War pt.2

Nada melangkahkan kakinya dengan ragu, memasuki rumah yang ia sempat tinggalkan selama kurang lebih tiga tahun itu.

Anan yang merasakan keraguan Nada, dirinya langsung menggenggam tangan Nada dengan lembut, dan meyakinkan kalau tidak akan terjadi hal yang buruk sehabis ini.

“Kita kabur lagi aja apa ya Nan?” bisik Nada takut, masih mencegah Anan yang hendak mengetuk pintu masuk.

Anan menggeleng, “Kamu bilang mau coba untuk hadapi ini kan Nad. Ayo kita masuk, aku percaya sama kamu.” ujar Anan.

Nada kembali memegang tangan Anan yang hendak mengetuk pintu masuk, “Jangan di ketok ih, kita langsung masuk aja. Lagian ini juga rumah aku. Kok kesannya kaku banget kaya tamu.” Anan tersenyum dan mempersilahkan Nada untuk memegang gagang pintu masuk.

“I'm home.”

Ganti orang orang di ruang tamu yang kaget, usai kemunculan Nada. Semuanya sudah berkumpul di ruang keluarga rupanya. Bahkan Papa dan Mama memutuskan untuk pulang lebih awal setelah mendengar kabar kehilangan Nada.

“Lo kemana aja sih anjir?!” ucap Delvin berdiri, sembari berjalan tergesa ke arah Nada. Nada yang merasa terancam, kaya mau di terkam Delvin langsung berniat sembunyi di balik dada bidang Anan, sebelum dirinya masuk ke dalam pelukan hangat Delvin. “Jangan kabur kaburan lagi Nada, gue khawatir.” ujar Delvin kemudian, memeluk Nada erat.

Anan tersenyum, kemudian melepas genggamannya dengan lembut sebelum dirinya pergi ke sisi kiri ruang tamu untuk berkumpul bersama Hermas dan Haikal. Memberikan waktu untuk Nada dan saudaranya yang lain saling bertegur sapa.

“Abis ini bantu gue.” bisik Haikal dari samping.

“Bantu apa?” tanya Anan tidak mengerti.

“Bantu gebukin Adelio.”

Anan menoleh ke arah Hermas, Hermas sendiri hanya menggelengkan kepalanya tidak ingin ikut campur.


Sejak kapan ya terakhir kali Nada melihat mama dan papa nya bisa duduk saling berhadapan seperti ini.

Ya duduk doang, ga bareng kaya dulu. Soalnya di samping papa ada mama Rima, dan di samping mama ada om Adimas. Sedih bener kalo di pikir, meet up tapi bawa ayang sendiri sendiri.

Nada sendiri kini duduk anteng di tengah Jeffery dan Adit. Anaknya juga kaget, kanapa Ayah, mas Bima, mbak Tiara, kak Adit, dan juga Keenan bisa menyusul hingga ke sini. Usut punya usut, ternyata memang papa yang menyuruh mereka untuk kesini, untuk menjelaskan awal mula permasalahan terjadi.

Mama Salsa terus terusan memandangi Nada yang kini merasa kecil di antara Jeffery dan Adit. Merasa adiknya terintimidasi, Candra sebagai kaka tertua berusaha untuk mengalihkan perhatian Salsa.

“Tante sekeluarga gimana kabarnya? Sehat?” tanya Candra dan menyunggingkan senyum tipisnya.

Mau tidak mau, Salsa yang melihat sikap sopan Candra harus membalaskan dengan sopan juga. “Iya, sehat.” jawabnya singkat.

“Orang jahat emang jarang sakit sih.” bisik Haikal pada Adelio yang berdiri di sampingnya.

Adelio hanya tertawa kecil, dirinya tahu seberapa benci Haikal pada ibunda kandung Nada itu sekarang.

“Sekarang mau kamu gimana Salsa? Mau kamu sembunyikan seperti apapun lagi, sifat busuk mu itu dari dulu tidak pernah berubah ya.” ujar Fero tidak tahan. Rima yang berada di sampingnya hanya bisa menepuk pundak suaminya dengan lembut.

Salsa melengos sombong. “Kalau itu sikap busuk, lebih busuk mana dengan sikap mu yang memonopoli Nada, dan mendoktrin nya untuk membenci ibu kandungnya sendiri?”

Asli, Haikal udah mau terbang ke hadapan Salsa terus teriak depan muka nya. “Lo bacot banget anjing.”

Tapi itu dia tahan, karena yang lebih berhak mengatakan hal itu adalah Nada yang kini melihat semuanya dengan mata sinis.

“Mama, ga pernah berubah ya.” ucap Nada, menimbrung percakapan. “Kenapa ego dan gengsi mama ga pernah turun?” sambungnya lagi muak. Yang lain hanya terdiam melihat Nada yang sepertinya mulai lepas kendali.

Jeffery memeluk pinggang Nada, berjaga jaga jikalau adiknya itu akan meloncat dan terbang mencakar ibunda kandungnya.

