu.” ujar bunda lagi, membulatkan tekad yang sudah kuat di dalam benak Nada.