Delvin

“Nad, kenapa berserakan gini sih?” tanya Delvin dan melihat Nada yang tengah sibuk melipat beberapa bajunya yang akan dirinya bawa untuk ke Banyuwangi.

“Gatau gue mau pake baju yang mana kak.” rengek Nada kemudian, dan mulai memilah-milah kembali beberapa baju yang akan ia bawa.

“Pake mana aja yang nyaman, milih baju doang kenapa ribet banget sih.” gerutu Delvin ikut merapikan baju yang tidak jadi Nada bawa, kembali ke dalam lemari.

“Ih, lo tuh ga paham. Gue perlu untuk tampil prima setiap waktu tauk!” sahut Nada jengkel, karena Delvin tidak mengerti apa yang Nada inginkan.

“Kenapa harus tampil prima?” tanya Delvin kemudian, dan ikut duduk di depan Nada.

Nada menurunkan tangannya, menatap balik Delvin. “Ya ga ada, pengen aja keliatan cakep.”

Delvin menatap lurus ke dalam mata Nada, “lo ga perlu bawa baju yang bagus, baju yang cocok, baju yang terlihat baik di lo Nada cuma buat sekedar tampil prima. Di mata gue, di mata saudara lo yang lain, di mata mama atau papa, lo tuh udah sangat amat cukup cantik.” ucap Delvin dalam satu tarikan nafas, membuat Nada yang di depannya tertegun karena tidak menyangka seorang Delvin akan berucap seperti itu kepadanya.

“Anjing satu lemari aja apa ya yang gue bawa kak?!”

“Hah?? Ya ga gitu juga bangsat!”


Delvin tersenyum, melihat gaun motif bunga berwarna kuning yang dirinya ambil dari dalam lemari Nada. Gaun itu adalah gaun yang dirinya pilihkan untuk Nada, supaya ia pakai ketika berada di Banyuwangi dulu.

Kenyataannya, hingga saat terakhir dirinya tidak pernah melihat Nada mengenakan gaun itu, dan kemudian gaun itu kembali dengan rapi di dalam lemari seperti semula.

“Del? Ngapain? Kok di kamar adek?” tanya Tiyo yang memanggi Delvin di depan pintu kamar Nada yang memang di biarkan terbuka. “Kok ngeluarin baju adek yang ini? Buat apa?” tanya Tiyo kemudian, dan duduk di samping Delvin dengan tenang.

Delvin hanya diam tak berguming, sambil sesekali mengelus gaun berwarna kuning itu lembut.

“Kangen Nada?”

Delvin berdecih, “Siapa sih emang di rumah ini yang ga kangen Nada?”

“Kalo kangen Nada, ayo ke makam. Bareng gue, atau bisa sama yang lain. Atau kalau mau quality time sama adek, sendirian aja ke sana.” ujar Tiyo kemudian, mencoba menghibur hati adiknya.

“Bang, apa permintaan gue punya adek cewe yang sedari dulu gue idam idam kan itu berat banget ya? Sampe Nada juga ikutan pergi.”

Tiyo menekuk alisnya tidak mengerti, “ngomong apasih?”

“Dulu gue minta adek cewe ke mama, tapi berakhir papa pergi.”

“Del, papa pergi itu karena waktunya udah buat pergi. Bukan karena lo minta adek cewe.”

“Terus ada Nada dateng, ga lama dia juga pergi. Apa karena emang permintaan gue punya adek cewe itu membebani banget ya?”

Tiyo tidak berucap lagi, dan memeluk Delvin dengan erat. Banyak hal yang Delvin pikirkan saat ini, dan Tiyo tahu benar itu. Luka yang Delvin tanggu sedari dulu, memang tidak benar benar pernah tertutup.

Mungkin iya, sempat terobati karena kedatangan Nada. Tiyo tahu benar, karena semenjak kedatangan Nada, Delvin lebih sering tersenyum dan mengekspresikan banyak hal dengan lebih sering. Tapi seperti kata Delvin, itu tidak bertahan lama dan justru membuat luka pada hati Delvin menganga jauh lebih lebar dari sebelumnya.

Delvin melepaskan pelukan Tiyo dengan perlahan, “Lo keluar aja, gue mau tidur kamar Nada malam ini.” ujar Delvin kemudian, dan di jawab oleh anggukan Tiyo yang beringsut bangun dari duduknya untuk keluar dari kamar Nada.

“Del, gue harap kita semua bisa bahagia ya mulai dari sekarang.” ucap Tiyo sebelum menutup pintu kamar, dan berlalu dari sana.