Delusional?
Adelio membawa seluruh belanjaannya turun dari mobil. Ada tiga kantong belanjaan, dan dia mutusin buat bawa dua dulu naik ke atas. Yakali tiga tiganya di bawa, kalian kira Adelio ni Hercules pa gmn?
Dengan langkah terburu-buru, Adelio mengejar lift yang sudah mau tertutup. “Eh maaf, tolong talangin bentar dong.” ucapnya keras pada dua orang yang tengah berada di dalam lift.
Adelio kembali melotot bingung, karena di dalam lift tersebut, dirinya bertemu Hansa lagi bersama seorang wanita. Ini dunia beneran selebar daun kelor, atau Hansa sama Adelio nih aslinya jodoh sih? Ketemu mulu perasaan.
“Adelio?”
“Hansa?”
Nah kan, sekarang jadi Jisel yang bingung melihat dua insan di depannya ini malah saling tegur sapa. “Misi om, jadi naik lift apa enggak ya?” tanya Jisel kesel, soalnya posisi Adelio tuh ada di tengah tengah pintu lift, makanya dia jadi penghalang sehingga pintu lift ga mau nutup.
“Dia seumuran kita anjir, Sel.” ucap Hansa membantah, membela Adelio yang kini tersenyum kikuk ke arah Jisel.
“Ya bodoamat anjir?”
“Mana si Adelio?” tanya Hermas melihat tumpukan bahan makanan yang telah di beli Adelio di atas meja pantry dapur.
Si Hermas tadi abis dari kamarnya Adelio, dia belom ngasih album nya. Masih di dalam tas dia, yang dia taroh di kamar Adelio. Gatau, kapan mau ngasih. Dia masih belum nemu momen yang tepat soalnya.
“Ambil barang lagi, masih ada sebungkus di mobil katanya.” ucap Anan menjelaskan, sembari memotong jamur enoki.
“Mau masak apa?” tanya Hermas mendekati Anan yang tengah sibuk itu.
“Bantuin gue nyuci lemon aja.” sahut Anan tanpa perlu repot menjawab pertanyaan Hermas.
“Gue ga bilang mau bantuin.” kata Hermas ketus.
“Lo udah nanya, artinya lo wajib bantuin.” ucap Anan tak kalah bodoamat.
Walaupun setengah hati, pada akhirnya Hermas tetap mencuci lemon yang berada di styrofoam.
“Udah, apa lagi?” kata Hermas menghampiri Anan dengan membawa lemon yang sudah bersih di tangannya.
“Ga ada, udah lo tungguin aja di sofa depan TV.” ucap Anan menyuruh Hermas untuk segera pergi. Soalnya gara-gara Hermas nimbrung di dapur, kerjaan dia agak terganggu.
“Ga punya ati bener si Hansa sama Jisel anjing.” umpat Keira begitu dirinya harus membawa box berisi bahan makanan yang sudah di beli Hansa dan Jisel tadi di minimarket.
Iya sih, dia yang nawarin buat jadi tukang angkut barang. Tapi ya mikir lah anjing, dia yang bentukannya kaya anak SD gini, disuruh angkat box yang isinya udah kaya TV 32inci.
Dia tadi masuk ga barengan sama si Hansa dan Jisel, karena tiba-tiba ayahnya telpon dan bilang kalo si Keira mau nginep gapapa. Di kasih izin sama Ayah katanya.
Nah, karena dia ga ikut bareng Jisel dan Hansa, sekarang anaknya sibuk nih nelponin dua sahabatnya yang ga punya perasaan buat nanyain di lantai dan nomor berapa apartemennya si Jisel.
“Iya, Kei?”
“WOY BANGSAT, YANG BENER LAH ANJING? Lo di kamar berapa, gue buang juga nih semua belanjaannya.”
“Lah anjir, gue kira udah tau.”
“UDAH TAU DARI MANA ANJIR?? LO KIRA GUE BISA BAHASA KALBU?”
“HAHAHA, MAAF. Lantai tiga, nomor 298. Dari lift tinggal belok kiri dikit.”
Akhirnya setelah Keira mengetahui lokasi tepat apartemen Jisel, Keira langsung bergegas memasuki lift untuk menuju kesana.
Gila ni kotak belanjaannya Jisel, tubuhnya Keira sampe ga keliatan gara-gara angkat kaya ginian. Karena ga mau ribet, dan Keira gamau juga cape angkat naroh beban box, Keira memutuskan buat meminta tolong pada seseorang yang berdiri di sampingnya.
“Mas, tolong pencetin lantai tiga ya.” Kata Keira memohon pada lelaki di sampingnya yang juga membawa kantong kresek belanjaan di sampingnya.
Tak berapa lama, lift telah sampai di lantai tiga. Dengan segera, Keira beranjak keluar dari sana. Tidak lupa juga, dirinya mengucapkan terimakasih pada lelaki yang sudah membantunya tadi.
Adelio sedikit menahan pintu lift demi menolong seorang wanita yang terburu-buru masuk ke dalam lift dengan membawa kotak belanjaan yang besarnya melebihi tubuhnya itu.
Lucu pikirnya, soalnya sangking gedenya kotak belanjaan itu, si cewe tadi sampe gabisa pencet nomor lift buat ke lantai berapa.
“Mas, tolong pencetin lantai tiga ya.” ucap wanita tadi pada akhirnya menyerah.
Tangan Adelio berhenti di udara, mendengar suara wanita yang ia rasa familiar itu.
“Makasih Mas.” kata wanita tadi, dan bergegas keluar lift sebelum tangannya makin kebas karena membawa kotak belanjaan yang berat.
Belum habis kekagetan Adelio, dirinya dengan terburu-buru langsung mengejar wanita yang baru saja keluar dari lift tadi.
Ga ada, wanita tadi udah hilang dari lorong apartemen. Kelamaan sih lo anjir bengong nya.
“Itu ga mungkin Nada kan? Gue pasti delusi doang.”