Epiphany

Bachtiar membantu Kinara untuk turun dari mobil ke atas kursi roda yang telah di siapkan oleh Nabil. Dari ruang tengah terdengar keributan yang memancing perhatian Kinara.

“Tapi aku ga maksud kaya gitu pa, aku cuma menyampaikan apa yang kak Arsha bilang ke aku dulu!!” teriak Rila sembari menunjuk Arsha yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Dapat Kinara lihat, paman dan tante nya terlihat pusing dengan hal yang terjadi.

Mama menghampiri Arsha dan menanyakan apa yang tengah terjadi diantara mereka semua.

“Ma, asal mama tau Rila udah provokasi aku sama Kinara dengan bilang kalau Kinara itu anak yang enggak kita inginkan di keluarga ini.” jelas Arsha kemudian. “Iya Arsha tau, Arsha salah karena Arsha memang bilang gitu dulu. Tapi bukan berarti Rila bisa ungkit semuanya di depan Kinara, padahal Kinara sendiri ga tau akan hal itu.”

Kinara terkejut, dirinya tidak menyangka kalau pada akhirnya Arsha benar benar akan jujur seperti itu di depan semuanya.

Wajah Rila merah padam, dan ia berjalan menuju Kinara yang masih terdiam mendengarkan perdebatan keduanya. “Selamanya aja lo kak, diem dan ga ngomong buat menyelesaikan semuanya.”

“Apa yang perlu gue omongin La? Emang itu kewajiban gue menilik yang berbuat salah itu lo.”

“Selalu aja gitu, lo selalu sok suci dan menganggap semuanya bakalan bisa di selesaikan kalau lo diam.”

“Gue ga selalu diam, berapa kali gue selalu bicara tentang apa kesalahan gue di lo. Dan berakhir lo selalu ngatain kalo gue itu caper, sok suci, dan yang lainnya. Sekarang gue tanya deh bener-bener sama lo Rila, dimana salah gue dan apa yang perlu gue benahi buat lo?”

Semuanya terdiam, menunggu Rila menjawab pertanyaan dari Kinara. Bachtiar sendiri sudah berpindah ke sisi Rila, berusaha melerai kemungkinan apa saja yang akan terjadi.

“Dulu gue fikir punya kak Bachtiar di hidup gue itu udah cukup, sampai akhirnya gue tau kalau kecukupan gue ternyata bikin Los iri ya kak.” ujar Rila kemudian, setelah menimbang kalimat apa yang harus ia ucapkan. “Setelah lo punya segalanya disini, lo juga rebut kak Bachtiar dari sisi gue. Emang lo masih kurang dengan keempat saudara lo yang lain? Oh iya, mungkin karena mereka ga peduli sama lo ya makanya lo gatel ke kakak gue.”

Kinara mendadak pening, permasalahan antara dirinya dan Rila menjadi lebar kemana-mana. Bachtiar sendiri sudah berusaha menarik Rila untuk pergi keluar, meninggalkan Kinara yang masih termangu dengan ucapan Rila barusan.

Dengan segera Arzhan mengambil alih dan membawa Kinara untuk kembali ke dalam kamarnya. Arzhan menutup pintu kamar Kinara sebelum dirinya juga membantu Kinara untuk naik ke atas ranjang.

“Kak, sebenernya apa sih yang salah dari gue?” tanya Kinara kemudian.

Arzhan mengacak surai nya bingung. Dirinya bingung dengan hal apa saja yang harus ia jelaskan pada Kinara supaya ia tidak berburuk sangka pada dirinya sendiri.

“Ga ada yang salah dengan tingkah lo Ra. Gue berani jamin akan hal itu. Rila juga masih anak kecil, lo tau kan kalau emosi dia juga belum stabil.” ujar Arzhan kemudian. “Jadi apa yang Rila bilang tadi, gausah lo masukin ke dalam hati. Ga ada siapapun yang di rebut dari sini.” sambungnya lagi.

Kinara mengangguk, dirinya mengelus pelan lutut kaki sebelah kanannya.

Mengerti akan hal itu, Arzhan langsung mengambil tempat duduk di samping Kinara. “Kenapa? Ada yang sakit? Sakitnya gimana? Perlu gue panggil mama?” tanyanya bertubi-tubi, khawatir.

Kinara menggeleng, “Ga begitu sakit kok kak, gue gapapa.”

“Ga begitu sakit, artinya tetap sakit Ra. Aduh pasti lo juga kaget karena pulang rumah ga langsung istirahat malah di suguhi drama kaya tadi. Bentar gue tanya ke mama dulu, ada obat buat pereda nyeri nya nggak.” sahut Arzhan kemudian, dan hendak beranjak dari tempat tidur Kinara.

Dengan cepat Kinara mencekal lengan Arzhan, “Ngapain sih kak, gausah. Mama juga pasti lagi pusing karena liat drama barusan. Mending lo diem disini, dan jagain gue aja.” kata Kinara menenangkan.

Pada akhirnya Arzhan menurut, dan ia kembali duduk. Tangannya ikut mengelus kaki sebelah kanan Kinara dengan lembut.

“Kak, menurut lo harapan tuh kaya gimana?” tanya Kinara kemudian.

“Harapan?” tanya Arzhan balik.

“Iya.”

“Gue percaya kalau harapan tuh ibarat satu lebah yang membuat madu tanpa bunga.”

“Robert Green?”

“Haha, iya. Kalau menurut lo gimana Ra?”

“Kalau menurut gue, harapan itu rumit. Mungkin iya, itu bisa buat lo bertahan untuk sementara. Tapi kalau sesuatu yang lo harapkan nggak pernah terwujud, itu cuma bakal menahan lo untuk menikmati hidup kak.” jawab Kinara kemudian, mengeluarkan isi pikirannya.

Seolah mengerti dengan arah pembicaraan Kinara, Arzhan takut dan mulai memeluk Kinara dari samping. Mungkin ini yang di rasakan oleh Raka kala itu, ketika Kinara sudah tidak percaya lagi pada harapan.

“Tapi Ra, masalahnya sulit buat kita untuk tau kan? Apakah kita sudah terlalu lama berharap, atau terlalu cepat menyerah.”