Manja
Alif memijat leher bagian belakang Via dengan perlahan. Dirinya langsung meninggalkan pekerjaan yang sedari tadi di lakukan nya di laptop, segera setelah mendengar suara Via muntah dari dalam kamar mandi.
“Masih mual sayang?” tanya Alif khawatir. Usia kandungan Via kini telah menginjak delapan bulan. Mual dan muntah yang di rasakan nya memang sedikit berkurang daripada trisemester kehamilan pertamanya dulu, tetapi bukan berarti itu sepenuhnya menghilang.
“Gatau, masih mual banget.” ucap Via mengadu.
“Kamu udah minum vitamin yang aku kasih kan?” tanya Alif dengan serius, mencoba memastikan.
Mata Via menyalang marah, “Gimana bisa aku ngelewatin minum vitamin, disaat semuanya kamu yang jadi koordinator. Mulai dari aku makan, minum, minum vitamin, kontrol dokter.” ucap Via dengan nada kesal.
Kini Via sudah mulai melunak pada Alif, dan dirinya sudah mulai menerima Alif sebagai suaminya. “Iya iya, aku salah. Maaf jangan marah-marah, nanti kamu tambah sakit.” ucap Alif menyesal dan mengelus dahi Via yang dingin dengan lembut.
“Alif?? Alif!” teriak Via mencari Alif ke seluruh penjuru rumah. “Kemana sih? Bukannya on time waktu di panggil. Padahal liat istri lagi hamil.” gerutunya lagi.
Sejak hamil tua, Via sudah sangat jarang untuk melakukan hal-hal berat di rumah. Bahkan untuk pekerjaan dasar seperti memasak, mencuci, dan yang lainnya Alif lah yang melakukannya.
Kemudian Via juga telah keluar dari pekerjaannya begitu dirinya menginjak enam bulan usia kehamilan. Bukan karena dirinya tidak sanggup atau apapun itu, tetapi karena bujukan dari kedua orang tuanya dan orang tua Alif. Apalagi Via mengandung anak kembar, yang pasti semakin menyulitkan dirinya untuk melakukan aktivitas.
“Assalamu'alaikum.” ucap Alif membuka pintu depan. Pandangan Via langsung tertuju ke arah sana. “Loh kok kamu sudah bangun sayang?” tanya Alif kebingungan, karena dia meninggalkan Via dalam kondisi tertidur, belum ada tiga puluh menit untuk membeli sesuatu di Indoapril terdekat.
“Kamu abis dari mana? Aku nyariin.” ucap Via dengan nada jengkel, sembari menghampiri Alif yang menenteng dua kantong plastik berisi belanjaannya.
Via memang sudah lunak terhadap Alif, dan juga menerima Alif dengan ikhlas sebagai suaminya. Tetapi bukan berarti sifat dirinya yang keras kepala dan selalu ingin menang dari Alif bisa di hindarkan.
Via masih sering marah-marah terhadap Alif, bahkan untuk hal-hal sepele yang mereka lalui tiap hari. Mulai dari handuk yang tidak di gantungkan di tempatnya, bekas kopi Alif di meja karena tidak memakai piringan, atau hal sepele seperti Alif yang lupa mengatur ulang sandal rumah Via setelah ia gunakan.
Bukan Alif tidak tahu, tapi dia lebih memilih menghindari hal itu dan menerima apapun makian yang keluar dari mulut Via. Karena dia tidak mau bertengkar dalam jangka waktu lama dengan Via, dan juga dirinya tulus serta mencintai Via dengan sepenuh hati.
“Maaf sayang, aku tadi abis belanja keperluan bulanan. Ini sudah bulan terakhir usia kandungan kamu, aku harus stok beberapa barang supaya aku nggak perlu ninggalin kamu di waktu-waktu genting nanti.” ucap Alif menjelaskan secara perlahan, dan mengelus lengan Via dengan lembut. “Kamu mau apa? Aku tata barang dulu ya di dapur, kamu tunggu di kamar aja.” sambung Alif lagi.
“Peluk.” ucap Via singkat.
“Hah, gimana??”
“Aku mau peluk Alif, aku kebangun karena anak kamu gerak terus ga ada yang meluk dari belakang!”
Yaa, mungkin Alif masih sedikit kurang siap untuk segala kemanjaan Via di kehamilan kali ini.