Puncak Mahameru

Adelio ikut duduk bersama Hansa yang menatap Anan dan Nada yang tengah asyik bercanda dari kejauhan.

“Gamon?” Tanya Adelio singkat.

Hansa yang kaget dengan kedatangan Adelio tiba-tiba, langsung mengelus dada nya. “Gamon apaan dah, jadian aja belum.”

“Ohh, gue gamon soalnya.” Ujar Adelio menanggapi Hansa.

Hansa menatap Adelio dengan bingung, ga mungkin Anan kan? Karena setahu dia Nada adalah saudara nya. “Lo pernah ngehomo sama Anan? Sekarang gamon? Gitu kah?”

Adelio tertawa terpingkal, “bukan Anan anjir, gila lu.” Ujar nya setelah tawa nya mereda.

“Terus sama siapa? Hah? Masa sih? Nada?” Tanya Hansa bertubi-tubi, tidak percaya.

Adelio mengangguk, “gue sama Nada kan saudara tiri Del. Dulu sebelum nyokap Nada dan bokap gue nikah, kita pacaran tau semasa SMP. Tiga tahun full, sebelum Nada pindah ke Malang.” Jelas Adelio kemudian, mengundang tatapan simpati dari Hansa.

“Gamon nya sampe sekarang? Udah berapa tahun Del?” Tanya Hansa langsung.

Adelio berfikir sejenak, mencoba menghitung. “Gatau, udah ada tujuh tahun kali ya.” Jawabnya tanpa beban.

Hansa menghela nafasnya berat, dia ga menyangka kalau orang yang duduk di sampingnya ini menanggung beban yang lebih berat dari dirinya.

“Tapi kayanya lo pinter banget ya nyembunyiin hal itu, lo bahkan dukung hubungan Anan dan Nada sampai sekarang.” Ucap Hansa memberikan apresiasi.

Adelio tersenyum tipis, “Sa, kadang lo harus tau, daun yang jatuh dari ranting pun, ga pernah membenci angin. Sama kaya gue, Anan bagi gue dia terlalu sempurna sampai gue rasa ga ada celah bagi gue buat benci hubungan dia dan Nada.” Jelas Adelio panjang lebar.


Pagi menyapa, sudah waktunya bagi rombongan Nada untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan selanjutnya mereka langsung dihadapkan dengan sebuah tanjakan yang bernama tanjakan cinta, intinya di tanjakan cinta ini tuh terdapat suatu anggapan bahwa ketika kita melewati tanjakan tersebut dengan menyebutkan atau memikirkan nama orang yang kita cintai tanpa melihat kebelakang, maka hubungan cinta tersebut dipercaya akan abadi untuk selama – lamanya.

Nada pengen nyobain hal itu, tapi kali ini dia ga bisa liat Anan di belakangnya atau mitos tentang melihat kebelakang akan membuat hubungan retak bakalan terjadi.

Ya mau gimana yah, orang gapake mitos gituan aja hubungan dia sama Anan udah mau udahan, apalagi di tambah mitos itu tadi.

Belum cukup rasa takjub Nada, begitu mereka sampai di atasnya Nada dapat melihat keindahan Ranu Kumbolo dari ketinggian dan melihat luasnya savana yang bernama Oro-Oro Ombo.

Dan Nada makin bersyukur karena mereka melakukan pendakian di bulan yang pas. Jadi mereka semua bisa menikmati rimbunan tanaman berwarna ungu yang mirip dengan bunga lavender.

![]()

Nah ga jauh dari track oro-oro ombo tadi, mereka sampai di Cemoro kandang. Adelio menjelaskan, kenapa di namakan Cemoro Kandang, karena sisi kiri dan kanan track yang di penuhi oleh pohon cemara lah yang menjadikan asal usul nama itu tadi.

Candra menghimbau yang lain untuk istrahat sejenak, sebelum melanjutkan ke perjalanan selanjutnya.

Nada yang lumayan iseng, akhirnya meninggalkan rombongan buat kenalan dengan pendaki yang lain. Punya pacar bukan berarti bisa menghentikan sifat alamiah Nada yang suka tebar pesona. Dia tau kalau dia cakep, makanya tiap lewat orang orang mah demen aja ngeliatinnya.

Perjalanan di lanjutkan ke Jambangan, dan kemudian akan di teruskan di daerah Kalimati dan Arcopodo yang memiliki jarak lumayan dekat yaitu 1,2km saja.

Nada beruntung karena bisa sampai di sana sebelum matahari tenggelam, hingga dirinya bisa melihat betapa gagahnya Mahameru yang akan ia daki nanti.

Tapi hati Nada sedikit ragu, melihat betapa curam nya puncak Mahameru tadi. Apa dirinya bisa mencapai puncak Mahameru? Gimana caranya supaya dia bisa mencapai puncak yang jalannya di penuhi oleh batu dan pasir?

Perjalanan pada pos terakhir sudah tercapai, kini Nada dan yang lainnya sudah sampai di pos Kalimati sebelum mereka akan melakukan summit attack nanti.

