Third Phase

Seperti malam sebelumnya, Kinara merasakan rasa ngilu yang amat sangat pada kaki nya. Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap).

Kinara meringis kesakitan, belum ada setengah jam sejak dirinya memutuskan untuk tidur setelah berkomunikasi dengan Acel taditadi tetapi kini harus terbangun lagi dengan keadaan yang sama sekali tidak mengenakkan.

“Kin, Kinara??” suara Nabil menyapa gendang telinga Kinara. Tidak lupa juga tangan Nabil yang hangat menepuk lembut pipi Kinara, berusaha untuk menyadarkan Kinara yang terlelap.

Kinara mengerjap perlahan, membuka matanya dengan berat. Menoleh ke arah Nabil yang berada di samping kanan nya.

“Mana yang sakit Kin?” tanya Nabil khawatir.

Kenapa ada Nabil di sini? Jadi begini ceritanya. Setelah mama kembali ke rumah sakit di antarkan oleh Nabil, Raka memutuskan untuk pulang dan bergantian dengan Nabil untuk menjaga Kinara karena besok ia memiliki kelas pagi. Itu alasannya kenapa ada Nabil di sini.

Mama sendiri juga tidak ada di kamar rawat karena harus keluar sebentar membeli makan malam untuk mereka.

Nabil berlari menuju ke samping kiri ranjang guna memencet bel pasien yang tersedia untuk memanggil pertolongan dari tim medis.

“Anjing lama banget sih bangsat!” keluh Nabil kepalang panik. Padahal jarak waktu Nabil memencet bel dan dirinya mengeluh belum ada lewat satu menit. “Kin lo disini dulu ya, gue ke ruang perawat buat manggil mereka.” sambung Nabil kemudian, berpamitan.

Kinara langsung menarik tangan Nabil sebelum benar-benar lari dari sana. “Kak, temenin gue aja.” katanya lemah.

Kinara tahu, Nabil pasti kalang kabut karena gejala Osteosarcoma yang di deritanya. Jadi sebelum Nabil benar-benar pergi dan membuat keributan di sana, Kinara memutuskan untuk menghentikan Nabil sebelum berbuat lebih jauh.

Nabil menurut, ia menekan rasa khawatir nya dan langsung duduk di kursi samping ranjang. “Lo mana yang sakit? Gue elus sini, siapa tau sakit nya kurang.” ujar Nabil kemudian.

Kinara mengulum senyumnya, ia suka perhatian hangat Nabil saat ini.

“Ga ada yang spesifik kak, semua bagian badan gue sakit.” ujar Kinara jujur. Kinara ingin egois kali ini, dia ingin merasakan kasih sayang dan mengeluh sepuasnya kepada Nabil. Hal yang mungkin tidak akan dirinya dapatkan ketika ia sehat nanti.

Nabil menatap Kinara sedih. Tangannya bergerak mengusap bulir keringat dingin yang mengalir di dahi Kinara. “Kalau gue bisa gantiin rasa sakit lo Ra, gue mau dan bakalan gue gantiin saat ini juga.”

Senyum Kinara tidak tertahankan lagi, ia tertawa kecil. “Ga perlu lo gantiin rasa sakit gue kak. Lo ada disini nemenin gue aja, gue udah seneng.”


Nabil menemani mama untuk berbicara dengan dokter Hanan di luar kamar. Menghindari jika Kinara akan terganggu tidurnya jika mereka membicarakan hal ini dalam.

Dokter Hanan baru saja memeriksa keadaan terbaru Kinara, setelah sebelumnya tadi beberapa perawat sudah memeriksa lebih dulu keadaan Kinara saat nyeri pada kaki nya kambuh.

“Jadi saya perlu jelaskan ulang ya bu Miya, pengobatan pada osteosarcoma dapat dilakukan melalui operasi dan kemoterapi. Pada beberapa kasus, kami juga dapat memutuskan melakukan prosedur radioterapi.” jelas dokter Hanan dengan perlahan. “Pengobatan bisa di lakukan ketika sudah melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemindaian dengan USG, foto Rontgen, CT scan, PET scan atau MRI, untuk melihat keberadaan kanker dan mendeteksi apakah kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Pemeriksaan lain yang bisa di lakukan berupa pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari bagian tubuh yang bengkak atau sakit, untuk diteliti apakah jaringan tersebut bersifat kanker atau tidak.” Sambungnya lagi panjang lebar.

Nabil memeluk mama dari samping, berusaha menyalurkan kekuatan setelah mendengar penjelasan yang cukup rinci dari dokter Hanan.

“Pada kondisi Kinara saat ini, kita hanya perlu menunggu untuk hasil pemeriksaan penunjang lanjutan supaya bisa segera melakukan pengobatan.” kata dokter Hanan lagi. “Untuk besok Kinara sudah boleh pulang, sembari menunggu satu infus terakhir yang terpasang habis terlebih dahulu ya ibu Miya.” ucap Dokter Hanan lagi, dan kemudian berpamitan untuk segera berlalu dari sana.

Nabil menuntun mama untuk kembali masuk ke dalam kamar inap Kinara. Menuntun mama untuk segera duduk, dan mengistirahatkan badan nya yang melemas setelah mendengar informasi dari dokter Hanan tadi.

“Pengobatan yang di maksud dokter tadi ma, yang operasi... Jadi Kinara bakalan di operasi ma?” tanya Nabil dengan gamang.

Mama tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan, menatap Kinara yang kini sudah masuk ke dalam tidur damai nya.

Tak lama dari itu, pandangan mama beralih pada Nabil. “Sebelumnya waktu dengan papa, mama sudah di beri informasi terkait operasi yang bakal Kinara jalankan nanti sayang.” ujar mama kemudian, menjelaskan. “Operasi yang di maksud bertujuan untuk mengangkat seluruh kanker. Tergantung ukuran tumor dan lokasi pada tubuh Kinara, dokter Hanan juga bisa melakukan operasi untuk mengangkat kankernya saja atau juga mengangkat otot dan jaringan lain yang terkena kanker.” sambung mama kemudian.

Nabil termenung mencoba mencerna segala informasi yang baru saja di terima oleh otak nya hari ini. Nabil ingin mengeluh, ini semua terlalu berlebihan bagi dirinya dan Kinara pada hari pertama.

“Jadi maksud mama, dalam beberapa kasus dokter Hanan juga bisa buat keputusan untuk angkat tulang dan sendi Kinara ya ma?” tanya Nabil kemudian, setelah menata hati.

Mama mengangguk, “Dokter Hanan juga bilang ke mama, prosedur yang di lakukan juga bisa melakukan amputasi.”

Jantung Nabil berdebar kencang. Dirinya belum siap untuk mendengar sampai sejauh ini.

“Jika prosedur ini yang dilakukan, dokter Hanan bilang Kinara akan diberikan prostesis (kaki atau tangan palsu) untuk menggantikan fungsi organ Kinara yang diamputasi.” jelas mama lagi, tersendat. “Mama bahkan ga bisa bayangkan Bil, kalau kedepannya Kinara akan hidup dengan satu kaki. Kinara masih terlalu muda untuk merasakan dan menjalani semua itu.” sambung mama kemudian, menangis di pelukan Nabil yang sama pedih nya.

Mata Nabil berkaca-kaca. Pandangannya bergeser kepada Kinara yang kini damai dalam tidur nya. “Mama ga perlu khawatir soal itu. Bahkan Nabil bersedia untuk jadi kaki Kinara kedepannya, kalau memang prosedur itu akan di laksanakan demi kebaikan Kinara. Nabil janji soal hal itu.”