JC Halcyon

Semua sudah berkumpul disini, Mama, Papa, bahkan saudara nya lengkap bersembilan berada disini. Tetapi masih ada yang kurang di mata Delvin.

“Nada dimana?” tanya nya polos.

Mama memeluk Papa dengan tabah, dirinya ikut terpukul dengan hal yang harus di lewati oleh Delvin dan juga Nada.

“Kakak,” ucap Papa pelan mencoba mengatur intonasi. “Udah ya, jangan gini terus. Terakhir kamu ngotot mau nyari Nada, justru kamu yang hilang karena masuk jurang.” sambungnya menjelaskan dengan perlahan.

Air muka Delvin langsung berubah. Otak nya langsung berfikir keras, mengumpulkan kepingan kepingan memori yang hilang.

Seingatnya, dirinya baru dua hari ada di rumah sakit. Itupun karena tonjokan Yudha pada pipi kirinya. Jelas itu bukan mimpi, karena pipi kirinya masih terasa nyeri.

Tapi apa yang di ucapkan oleh Papa nya tadi, kembali membuat Delvin termangu bingung. Dia masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi.

“Hari ke tujuh Nada menghilang, lo ngotot ikut Tim SAR buat nyariin Nada di kawah Ijen.” ucap Candra ikut menjelaskan, dirinya wajib membuat salah satu adiknya ini paham dengan hal yang telah terjadi. “Dan hari itu juga, lo sempet di nyatakan hilang ketika ikut penyisiran di Gunung Ranti. Lo baru ketemu setelah empat belas jam terpisah dari Tim SAR, dan kondisi lo ga baik-baik aja.” sambung Candra lagi menatap Delvin prihatin.

“Lo ga sadar, sampai di bawa ke Malang dan akhirnya di rawat jalan di rumah sakit. Sementara pencarian Nada masih terus di lakukan.” sahut Yudha di samping nya.

“Baru kemaren Del, di hari yang ke sepuluh. Nada di temukan di jurang ke dalaman 500m. Kemungkinan karena dia sempet menginjak tanah yang rapuh.” jelas Tiyo juga agak tersendat. Papa di sampingnya sudah mengeluarkan air mata.

“APA APAAN ANJING?! ORANG BARUSAN AJA GUE SEMPET KE TAMAN SAMA NADA!!” teriak Delvin histeris, otaknya mencoba untuk tak percaya dengan hal yang baru saja di katakan oleh saudaranya yang lain.

“Del, udah kasian Nada. Kasian Papa, kasian Mama.” kata Jonathan mencoba melerai Delvin yang tengah mengamuk. “Jasad Nada udah di semayamkan Del, kemarin Mama kandung nya Nada juga sempet kesini, buat ikut prosesi pemakaman nya.” sambungnya lagi parau, Jonathan benar-benar terpukul melihat betapa kacau nya kondisi Delvin saat ini.

“KALIAN LANGSUNG KUBUR?! GAK KALIAN OTOPSI DULU?! BENER NGGAK ITU NADA, BENER NGGAK ITU DNA NYA NADA!!” teriak Delvin lagi, masih mengamuk. Papa yang di sampingnya hanya mengelus lengan Delvin perlahan, mencoba menguatkannya.

Haikal yang berada di belakang Arwena, tangannya merasa gatal ingin memukul kepala Delvin. Teriak-teriak mulu soalnya, kupingnya Haikal kan jadi sakit. Apalagi disini yang berduka tuh bukan Delvin doang.

BUGH!!

Hermas maju ke depan, dan memukul kepala Delvin gemas. “Respek dikit dong, yang berduka bukan lo doang. Lo ga ada hak buat memojokkan Papa dan bilang seolah olah otopsi Nada itu patut di benarkan. Bahkan pagi ini aja, udah ada media yang terbitin artikel soal jasad Nada yang udah di temukan tanpa minta izin ke kita dulu. Lo harus ngerti juga, gimana keadaannya Papa.” ucap Hermas jadi ikut marah-marah. Delvin begitu menguji kesabarannya.

Delvin termangu, air mata masih keluar deras dari kedua bola matanya. Dirinya menatap Papa dengan sendu, “maafin Delvin ya Pa, Delvin gagal jaga Nada.” ucap nya kemudian, dan mengulurkan tangannya.

