Photo Album (2)
Haikal akhirnya sampai di apartemen Adelio. Gatau ni anak naik mobil dalam kecepatan berapa, perasaan belum ada setengah jam udah nyampe aja.
“Gila, tadi gue berasa pake jalan pribadi anjir.” ucapnya tergesa, dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.
“Kenapa?” tanya Adelio menanggapi.
“Sepi bener.”
Kemudian Hermas beranjak dari tempat duduknya, untuk mengambil tas nya yang ada di dalam kamar Adelio. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk dirinya menyerahkan photo album Nada pada Anan.
“Lo tadi langsung cabut dari cafe kesini?” tanya Anan berbasa-basi.
“Abis gue selesai makan, gue langsung cabut dari sana.” ucap Haikal jujur, dan duduk di bawah kaki Adelio.
“Lo ga pulang dulu?” tanya Hermas keluar membawa photo album di tangannya, “berarti lo belom tau soal ini ya? Nih Nan, dari Bang Jo buat lo.” sambungnya dan menyerahkan photo album di tangan Anan.
Anan melihat Hermas dengan heran. “Photo album siapa?” tanyanya.
Hermas mengedikkan bahu tidak peduli, seolah menyuruh Anan untuk membuka dan melihatnya sendiri.
Haikal sudah tau, kalau mungkin itu adalah photo album Nada. Sedangkan Adelio yang berada di samping Anan ikut penasaran.
Anan membuka halaman pertama, terlihat dengan jelas foto Nada yang sudah di cetak ada di sana.
Adelio menolehkan kepalanya dengan terkejut, berusaha mengetahui apa yang kini Anan rasakan setelah melihat photo Nada disana.
Dengan sedikit gemetar, Anan membalik halaman seterusnya dan mulai melihat semua foto yang telah di cetak di album dengan seksama.
Hermas hanya memandangi Anan dalam diam, dirinya sudah cukup lelah bila berurusan dengan masa lalu dan Nada. Sudah banyak hal menyakitkan terjadi hanya karena mengenang sosok Nada.
“Anan, are you okay?” Kata Adelio khawatir, karena Anan hanya terdiam sedari tadi.
Langkah Adelio untuk bertanya ternyata salah, karena tak lama dari itu air mata mulai turun dan menetes ke arah album.
Bahkan Haikal yang selalu berfikir hal positif pun tidak menyangka, bahwa seorang Anan bisa meneteskan air matanya hanya karena melihat photo album yang penuh potret Nada.
Haikal berdiri dengan tergopoh, dan mulai memeluk tubuh Anan yang rapuh. “Aduh jangan nangis dong Nan, gue ga punya permen.” ucapnya sedikit melucu, mencoba meredakan kesedihan yang ada di hati sahabatnya itu.
Adelio menatap Anan prihatin, dan ikut memeluk tubuh Anan dari samping. Baru kali ini dirinya melihat sosok Anan menangis, dan rasanya itu jauh lebih menyakitkan daripada ketika dirinya sendiri menangis.
“Sakit ya Nan?” kata Adelio bertanya, “I'm sorry, such stupid question. Pasti sangking banyaknya, lo sampe gatau yang mana yang paling menyakitkan.” sambungnya lagi dengan suara parau.
Kehilangan Nada benar benar membuat hidup semua orang yang mengenalnya ikut berubah. Adelio merasa kehilangan, jujur saja rasa kehilangan itu ada dan besar. Tetapi setelah dirinya melihat keadaan Anan, rasa kehilangannya itu tidak ada bandingnya daripada yang di miliki oleh Anan.
Hermas dan Haikal sampai di rumah dengan bersama. Kenapa? Ternyata mobilnya Haikal di tinggalin di apartement nya Adelio. Hari ini dia cape banget, dan lebih memilih untuk balik bareng Hermas aja.
Delvin berada di ruang tamu dengan tangan yang sibuk memegang dokumen pasien. Dirinya tidak sadar bahwa kedua adik kembarnya itu telah pulang.
“Serius banget Bang?” tanya Haikal menginterupsi fokus Delvin.
“Dari mana?” tanya Delvin balik bertanya, tanpa ingin menjawab pertanyaan Haikal tadi.
Haikal mengambil tempat duduk di samping Delvin. “Dari apartment nya Adelio.” jawabnya singkat, dan mulai menonton kegiatan Delvin.
“Ngapain?” tanyanya lagi, tanpa menoleh ke arah Haikal. Buset, dari gayanya udah kaya dokter beneran dah ni Delvin.
“Ga ada, main doang.” jawab Haikal lagi, “lo tuh perasaan kerja mulu, tanggal merah juga lo terobos. Baru magang aja kaya gini, apalagi kalo udah jadi dokter beneran Bang?” protes Haikal setelah melihat warna yang cukup gelap di bawah kantung mata Delvin.
“Jadi dokter ga ada libur nya Kal, soalnya orang kalau udah sakit juga ga ada jadwal tentu nya.” jawab Delvin se rasional mungkin, supaya jawabannya bisa di terima oleh Haikal yang emang cerewet banget.
Haikal menganggukkan kepalanya setuju, “tapi lo keren banget sih Bang, gue denger denger dari Bang Satria, katanya lo sering menangani pasien yang punya kasus complicated. Padahal lo masih magang.” Sahut Haikal lagi, memuji Delvin.
Delvin menolehkan kepalanya ke arah Haikal, mencoba melihat apa yang di inginkan oleh adiknya satu ini. Ga biasanya dia membicarakan hal ga penting, cuma untuk sekedar menyanjung hati orang lain.
“Kebetulan doang.” jawab Delvin singkat.
Haikal geregetan, kenapa dah ni kakaknya satu lempeng bener. “Appreciate diri lo sendiri dikit kek, padahal lo tuh udah jadi salah satu penyelamat dunia. Kenapa ga semangat banget jadi orang.” Cibirnya kesal.
Delvin melepas kacamatanya dengan asal, dan melempar dokumen pasien ke meja. Badannya cukup kaku karena sedari tadi fokusnya hanya tersita untuk memeriksa dokumen.
“Lo sebenernya mau ngomong apa sih?” tanya Delvin to the point, karena Haikal hanya berbicara berputar putar sedari tadi.
“Ya ga ada?? Gue serius yang bilang lo itu udah jadi salah satu orang yang menyelamatkan dunia dengan jadi dokter. Masa memuji lo kaya gitu, di kira mau ada apanya sih? Gue ga se pamrih itu kali.” ucap Haikal panjang lebar, menjelaskan maksud perkataannya tadi.
Delvin tersenyum kecil, dan mulai menyilangkan kedua tangannya di atas meja.
“Sekarang coba gue tanya, apa gunanya kalo gue berhasil menyelamatkan dunia?” Kata Delvin penuh penekanan. “Sedangkan gue gagal buat menyelamatkan dunia gue sendiri.”