End Game

Cw // mention of violence

Mona mendekati Rara yang kini sudah terduduk lemas di kursi. Sejak dua hari lalu, dirinya tidak mendapatkan asupan makanan yang cukup untuk memenuhi energinya.

“Aduh, kok muka cantiknya lesu gini sih?” ucap Mona mengejek, begitu mendekati Rara.

“Haha.” sahut Rara tanpa tenaga. “Gue lesu gini aja lo bilang gue cantik, apalagi kalo gue lagi dalam kondisi prima. Pasti lo kalah cantik sama gue.” sambung Rara balik mengejek.

Mona mendelikkan matanya tidak suka, dan maju ke hadapa Rara. Dengan enteng tangan Mona langsung melayang ke arah wajah Rara yang mulus.

“Udah dua hari loh, gue sekap lo disini.” kata Mona tidak percaya, “Dan lo masih ga belajar dari kesalahan, kalau gue bisa lakuin apapun yang gue suka ke lo.” sambungnya lagi dengan penekanan di setiap kata.

“Lo maunya gue takut? Sorry Mon, gue gatau gimana rasa takut itu setelah gue jalanin kehidupan gue yang dulu.” ucap Rara menjawab, dan membayangkan akhir dari kehidupan pertamanya.

Mona kembali tersenyum manis, “ohh, kalau gitu gue bakalan ajarin lo dari awal buat mengenal apa sih itu takut.” kata Mona dengan lembut.

Mata Rara menyalang begitu melihat Mona mengeluarkan sebilah pisau dari dalam jaketnya.

“Gimana, Ra? udah takut belom?” tanya Mona dengan tawanya yang menggelegar di seluruh penjuru ruangan. “Kalau ini gue tempelin ke pipi lo, biaya operasinya semahal apa ya?” sambung Mona sambil terus bermain pisau di atas pipi Rara.

Tubuh Rara bergetar, ia mulai ketakutan saat ini. Mona tidak bermain-main ternyata, terbukti dengan dia yang tengah mengancam dirinya dengan sebilah pisau.

Tanpa sadar, air mata Rara mulai menetes membasahi pipinya. Mona yang melihat hal itu, tawanya semakin mengeras saja.

“Ehh?? Kok nangis sih anjir.” kata Mona di sela tawanya, “Tadi galak banget kaya macan, setelah gue keluarin pisau langsung nangis kaya kucing yang kehilangan induknya.” ucap Mona bermonolog, puas dengan reaksi Rara saat ini.

“Lo psikopat.” ucap Rara pendek, dengan suara yang tentunya masih bergetar.

Mona kembali menampar wajah Rara dengan keras, “aduh, anjingnya udah mulai menggonggong lagi nih.” ucap Mona dengan sinis. “Gue kaya gini juga karena ada alasannya Ra, masa lo tega sih ngatain gue kaya gitu? Ih, itu kasar banget.” sambungnya dengan nada yang di lebih-lebihkan.


“Kita seriusan ga nunggu polisi?” tanya Haikal dengan khawatir, begitu dirinya sampai Gio, Nathan, dan juga Rendy langsung mengajak nya naik mobil untuk menuju suatu tempat.

“Kita ga tau Kal, apa yang bakalan terjadi kalau kita telat sedikit.” ucap Nathan menjawab pertanyaan Haikal, ia telah mendapat informasi dari Jendra tentang keberadaan Rara saat ini.

Dirinya teringat tentang chat nya dan Jendra sebelumnya, yang menyuruhnya untuk siaga di segala kondisi.

“Gue udah laporin hal lengkapnya ke polisi, gue juga barusan udah kasih tau alamat yang saat ini kita tuju ke polisi.” ucap Rendy yang sedari tadi terdiam, ikut menambahkan informasi yang tak kalah penting.

“Kakak ga tau, apa salah Rara sama teman kamu yang namanya Mona itu. Mona anak perempuan yang tadi juga ikut ke kontrakan kan?” tanya Gio sembari mengusap wajahnya gusar, ia benar-benar khawatir dengan adik semata wayangnya itu.

Sejak perjalanan mereka tadi, Rendy sudah menjelaskan semua hal yang terjadi kepada mereka bertiga.

Dimana dirinya yang mendapat clue keberadaan Rara, dengan mengetahui ponsel Rara di pegang oleh Mona.

Kemudian kabar yang juga datang dari Jendra, tentang keberadaan Rara saat ini yang tengah di sekap oleh Mona di sebuah pondok tua yang berada di pinggir kota.

“Banyak konflik sih Kak, kalau lo nanya soal mereka berdua.” ucap Haikal mulai menjelaskan, “I mean, mereka sering bersaing di akademik. Terus mereka juga berkonflik buat orang yang sama, terus-”

“Hah? Berkonflik untuk orang yang sama? Eh siapa?” tanya Nathan menyela.

Haikal mengetuk gemas kepala Nathan yang saat ini tengah menyetir, “ya lo lah anjir, yang ada di konflik mereka berdua.” ucap Haikal menjelaskan.

“Lah, kok jadi gue?” tanya Nathan tidak terima.

“Gimana bukan lo, sekarang nih ya, lo suka Rara, tapi Mona suka sama lo. Ya jelas kalau Mona sama Rara berkonflik gara-gara lo.” jawab Haikal masih tidak santai, ia tidak menyangka bahwa Nathan akan sangat ignorance dengan hal yang menurutnya menjadi inti permasalahan kali ini.

“Tapi kakak masih ga ngerti, kenapa cuma perkara rebutan Nathan, Mona sampai berbuat sejauh ini ke Rara?” tanya Gio membawa topik awal yang belum terselesaikan tadi.