Buat kalian yang belum tau, summit attack itu adalah istilah yang digunakan oleh para pendaki dalam melakukan perjalanan menuju puncak.

Adelio sendiri bilang, Kali Mati itu tempat paling ideal untuk mereka beristirahat sejenak atau tempat bermalam sebelum mendaki ke puncak Mahameru.

Nada ingat betul, pada saat dilakukan briefing sebelum memulai pendakian, para pendaki sudah diberitahukan bahwa batas terakhir pendakian adalah pos Kali Mati.

“Pikirin balik, niat kalian mau gimana. Kalau emang beneran mau ke puncak, ayo. Tapi kalau emang ada keraguan, ya gausah di sini aja.” Ujar Adelio berbicara kepada semuanya. “Bisa pergi sampai puncak emang bonus, tapi tujuan awal kita mendaki gunung adalah pulang dengan selamat.” Sambung nya lagi.

Nada yang duduk tenang di antara Jerome dan Arwena, kembali memantapkan hatinya.

Candra yang sudah melihat tekad dari mata Nada, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. “Kita bangun tenda disini aja. Habis ini kita rundingan, siapa aja yang mau naik ke puncak dan siapa yang istirahat sampai sini.”


Nada menyiapkan tas ransel berukuran kecil, yang akan dia gunakan untuk membawa logistik yang di rasa penting. Seperti air minum, atau beberapa makanan ringan kalau memang di perlukan.

Yudha menghampiri Nada yang masih sibuk bersiap siap. “Adek beneran mau naik ke puncak?” Tanya Tiyo masih belum rela, karena dirinya tidak sanggup bila harus menemani Nada hingga ke puncak.

Nada tersenyum, “Masih ada kak Jerome, kak Delvin, sama bang Yudha yang temenin adek. Ada Haikal, Hermas, Adelio, sama Anan juga bang. Nada gapapa, mereka lebih dari cukup untuk jaga Nada kan?” Ujar Nada balik, berusaha menghibur kegundahan hati kakaknya itu.

Tiyo menatap Nada lekat. Dirinya harus lebih percaya lagi pada Nada, itu adalah kalimat yang sedari tadi ia gumam kan terus menerus.

Jonathan yang berada di tenda yang sama dengan Nada, hanya bisa menatap tekad adiknya itu dengan pasrah. “I just want to tell you love. Kita ga akan pernah bisa menaklukkan gunung, karena bukan gunung lah yang kita taklukan, tapi kita sendiri.”


Waktu berlalu cukup cepat bagi Nada, hingga akhirnya tepat pukul dua belas malam mereka melakukan summit attack.

Jalan yang begitu terjal menuju puncak sebelum batas vegetasi cukup menguras tenaga dan air minum yang tersedia, Anan sudah berulang kali memastikan Nada yang berada di depannya baik baik saja.

“Nad, kalau emang capek bilang aja. Kita istirahat.” Ujar Anan berulang kali juga mengingatkan.

Nada hanya membalas ucapan Anan dengan senyuman tipis, dan kembali berfokus pada track yang ada di depannya.

Waktu demi waktu berjalan sampailah mereka berdelapan di batas vegetasi. Semangat Nada timbul kembali begitu dirinya melihat antrian para pendaki yang tidak begitu panjang dengan cahaya headlamp.

Jam demi jam berlalu dengan begitu cepat, Adelio sudah memastikan dengan sedikitnya pendaki yang lain estimasi dari Kali Mati sampai Puncak Mahameru kurang lebih 5 sampai 6 Jam.

Hingga pada akhirnya terdapat suatu cekungan batu besar yang menghalangi pandangan Nada. Dan pada akhirnya, setelah perjuangan jalan berbatu juga pasir yang menyulitkan langkah mereka, sampailah Nada beserta ketujuh yang lainnya di Puncak Mahameru.

Terdapat rasa senang, gembira, terharu yang menjadi satu dan tidak akan menyangka bahwa Nada dapat mencapai puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa.

“Kak, bang...” Nada berbicara dengan tersendat, ingin menangis.

Delvin, Jerome, dan Yudha yang mengetahui hal itu langsung memeluk adik bungsunya dengan bahagia.

“Kamu hebat banget adek.” Bisik Yudha bangga.

Kemudian Nada mengambil duduk di samping Anan yang sudah siap menyambut mentari yang akan datang.

Memulai hari, dengan orang ia cintai. Nada tidak pernah sebersyukur ini dalam hidupnya.

“Nad, sebelum kesini bunda udah pesan sama aku untuk sampein hal ini ke kamu.” Kata Anan sembari menyisir rambut Nada yang tadi terkena pasir dengan pelan.

“Bunda? Bunda pesan apa?”

“Bunda bilang, gunung itu seperti Ibu, dia adalah tempat pelarian terbaik di saat diri kita sedang membutuhkan semangat baru. Keputusan kita buat kesini adalah hal yang tepat, karena kita juga butuh semangat baru untuk menyambut hidup yang akan terus datang.”