Papa menyambut uluran tangan Delvin, dan memeluk nya dengan tegar. “Semuanya udah hilang, tapi tidak dengan kenangannya Delvin. Papa juga berterima kasih, kamu sudah menyayangi Nada dengan tulus selama ini.”


Delvin dan yang lainnya tidak percaya, kalau pada akhirnya mereka akan menginjakkan kaki di tempat seperti ini untuk menemui Nada.

Tampak dari kejauhan, tempat Nada sekarang yang masih di penuhi oleh kelopak bunga juga tanahnya yang masih basah karena baru di gali belum lama ini.

“Del, gapapa?” tanya Tiyo mencengkram lengan Delvin yang tampak kepayahan.

Delvin hanya terdiam, tanpa ada niat untuk menjawab pertanyaan Tiyo. Kondisi hatinya saat ini sangat kacau. Dirinya masih belum siap menerima kepergian Nada, bahkan dia tidak melihat Nada di saat terakhir sebelum di makam kan.

“Bang, mau gue gendong aja?” tanya Jeffrey mencoba mencairkan suasana, berharap mendapatkan perhatian dari Delvin.

Jonathan dari samping melihatnya sinis. Jeffery benar-benar tidak tahu bagaimana mencari topik di waktu yang tepat. Ingin rasanya Jonathan mengubur Jeffery hidup-hidup disini.

Sampai di tempat peristirahatan Nada yang terakhir, Delvin hanya bisa tertunduk menangis. “Makasih Nad, lo udah sempet mampir di mimpi gue dan pesen ke gue kalo lo baik-baik aja.” kata Delvin parau, dadanya sesak karena dirinya terlalu banyak menangis dari kemarin. “Gue kira lo bakalan balik, tapi kepergian selamanya itu ada. Makasih udah mampir di hidup gue dan bikin hidup gue jadi lebih berarti.” sambungnya lagi dan mengusap nisan yang bertuliskan Nada Caroline itu lembut.

Haikal menatap pemandangan di depannya itu dengan sendu. Tiba-tiba dia teringat percakapannya dengan Nada, sewaktu Nada mengajaknya untuk ke Gramedia.

“Lo tau, gue paling suka sama tulisannya kak Tenderlova.” ucap Nada dengan antusias.

“Halah, lo kalo novel pasti ga jauh-jauh dari novel roman Picisan gitu deh kayanya.” jawab Haikal mencibir.

“Bukan anjirr!” ucap Nada menyela, “ini tuh novel keluarga gitu. Judulnya Tulisan Sastra, sad ending sih tapi banyak hal yang bisa gue petik dari karya nya kak Tenderlova itu.” jelas Nada lagi.

“Apaan tuh?”

“Yang pergi biar lah pergi, yang masih tinggal seharusnya dijaga. Kalau nggak ada yang abadi di dalam bahagia, berarti ga ada abadi juga dalam sedih.” ucapnya sembari tersenyum dan mengacak surai Haikal lembut.

Haikal tersenyum sedih mengingat hal itu. Akhirnya kepergian mereka di temani oleh awan gelap yang membawa gerimis. Haikal kembali melirik makam Nada, terlihat menonjol diantara bunga krisan putih yang menghiasi makamnya. Ada sebuket bunga Anyelir merah yang tertata rapi disana.

“Itu pasti bunga dari Anan.... “

Sembari menunggu pagi, Nada udah duduk di deketnya Candra buat di peluk. Gatau korelasinya gimana, tapi pelukan Candra tuh emang yang paling nyaman.

“Kalian tau filosofi bintang nggak?” tanya Nada tiba-tiba, sembari menatap ke arah langit yang memang di penuhi oleh bintang.

“Filosofi bintang?” tanya Jeffrey penasaran.

“Iya, coba lu pada liat bintang yang itu.” kata Nada lagi, sembari menunjuk bintang yang terlihat lebih besar daripada yang lainnya. “Itu Kak Jeffery.” sambungnya lagi.

“Eh?? Kok gueee??” tanya Jeffery kaget, karena tiba-tiba di mention Nada

“Soalnya kak Jeffery tuh yang selalu mempresentasikan kalian. Dia yang selalu jadi icon diantara kalian. Pertama kali kenal aja, gue paling inget sama Kak Jeff.” jelas Nada panjang lebar.

“Nah kalo yang itu.” tunjuk Nada lagi, pada bintang yang kecil. “Itu kak Jerome.”

