The Star

“Panas ga sih kak? Pengen keluar ih.” ujar Kinara di atas ranjang rumah sakit sembari mengipas-ngipasi bagian atas tubuhnya seolah kepanasan.

Nabil menoleh ke arah AC yang masih menyala, dan kemudian menoleh lagi ke arah Kinara untuk memastikan apakah adiknya itu memang tengah kepanasan.

“Mau gue kecilin lagi AC nya?” tanya Nabil kemudian.

Setelah usai rangkaian pengobatan Kinara di lakukan, mama dan papa memutuskan supaya Kinara beristirahat lebih lama dulu di rumah sakit alih-alih pulang ke rumah. Nabil dan Bachtiar juga setuju, meninjau ada Rila di rumah yang mungkin akan membuat fase istirahat Kinara menjadi terganggu.

Setelah selesai perdebatan tentang Kinara yang harus rawat inap atau tidak, pada akhirnya Kinara mengalah dan menurut. Kini hanya tinggal Nabil saja yang menunggunya di dalam kamar inap, karena ketiganya tengah pergi keluar mencari makan malam.

“Enggak akan ngaruh kak, gue kepanasan juga bukan karena AC nya ga dingin.” ujar Kinara lagi.

Nabil mengerti, dirinya tersenyum kecil. Kinara merasa bosan berada di dalam kamar, dan ia ingin pergi berjalan-jalan keluar saat ini.

Kemudian Nabil berjalan menghampiri kursi roda yang memang telah di siapkan di dalam ruangan guna Kinara naiki. “Dah ayo, katanya kepanasan. Mending sekarang jalan-jalan ke atap aja. Gimana mau nggak?” tanya Nabil kemudian.

“Lah ya mau banget dong!!”


Nabil salah mengerti, ia kira liftmembawa mereka hingga ke atap nyatanya tidak. Ternyata lift berhenti di satu lantai sebelum atap, sehingga untuk mencapai atap maka Nabil dan Kinara perlu untuk menaiki tangga.

Masalahnya tidak memungkinkan bagi Kinara untuk naik tangga dengan kondisi kaki nya yang seperti ini. Terbersit rasa bersalah muncul di hati Nabil.

“Ga mungkin nyeret kursi roda ke atap kak, yaudah lah balik aja ke kamar ayo.” ajak Kinara kemudian setelah mengamati keadaan sekitarnya.

“Udah nyampe sini Ra, sayang banget kalo balik lagi.”

“Ya terus mau gimana? Kan ga mungkin kalau kita paksain ke sana. Udah gue gak papa kok kak, kapan kapan juga bisa.”

Nabil menggelengkan kepala nya kukuh, “Gak bisa gini. Ayo naik punggung gue, gue gendong aja ke atap.” Ujar Nabil kemudian, mendapatkan sebuah ide.

Kinara melotot dan memukul lengan Nabil pelan, “Yakali mau gendong gue naik tangga. Lo kira berat gue cuma lima kilo kaya beras?” Protes Kinara.

Nabil terkekeh, “Enggak Ra, lo ga berat sama sekali kok. Ayo buruan naik sini. Atau jangan-jangan lo ga percaya kalau gue bisa?” Sahut Nabil cepat.

Pada akhirnya Kinara menurut, dan kemudian beringsut untuk memposisikan diri senyaman mungkin pada punggung Nabil. Juga Nabil yang meminimalisir gerakannya supaya tidak terkena oleh kaki bagian kanan Kinara yang lumayan sensitif itu.

Selangkah demi selangkah Nabil menaiki tangga sembari memastikan bahwa Kinara berpegangan erat pada pundaknya. Tidak lupa pula Nabil menepuk-nepuk betis kiri Kinara untuk menenangkan seolah berkata semuanya akan baik-baik saja hingga di atas. Sampai pada akhirnya mereka berdua sampai di atap. Kinara bernafas lega, begitu pula Nabil.

“Turunin ih kak, lo pasti capek gendong gue.” Ucap Kinara begitu Nabil terus terusan menggendong dirinya tanpa ada niatan untuk menurunkannya.

“Kotor.”

“Ya namanya atap kak?? Lo berharap apa? Kinclong kaya kamar inap gue?”

“Udah Ra, diem disini aja. Gausah turun segala.”

Pada akhirnya Kinara berakhir diam di atas gendongan Nabil. Dirinya juga tidak ingin membantah Nabil lebih jauh, karena Nabil sendiri yang menginginkan hal itu.

“Gale bilang ke gue, lo suka sama hal-hal berbau benda langit gitu ya?” tanya Nabil kemudian, setelah terdiam begitu lama. “Eja bilang juga, lo pengen jadi Astronom.” lanjutnya lagi.

Kinara mengigit bibir bagian bawahnya, ia malu. “Udah ih kak, gausah di bahas.” jawab Kinara pelan, dan kemudian memeluk leher Nabil dengan erat.

Nabil sedikit terkejut dengan tindakan Kinara yang tiba-tiba tadi, tapi kemudian dia tersenyum kecil. Ia mengerti karena Kinara saat ini tengah malu. “Lihat deh Ra, kok bisa ya bintang yang itu warna merah, terus yang itu warnanya kuning?” tanya Nabil kemudian menunjuk bintang, mengalihkan pembicaraan.

“Oh itu karena setiap warna pada bintang mempresentasikan tentang umur mereka.” kata Kinara menjelaskan dengan semangat.

“Oh ya? Jadi apa aja dong artinya?”

“Kalau dari yang urut ya kak, bintang biru itu bintang muda. Bintang warna kuning artinya setengah umur, bintang warna merah adalah bintang yang sekarat, katai putih artinya bintang yang sudah kehabisan cahaya nya.”

“Penjelasannya singkat, tapi overall gue ngerti maknanya.” Puji Nabil kemudian, “Kayanya lo beneran sesuka itu ya.”

Kinara akhirnya mengerti, kalau Nabil hanya ingin membuat dirinya nyaman dengan apa yang ia sukai tanpa harus merasa malu akan hal itu.

“Tapi terlepas dari warnanya, ada bintang yang paling gue suka.”

“Oh ya, apa tuh?”

“Bintang Vega.”

“Gue kira Sirius, soalnya yang gue tahu itu bintang paling terang.”

“Ya ga salah sih, tapi bintang Vega juga bintang yang paling terang loh kak di jajaran rasi nya.”

“Emang rasi nya bintang Vega apa?”

“Rasi Lyra.”

“Lyra yang mana sih?”

“Yang bentuknya cantik kak, bentuk nya harpa.”

“Sekarang gue tau, kenapa lo suka sama rasi itu. Bentuknya emang indah banget sih dari deskripsi lo.”

Kinara tertawa senang, tanpa aba-aba dirinya mengecup pipi sebelah kanan Nabil membuat Nabil terdiam seketika, sebelum akhirnya ikut tertawa lepas bersama Kinara. Baru kali ini Kinara bisa tertawa bebas tanpa harus memikirkan reaksi apa yang akan Nabil berikan nantinya.