Delusional
TOK TOK TOK
Nada mengetuk pintu kamar Hermas dengan perlahan. Tak lama kemudian, Hermas muncul dari balik pintu dengan raut wajah datar.
'Belom apa-apa udah kaya badmood aja nih bapak.'
Hermas kembali duduk di kursi belajarnya. Nada cuma berdiri melongo, bingung mau duduk dimana. Soalnya kursi di kamar Hermas cuma ada satu. Masa di pangkuan Hermas?
Baru aja Nada mau merealisasikan keinginan dia buat duduk di pangkuannya Hermas. Hermas langsung berdiri membawa semua buku dan peralatan tulisnya ke lantai.
'Yah, gajadi deh.'
Nada langsung duduk tenang di samping Hermas yang sudah lebih dulu sibuk meraut pensilnya. Agak sedikit canggung sih, soalnya Hermas diem aja dan Nada mau ngomong tuh kaya takut gitu. Takut salah ngomong maksudnya.
“Mana buku lo.” ucap Hermas singkat, tangannya mengadah meminta buku Fisika yang ada di pelukan Nada. “Pascal baru di bab pertama, lo belom telat-telat banget buat belajar.” sambungnya lagi.
Nada mangut-mangut, dia juga sadar kalo yang dia tanya tuh baru bab satu. Mungkin maksud Hermas, Nada belom apa-apa udah nanya, gamau usaha dulu.
Tapi yang namanya Nada mana mau repot sih? Dia kan maunya langsung di ajarin gitu, kalo baca sendiri biasanya dia ga nangkep maksud dari yang tertera.
“Luas penampang dongkrak hidrolik adalah A1 = 0,04 m2 dan A2 = 0,10 m2. Jika gaya masukan F1 = 5 N maka keluaran gaya maksimum adalah?” ucap Hermas membacakan pertanyaan dari buku Nada.
Belom apa-apa otak Nada udah ngepul. Hermas yang emang dasarnya bukan orang sabaran, liat Nada melongo doang jadi emosi.
“Lo masukin hukum Pascalnya anjir. Kan udah gue jelasin tadi.” ucap Hermas jengkel. Dengan segera Nada memasukkan rumus Pascal pada soal.
Hermas memperhatikan dengan teliti. Segera setelah Nada selesai mengerjakan salah satu dari soal, Nada langsung menyerahkan lembar jawaban itu pada Hermas.
Hermas mengulik kembali jawaban dari soal Nada, dengan teliti dirinya membenarkan kesalahan dari soal Nada dan memberikan lembar jawabannya pada Nada.
Nada sedikit cemberut ketika dia melihat hasil dari kerjaannya di coret oleh Hermas. Kemudian dia mulai mengerjakan soal selanjutnya. Hermas menaikkan bibirnya tipis, dia sedikit terhibur dengan tingkah Nada.
Segera setelah Nada pergi, Hermas langsung mengemasi barang-barangnya dan menaruhnya kembali ke atas meja. Sungguh Nada hanya menyusahkan dirinya saja.
Tiba-tiba Haikal muncul dari balik pintu, tanpa mengetuknya lebih dahulu. Hermas sudah terbiasa dengan hal itu, jadi dia hanya diam membiarkannya.
“Tumben banget lu ngajarin Nada, udah mulai ada yang berbeda nih?” goda Haikal, karena dirinya lebih tau dari siapapun kalau saudara kembarnya itu sangat sulit untuk menerima orang baru.
“Gausah bacot.” ucap Hermas singkat. Dia sudah lelah dengan tingkah laku Nada tadi, jangan sampai dirinya meledak karena tingkah laku saudara kembarnya itu.
“Gimana? Nada anaknya asik kan??” tanya Haikal mulai memancing lagi.
Hermas menatapnya dengan sinis, “gak, dia cuma bisa nyusahin gue doang.” jawab Hermas langsung setelah Haikal menyelesaikan pertanyaannya.
Haikal agak sedikit terkejut, dirinya tak menyangka kalau saudara kembarnya begitu naif. “Lo jangan munafik gitu deh Her, orang gue liat sendiri Nada keluar kamar lo seneng gitu. Pasti lo merlakukan dia dengan bagus kan? Makanya dia seneng.” kata Haikal menyela, “kalo lo udah merlakukan Nada dengan baik, artinya lo udah nyaman sama dia.” lanjutnya lagi, mencoba menyadarkan Hermas yang tengah denial.
“Gue cuma ngelakuin apa yang perlu gue lakuin Kal.” ucap Hermas mulai kesal, dirinya tidak suka di paksa untuk mengakui hal yang belum siap untuk dia akui. “Bukan berarti gue udah nerima dia di keluarga ini!!” lanjutnya lagi membentak.
“Oh, gue cukup tau aja Her.” ucap Nada setelah membuka pintu, dia ingin mengembalikan tipe ex yang tadi tak sengaja terbawa olehnya. “Gue kira lo udah berubah, dan nerima gue sebagai saudara lo disini Her. Ternyata itu cuma delusi gue doang. Maaf.” sambungnya lagi pahit, dan bergegas meninggalkan kamar Hermas.
Haikal menatap Hermas tajam, dirinya benar-benar marah dengan pola fikir saudara kembarnya itu, “Nad, tunggu dulu!!” teriak Haikal, berusaha mengejar Nada yang sudah lebih dulu pergi. Meninggalkan Hermas yang terpaku dengan tatapan kosong.
Menyesal? Merasa bersalah? Atau justru marah?
Hermas sendiri gatau, gimana wujud ekspresi dia sekarang. Dia hanya bingung menghadapi segala hal yang baru saja terjadi.