O2SN
Keira mengajak Jisel untuk bergabung bersama keluarganya dalam rangka mendukung Keenan yang saat ini tengah mengikuti Olimpiade Olahraga cabang Karate.
Kak Adit sendiri yang jemput mereka berdua tadi, dan sekalian si Jisel bilang pengen kenalan sama keluarganya si Keira.
Keira juga dengan senang hati memperkenalkan keluarga dia sama Jisel. Mau gimanapun Jisel itu anak perantauan, dia ga mau kalau sampai sahabatnya itu kesepian saat menuntut ilmu sendirian di sini. Maka dari itu, sebisa mungkin Keira ingin membuat Jisel merasa nyaman dalam kondisi apapun.
“Rame banget buset.” keluh Jisel, begitu mereka sampai di gedung olahraga banyak orang yang juga berada di sana untuk menonton pertandingan hari ini.
“Gapapa Sel?” tanya Adit memperhatikan Jisel yang melirik sekitarnya dengan tidak nyaman.
“Ga masalah sih gue kak sebenernya, cuma ya gitu, pusing aja bisa seramai ini.” jelas Jisel tak ingin membuat adik dan kakak itu khawatir lebih lanjut.
“Ayah, mas Bima, sama mbak Tiara dimana sih kak?” tanya Keira begitu menyadari, mereka bertiga sedari tadi hanya melewati bangku penonton yang kosong.
“Di podium sebelah Ra, tadi kita salah masuk.” jelas Adit, dan memegang tangan Keira untuk terus membuntuti nya.
“Terus kita mau jalan muter ke sana?” tanya Keira bingung, sumpah kalau boleh dia ga akan mau untuk muter sampai ke podium sebelah. Karena dia udah cape banget dari tadi naik tangga buat ke kursi podium atas.
“Enggak kok, ini kakak ajak kalian berdua gabung di tempat temennya kakak. Biar ga jalan kelamaan juga, kalian pasti capek.” jelas Adit lagi sembari tersenyum menenangkan.
Kalau ga ada banyak orang, rasanya Keira udah mau lari dan memeluk punggung kakaknya itu dari belakang. So sweet banget dah jadi cowo!
Binbin udah berasa kaya guru taman kanak-kanak, karena saat ini dia sama Dinan lagi sibuk banget mengkondisikan teman temannya yang pada heboh mau dukung Yohan.
Sebenernya ini masih jam empat sore, sedangkan pertandingan Yohan sendiri baru di mulai jam enam nanti. Tapi atas usul Haikal, mereka berangkat lebih awal supaya mudah dalam mencari tempat nonton yang strategis.
“Heh, ayolah rek. Kok koyok bocah cilik kabeh. Mbok yo seng penak lek di atur!” keluh Binbin, karena sedari tadi teman teman nya ribut melulu soal posisi kursi. (Heh, ayolah guys. Kok kaya anak kecil semua. Ayo dong, yang enak kalau di atur.)
Pokoknya ribet banget, si Javin yang gamau ada di samping anak tangga. Gatau kenapa anaknya gamau, padahal si Dinan sengaja naroh dia disitu, karena badannya kekar dan berotot guna menutupi orang lain yang ingin masuk ke tempat duduk mereka.
Terus si Haikal yang ga mau duduk sampingan sama Ren, ini juga ulahnya si Kayla yang mohon ke Binbin tadi lewat chat supaya kedua anak itu di sandingkan.
Abis itu si Adelio yang ga mau di pisah buat duduk sama Anan, gatau kenapa ini anaknya nempel si Anan terus kaya pasangan homo.
Belum lagi si Hermas yang lebih memilih duduk menjauh dari kawanan temannya, karena ga mau ikutan sibuk ngeliatin temen temennya susah di atur.
Dinan sama Binbin udah mau nangis aja, karena si Hardin beneran ga bisa dateng buat nontonin pertandingan Yohan. Dan Hardin sendiri udah nitip pesan buat ngatur anak-anak di gedung olahraga supaya ga ricuh. Karena anaknya bilang hari ini ada rapat management, yang wajib dia datangi untuk membuka cabang cafe di daerah lain.
Akhirnya setelah perdebatan panjang, mereka semua bisa duduk rapi di bangku masing masing.
Ini urutan mereka duduk,
Anan hanya bisa tersenyum dan menepuk pundak Dinan lembut, dia tau kalau temannya ini udah berusaha keras dan memang wajib di berikan apresiasi.
Tatapan Anan kembali ke arah depan, dirinya kembali menonton pertandingan karate antar SMA itu dengan fokus.
“Masih sabuk hijau ya.” gumam Anan pelan.
“Iya, gue jadi keinget, dulu Nada juga masih sabuk hijau waktu dia cerita soal karate nya.” sahut Aldeo dari samping, ternyata ia mendengar ucapan Anan.
Anan menolehkan kepalanya, ia tersenyum karena Aldeo juga masih mengingat hal kecil tentang Nada, sama sepertinya.
“Kenapa lo ga ikut tanding kaya Yohan?” tanya Anan kemudian.
Aldeo menggelengkan kepalanya, “gue fikir lagi, mungkin karate emang bukan passion gue.” Jawab Aldeo kemudian. “Karena gue ikut karate senang doang waktu di puji, actually gue ga benar benar menikmati progressnya kaya gimana, beda sama Yohan.” jelas Aldeo panjang lebar.
“Terus apa menurut lo, sekarang lo menikmati ketika mengajar anak anak latihan karate?” tanya Anan lagi, ia tau kalau sekarang Aldeo telah menjadi senpai di salah satu dojo terbesar di kota Malang.
Aldeo menganggukkan kepalanya dengan semangat, “gue bahagia waktu liat anak anak kecil antusias belajar karate Nan, gue merasa lubang di hati gue setelah gue memutuskan keluar dari aksi lapangan karate mulai tertutupi satu persatu ketika gue ngajar mereka.” sahut Aldeo mantab.
Anan memandang Aldeo iri, Aldeo dengan mudah menentukan apa hal yang menjadi bahagianya dalam hidup.
Seolah mengerti, Aldeo menepuk pundak Anan pelan. “Semua ada waktunya Anan. Gue juga butuh waktu lama buat melepaskan kenyataan bahwa gue emang ga cocok lagi di dunia karate sama seperti Yohan.” ucap Aldeo mencoba membaca raut wajah Anan. “Gue ngerti, selama ini lo juga sedang dalam proses melupakan Nada kan? Gue tau, lo juga ga benar benar berusaha buat ngelupain Nada. Lo sahabat gue, dan gue menghormati apapun hal yang menjadi keputusan lo selama ini. Gue ga akan ikut campur lebih dalam soal urusan hati lo, dan mendiang Nada. Tapi ada satu hal yang perlu lo ingat Anan, mencintai orang yang sudah tiada itu adalah jalan melukai diri sendiri yang paling pahit.“