Yohan

Untungnya Keenan ngasih tahu lebih dulu, dimana backstage perlombaan karate berada. Keira baru tau, kalau di gedung olahraga hari ini yang ngadain perlombaan bukan cabang karate doang.

Ada banyak cabang perlombaan, kaya badminton, terus futsal, dan satunya tenis meja. Pantesan aja, kenapa Keira ga nemu tempat sepi sama sekali, alias di mana-mana penuh sama banyaknya manusia yang terus berdatangan.

Keira menghampiri Keenan yang tengah duduk di kursi yang telah di sediakan untuk para atlet.

“Keenan,” sapa Keira, dan langsung memegang wajah Keenan yang sedikit bengkak di bagian hidung. “Mimisan nya udah berhenti?” tanyanya lagi, khawatir.

Keenan yang tadinya lagi asik merem, langsung melotot terkejut begitu merasa ada seseorang memegang wajahnya.

“Kak? Gue kira lo kesasar dulu.” sapa Keenan balik, dan membiarkan Keira menyentuh wajahnya dengan lembut.

Keira memberikan tas slempang nya pada Keenan, dan berlalu dari sana. Keenan mengernyitkan dahinya bingung, ni anak mau kemana lagi dah.

Ternyata Keira menghampiri panitia penyelenggara untuk meminta ice bag compress untuk Keenan. Keenan mah tadi udah di obatin, tapi dia tetep biarin Keira melakukan effort untuknya tanpa berniat untuk mencegahnya. Dia cuma ga mau menghalangi kekhawatiran Keira, dan biarin Keira periksa keadaan dia sendiri.

“Aduh, idung lo ga sakit kan bagian sini?” tanya Keira sembari memencet batang hidung Keenan selembut mungkin.

Keenan menggelengkan kepalanya, “ga ada yang sakit, tadi kayanya cuma kena gores dikit.” jelas Keenan, dan memegang tangan Keira yang telaten mengompres pipi kirinya.

“Keen, gue takut idung lo bengkok.” ucap Keira polos, karena dia tahu betul sekeras apa tonjokan musuh nya tadi.

“Gue tau, tapi gue ga apa-apa kan buktinya.” ujar Keenan kemudian, menenangkan.

Keira melepas topi dan maskernya, kemudian ia memakaikan topi ke Keenan. “Mau makan di luar dulu abis ini?” tanya Keira lagi.

“Terserah kak Adit, gue nurut aja mau di bawa kemana.” jawab Keenan singkat.

Ponsel Keira berbunyi, menunjukkan profil Adit tengah menelponnya. “Eh bentar, gue angkat telpon dari kak Adit dulu. Lo beres beres, kayanya dia udah nyampe di depan Gedung Olahraga deh.” ucap Keira, dan berlalu dari sana untuk mengangkat panggilan dari Adit.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?”

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan, seniornya di dojo karate nya yang baru saja selesai bertanding pada babak pertama.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung juniornya ini dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya kemudian.

Keenan mengangguk-angguk mendengarkan saran Yohan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” ajak Keira sekembalinya bercakap dengan Adit di ponselnya tadi.

Keira menolehkan kepalanya pada lelaki yang kini juga tengah menatapnya dengan intens.

Seolah meminta bantuan pada Keenan, Keira mengisyaratkan dengan tatapan mata seolah bertanya siapa pria itu.

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

“Oh, hai Yohan. Gue Keira, kakaknya Keenan.” kata Keira memperkenalkan diri, dan mengulurkan tangannya pada Yohan yang masih terdiam menatapnya.

'Ini seriusan kaga mau salaman sama gue apa gimana sih anjing? Sengaja banget lama lamain buat jabat tangan doang.'

Dengan perlahan, setelah agak lama, Yohan menyambut uluran tangan dari Keira.

'Kenapa tangannya dingin banget anjrot?!'

“Yohan.” ujar Yohan singkat memperkenalkan diri. Keira menganggukkan kepalanya dan tersenyum, kemudian melepas jabatan tangannya dari Yohan.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.


Yohan berjalan keluar dari panggung pertandingan dengan sumringah, karena ia bisa meraih poin penuh pada pertandingan pertamanya.

Setelah wasit mengarahkan mereka untuk beristirahat di stage, atensi Yohan teralihkan oleh juniornya yang ada di dojo yang sama dengan dirinya tengah memegang ice bag, dan menempelkan pada pipi kirinya.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?” Sapa nya langsung, dan menghampiri juniornya itu.

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan.

Yohan mengenal Keenan dengan baik, karena di Dojo dirinya selalu memperhatikan perkembangan anggota yang lain. Dan Keenan adalah salah satu anggota di Dojo yang memiliki perkembangan pesat, maka dari ia menaruh perhatian lebih pada Keenan.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung Keenan dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya lagi, dan menempelkan kembali ice bag yang sudah di pegang Keenan sedari tadi di tangan kanan nya ke pipi kiri Keenan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” Ucap seorang wanita, dan mengalihkan atensi Yohan ke sumber suara itu juga.

Yohan terdiam mematung, melihat wanita di depannya saat ini.

'Nada?'

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

Yohan masih menatap tak percaya pada wanita di depannya ini. Tangannya mendingin, ia benar benar merasa terkejut dengan situasi saat ini.

'Kakak nya Keenan?'

Seolah tersadar dengan tatapan tak nyaman yang datang dari Keenan dan wanita di depannya ini, Yohan mengusap kedua telapak tangannya di baju karate nya sebelum menyambut uluran tangan wanita itu.

“Yohan.” jawabnya singkat.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.

Seperginya Keenan dan Keira dari sana, Yohan langsung terduduk lemas di lantai. “Demi Tuhan, gue ga pernah merasa se kaget ini dalam hidup.” racau nya tidak jelas.

Yohan memandang kedua tangannya yang gemetar, ia masih mencoba untuk mempercayai apa yang baru saja ia lihat.

Yohan bahkan berfikir kalau matanya baru aja berbohong, dan yang ia barusan lihat hanyalah halusinasi semata. Nada yang sudah tiada, bagaimana bisa ada di depannya dan memiliki identitas lain sebagai Keira adik dari juniornya sendiri di karate.

Paras Nada dan Keira benar benar mengecoh nya. Yohan memegang rambutnya dengan frustasi, dirinya berusaha meredakan degup jantung yang menggila sedari tadi.

Doppelganger itu ga mungkin semirip itu kan...”