“Kamu ga tau, seberapa besar usaha mama untuk mendekati kamu Nada. Sedangkan kamu hanya terus menempel pada papa mu tanpa perlu repot menoleh ke arah mama.” ujar Salsa lagi, memberikan pembelaan diri.

“Mama berusaha mendekati Nada? Nyatanya Nada sama sekali ga merasakan hal itu ada Ma! Sehabis pernikahan papa dengan mama Rima, mama malah buru-buru tuh pulang tanpa menghiraukan Nada lagi. Padahal saat itu, mama tahu betul keadaan Nada lagi ga baik baik aja.”

Tiyo terkesiap, dirinya ingat betul ketika Nada kehilangan kesadarannya pada saat pesta pernikahan kedua orang tua nya. Ternyata itu bermula dari pertemuan antara Nada dan ibunya.

Salsa hanya bisa bungkam, tidak memberikan alasan apapun lagi kali ini. Dirinya sudah terlalu bingung, karena banyak pembelaan yang memang sengaja dirinya buat buat supaya ia tidak terlalu bersalah.

“Mama ga tau, seberapa hancurnya kak Delvin waktu tahu aku hilang ma. Haikal cerita banyak ke Nada, kak Delvin bahkan terus terusan menghukum diri dia sendiri karena udah ninggalin Nada saat itu. Atau mama juga ga tau, betapa menderitanya papa saat tau dirinya gagal jaga Nada. Mama harusnya tau kan, ujian paling berat orang tua adalah ketika anaknya pergi. Tapi kenapa mama bisa setega itu nyembunyiin Nada di ayah, dan bikin papa jauh lebih menderita demi memuaskan ego mama?” ucap Nada panjang lebar, menahan tangis yang mungkin akan meledak sewaktu-waktu.

“Mama udah menghancurkan hidup banyak orang. Dan itu jauh lebih jahat daripada ketidakadilan yang selama ini mama dapatkan. Mama bahkan memanfaatkan orang yang tulus dan bersih seperti mbak Tiara untuk ikut andil di rencana mama? Mama pikir hal sebesar itu bisa di tanggung mbak Tiara? Mama ga tau, mama itu membebani banyak orang hanya untuk kesenangan mama sendiri!”

Salsa tidak tahan, dirinya kini berlutut di hadapan anak tunggalnya itu. “Mama salah Nada. Mama mengakui hal itu, dan mama akan berusaha untuk merenungi kesalahan mama ini untuk kedepannya. Mama di butakan oleh ego mama sendiri, karena mama juga tidak bisa membendung rasa kebencian yang besar karena kehilangan kamu. Mama minta maaf Nada, banyak minta maaf yang bisa mama ucapkan sekarang tapi belum tentu bisa menyembuhkan hati banyak orang yang sudah mama buat terluka. Mama minta maaf.”

Delvin menolehkan kepalanya pada Nada, adik yang sangat ia sayangi. Selama ini, dirinya tidak tahu kalau sumber segala kesakitan nya adalah ibunda kandung dari adiknya sendiri. Tapi mengetahui hal itu sekarang, hatinya jadi gamang dan abu-abu. Di sisi lain dirinya juga iba melihat wanita itu berlutut dengan tangisan yang masih keras.

Delvin pada akhirnya menghampiri Nada, mencoba untuk menenangkan hati adiknya itu. “Nada, dia nyokap lo. Dia yang lahirin lo. Seburuk apapun perlakuan dia di masa lalu, dia tetap ibu lo. Ga ada yang baik dari menyimpan dendam Nad.”

Nada menoleh dengan air mata yang masih bercucuran. “Kenapa lo bisa semudah itu memaafkan kak? Padahal kakak tau, dia alasan utama rasa sakit kakak.”

Arwena ikut menengahi, “Dengan memaafkan, emang itu ga mengubah masa lalu Nad. Tapi setidaknya lo bisa berbuat lebih baik untuk masa depan.”

“Semua orang pasti juga pernah melakukan kesalahan dek.” ujar Candra juga. “Termasuk kita juga. Mereka yang melakukan kesalahan di masa lalu, bukan berarti mereka ga bisa melakukan kebaikan di masa kini dan depan kan?” sambungnya lagi.

Pada akhirnya Nada mengalah, dirinya juga bukan pribadi yang pendendam. Apalagi dengan orang yang telah melahirkan dirinya.

Nada merangkul Salsa untuk berdiri dari posisi berlutut nya, dan kemudian memeluk ibunda nya itu dengan erat. Seberapa keras dirinya menolak, pada akhirnya dia juga tetap tidak tega. Apalagi setelah mendengar penuturan dari Wena dan juga Candra.

Nada percaya, setiap manusia punya hati dan keinginan untuk menjadi lebih baik. Dan yang membedakan ialah upaya, jalan dan proses untuk menjalaninya.