“Hah? Yang mana sih anjir?” tanya Jerome bingung, matanya menyipit guna melihat bintang yang Nada maksud.

“Ituu.” ucap Nada lagi, “nah kak Jerome tuh sama kaya bintang itu. Ga tertebak, kalian coba liat bintang yang gue maksud, dengan mata telanjang emang ga keliatan, tapi kalo kalian liat pake alat tertentu dia itu bintang yang paling terang.”

“Yang itu lagi,” lanjut Nada sembari menunjuk bintang yang agak redup. “Itu Hermas. Dia sebenernya bintang yang indah, tapi banyak yang menyepelekan nya cuma karena cahaya nya yang redup.” Padahal bintang yang di tunjuk Nada, cahaya dia yang redup itu menggambarkan kehangatan.

“Kalau bulan, udah pasti Bang Candra.”

“Kenapa tuh dek?” tanya Candra ikut menyimak perkataan Nada.

“Ga ada yang spesifik, karena arti Candra itu sendiri bulan kan?” kata Nada tertawa. “Lagian, Bang Candra tuh kaya bulan diantara hamparan bintang. Cahaya nya mungkin bisa kalah sama bintang yang lain, tapi setidaknya dia ada untuk melengkapi hiasan di langit.” lanjutnya.

“Kalo gue, kalo gue Dek???” tanya Jonathan heboh.

“Nah Bang Jo tuh yang ituu.” ucap Nada menunjuk bintang yang ada di samping bulan.

“Dih, kenapa itu bukan gue??” protes Haikal, “kan gue yang paling deket sama Bang Candra.” lanjutnya lagi tak terima.

“Bukan kaya gitu bego cara main nya.” kata Nada mencibir. “Liat, posisi bintangnya tuh ada di tengah langit. Pas banget kaya posisi Bang Jo yang selalu mengikat, dan mempererat tali hubungan kita.”

Jonathan menganggukkan kepalanya puas.

“Nah terus kalo Bang Yudha sama Bang Tiyo tuh malam.”

Yudha menolehkan kepalanya cepat, “kenapa malam dek?” tanya Tiyo mewakilkan pertanyaan Yudha.

“Karena malam lah yang buat bintang dan bulan bersinar terang. Kalian tuh sering ga di perhatikan, padahal kalian yang paling care sama saudara kalian yang lain.”

“Ya ya, udah. Gantian gue dong.” protes Delvin. Soalnya nama dia dari tadi belom muncul juga.

“Kak Delvin bintang yang mana yaa??” ucap Nada sembari memilah milah bintang yang ada di langit. “Mungkin bintangnya kak Delvin belom muncul.” putus Nada kemudian

“Lah?? Kok yang lainnya bisa lo gambarin, giliran punya gue kaga sih!” amuk Delvin, dia cemburu yang lain punya filosofi bintang sendiri-sendiri tapi dirinya enggak.

“Bintangnya kak Delvin itu emang ga selalu terlihat. Tapi dia selalu ada.”

Delvin masih mencibir, padahal dalam hatinya udah berbunga-bunga karena Nada mepresentasikan dirinya dengan sangat dramatis. Padahal menurut Nada, itu dangdut banget.

“Nah terus kalo kak Wena, bintang yang itu.” ucap Nada sembari menunjuk bintang yang paling berkilau diantara yang lainnya.

“KENAPA ITU BUKAN BUAT GUE SIH ANJIR?!” ucap Haikal mulai tak terima lagi.

“Soalnya bintang yang berkilau itu, cuma bisa gue liat, gabisa gue sentuh, ataupun jadiin milik gue.” kata Nada mulai ngaco, “sama kaya kak Wena. Kak Wena tuh untouchable banget.”

“Anjing, nyesel gue dengerin serius.” rutuk Hermas kesal.

“Gue Nad?! LO KOK PILIH KASIH GITU SIH ANJIR??” amuk Haikal sudah tak tahan, karena hanya dirinya yang belum di berikan filosofi bintang oleh Nada.

“Tenang punya lo abis ini muncul kok.” ucap Nada santai, sembari menoleh ke arah jam di tangannya.

Tak lama kemudian, Matahari terbit dari ufuk timur. Cahaya nya yang hangat, mulai menyinari mereka semua.

