War
Akhirnya Nada beneran sampe ke rumah Oma nya calon saudara tirinya. Dia bener bener gemeteran, takut di ospek buat masuk ke dalam keluarga itu.
'Perasaan yang nikah Tante Rima, kenapa yang ngurusin keluarga almarhum suaminya sih? Kenapa bukan keluarganya tante Rima aja??'
“Lo wangi banget buset.” ucap Haikal mengendus bau Nada dari samping. Dia, Nada, dan Hermas tadi berangkat satu mobil menggunakan supir. Karena Tante Rima mengisyaratkan untuk datang bersama dan tepat waktu.
Nada hanya nyengir tak bersalah, dirinya teringat beberapa menit yang lalu sempat menyemprotkan parfum dengan brutal, persis seseorang yang tengah menyemprot Baygon. “Sorry, abis ini wanginya pasti berkurang kok.” jawab Nada lagi.
Mereka berkumpul di ruang makan, yang memang mejanya sangat panjang mampu untuk menampung banyak orang sekaligus.
'Wah, inimah ga pihak cewe atau cowo sama-sama kaya. Kalo modelan ruang makannya kaya gini.'
Beneran, Nada tuh bukannya norak atau gimana. Cuma dia masih sering kaget kalo ngeliat fasilitas orang kaya. Padahal dirinya sendiri juga orang kaya.
Nada duduk diantara Jonathan dan Candra, dirinya bisa bernafas lega. Beda cerita kalo dia duduk di antara Haikal dan Jerome. Pasti ketika nanti dia di tanya-tanya, bukannya membantu mereka berdua pasti malah ikut memojokkannya.
Tak lama kemudian, masuk seorang wanita yang sudah cukup berumur dan menatapnya dengan cukup intens, sebelum duduk di kursi utama.
“Jadi ini calon suami kamu Rima.” ucap seorang wanita dengan intonasi mengintimidasi memecah suasana.
Bisa Nada liat, tante Rima yang duduk di sebelah Papanya sedikit menciut. Nada ikutan takut, dan merapatkan duduknya di samping Candra. Candra nih emang peluk able banget, Nada seneng banget kalo disuruh mepet-mepet dia.
'Ni Nenek nenek kenapa auranya nyeremin sih bangsat!'
“Iya Ma.” akhirnya jawab Tante Rima pelan. Gurat tertekan jelas terlihat di wajahnya. Padahal waktu masuk bersama ke dalam rumah, Tante Rima masih bisa tersenyum manis pada Nada.
“Kamu punya anak berapa?” tanya Oma pada Papanya. Papanya yang mendengar pertanyaan itu sedikit melirik pada Nada yang tengah menempel pada Candra dan Jonathan.
“Hanya satu.” jawab Papanya singkat.
“Istrimu meninggal?” tanya nya lagi menginterogasi.
Papanya menggeleng, “tidak bu.” jawabnya lagi pendek.
Oma menyatukan alisnya bingung, “terus kenapa kamu mau nikah lagi sama Rima? Kalau istrimu saja masih hidup. Kalian bercerai?” tanya nya lagi.
Nada mengepalkan tangannya erat, dia tidak suka melihat Papanya di pojokkan seperti itu.
“Lihat Rima, seperti ini calon suami kamu yang baru? Dengan istrinya saja yang sudah memberikannya satu anak di ceraikan apalagi dengan kamu, yang jelas jelas membawa sepuluh anak yang bahkan bukan darah daging nya.” ucapnya lagi semakin mencerca.
Papa menoleh ke arah Nada, memastikan bahwa anak semata wayangnya itu tidak apa-apa. “Saya menerima semua anak Rima dengan tulus, sama seperti Rima menerima anak saya, Nada dengan tulus.” jawab Papanya tegas.
Oma tertawa sarkastis, “apa arti tulus bagi kamu? Istri kamu yang pertama saja yang sejak masih muda dan memiliki anak bersama mu saja sudah kamu tinggalkan, apalagi Rima?” ucap Oma lagi, “bilang saja pada saya, kamu mengincar harta warisan dari almarhum anak saya bukan?”
BRAKK!!
Nada menggebrak meja dengan kuat, seluruh atensi terpusat padanya. “Maaf ya Oma, kalau urusan kekayaan Papa saya juga orang kaya.” ucap Nada dengan penuh penekan.
“Nada, duduk.” perintah Papanya tegas. Nada menggelengkan kepala tidak terima.
“Oma bilang kenapa Papa saya bahkan meninggalkan Mama saya yang hidup lebih lama dengannya dan beralih dengan tante Rima?? Oke biar saya yang memberitahu ya Oma.” kata Nada lagi, masih marah. “Tolong buka lebar-lebar telinga Oma yang sudah keriput itu, biar ga ada satu kata pun yang terlewat. Karena Mama saya selingkuh dengan teman Papa saya.”
“NADA!!”
“Saya rasa, Papa saya ga sebodoh itu buat bertahan sama wanita yang bahkan udah menduakan dia.”
Semua yang ada di meja makan terkejut, saudaranya langsung menatap prihatin pada Nada. Ternyata Nada selama ini menanggung beban seberat ini.
“Tante Rima tulus dan sayang sama Nada, biarkan dia hidup dengan pilihan yang dia buat. Oma ga ada hak untuk menghalangi apapun yang Tante Rima mau lakuin. Oma harusnya support Tante Rima karena udah berani bangkit dari keterpurukan kehilangan anak Oma itu. Kenapa- kenapa Oma jahat banget??” kata Nada lagi dengan sesenggukan, menangis.
Jonathan yang mengerti situasi langsung memeluk Nada yang masih berdiri dan mengajaknya duduk untuk menenangkannya.
Nada nih paling gabisa kalo Papanya di jelekin. Soalnya Papanya beneran nanggung semua sendirian, waktu mamanya selingkuh aja justru papanya yang minta kesempatan kedua.
Makanya Nada tuh sayang banget sama Papanya, apapun yang Papanya lakuin Nada pasti percaya. Dan ngeliat Papanya di tuduh macem-macem gini bikin dia sakit hati banget.
Tiba-tiba Hermas berdiri dari tempat duduknya, dan berjalan ke arah Nada untuk mengajaknya pergi. “Ga ada yang harus Nada lakuin lagi disini. Gue bawa dia balik. Kalo kalian masih mau lanjutin makan malem, terserah. Yang pasti gue ga ikutan, karena gue aja udah ga selera.” ucapnya sebelum hilang di balik pintu, meninggalkan kecanggungan yang belum reda.