Second Phase

Arsha berjalan dengan lemas keluar lorong rumah sakit, meninggalkan Nabil sendirian menunggu Kinara yang masih belum sadar di ruang pasien.

Kenapa bisa ada di ruang pasien? Jadi segera setelah Nabil dan Arsha tiba di rumah sakit, ganti Arsha langsung menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang UGD yang memang paling dekat dengan pintu masuk rumah sakit.

Keduanya membagi tugas, dimana Arsha menemani Kinara yang tengah di periksa oleh dokter yang tengah berjaga, dan Nabil yang mendaftarkan identitas Kinara di ruang administrasi dan kembali menemani Arsha dan Kinara yang berada di UGD.

Setelah menjalani pemeriksaan umum, dari penjelasan dokter umum yang tengah berjaga, kondisi bagian sebelah kanan kaki Kinara yang terkena bola kasti tadi hampir patah.

Nabil dan Arsha menganga mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa hanya karena sekedar lemparan bola kasti dapat membuat kaki Kinara hampir patah??

Keanehan tidak berhenti disitu, karena Kinara langsung pindahkan ke ruang inap pasien, karena data diri Kinara sudah terdaftar di dalam rekam medis rumah sakit.

Arsha mengacak surai nya dengan gelisah. Apa saja yang sudah di sembunyikan oleh Kinara, mama, dan papa nya dari dirinya dan saudaranya yang lain?

Melihat lutut sebelah kanan Kinara yang membengkak, di gabungkan dengan penjelasan dokter umum tadi, membuat banyak spekulasi negatif bertebaran di benak Arsha.

Mama, disusul oleh Raka dan Arzhan berlarian kecil menghampiri Arsha yang duduk di kursi kayu lorong rumah sakit.

“Di kamar nomor berapa Arsha?” tanya Mama buru-buru pada Arsha.

“146 ma.” jawab Arsha singkat. Arsha melihat mama nya yang datang dengan tergesa-gesa, reaksi yang berlebihan menurut Arsha, karena Arsha sendiri hanya mengatakan kaki Kinara terkena lemparan bola, dan mama langsung berlari kesini begitu mendengar nya. “Ma, Kinara sakit apa sebenernya?” tanya Arsha kemudian, menghalangi mama dan yang lainnya untuk kembali berjalan menuju ruang Kinara.

Arzhan dan Raka ikut terdiam, mereka berdua juga ingin mengetahui tentang kondisi Kinara saat ini.

Mama mengalihkan pandangannya, enggan menjawab pertanyaan Arsha.

“Ibu Miya?” seseorang memanggil dari belakang.

Mama menoleh, mengetahui bahwa ada dokter Hanan yang berada di belakangnya.

“Dokter Hanan.” Mama berjalan dengan cepat, menghampiri dokter Hanan untuk berjabat tangan.

Dokter Hanan memandang Arzhan, Raka, dan Arsha yang berada di belakang mama.

Seolah mengerti, mama menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan ketiganya pada dokter Hanan. “Ini kakak kakaknya Kinara.” Kata mama memperkenalkan.

Dokter Hanan tersenyum kecil, “Kinara pasti bahagia, punya saudara yang sigap seperti kalian. Cepat sekali keputusan kalian, untuk langsung bawa Kinara ke rumah sakit.”

Batin Arsha kembali bergejolak mendengar dokter yang baru saja di sapa oleh mama nya ini memanggil nama Kinara dengan akrab. Bisa Arsha simpulkan, bahwa memang dokter Hanan dan mama nya sudah berkomunikasi cukup lama.

“Ayo kita masuk ke dalam, sekaligus saya jelaskan bagaimana kondisi Kinara.” ajak Dokter Hanan lagi, dan menuntun mama untuk masuk ke ruang rawat inap milik Kinara.

Mama tidak bisa menolak, apalagi menyembunyikan ini lebih lama. Toh pada akhirnya, semuanya akan terungkap juga. Walaupun mama tidak mengira kalau hal ini akan terungkap secepat ini.

Nabil langsung berdiri begitu mendengar suara pintu ruang inap pasien di buka. Raka melirik Nabil, dan menyuruhnya untuk segera berpindah tempat karena dokter Hanan hendak memeriksa keadaan Kinara.

Arzhan menutup mulutnya dengan telapak tangan, terkejut melihat lutut Kinara yang luar biasa bengkak dan berwarna merah.

Raka pun sama. Tetapi dirinya lebih bisa mengatur ekspresi, supaya adik adiknya yang lain tidak ikut kalut.

Kemudian Raka, Nabil, Arsha, dan Arzhan hanya bisa terdiam, menunggu dokter Hanan yang kini tengah mengamati bagian lutut Kinara yang membengkak.

“Karena tumor ini banyak pembuluh darahnya, maka dari itu permukaan kulit yang terkena tumor menjadi hangat.” Jelas dokter Hanan setelah menyentuh perlahan lutut Kinara yang membengkak.

“Tu-tumor??” tanya Nabil tercekat.

Lutut Arzhan langsung melemas. Dengan segera dirinya berjongkok untuk menyeimbangkan diri.

Melihat gelagat keempatnya yang aneh, dokter Hanan mengerti bahwa mungkin Informasi ini sebelumnya tertutup dan hanya di ketahui oleh Kinara sendiri, dan kedua orang tuanya.

Atensi dokter Hanan beralih pada mama yang masih diam, menunggu penjelasan selanjutnya. “Bukan hal yang aneh pada kasus kanker tulang. Bahkan retak atau patah tulang dapat terjadi tanpa sebab. Tapi dalam kasus Kinara, patah tulang terjadi karena hantaman dari bola ya ibu Miya. Segera setelah ini, saya akan menjadwalkan untuk pemeriksaan ulang.”

Mama mengangguk, dan mengantar kepergian dokter Hanan keluar dari kamar inap pasien.

Mama berjalan dengan perlahan untuk duduk pada sofa yang di sediakan dalam kamar rawat. Mengabaikan keempatnya yang menunggu penjelasan tentang apa yang baru saja di bicarakan oleh dokter Hanan.

“Ma, ini ga beneran kan?” tanya Arsha takut. “Maksudnya Kinara beneran sakit kanker tulang?” sambungnya lagi mencoba memastikan.

Mama menutup matanya rapat, mencoba menghindari segala pertanyaan yang anak anaknya lontarkan.

Raka berjalan ke ranjang tempat Kinara terbaring. Dengan gemetar tangan Raka mengusap tangan kanan Kinara yang kini sudah terpasang infus.

“Sejak kapan ma? Sejak kapan mama dan Kinara tau kalau Kinara sakit?” tanya Raka kemudian. “Selama ini, tiap kakak selalu tanya Kinara soal kaki dia, Kinara selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan itu. Dan dia selalu bilang, kalau kakinya gapapa. Jadi ini alasannya?”

“Arzhan salah ma. Banyak hal yang Arzhan sepelekan soal Kinara. Seharusnya dari awal, Arzhan lebih peka.”

Arzhan melirik ke arah Nabil yang masih berdiri tak bergeming di samping kiri Kinara. Pandangannya beralih pada Arsha yang duduk di samping mama. Kulit wajahnya yang tan memucat, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Raka juga begitu. Tak banyak yang dia ucapkan, kecuali saat ini dengan diam diam dirinya mengusap air mata yang mengalir pelan ke pipi.

“Bahkan satupun di antara kita, ga ada yang pernah memperlakukan Kinara sebaik-baiknya. Itu jauh lebih buruk dari penyesalan, karena kita ga bisa mendefinisikan kata yang pas untuk mewakili sikap kita ke Kinara saat ini.”