“Lo matahari Kal. Karena ga ada awan gelap yang bisa selamanya menghalangi matahari buat bersinar.” kata Nada sembari mengusap rambut Haikal pelan. Haikal tersenyum semringah, penjelasan Nada lebih dari cukup untuk membuatnya senang.

“Dari tadi kita doang dek.” ucap Tiyo menyela. “Bintang kamu yang mana?” tanyanya lagi dan kembali mengalihkan perhatian nya ke arah matahari yang terbit.

Nada tersenyum, “bintang gue ga ada disini.” ucapnya singkat. “Mungkin lain hari bakalan gue kasih liat, yang mana bintang gue.”

Akhirnya perjalan mereka berjalan sesuai dengan rencana. Cuma ada sedikit perubahan formasi, Tasya ga jadi ikut soalnya dia sakit. Gatau, kayanya masuk angin deh. Soalnya sama si Jonathan di ajakin ngalong mulu.

Berarti ini Nada sendiri yang cewe dong?? dih, enak banget Nada. Naik gunung yang jagain dia hampir selusin, cowo semua lagi.

“Nad lo serius cuma bawa ini doang?” tanya Haikal bingung, begitu melihat ransel Nada hanya berisi mie instan, jacket tebal, juga hoodie dari Anan.

“Emang mau bawa apalagi anjir? Udah cukup itu. Kan udah di bagi-bagi buat yang lain.” jawab Nada menjelaskan, “lo sendiri ngapain bawa sampe gede gitu sih tas nya?” komentar Nada balik, begitu melihat ransel Haikal obesitas. Entah apa yang di bawa oleh anak itu.

“Ck, iya kayanya gue bongkar aja.” keluh Haikal, ikut setuju dengan saran Nada. Dia ngeliat Nada bawaannya cuma segitu doang jadi ikut tergoda. Dia takut aja ntar pundaknya cape, kalo bawa barang banyak-banyak.

Akhirnya Haikal mengeluarkan berbagai macam barang yang dia anggap terlalu berlebihan untuk di bawa. Nada memegang lilin yang baru saja di keluarkan Haikal dari dalam ranselnya. “Lo naik gunung bawa lilin buat apa sih? Ngepet?” ucap Nada bingung.

“Kepikiran aja, biar ntar bisa kaya di drama drama gitu. Lagian ini tuh lilin buat ngusir nyamuk anj.” kata Haikal tak terima, dan merebut lilin yang ada di genggaman Nada dengan paksa.

Nada kembali bingung, begitu Haikal mengeluarkan panci dari dalam bagian tas nya yang lain. “Anjing, lo tuh bukan naik gunung bangsat. Lo tuh persiapan buat pindah rumah.” sahut Nada frustasi.


Jonathan membagikan masker yang ada di tangan, pada saudara saudaranya yang lain. Dari villa, mereka berangkat ke kawah ijen pukul sepuluh malam.

Karena menurut Jerome, sebagai anak mapala mendaki gunung itu lebih baik saat malam hari. Biar besok paginya bisa liat sunrise pastinya.

Nada udah kebayang gimana capeknya, perjalanan ke Banyuwangi udah lama, sekali udah sampe sini malem nya langsung di ajak naik gunung.

Jonathan melihat Nada dengan khawatir. “Nad, kamu gapapa kan? Kalo cape kita bisa kok bikin tenda dulu di deketnya Pos Paltuding. Terus baru berangkat besoknya” ucapnya sembari mengelus pelan lengan Nada.

Nada menggelengkan kepala tidak setuju, “mending langsung naik aja deh Bang, biar kita sama-sama istirahat di puncak Kawah Ijen nya.” ucap Nada menenangkan. Dia serius yang bilang mending istirahat di atas aja, lagian kondisi fisik Nada emang prima. Dan ga lupa juga, dia gamau membebani saudaranya yang lain.

Lagian mereka tadi juga udah sempet istirahat bentar kok di Pos Paltunding sampe jalur pendakian di buka. Soalnya jalur pendakian menuju Kawah Ijen tuh baru dibuka jam 12.30 dini hari dan tutup pukul 12.00 siang.

“Yaudah, ntar kalo cape bilang aja. Biar bisa istirahat di jalan.” kata Jeffery menepuk kepala Nada yang memakai topi bonnie. “Apa mau kakak bawain tas nya?” tanya Jeffey lagi sembari mencoba mengangkat tas ransel Nada.