“Mungkin karena hal terakhir yang sempat di ungkap Rara sih Kak, kalau menurut gue. Apalagi Mona itu orang nya nekat.” kata Haikal dengan hati-hati, berusaha menjelaskan dengan perlahan agar Gio tidak ikut terbawa emosi.

“Hal terakhir?” tanya Gio tidak mengerti.

“Maksud lo yang Mona di diskualifikasi sama yang CCTV si Mona ambil kertas catatan interview Rara?” tanya Rendy menyela dengan tidak percaya.

“Iya, Mona di diskualifikasi karena laporan Rara. Dan CCTV-nya Mona soal ambil catatan interview Rara, itu juga dari Rara yang nyebarin. Tapi pakai pihak ketiga.” jelas Haikal membuat ketiga orang di sana menahan nafas.

“Kalau dia udah sampai tahap culik Rara kaya gini, pasti si Mona beneran psikopat.” ucap Rendy membuat keempatnya ngeri.

Nathan langsung mempercepat mobilnya untuk segera sampai ke tempat yang telah Jendra berikan.


“Aduh, coba lo liat ini.” ucap Mona dengan wajah yang sengaja di buat sedih, sembari membuka jaket panjangnya yang menutupi lengan kanan dan kirinya yang lebam dan juga membiru. “SEKARANG LO BISA LIHAT KAN, APA YANG GUE DAPATKAN DARI ULAH LO YANG BIKIN GUE DIDISKUALIFIKASI!!” teriak Mona di telinga kanan Rara.

Rara langsung memejamkan matanya pusing, sungguh efek teriakan Mona membuatnya mual seketika.

“TETAP AJA, ITU BUKAN SALAH GUE MONA!” ucap Rara membalas teriakan Mona dengan lantang, “ITU SALAH LO, KARENA LO GA MENGERTI APA TEMA DARI LOMBA. ITU JUGA SALAH LO, DIMANA LO GA BERUSAHA LEBIH DULU UNTUK BUAT CATATAN INTERVIEW, DAN BUAT LO NYONTEK CATATAN INTERVIEW GUE!!” sambungnya lagi, dada Rara naik turun, emosi menguasai dirinya saat ini.

Mona kembali menampar wajah Rara untuk kesekian kalinya, “Hahaha, hidup itu lucu banget ya Ra. Gue lebih memilih ga punya orang tua kaga lo daripada jadi anak yang di asuh orang tua kaya gini.” kata Mona dengan sendu, menarik kursi dengan ujung kakinya, untuk duduk di hadapan Rara.

“Bokap gue orang yang ambisius, dia senang banget soal kemenangan dan juga benci tentang kekalahan.” kata Mona melanjutkan ucapannya tadi, mulai bercerita. “As you can see, dia bahkan berinvestasi buat gue. Bokap gue selalu berekspektasi hasil yang bagus dari gue, dan ketika gue berada di nomor dua karena ulah lo, gue sama dengan mengecewakan bokap gue. Gara-gara lo, gue terpaksa harus membayar dengan cara menerima setiap pukulan.” sambung Mona panjang lebar.

Mona kembali bermain-main dengan pisau yang ada di tangannya, kali ini dengan lebih berani dirinya menempelkan dengan sedikit tekanan di permukaan pipi Rara.

“Tapi tetep aja, itu bukan salah gue.” ucap Rara merinding. “HARUSNYA LO LEBIH BEKERJA KERAS ANJING!!” sambungnya dengan teriakan, dan menendang kursi Mona hingga terjatuh.

Dengan segera Rara melepaskan ikatan di tangannya, yang dua hari ini ia sudah coba untuk renggang kan.

Ia sudah menunggu momen ini, dimana Mona tanpa ada penjagaan dari siapapun, supaya dirinya bisa lebih leluasa untuk kabur.

Rara sudah berhasil melepaskan ikatan yang ada di tangan, dan kakinya. Sungguh, kakinya saat ini begitu lemas untuk ia paksakan berjalan.

Mona memegangi pinggangnya yang sakit, akibat terjatuh dari kursi karena tendangan Rara. “BANGSAT!!” maki Mona dan berdiri dengan kesakitan, mulai mengejar Rara yang lebih dulu berlari meninggalkannya.

Sungguh, Rara tidak pernah menyangka kalau hidupnya bisa berubah menjadi genre thriller seperti di film saat ini. Dimana Mona mengejarnya dengan kesetanan, sembari membawa pisau di tangan kanannya.

Belum sampai Rara membuka pintu, Mona sudah menjambak rambutnya dan membuat dirinya terpaksa menoleh ke arah Rara. Dan kemudian, dengan asal Mona mengayunkan pisau ke arah Rara.

Rara kaget setengah mati, merasakan sakit yang amat sangat dari lehernya. Ayunan pisau dari Mona tadi mengenai leher Rara yang kini sudah berlumuran darah.

Dengan gemetar, Mona membuang pisau yang sudah di lumuri sedikit darah Rara itu ke lantai. Ia tak percaya, kalau ia akan melakukan hal itu.

Pintu pondok di dobrak dengan paksa, Polisi beserta rombongan nya masuk ke dalam pondok untuk mengamankan Mona.

Diluar tampak ada beberapa polisi lain yang juga mengamankan penjaga pondok yang dua hari ini terus mengawasi Rara.

Gio berlari dengan tergesa-gesa, menuju tubuh Rara yang sudah ambruk di lantai. Tangannya menggantikan tangan Rara yang sedari tadi menutupi luka yang tertoreh di atas kulit lehernya.

“RARA, KAMU DENGAR KAKAK?? RARA, JANGAN TIDUR DULU!!” teriak Gio frustasi, air mata membanjiri wajahnya.

Setidaknya itu yang sempat ia ingat, sebelum pandangannya mengabur dan menggelap.

'My life, still doesn't change right?'