Eating disorders
Mama dan Papa sudah datang dengan membawa berbagai pesanan dari anak anaknya. Coba tebak siapa yang paling bahagia. Tentu saja Arsha.
“Akhirnya dateng juga GO-JEK kita.” ucapnya berkelakar.
Kinara tertawa kecil dan melihat yang lain berpindah ke kursi dan meja yang tentunya di sediakan di sana.
“Ini emang boleh makan di dalam sini Ma?” tanya Nabil bingung.
Memang sih kamar inap Kinara bukan ruang perawatan intensif, tapi tetap saja itu tidak terasa benar bagi Nabil.
“Makan aja gapapa Bil, masa mau makan di lorong rumah sakit kamu? Lagian ini kamar pribadi, bukan tempat perawatan intensif.” jelas mamanya.
Nabil mengangguk dan membuka hamburger nya dengan senang hati.
Arsha yang memesan bakso juga tak kalah semangat. Beruntungnya mama juga membawa mangkok untuk di pakai oleh Arsha dan Arzhan yang tengah memakan soto.
“Kinara udah makan sayang?” tanya papa menghampiri Kinara yang terduduk di kasur rumah sakit.
Kinara mengangguk. “Papa sendiri udah makan?” tanya nya kembali.
“Gausah pikirin papa sama mama, yang penting Kinara dulu.” ujar papa kemudian.
“Kinara susah banget tau pa makan nya tadi.” Kata Arzhan mengadu. “Akhirnya di suap sama kak Nabil. Tapi tetep aja habis nya dikit, sampai akhirnya piringnya di ambil.” lanjutnya lagi.
“Kenapa ga di habisin Kin? Ga enak ya? Besok mama bawa masakan dari rumah ya, masakan bi Anjar.” kata mama menenangkan.
Bau makanan menjadi satu ruangan, dan jauh dari perkiraan Kinara ternyata itu sangat amat mengganggunya. Perut Kinara merasa teraduk begitu hidungnya membau wangi bakso dari Arsha bercampur wangi soto yang tengah Arzhan makan.
Kinara mencoba menahannya hingga air keluar dari bola matanya. Raka yang sudah selesai memakan hamburger nya sedari tadi berjalan menghampiri Kinara dengan tergesa.
“Kenapa Kin? Ada yang sakit?” tanya nya panik melihat wajah Kinara yang kini tambah pucat.
Seluruh atensi kini menatap Kinara ikut kebingungan. Tanpa di duga Kinara menarik lengan Raka untuk bersembunyi di balik sana.
Benar saja, pada akhirnya Kinara menyerah dan memuntahkan seluruh isi perutnya pada jaket bagian belakang Raka.
“Gue mual kak bau bakso sama soto. Maafin gue udah bikin kalian jijik, maafin gue...” ucap Kinara setelah seluruh isi perutnya keluar. Kinara lanjut menangis karena merasakan hal yang sangat amat tidak nyaman terjadi pada tubuhnya.
“Arzhan sama Arsha ayo ikut papa di depan. Makan nya lanjut di depan aja ya, papa temenin.” ucap Papa berusaha menstabilkan kondisi yang kini tengah kacau.
Mama mengelus punggung Kinara dengan lembut, tanpa ia sadari air matanya juga ikut keluar melihat penderitaan dari putrinya.
Nabil mengambil beberapa tisu yang memang sengaja mamanya belikan. Dengan telaten dirinya menyeka bekas muntahan Kinara yang memang terjatuh ke lantai.
Bau asam dari perut Kinara, kini memenuhi satu ruangan. Kinara masih memeluk erat lengan Raka, dan menangis tersedu karena perutnya masih merasa tidak enak.
Diam diam Raka juga menangis, serta mengelus lengan Kinara yang masih memeluknya dengan lembut. Beribu kata penyesalan memenuhi benak nya tentang apa yang sudah ia lakukan di masa lalu hingga adiknya harus menanggung beban seberat ini.
Arsha dan Arzhan yang kini sudah terduduk di bangku depan kamar kembali diam. Mereka berdua masih bisa mendengar suara tangisan Kinara di dalam sana.
Mendadak keduanya menyesal kenapa harus memesan makanan yang memiliki bau kuat seperti bakso dan soto. Mereka menyesal kenapa tidak menahan rasa laparnya saja daripada harus membuat adik perempuan nya tersiksa karena mereka makan.
“Ayo Arzhan, Arsha, makannya di habisin.” ujar papa yang ternyata benar menemani keduanya untuk makan. “Atau kalian udah hilang selera ya karena adik nya muntah tadi? Yaudah sini papa buang aja. Kalian langsung cuci tangan sama muka ya, biar ga kebau lagi sama adiknya.” lanjut papa begitu tidak mendapat jawaban dari keduanya.
Sebelum papa sempat mengambil sisa makanannya, dengan segera keduanya menghabiskan makanan yang tersisa. Papa yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum sendu. Hal seperti ini mungkin adalah hal yang baru bagi anak anaknya, jadi ia bisa mengerti hal itu.
Arzhan menghapus air matanya yang menetes ketika ia dengan paksa menelan makanan ke dalam mulut nya. Tangisan Kinara sudah tidak terdengar lagi, mungkin Kinara sudah jauh lebih tenang sekarang.
“Mulai sekarang kita kalau makan di luar aja ya pa. Kasian Kinara kalau harus muntah tiap liat kita makan.” ujar Arsha sebelum menyuapkan suapan terakhir.
Papa mengangguk dan tersenyum lega. Lega karena anaknya sudah mulai menyesuaikan kondisi yang telah terjadi walaupun dengan terpaksa.
“Maafin adiknya ya kak. Hal seperti itu bukan sesuatu yang bisa adik mu kontrol.” ujar papa kemudian menasehati.
“Ga apa kok pa. Kita bisa ngerti. Karena mau bagaimanapun kita juga tahu, kalau Kinara yang paling menderita disini.”