Finally she knows

Kinara turun dari motor ojek online tadi dengan lemas. Kayanya dia beneran mabuk kendaraan deh.

Dengan langkah perlahan, dirinya membuka gerbang rumah dan masuk dengan hati-hati supaya rasa mual pada perutnya tidak semakin menjadi.

Nabil yang memang sudah berada di rumah sedari tadi, memperhatikan adik bungsu nya yang baru tiba dengan bingung.

“Kenapa lu?” tanya nya penasaran, dan mendekat untuk memastikan kondisi Kinara.

“Mual doang gue kak. Ternyata lo udah balik duluan ya.” ujar Kinara kemudian, dan duduk pada sofa ruang tamu.

Sorry, gue tadi ga buka grup jadi gatau kalo lo mau bareng waktu balik.” kata Nabil meneruskan.

Ganti Kinara yang bingung, “gausah, biasanya juga ga gitu kok.” sahutnya langsung, menghindari canggung.

“Yaudah, lo masih mual?” tanya Nabil kemudian. “Gue ambilin air putih atau lo langsung ke kamar aja?” sambungnya kemudian.

Sebenernya pun kalo ngomong langsung kaya gini, Nabil bukannya galak galak amat. Cuma kalau udah di chat, tingkat nyebelin dia tuh langsung naik beberapa persen dan selalu bikin Kinara geleng geleng kepala.

“Gue langsung ke kamar aja kak. Makasih atas tawaran nya tadi.” ujar Kinara kemudian, dan beranjak meninggalkan Nabil yang masih duduk di sofa ruang tamu.


Belum usai rasa mual pada perut Kinara, di tambah lagi kaki sebelah kanan nya kini ikut nyeri kembali.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya bilang pada Acel, Eja, dan Gale kalau kakinya sudah lebih baik setelah di pijat. Tapi sejak tadi pagi, rasa nyeri pada kaki nya sudah kembali lagi, dan rasa yang di hasilnya jauh lebih sakit dari kali pertama rasa itu muncul.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dirinya masih belum mendengar suara kepulangan dari kedua orang tuanya dan tiga saudaranya yang lain.

Kinara teringat, bahwa minyak kayu putih yang biasanya ia gunakan ketika kakinya sakit dahulu berada di lantai atas, kamar mama nya. Karena beberapa hari yang lalu, mama meminjam nya untuk mengobati rasa migrain.

Enggan untuk meminta bantuan pada Nabil, pada akhirnya Kinara terpaksa untuk berjalan dengan tertatih guna mengambil minyak tersebut pada kamar mama.

Kinara udah mau nyerah, waktu dia liat banyaknya anak tangga yang akan dirinya tempuh sehabis ini. Tapi demi kenyamanan kaki nya, ia akan memaksa keadaan ini untuk terjadi.

“Gampang, nanti tiduran aja di kamar mama. Atau kalau emang ada kemungkinan, kita menggelindingkan diri aja ke anak tangga biar sampe lantai satu lagi.” gumam nya menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, dan di barengi oleh istirahat dua puluh detik tiap satu tanjakan anak tangga. Kinara berhasil sampai dengan selamat di depan pintu kamar mama.

Kinara mau nangis aja, biasanya buat menempuh dari lantai satu ke lantai dua ga lebih dari dua puluh detik baginya untuk naik. Tapi sekarang, hampir setengah jam ia baru sampai ke lantai dua.

Satu hal yang langsung Kinara tuju, begitu ia sampai di dalam kamar mama adalah ranjang big size yang terlihat empuk di mata nya.

Setelah puas berbaring, mengistirahatkan diri dan juga kaki nya yang masih luar biasa nyeri, akhirnya Kinara mulai beranjak pada meja rias mama nya yang mungkin menjadi tempat mama nya menyimpan minyak kayu putih yang saat ini ia butuhkan.

Belum sampai pada meja rias, atensi Kinara teralihkan oleh satu map tali berwarna coklat, yang bertuliskan dengan jelas nama lengkap nya.

Kinara Senja Lembayung Jingga

Di lengkapi oleh cap rumah sakit yang memang ia datangi bersama mama, Kinara yakin itu adalah hasil tes nya beberapa hari terakhir yang memang tidak pernah mama niatkan untuk di tunjukkan pada Kinara.

Ragu, Kinara membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati. Mengabaikan rasa nyeri pada kaki nya, kali ini ia lebih penasaran dengan isi amplop itu.

Osteosarcoma

Kata yang begitu asing pada benaknya. Kinara segera membaca beberapa penggal kalimat selanjutnya yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kinara tertawa miris, “Osteosarcoma, bone cancer, astaga Kinara. Ayo kuatkan ragamu, semesta mulai berlebihan saat bercanda.”