Terlambat
Pada pemeriksaan Kinara beberapa hari yang lalu pasca insiden Kinara pergi ke tukang pijat, bukan dokter Hanan yang menangani karena beliau memang memiliki jadwal lain, sehingga pertemuan tidak di janjikan seperti itu tidak bisa ia hadiri.
Dan kini, untuk pertemuan yang sudah dokter Hanan janjikan, Kinara, mama, dan papa sudah kembali dengan persiapan yang jauh lebih matang.
Dokter Hanan memeriksa kembali surat keterangan Kinara yang sudah keluar, dan mendiskusikan beberapa hal terkait keadaan Kinara saat ini.
“Ibu Miya, sebelumnya saya sudah memperingatkan untuk tidak membawa keadaan Kinara ke tempat pijat refleksi mana pun.” Ingat dokter Hanan, kecewa dengan apa yang sudah mama katakan barusan. “Jika itu osteosarkoma, pijat dan urut justru akan membuat sel kanker semakin progresif dan tumor semakin cepat dan menyebar.” sambungnya lagi menjelaskan.
Mama kebingungan, dirinya sudah lalai menjalankan satu hal yang paling penting. Memberitahu keadaan Kinara secepat mungkin, agar Kinara juga lebih siap dan ikut menghindari banyak pantangan yang di ujar kan. Tapi semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur.
“Lantas bagaimana keadaan Kinara dok?” ganti papa bertanya, mewakili mama yang kini hanya bisa tertunduk lemas.
“Hitungannya hanya minggu hingga beberapa bulan. Kanker ini sangat cepat membesar dan berkembang pesat.” Ujar dokter Hanan lagi, menegaskan. “Kinara selalu mengeluhkan nyeri pada bagian lutut dan betis nya bukan? Maka hampir di pastikan kalau itu termasuk dalam keganasan pada tulang. Mengapa di sebutkan hampir pasti? Karena kalau tumor jinak biasanya tidak sakit.” sambung dokter Hanan lagi.
Kinara hanya mampu termenung lama setelah mendengarkan penjelasan dokter Hanan. Dirinya tidak tahu, kalau yang ia hadapi adalah hal yang sebesar ini. Ia tidak seberani itu untuk menghadapi nya. Tidak, bukan hanya tidak berani, dirinya juga tidak mampu.
Mama memeluk lengan Kinara yang tengah termenung dengan erat, banyak hal yang ia sesali hingga saat ini. Penyesalan nya yang datang terlambat itu sudah menumpuk dan menjadi besar melewati gunung.
“Segera setelah ini, kita akan mendiskusikan terkait dengan pengobatan yang akan Kinara jalani.” ucap Dokter Hanan lagi, mengambil alih situasi yang kini dirasa kurang kondusif di dalam ruangannya. “Secara umum, modalitas pengobatan kanker tulang ada 3, yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. Untuk lebih jelasnya, nanti asisten saya akan merincikan kesemuanya.” tutup nya langsung.
Suasana di dalam mobil siang hari itu terasa sunyi, meskipun suara kendaraan yang lain cukup di katakan berisik ketika berlalu lalang.
Ada papa yang berada di kursi kemudi, dan mama yang menemani Kinara duduk di bangku belakang, kursi penumpang.
Kinara menaruh kepalanya di atas pangkuan mama. Dirinya sedikit kesulitan menggerakkan kaki kanan nya yang memang cukup sakit sedari tadi.
Mama mengelus peluh keringat dingin yang terus terusan keluar dari tubuh Kinara. “Matikan AC nya aja pa.” Pinta mama kemudian, mencoba bersikap baik-baik saja.
Kinara menghindari untuk melihat ekspresi kedua orang tuanya kali ini. Dirinya tidak suka, ketika mereka menatapnya dengan sendu seolah olah itu adalah kesempatan terakhir bagi Kinara untuk terus bernafas.
“Ma, Kinara mau minta sesuatu.” ujar Kinara kemudian, setelah terdiam begitu lama.
Mama mengangguk setuju, walaupun Kinara tidak melihatnya saat itu. “Mau minta apa sayang?” tanya mama lembut.
