I will never forget you
Semua sudah berkumpul disini, Mama, Papa, bahkan saudara nya lengkap bersembilan berada disini. Tetapi masih ada yang kurang di mata Delvin.
“Nada dimana?” tanya nya polos.
Mama memeluk Papa dengan tabah, dirinya ikut terpukul dengan hal yang harus di lewati oleh Delvin dan juga Nada.
“Kakak,” ucap Papa pelan mencoba mengatur intonasi. “Udah ya, jangan gini terus. Terakhir kamu ngotot mau nyari Nada, justru kamu yang hilang karena masuk jurang.” sambungnya menjelaskan dengan perlahan.
Air muka Delvin langsung berubah. Otak nya langsung berfikir keras, mengumpulkan kepingan kepingan memori yang hilang.
Seingatnya, dirinya baru dua hari ada di rumah sakit. Itupun karena tonjokan Yudha pada pipi kirinya. Jelas itu bukan mimpi, karena pipi kirinya masih terasa nyeri.
Tapi apa yang di ucapkan oleh Papa nya tadi, kembali membuat Delvin termangu bingung. Dia masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi.
“Hari ke tujuh Nada menghilang, lo ngotot ikut Tim SAR buat nyariin Nada di kawah Ijen.” ucap Candra ikut menjelaskan, dirinya wajib membuat salah satu adiknya ini paham dengan hal yang telah terjadi. “Dan hari itu juga, lo sempet di nyatakan hilang ketika ikut penyisiran di Gunung Ranti. Lo baru ketemu setelah empat belas jam terpisah dari Tim SAR, dan kondisi lo ga baik-baik aja.” sambung Candra lagi menatap Delvin prihatin.
“Lo ga sadar, sampai di bawa ke Malang dan akhirnya di rawat jalan di rumah sakit. Sementara pencarian Nada masih terus di lakukan.” sahut Yudha di samping nya.
“Baru kemaren Del, di hari yang ke sepuluh. Nada di temukan di jurang ke dalaman 500m. Kemungkinan karena dia sempet menginjak tanah yang rapuh.” jelas Tiyo juga agak tersendat. Papa di sampingnya sudah mengeluarkan air mata.
“APA APAAN ANJING?! ORANG BARUSAN AJA GUE SEMPET KE TAMAN SAMA NADA!!” teriak Delvin histeris, otaknya mencoba untuk tak percaya dengan hal yang baru saja di katakan oleh saudaranya yang lain.
“Del, udah kasian Nada. Kasian Papa, kasian Mama.” kata Jonathan mencoba melerai Delvin yang tengah mengamuk. “Jasad Nada udah di semayamkan Del, kemarin Mama kandung nya Nada juga sempet kesini, buat ikut prosesi pemakaman nya.” sambungnya lagi parau, Jonathan benar-benar terpukul melihat betapa kacau nya kondisi Delvin saat ini.
“KALIAN LANGSUNG KUBUR?! GAK KALIAN OTOPSI DULU?! BENER NGGAK ITU NADA, BENER NGGAK ITU DNA NYA NADA!!” teriak Delvin lagi, masih mengamuk. Papa yang di sampingnya hanya mengelus lengan Delvin perlahan, mencoba menguatkannya.
Haikal yang berada di belakang Arwena, tangannya merasa gatal ingin memukul kepala Delvin. Teriak-teriak mulu soalnya, kupingnya Haikal kan jadi sakit. Apalagi disini yang berduka tuh bukan Delvin doang.
BUGH!!
Hermas maju ke depan, dan memukul kepala Delvin gemas. “Respek dikit dong, yang berduka bukan lo doang. Lo ga ada hak buat memojokkan Papa dan bilang seolah olah otopsi Nada itu patut di benarkan. Bahkan pagi ini aja, udah ada media yang terbitin artikel soal jasad Nada yang udah di temukan tanpa minta izin ke kita dulu. Lo harus ngerti juga, gimana keadaannya Papa.” ucap Hermas jadi ikut marah-marah. Delvin begitu menguji kesabarannya.
Delvin termangu, air mata masih keluar deras dari kedua bola matanya. Dirinya menatap Papa dengan sendu, “maafin Delvin ya Pa, Delvin gagal jaga Nada.” ucap nya kemudian, dan mengulurkan tangannya.
Papa menyambut uluran tangan Delvin, dan memeluk nya dengan tegar. “Semuanya udah hilang, tapi tidak dengan kenangannya Delvin. Papa juga berterima kasih, kamu sudah menyayangi Nada dengan tulus selama ini.”
Delvin dan yang lainnya tidak percaya, kalau pada akhirnya mereka akan menginjakkan kaki di tempat seperti ini untuk menemui Nada.
Tampak dari kejauhan, tempat Nada sekarang yang masih di penuhi oleh kelopak bunga juga tanahnya yang masih basah karena baru di gali belum lama ini.
“Del, gapapa?” tanya Tiyo mencengkram lengan Delvin yang tampak kepayahan.
Delvin hanya terdiam, tanpa ada niat untuk menjawab pertanyaan Tiyo. Kondisi hatinya saat ini sangat kacau. Dirinya masih belum siap menerima kepergian Nada, bahkan dia tidak melihat Nada di saat terakhir sebelum di makam kan.
“Bang, mau gue gendong aja?” tanya Jeffrey mencoba mencairkan suasana, berharap mendapatkan perhatian dari Delvin.
Jonathan dari samping melihatnya sinis. Jeffery benar-benar tidak tahu bagaimana mencari topik di waktu yang tepat. Ingin rasanya Jonathan mengubur Jeffery hidup-hidup disini.
Sampai di tempat peristirahatan Nada yang terakhir, Delvin hanya bisa tertunduk menangis. “Makasih Nad, lo udah sempet mampir di mimpi gue dan pesen ke gue kalo lo baik-baik aja.” kata Delvin parau, dadanya sesak karena dirinya terlalu banyak menangis dari kemarin. “Gue kira lo bakalan balik, tapi kepergian selamanya itu ada. Makasih udah mampir di hidup gue dan bikin hidup gue jadi lebih berarti.” sambungnya lagi dan mengusap nisan yang bertuliskan Nada Caroline itu lembut.
Haikal menatap pemandangan di depannya itu dengan sendu. Tiba-tiba dia teringat percakapannya dengan Nada, sewaktu Nada mengajaknya untuk ke Gramedia.
“Lo tau, gue paling suka sama tulisannya kak Tenderlova.” ucap Nada dengan antusias.
“Halah, lo kalo novel pasti ga jauh-jauh dari novel roman Picisan gitu deh kayanya.” jawab Haikal mencibir.
“Bukan anjirr!” ucap Nada menyela, “ini tuh novel keluarga gitu. Judulnya Tulisan Sastra, sad ending sih tapi banyak hal yang bisa gue petik dari karya nya kak Tenderlova itu.” jelas Nada lagi.
“Apaan tuh?”
“Yang pergi biar lah pergi, yang masih tinggal seharusnya dijaga. Kalau nggak ada yang abadi di dalam bahagia, berarti ga ada abadi juga dalam sedih.” ucapnya sembari tersenyum dan mengacak surai Haikal lembut.
Haikal tersenyum sedih mengingat hal itu. Akhirnya kepergian mereka di temani oleh awan gelap yang membawa gerimis. Haikal kembali melirik makam Nada, terlihat menonjol diantara bunga krisan putih yang menghiasi makamnya. Ada sebuket bunga Anyelir merah yang tertata rapi disana.
“Itu pasti bunga dari Anan.... “