Matanya melotot, “heh, lu bawa apa aja anjir? Kok enteng banget?!” tanya Jeffrey bingung, pasalnya ransel Nada nih enteng banget, kaya ga di isi apa-apa. Beda sama ransel dia yang beratnya udah kaya nenteng dosa.

“Baju doang, sama mie.” jawab Nada cuek dan terus melanjutkan perjalanan.

“Awas Nad, hati-hati.” ingat Yudha dari belakangnya. Nada memberikan senyumannya sebagai tanda bahwa dia mengerti.

Urutan mereka naik track itu mulai dari Jerome, Arwena, Jeffery, Nada, Yudha, Haikal, Hermas, Tiyo, Delvin, Candra, dan yang terakhir Jonathan.

Sebenernya track di Kawah Ijen nih ga begitu susah, rute nya juga udah jelas. Bener aja, sekitar 90 menit mereka udah sampe di pondok Bunder. Nah pondok Bunder nih semacam bangunan untuk beristirahat dan ada warungnya juga.

Kalo di itung, mulai mereka naik tadi jam setengah satu pagi, dan sekarang udah sampe di pondok bunder jam dua pagi. Capek banget, Nada sampe diem aja dari tadi sangking capek nya.

Banyak pendaki lain yang juga trekking ke puncak Gunung Ijen buat liat empat spot populer. Kaya puncak gunung Ijen, Kawah Ijen, Lanscape Ijen, dan yang terakhir Blue Fire Ijen.

Baru aja Delvin tenang, Nada ga banyak tingkah. Tiba-tiba aja Nada udah bangun lagi dari duduknya dan berjalan ke arah pendaki lain buat tepe tepe.

Tiyo hanya bisa tertawa tanpa suara, Nada tuh moodboster banget buat dia. Akhirnya Haikal dengan paksa menyeret Nada untuk kembali ke tenda yang telah mereka dirikan.

Serem anjir, di mana-mana ni anak ngadal mulu. Mana yang di kadalin bapak-bapak lagi. Nada sebenarnya ga ngadalin sembarang orang. Orang yang di bilang Haikal bapak-bapak itu tadi bule anjir. Makanya Nada sambil nyari kesempatan, siapa tau di angkat jadi sugar baby.

Akhirnya setelah istirahat sejenak, rombongan mereka mutusin buat ngelanjutin perjalan ke mulut kawah Ijen. Arwena juga udah ngewanti wanti buat saudara-saudaranya make masker, soalnya bau belerang udah menyengat banget. Bau belerang di kawah Sikadang, Dieng aja kalah anjir.

Dan setelah perjalanan yang penuh perjuangan,nurunin lereng lewat batu-batu terjal, akhirnya mereka sampai di titik tempat melihat blue fire

Nada cuma bisa melongo liat pemandangan di depan dia, rasanya tuh perjuangan dia buat naik kemari ga sia-sia. Dia terharu banget liat pemandangan seindah ini. Ciptaan Tuhan emang ga main-main.

“Do you want to take a photo of the blue thing?” tanya Hermas di sampingnya, gatau arahnya dari mana tiba-tiba aja udah ada di samping Nada.

“No, I don't. I just wanna see it from here.” jawab Nada dan tersenyum menatap Hermas, “lo mau gue fotoin?” tanya Nada balik.

Hermas menggelengkan kepalanya. “I just want to record this scene with my own eyes.” ucap Hermas menjelaskan. Nada menganggukkan kepalanya mengerti. Ya, terkadang memang ada satu titik dimana kita itu nggak ingin memotret sesuatu, dengan alasan karena kita ingin merekamnya lewat mata. 

“Sorry.” ucap Hermas lagi, Nada menolehkan kepalanya penasaran. Ini Hermas kenapa sih? dari kemaren tiba-tiba jadi soft gini. Kan Nada jadi bingung gimana ngehadapin nya.

“For?”

“Everything.” jawab Hermas cepat.

“Dulu gue tinggal sama Oma gue.” ucap Hermas memulai bercerita. “Dia sayang sama gue untuk awalnya. Sampai tante gue datang, dan mulai merubah semua sifat Oma yang tadinya lemah lembut jadi keras ke gue.” lanjutnya lagi masih terus memandang ke arah blue fire.

