Random chit-chat
Anan menghampiri Hermas yang tengah menikmati pemandangan sore hari itu. Buset dah, kaya bocah indie beneran ni anak.
“Kenapa ikutan keluar?” sambut Hermas, begitu Anan sudah mengambil tempat duduk di sampingnya.
“Berisik.” jawab Anan singkat, dan mulai mengikuti kegiatan yang saat ini tengah di lakukan Hermas. Menikmati fase matahari terbenam.
“Hermas, gue boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Anan tiba-tiba, memotong sesi mereka menjadi anak indie saat ini.
Hermas hanya menganggukkan kepalanya, mempersilahkan Anan untuk bertanya.
“Penyesalan terbesar apa yang sampai saat ini masih sering lo sesali?” ujar Anan lagi, setelah ia berfikir cukup lama.
Hermas menolehkan kepalanya dengan bingung, tidak mengerti kenapa Anan menanyakan hal seperti itu padanya.
Sejurus kemudian, Hermas kembali menatap langit yang kini sudah berubah warna menjadi gelap.
“Banyak, dan mungkin yang paling besar adalah Nada.” jawab Hermas kemudian.
Anan tersenyum kecil, ia sudah menduga kalau jawaban itu akan keluar dari mulut Hermas.
“Maksud lo apaan nanya kaya gini?” tanya Hermas lagi, setelah ia menyadari bahwa Anan sudah menjebaknya untuk pertanyaan yang menjerumus.
Anan menggelengkan kepalanya kecil, “Ga ada maksud apa-apa. Gue cuma penasaran aja.” kilahnya lebih lanjut.
“Gue gatau kalau dari kacamata kalian semua kaya gimana, atau bahkan kesannya gue kaya adu nasib gini.” ungkap Hermas setelah terdiam lama. “Di bandingkan bang Delvin yang udah ninggalin Nada di tengah track saat itu, dan buat Nada menghilang. Gue lebih merasa kalau perasaan bersalah di gue untuk Nada jauh lebih besar dari apa yang bang Delvin rasakan.” sambungnya lagi.
Anan hanya bisa mendengarkan ucapan Hermas dalam diam, tanpa ada niat untuk menyanggahnya.
“Gue jauh lebih merasa bersalah, karena lo tau, bahkan di malamnya gue baru aja baikan secara resmi sama Nada.” racau Hermas sesak. “Gue baru aja liat gimana binar mata Nada bisa buat hati gue jauh lebih nyaman. Banyak penyesalan yang gue rasakan saat itu, kaya kenapa gue ga mencoba untuk menerima Nada lebih awal dan lainnya. Setelah kepergian Nada, setiap malam gue susah tidur, dan sekalinya gue bisa tidur, alam bawah sadar gue bahkan ga mengizinkan gue buat beristirahat dengan nyenyak karena rasa bersalah itu bahkan tetap mengejar gue bahkan ke alam mimpi.”
“Gue mulai mengkonsumsi obat tidur tanpa resep dokter, dan di puncaknya gue sempet drop dan masuk rumah sakit karena itu. Lo tau, betapa hancurnya kita kan Nan? Karena lo juga ikut melewati hal itu.”
“Gue tau banyak tentang orang-orang di sekitar gue, walaupun di kenyataannya gue emang memilih untuk diam daripada mengatakan apa keresahan gue. Kenapa? Ya karena gue rasa itu adalah hal yang sia-sia. Sampai saat Nada datang, dan dia dengan terang terangan bisa menentang ucapan Oma. Lo tau, dari situ gue merasa kalau ada kalanya kita memang harus menyuarakan pendapat kita walaupun banyak orang yang menentangnya.”
“Gue juga tau, di keadaan ini banyak orang yang mendesak lo buat ngelupain Nada.” sambung Hermas lagi.
Anan menolehkan kepalanya pada Hermas dengan cepat.
“Selama ini gue diem, karena gue tau apa yang lo rasakan pasti ga jauh berbeda dari yang gue rasakan. Tapi pada kenyataannya, gue ga bener-bener merasa kehilangan Nada, karena memang sejak awal Nada selalu ada di dalam hati gue” tutur Hermas, dan menepuk pundak Anan dua kali dengan lembut.
“Banyak yang bilang, kalau fase paling tinggi dalam melepaskan seseorang itu dengan mengikhlaskannya. Dan itu memang benar adanya Nan. Tapi untuk saat ini, baik gue sama lo kayanya belom sampai di tahap itu deh.” ujar Hermas lagi membuat Anan tersadar, kalau ia dan Hermas tidak jauh berbeda.
“Her, gue ga salah kan kalau sampai saat ini belom bisa lupain Nada?” tanya Anan gamang.
Hermas tersenyum tipis, “nggak salah kok.”
“Makasih, udah mau ngertiin gue. Gue kadang suka ketawa, kok bisa kita cocok di hal yang lumayan rumit ini.” kata Anan setelah mendapatkan validasi dari Hermas. “Even saudara kembar lo sendiri, Haikal, dia nyuruh gue buat ngelupain Nada.” sambungnya lagi sendu.
“Lo tau, bahkan sebelum waktu kita berpisah sama Nada, anaknya masih sempet sempetnya loh ngeanalogiin kita sama bintang.” sahut Hermas mengingat ketika Nada menjelaskan padanya, kalau dia adalah bintang yang indah tetapi cahayanya redup.
“Bintang?” tanya Anan tidak mengerti.
“Iya, dia bilang bintang gue itu yang paling redup diantara yang lainnya, tapi kalau di lihat lagi, bintang gue itu sebenernya yang paling indah.” jawab Hermas dengan bangga.
“Hahahahaha, at least lo punya kenangan dan perpisahan terakhir yang indah sama Nada.” ujar Anan iri setelah mendengarkan penuturan Hermas.
Hermas menggelengkan kepalanya tidak setuju, “Seindah apapun cara seseorang berpamitan, yang namanya perpisahan itu tetap menyakitkan.”