The Star

Sembari menunggu pagi, Nada udah duduk di deketnya Candra buat di peluk. Gatau korelasinya gimana, tapi pelukan Candra tuh emang yang paling nyaman.

“Kalian tau filosofi bintang nggak?” tanya Nada tiba-tiba, sembari menatap ke arah langit yang memang di penuhi oleh bintang.

“Filosofi bintang?” tanya Jeffrey penasaran.

“Iya, coba lu pada liat bintang yang itu.” kata Nada lagi, sembari menunjuk bintang yang terlihat lebih besar daripada yang lainnya. “Itu Kak Jeffery.” sambungnya lagi.

“Eh?? Kok gueee??” tanya Jeffery kaget, karena tiba-tiba di mention Nada

“Soalnya kak Jeffery tuh yang selalu mempresentasikan kalian. Dia yang selalu jadi icon diantara kalian. Pertama kali kenal aja, gue paling inget sama Kak Jeff.” jelas Nada panjang lebar.

“Nah kalo yang itu.” tunjuk Nada lagi, pada bintang yang kecil. “Itu kak Jerome.”

“Hah? Yang mana sih anjir?” tanya Jerome bingung, matanya menyipit guna melihat bintang yang Nada maksud.

“Ituu.” ucap Nada lagi, “nah kak Jerome tuh sama kaya bintang itu. Ga tertebak, kalian coba liat bintang yang gue maksud, dengan mata telanjang emang ga keliatan, tapi kalo kalian liat pake alat tertentu dia itu bintang yang paling terang.”

“Yang itu lagi,” lanjut Nada sembari menunjuk bintang yang agak redup. “Itu Hermas. Dia sebenernya bintang yang indah, tapi banyak yang menyepelekan nya cuma karena cahaya nya yang redup.” Padahal bintang yang di tunjuk Nada, cahaya dia yang redup itu menggambarkan kehangatan.

“Kalau bulan, udah pasti Bang Candra.”

“Kenapa tuh dek?” tanya Candra ikut menyimak perkataan Nada.

“Ga ada yang spesifik, karena arti Candra itu sendiri bulan kan?” kata Nada tertawa. “Lagian, Bang Candra tuh kaya bulan diantara hamparan bintang. Cahaya nya mungkin bisa kalah sama bintang yang lain, tapi setidaknya dia ada untuk melengkapi hiasan di langit.” lanjutnya.

“Kalo gue, kalo gue Dek???” tanya Jonathan heboh.

“Nah Bang Jo tuh yang ituu.” ucap Nada menunjuk bintang yang ada di samping bulan.

“Dih, kenapa itu bukan gue??” protes Haikal, “kan gue yang paling deket sama Bang Candra.” lanjutnya lagi tak terima.

“Bukan kaya gitu bego cara main nya.” kata Nada mencibir. “Liat, posisi bintangnya tuh ada di tengah langit. Pas banget kaya posisi Bang Jo yang selalu mengikat, dan mempererat tali hubungan kita.”

Jonathan menganggukkan kepalanya puas.

“Nah terus kalo Bang Yudha sama Bang Tiyo tuh malam.”

Yudha menolehkan kepalanya cepat, “kenapa malam dek?” tanya Tiyo mewakilkan pertanyaan Yudha.

“Karena malam lah yang buat bintang dan bulan bersinar terang. Kalian tuh sering ga di perhatikan, padahal kalian yang paling care sama saudara kalian yang lain.”

“Ya ya, udah. Gantian gue dong.” protes Delvin. Soalnya nama dia dari tadi belom muncul juga.

“Kak Delvin bintang yang mana yaa??” ucap Nada sembari memilah milah bintang yang ada di langit. “Mungkin bintangnya kak Delvin belom muncul.” putus Nada kemudian

“Lah?? Kok yang lainnya bisa lo gambarin, giliran punya gue kaga sih!” amuk Delvin, dia cemburu yang lain punya filosofi bintang sendiri-sendiri tapi dirinya enggak.

“Bintangnya kak Delvin itu emang ga selalu terlihat. Tapi dia selalu ada.”

Delvin masih mencibir, padahal dalam hatinya udah berbunga-bunga karena Nada mepresentasikan dirinya dengan sangat dramatis. Padahal menurut Nada, itu dangdut banget.

“Nah terus kalo kak Wena, bintang yang itu.” ucap Nada sembari menunjuk bintang yang paling berkilau diantara yang lainnya.

“KENAPA ITU BUKAN BUAT GUE SIH ANJIR?!” ucap Haikal mulai tak terima lagi.

“Soalnya bintang yang berkilau itu, cuma bisa gue liat, gabisa gue sentuh, ataupun jadiin milik gue.” kata Nada mulai ngaco, “sama kaya kak Wena. Kak Wena tuh untouchable banget.”

“Anjing, nyesel gue dengerin serius.” rutuk Hermas kesal.

“Gue Nad?! LO KOK PILIH KASIH GITU SIH ANJIR??” amuk Haikal sudah tak tahan, karena hanya dirinya yang belum di berikan filosofi bintang oleh Nada.

“Tenang punya lo abis ini muncul kok.” ucap Nada santai, sembari menoleh ke arah jam di tangannya.

Tak lama kemudian, Matahari terbit dari ufuk timur. Cahaya nya yang hangat, mulai menyinari mereka semua.

“Lo matahari Kal. Karena ga ada awan gelap yang bisa selamanya menghalangi matahari buat bersinar.” kata Nada sembari mengusap rambut Haikal pelan. Haikal tersenyum semringah, penjelasan Nada lebih dari cukup untuk membuatnya senang.

“Dari tadi kita doang dek.” ucap Tiyo menyela. “Bintang kamu yang mana?” tanyanya lagi dan kembali mengalihkan perhatian nya ke arah matahari yang terbit.

Nada tersenyum, “bintang gue ga ada disini.” ucapnya singkat. “Mungkin lain hari bakalan gue kasih liat, yang mana bintang gue.”