Nada mendengarkannya dengan seksama. “Oma jadi lebih toxic, dan dia selalu menuntut semuanya ke gue. Dan berakhir gue yang sekarang trauma sama cewe.” ucap Hermas lagi getir, “but everything changed when you came. Gue sampe bingung karena muka lo tebel banget buset, dan ga nyerah buat deketin gue. Yang notabenenya udah nyakitin lo berkali kali.” sambungnya sambil tertawa.

i take that as a compliment.” ucap Nada ikut senang, karena Hermas sudah mau bercerita tentang dirinya sendiri sama Nada.

“Makasih Her, makasih banget lo udah mulai mau untuk terbuka dan nerima gue.” kata Nada lagi sembari mengenggam tangan Hermas lembut.

Akhirnya panjat pinang hari itu dimenangkan oleh anak IPS2, kelasnya Haikal. Emang anak IPS tuh pada suka kompetisi kaya gini daripada sibuk ngapalin ilmu sejarah di kelasnya.

Haikal sendiri ga ikut untuk lomba, soalnya dia panitia nya. Oiya ngomongin soal Kayla, anaknya hari ini udah masuk tapi ga begitu keliatan karena mungkin ngawasin dari dalem ruangan. Justru yang Nada liat dari tadi tuh Ren, mondar mandir sana sini seakan-akan ngegantiin Kayla kemaren.

Nada curiga, jangan-jangan si Ren nih suka juga sama Kayla. Diliat kemaren waktu si Kayla pingsan, dia kan juga ikutan khawatir. Bukannya apa-apa ya, cuma Nada tuh kasian sama Haikal kalo saingannya kaya si Ren.

Secara dari spek, si Haikal nih kalah jauh. Cuma kalo bikin nyaman, mungkin Haikal ada satu langkah di depan Ren lah harusnya. Bodoamat dah Nad, mikirin idup lo sendiri aja pusing, ngapain mikirin idup orang lain?

“Nad, lo udah ketemu Anan nggak hari ini?” tanya Kayla tiba-tiba di belakangnya. Kaget beneran Nada, soalnya dia abis mikirin soal Haikal-Kayla-Ren.

“Nggak Kay, kenapa lo ada perlu sama dia?” tanya Nada balik bertanya. “Perlu gue telponin?” sambungnya lagi.

Ini sih sebenernya ada udang di balik tumis kangkung. Karena Nada juga pengen ketemu sama Anan. Tadi pagi kan dia ngomongin masalah hoodie sama Anan lewat chat, dan mereka belom ketemuan sampe sekarang.

“Gabisa Nad, soalnya hape dia gue yang bawa.” ucap Kayla lagi menjelaskan, dan mengeluarkan sebuah ponsel berwarna hitam dari sakunya. “Gue mau balikin hape dia, tapi dianya malah ngilang.” keluh Kayla lagi.

'wah, ini kode bukan sih? Yaudah lah yaw kesempatan ga dateng dua kali, sikat ajaa.'

“Yaudah, gue aja Kay yang nyari Anan buat ngasih hapenya dia.” ucap Nada lagi, mencoba sedikit memperhalus niat nya yang lain.

“Bener nih Nad??” tanya Kayla dengan pandangan berbinar. “Yaudah, nih. Makasih ya Nad, gue mau ke Aula dulu.” sambungnya lagi sembari menyerahkan ponsel ke tangan Nada, dan segera berlalu dari sana.

“Ini kenapa gue jadi ngerasa, kalo gue yang di manfaatin ya?”


Nada membolak-balikan ponsel Anan yang sedari tadi ada di tangannya. Asli dia tuh cape banget, udah muter muter sekolahan dan masih ga nemu keberadaan Anan ada dimana.

Mana sekolahan dia tuh gedenya udah kaya lima gedung di jadiin satu lagi. Dan yang paling parah, mau ke lantai atas tuh ga ada lift, semua manual pake tangga. Nada kan mager.

“Mana lagi yang belom gue datengin ya?” gumamnya pelan, mencoba berfikir. “Serius nih gue ke atap sekolah?” bayang nya ngeri, karena tempat yang belum dia datangi hanya di atap sekolah saja.

Buset, kayanya dia bisa lumpuh deh kalo semisalnya naik kesana, dan ga ada Anan pula disana. Ntar turunnya gimana? Gelindingin diri gitu??

