Dandelion
Haikal, Jendra, dan Nathan melangkah dengan pelan menuju tempat peristirahatan terakhir sahabat mereka, Rafaela Ranayla.
“Ngide banget sih, suruh bawa bunga Dandelion segala. Emang artinya apaan coba?” tanya Haikal dan menyerahkan sebuket bunga Dandelion kepada Nathan.
“Emang arti mawar putih sendiri apaan, Kal?” tanya Jendra menyahuti, dia bertanya karena pure tidak tahu.
“Hah? Selama ini tiap kita ke tempat Rara, lo tuh kenapa ga nanya anjir?” tanya Haikal gemas.
“Lah, mana gue tau kalo tiap bunga ada artinya.” ucap Jendra membela diri, “Gue kira semua bunga, ya bunga aja. Kaga ada pengertian khusus.” jelasnya lagi.
“Mawar putih itu melambangkan, kepolosan dan kesucian. Biasanya di pake buat orang nikahan sih, tapi I mean di balik kegunaannya yang itu, kata emak gue bawa mawar putih ke makam seseorang mengartikan kalau kita mempercayai kepolosan dan kesucian orang tersebut. Lagi pula, arti lain mawar putih kan juga sebagai lambang perpisahan.” jelas Haikal panjang lebar. Jendra menganggukkan kepalanya mengerti.
“Terus dandelion ini gimana? Artinya apaan?” tanya Jendra lagi masih belum puas, dengan cekatan ia mencabuti beberapa rumput liar yang menghiasi makam Rara.
“Kata emak gue sih-”
“Ga ada arti khusus, udah gausah berfilosofi.” potong Nathan, dan meletakkan buket bunga Dandelion di atas makam Rara. “Abis ini mau kemana? Langsung pulang atau jalan dulu?” sambungnya lagi.
“Jalan dulu ga sih? Kita tuh udah mulai jarang kumpul semenjak kerja. Lagian kan sekarang kita barengan satu mobil.” ucap Jendra mengusulkan.
Sebenarnya apa yang di bilang Jendra tidak salah. Memang karena pekerjaan, mereka menjadi jarang berkumpul.
Ini memang waktu yang tepat, karena mereka juga butuh waktu untuk saling bercakap dan bercerita tentang kehidupan mereka satu sama lain. Sembari melepas penat tentang hari-hari yang melulu soal pekerjaan.
“Yaudah, cus langsung ke cafe tante nya Nathan aja kita ya?” tanya Haikal meminta persetujuan.
“Ya emang mau dimana lagi? Itu mah emang markas kita bukan sih? Hahahahaha.” sahut Jendra dan tertawa. Nathan hanya tersenyum kecil melihat tingkah kedua sahabatnya.
Perpisahan memang akan selalu terjadi, setidaknya itu yang mereka ketahui. Tetapi di balik semua itu, kita juga harus merelakan perpisahan dan mulai menyambut yang datang.
Nathan, Jendra, dan Haikal tidak menyadari bahwa ada sosok lain yang tengah mengamati mereka sedari tadi dari balik pohon Trembesi yang ada di area makam itu.
Rendy melangkahkan kakinya perlahan, keluar dari tempat persembunyiannya. Ia tanpa sadar tersenyum, bahwa bunga yang ia bawa dan Nathan sama.
“Dandelion, bunga yang punya makna yang begitu dalam bagi kehidupan.” ucap Rendy setelah berdiam diri cukup lama, sembari mengelus batu nisan Rara pelan. “Dia bisa tumbuh dimana saja mulai dari tepi tebing yang curam hingga di semak-semak. Bijinya yang terbang mengikuti arah angin hingga mendarat di suatu tempat pun mengajarkan bahwa, dalam hidup orang harus mengikuti alurnya dan tetap kuat meskipun sudah terseok-seok. Mungkin Nathan sengaja ga mau ngomong arti nya di depan Haikal dan Jendra karena takut mereka berdua bersedih kan Ra? Sejujurnya Dandelion sendiri mempresentasikan diri lo banget.” sambungnya panjang lebar.
“Bunga Dandelion mengajarkan ke semua orang bahwa dalam hidup harus berani, optimis, dan beradaptasi dengan lingkungan sebaik mungkin.” Rendy mulai menyeka air matanya yang deras berjatuhan. “Seperti yang lo tahu hidup itu keras, jadi kalau lo cuma bermalas-malasan maka tidak akan mendapat apapun dalam hidup ini, jangan pernah merasa tidak pantas karena semua orang pantas memiliki hal yang diinginkan asal tidak merugikan orang lain.” lanjutnya lagi, air mata semakin deras membanjiri kedua pipinya.
“Maaf Ra, butuh tiga tahun bagi gue untuk memupuk keberanian dan datang ke rumah lo sekarang. Gue emang se-pengecut itu.” ungkap Rendy dengan terbata-bata, “justru lo yang tulus memaafkan segala kesalahan gue, malah jadi tombak rasa bersalah yang menembus dan terus bersarang di hati gue. Seberapa keras gue mencoba buat menghapus rasa bersalah ini, maka semakin keras juga gue terluka.” jelas Rendy lagi.
“Makasih Ra, udah mau jadi dandelion di hidup gue, di hidup semua orang yang mengenal lo. Gue beruntung, pernah mengenal orang sehebat lo.” ucap Rendy lagi sebelum berdiri dan beranjak dari sana.
Banyak hal yang sulit di mengerti. Dan mungkin, di saat kamu menyadari nya, sesuatu itu telah berubah menjadi penyesalan, sehingga akan sulit untuk membuatnya utuh.
— Evline Kartika