Jeffery dan Keraguan

Haikal dan Hermas memasuki rumah dengan langkah gontai. Gatau gimana jadinya ni dua anak kalau ga di anterin pulang sama Aldeo.

“Woi kembar,” sapa Jerome dari dapur sembari membawa air minum. “Kenapa dah? Kok muka lu berdua kusut bener.” sambungnya lagi.

Keduanya memilih untuk tidak menjawab ucapan Jerome, dan terduduk di sofa depan televisi.

Merasa ada yang aneh dengan kedua adiknya, Jerome menghampiri Hermas dan Haikal. “Kenapa sih?” tanya nya lagi belum puas.

Di samping itu, Jeffery yang baru saja pulang dari kampus ikut duduk dan bersandar pada sofa bergabung dengan Hermas dan Haikal.

“Cape banget gue hari ini buset, mana bentar lagi ada acara ulang tahun kampus lagi.” keluh Jeffrey, dan meminta gelas air yang sedari tadi tengah di pegang Jerome.

Jerome menyerahkan gelas air nya, dan kemudian ikut bergabung duduk di samping Haikal.

“Ini si kembar bontot kenapa lagi?” tanya Jeffery ikut bingung, karena ga biasanya Haikal yang selalu jadi reog jadi ikut diem kaya Hermas yang ada di sampingnya.

“Gue udah tanyain tadi, tapi gamau jawab ni dua anak.” ujar Jerome mengadu.

“Masalah cewe?” tanya Jeffery langsung, “bukan ya? Apa dong terus?? Cape sama tugas kuliah?” sambung Jeffery lagi masih terus memeberikan beragam pertanyaan.

“Nada ya?” tanya Jerome tiba-tiba, membuat Jeffery kembali mengatupkan mulutnya.

Haikal dan Hermas menoleh dengan sekilas ke arah Jerome, dan kembali berfokus pada layar hitam televisi.

Jeffery menggelengkan kepalanya, “jadi beneran karena Nada?” ujarnya lagi bertanya. “Kenapa? Kalian kangen? Kan belom ada sebulan kita baru aja ke rumah Nada.” sambung Jeffery lebih pelan, dan mengacak rambut Hermas.

“Lo kangen sama Nada ga sih bang?” tanya Haikal membuka suara.

Jeffery melengos, ia tertawa kecil. “Kangen sih ya kangen aja Kal. Tapi gue fikir lagi, percuma gue kangen, itu juga ga bikin Nada hidup lagi.”

“Maksud lo ngomong gitu apaan Jeff?” sahut Yudha yang juga baru pulang dari kampus.

Jeffery menolehkan kepalanya, “ya bener kan? Lo kalau nanya gue kangen sama Nada ya gue jawab gue emang kangen. Tapi di lubuk hati gue, gue merasa kangen sama Nada itu sia-sia. Karena seberapapun besar rasa kangen gue ke Nada, dia juga ga bakalan hidup lagi.” Ungkap Jeffery langsung.

“Kenapa kesannya lo ngomong kaya gitu buat ngejek kita semua yang selalu kangen sama Nada?” ujar Yudha lagi dan membuang tas nya di atas sofa.

“Ya sebenernya niat awal gue ga mengejek sih, tapi kalo lu semua sadar dan merasa tersindir yaudah bagus deh.”

“Lo kenapa sih bangsat? Ngajakin gue ribut atau gimana?!”

“Bang santai bang,” lerai Jerome memegang lengan Yudha yang sudah siap untuk memukul Jeffery.

“Jeff, lo berubah banyak. Kalau menurut lo rasa rindu ke Nada adalah hal yang sia-sia dan ga bisa buat Nada hidup lagi, tolong simpan hal itu untuk diri lo sendiri. Lo gatau gimana struggle nya keluarga lo yang lain dalam melupakan dan mengikhlaskan Nada di ingatan mereka. Karena tahapan paling menyakitkan dalam hidup itu ketika lo kehilangan orang yang lo sayang.” ucap Yudha panjang lebar.

“Gue cape Jeff, banyak yang bilang dari kehilangan kita bisa belajar tentang cara mengikhlaskan dan menjadi lebih tegar kedepannya. Tapi di mata gue, lo bahkan ga perlu repot untuk merasakan dua hal tersebut.”

Jeffery bergerak mencekal kerah Yudha dengan kasar.

“LO SELALU GA PERNAH BERUSAHA PAHAM SAMA GUE, DAN SELALU KECEWA SAMA GUE ANJING!! Asal lo tau, dengan gue menghindari dan berusaha melupakan Nada, gue baru bisa menjalani hidup bang. Tolong jangan menilai usaha gue untuk hal itu dengan sebelah mata. Karena itu adalah cara gue buat bertahan hidup.”

Jeffery mendorong Yudha kebelakang dengan kasar, dan berlalu menuju kamarnya.


“Lo ga mau ceritain hal ini ke yang lainnya?” tanya Haikal pada Hermas yang tidur di sampingnya.

Gatau gimana ceritanya, tapi pada akhirnya Haikal ngikutin Hermas sampai ke kamarnya dan ikut tidur disana. Emang ni anak dua kalau ada masalah ga bisa di pisahkan.

Hermas membuka matanya perlahan, “gue gatau, banyak hal yang terjadi hari ini. Gue cuma ga mau membebani fikiran yang lain.” ujar Hermas menjawab pertanyaan Haikal.

“Lo kaget ga sih Her? Jujur aja, gue merasa Keira yang di depan gue tadi itu ya Nada.”

“Gue juga, cuma gue gatau dan lidah gue beneran kelu buat sekedar sebut nama Nada saat itu.”

“Kalau beneran kesebut, kira-kira si Keira ini bakalan tersinggung gak ya?”

“Gatau, bukan urusan gue.”

Haikal memutar bola matanya malas mendengar penuturan Hermas. Ingatannya kembali melayang pada sore tadi, ketika ia bertemu Keira untuk pertama kali.

“Kal, lo percaya ga sih kalau sebenernya Nada itu masih ada?” tanya Hermas tiba-tiba.

Haikal menolehkan kepalanya tidak mengerti, “gue udah bilang berkali kali, jangan nonton The Penthouse sama Dinan. Otak lo jadi penuh teori konspirasi kaya gini kan.” keluh Haikal kemudian.

Hermas menggeleng, “Gue masih ingat jasad Nada saat itu. Jasadnya jadi hijau, karena udah lewat sepuluh hari baru di temukan. Walaupun jasad ga bisa di identifikasi, karena beberapa luka yang ada di area atas badan, gimana bisa nyokapnya Nada bilang kalau itu emang jasad Nada tanpa harus repot otopsi dulu buat memperjelas informasi?” tanya Hermas balik, bingung.

“Bukannya udah jelas? Karena itu Nada, anak dia. Ga mungkin orang tua kandung kita sendiri, ga mengenali kita. Bahkan gue 100% yakin, mama nyentuh tangan kita tanpa repot ngelihat siapa yang nyentuh juga bakalan tau kalo itu siapa.” jelas Haikal memotong rasa ragu pada hati Hermas.

“Udahlah, tidur aja ayo. Besok lo ada kelas pagi kan?” putus Haikal kemudian, dan berjalan mematikan lampu kamar.