Why Always Me?

Rara membereskan beberapa piring juga gelas kotor yang baru saja di tinggalkan pembeli. Suasana cafe tempatnya bekerja, siang hari ini cukup ramai. Mungkin karena ini adalah hari weekend jadi banyak pengunjung yang datang.

“Raraaa!” panggil seorang wanita dari pintu masuk dengan heboh. Beberapa lelaki mengekor dari belakang wanita tersebut, dan ikut melambaikan tangan pada Rara.

“Mon, dari mana kalian berlima?” tanya Rara yang masih sibuk berkutat dengan piring dan gelas kotor. “Mau pesen apa? gue tinggal bersihin ini dulu ya.” kata Rara dan menenteng beberapa barang kotor di nampan.

“Kaya biasanya aja Ra.” ucap salah satu lelaki, dengan eye smile dan duduk di salah satu kursi cafe di ikuti yang lain. Rara mengangguk mengerti, seolah itu bukanlah hal baru.

Rara berjalan meninggalkan kelimanya, untuk berlalu ke bagian belakang cafe.

“Eh Ra, temen temen lo dateng lagi ya?” panggil teman kerjanya yang lain, sebelum Rara masuk ke dapur untuk mencuci. “Teman-teman lo pada keliatan kaya orang berada gitu, kok mau sih temenan sama lo yang miskin dan jadi pelayan disini?” sambungnya lagi.

Rara mengeratkan pegangannya pada nampan, menahan rasa malu. Dirinya sudah kerap kali di beri pertanyaan seperti ini. “Gue udah temenan sama mereka dari lama mbak.” jawab Rara seadanya, dan berlalu dari sana.


“Iya ih, sumpah susah banget matkul yang gue ambil buat 24 sks.” keluh Mona, dan menyedot caramel macchiato nya.

“Lo nambah apa aja emang?” tanya pria dengan rambut berwarna pirang, Rendy.

“Gue ngambil peradaban budaya Indonesia. Gue kira sejarah doang ya, ternyata pusing anjir.” jawab Mona lagi, menjelaskan panjang lebar.

Lagi lagi, Rara yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Dirinya tidak bisa mengambil 24 sks, karena dia harus bekerja paruh waktu. Padahal dirinya ingin lulus kuliah dengan gelar cumlaude. Tapi kehidupan memaksanya menjadi seperti ini.

“Lo udah ngerjain task dari Pak Herman Ra?” tanya lelaki dengan eye smile tadi, bernama Jendra. Diantara lainnya, mungkin hanya Jendra yang sedari tadi melihat Rara menautkan kedua jarinya, merasa canggung.

“HAH?! TUGAS YANG MANA??” sahut Mona heboh, tepat sebelum Rara menjawab pertanyaan Jendra. Bibir Rara kembali terkatub, karena pada akhirnya mereka kembali berbincang seru seperti sedia kala dan melupakan keberadaan Rara.

“Individu ya? Ra ajarin dong.” rengek lelaki dengan kulit tan, bernama Haikal.

“Iya, boleh.” jawab Rara singkat, akhirnya suaranya keluar juga.

“Tapi masa kita kumpul kaya gini malah ngerjain tugas sih?? ga asik lahh.” sela Mona lagi, membuat Haikal yang tadi bersiap mengeluarkan bukunya, kembali menaruh tas nya di bawah.

“Ya entar aja deh, gapapa.” sambung lelaki yang sedari tadi diam menjadi pemerhati suasana, Nathan.

Hari semakin sore, mereka yang sedari tadi berbincang bincang. Ralat, maksudnya Mona yang sedari tadi berbincang, mulai melihat suasana yang mulai redup dan memutuskan untuk mengajak mereka semua pulang.

“Lo pulang kan Ra?” tanya Mona berbasa-basi sembari merapikan barang bawaannya kedalam tas.

Weekend gue ambil dua shift Mon.” jawab Rara singkat.

Mona menganggukan kepalanya mengerti, “LAH TERUS GIMANA DONG RA??” teriak Haikal dari sebelah heboh. “Gue kan mau minta ajar tugasnya Pak Herman.” sambungnya lagi, memelankan suara setelah Mona memukul lengannya.

“Elo sih, nunda nunda dari tadi.” cibir Rendy dari samping.

“Dih kok jadi gue? Si Mona nih, tadi ngerecokin.” ucap Haikal membela diri.

“Lah?? Kok jadi gue anjir.” ucap Mona tidak terima. “Gue aja belom ngerjain juga loh??” lanjutnya menimpali.

“Gimana kalo elo aja yang ngerjain Ra?” kata Haikal tiba-tiba, tersenyum tidak jelas.

“Tapi kan ini essay Kal?” ucap Rara ragu.

“Halah, gapapa. Kan ntar bisa gue baca ulang kalo udah lo kerjain.” ucap Haikal lagi masih merayu, “ntar gue transfer deh, buat biaya ngerjakan tugas.” sambungnya lagi dan tersenyum licik.

Rara menggaruk tengkuknya pelan, “oke.” jawabnya singkat.

“LAH?? GUE JUGA RAA.” teriak Mona ikut ikutan, berebut dengan Rendy. Jendra dan Nathan hanya memandangi dengan santai.

Rara menghela nafasnya pelan.

'Why always me?'