Setelah memikirkan hal ini dengan panjang, pada akhirnya Kinara mebulatkan keputusan. “Mulai dari hari ini, Kinara mau tidur di kamar yang sama bareng mama papa, dan kemudian kasih kamar Kinara buat kak Arzhan atau Arsha.” ucap Kinara, membuat mama papa nya membulatkan mata terkejut.
“Tapi kenapa? Kakak kamu ada yang nyuruh kamu untuk ngomong gini sayang?” tanya papa langsung, bertubi-tubi.
Kinara menggeleng, “dari awal Kinara bilang, ini permintaan Kinara.” ujar Kinara menegaskan. “Kinara suka kasihan liat kak Arsha sama kak Arzhan berbagi kamar, dan pakai kasur tingkat. Mereka mengalah buat kasih Kinara sebagai satu-satunya anak perempuan untuk punya kamar sendiri. Banyak hal yang Kinara pikirkan, dan ini udah dari lama. Sejak awal Kinara tahu, kalau kebutuhan kak Arsha dan kak Arzhan ga pernah terpenuhi secara maksimal karena adanya Kinara.”
Mama mengusap pelan rambut Kinara, sepenuhnya mulai dari sekarang dirinya menyadari betapa besar rasa kasih Kinara pada saudara nya yang lain.
“Baru mau papa rencanakan untuk gudang samping kamar mama dan papa, di alokasikan menjadi kamar Arzhan atau Arsha. Tapi kalau keinginan Kinara seperti itu, lebih baik sembari menunggu gudang di lantai atas sepenuhnya bersih, Kinara bisa langsung pindah ke kamar mama dan Arsha atau Arzhan pindah ke kamar Kinara yang sekarang ma.” ujar Papa panjang lebar, mendiskusikan perihal yang baru saja Kinara ucapkan.
Mama mengangguk, “terserah papa. Mama ngikut aja.” jawab mama singkat.
Mereka sampai rumah pukul tiga sore, dan beruntung nya bi Anjar sudah tiba dan menyambut ketiganya dengan bahagia.
Kok bisa bi Anjar ada di rumah?
Jadi gini, salah satu art yang memang awet banget di keluarga Kinara adalah bi Anjar. Dulu mama sempat pesan kan bi Anjar, untuk pulang ke kampung terlebih dahulu dan mendahulukan keluarga yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun untuk bekerja bersama keluarga Kinara.
Tapi karena keadaan Kinara saat ini yang memang membutuhkan perawatan intensif dari rumah, jadi mama memutuskan untuk memanggil bi Anjar kembali supaya bisa ikut membantu Kinara dan mengurus rumah.
Kedatangan bi Anjar ini tidak mama dan papa ceritakan kepada siapapun termasuk Kinara. Maka dari itu, segera setelah turun dari mobil, dengan tertatih Kinara berjalan cepat dan menghampiri bi Anjar untuk memeluk nya dengan erat.
“Aduh ndhuk Kinara, kok makin kurus aja dewasa sekarang.” ujar bi Anjar, sembari menepuk nepuk pundak Kinara.
Kinara menahan tangis nya, pertemuan seperti ini yang ia tunggu karena ia bahagia setelah ini hidupnya tidak akan sesepi dulu saat bi Anjar tidak ada.
“Kenapa baru pulang sekarang bi? Kinara nungguin udah dari lama.” Ucap Kinara terbata.
Bi Anjar makin mengeratkan pelukannya, “Bibi keterusan ndhuk, di kampung anak bibi udah punya cucu. Jadi bibi sedikit lebih lama di kampung karena sayang cucu.” katanya tertawa geli. Kinara ikut tertawa, di gandeng nya tangan bi Anjar untuk masuk ke dalam rumah.
“Kenapa ndhuk Kinara kok jalan nya kaya gitu? Kakinya sakit?” tanya bi Anjar kemudian, menyadari langkah Kinara yang lebih berat dan pincang.
Kinara mengangguk, “iya bi. Tapi gapapa, abis ini juga sembuh kalo minum obat.” jawab Kinara menenangkan.
“Ayo ke kamar dulu, biar bibi pijat kakinya.”
“Ehh, gaboleh bibi! Itu kaki Kinara sakitnya bukan kesleo, jadi ga boleh di pijat ya!” Ujar mama dari belakang dengan galak.