“Yaudah deh, ayo kita modal nekad.” tekad Nada, karena dia juga udah janji ke Kayla.

Bener aja, sampe sana ada Anan yang lagi berdiri di pinggiran tembok atap sekolah, sambil ngeliatin awan sore yang warnanya oren gitu. Buset, anak indie banget nich.

“Lo ngapain disini sih anjerr?!” teriak Nada kesal, dia langsung duduk selonjoran di semen atap karena kaki nya udah kepalang linu.

Anan yang tadinya lagi ngelamun, langsung kaget denger suaranya Nada. Dengan segera dirinya menghampiri Nada yang udah tepar tak berdaya.

“Kok lo bisa nemu gue disini sih? hahahaha.” ucap Anan senang, karena ngeliat muka Nada kembang kempis karena cape naik tangga.

“Nih hape lo.” ucap Nada singkat, dan memberikan ponsel yang sedari tadi di bawanya, pada pemiliknya.

“Lo gabuka hape gue?” tanya Anan. Intonasi bicaranya sih sebenernya biasa aja, tapi karena Nada demen ngebayol, jadi sama Nada di isengin.

“Kenapa sih? lo masang foto cewe lo ya buat jadi wallpaper??” ejeknya sembari merebut kembali ponsel Anan, dan membuka lockscreen yang memang tidak ada kata sandinya.

'anjing, tau gini gue buka dari tadi bangsat.'

“Eh? Gapapa kan Nan?” tanya Nada meminta persetujuan, karena Anan cuma diem doang dari tadi ngeliatin hape dia yang ada di tangan Nada. Nada cuma takut kalo dia ngelanggar privasi.

“Buka aja.” ucapnya singkat.

Begitu Nada membuka layar lockscreen pada ponsel Anan, Nada tertegun, hatinya sedikit bergetar karena Anan memasang wallpaper wanita di ponselnya.

'lah, dia udah punya cewe?? Kok selama ini dia diem aja gue godain?!'

Nada gatau gimana perasaan dia saat ini. Di bilang poteq, dia biasa aja. Dia bilang biasa aja, tapi dia poteq. Bingung banget muka nya Nada kayanya. Karena Anan juga sampe ngeliatin dia jadi ikutan bingung gitu.

“Kenapa Nad?” tanya Anan kemudian, mencoba untuk bersikap biasa aja.

“Oh lo udah ada cewe ya Nan?” tanya Nada lemes, perasaan dia saat ini beneran kaya di campur aduk gitu. “Sorry ya, kalo selama ini gue sering berlebihan sama lo. Kedepannya gue bakalan lebih jaga sikap.” sambungnya lagi, dan beringsut berdiri dari sana untuk pergi meninggalkan Anan.

“Lah?! Itu kan foto lo Nad??” ucap Anan kelabakan, dia tidak menyangka kalo Nada bakalan salah paham kaya gini.

“HAH?! FOTO GUE DARIMANA ANJ??” ucap Nada kaget setelah mendengar penuturan Anan, “LAH?! IYA JUGA BNGST. KOK LO BISA DAPET FOTO GUE WAKTU TIDUR SIH??!” sambungnya lagi heboh.

Akhirnya setelah perdebatan panjang antara Nada dan Anan, Nada mulai mengerti dan mencoba untuk nggak salting.

Siapa yang nggak salting anjir? Foto lo tiba-tiba di jadiin wallpaper sama cowo yang selama ini lo pepet?? Ini Nada udah make hoki nya dia berulang kali, kenapa ga abis-abis sih??

“Jadi gimana Nad?” ucap Anan lagi, mulai mengatur suasana hatinya yang kini berdegup kencang.

“Gimana apanya?” ucap Nada balik bertanya. Dia gamau kegeeran dengan membayangkan hal hal lain yang belum sepenuhnya terealisasikan.

“May I be your boyfriend?”

Akhirnya Adelio sampai juga di sekolah Nada, setelah kira-kira dirinya menunggu setengah jam. Nada nih kalo disuruh cerita, dia awkward nggak kalo sama Adelio. Dia juga bingung.

Kalo udah ketemuan kaya gini tuh biasa aja. Emang sih masih ada deg deg ser gitu, gatau artinya belom move on atau gimana. Ya mau gimana lagi? semuanya butuh waktu kan? Nada sama Adelio juga ga pacaran sebentar, jadi semua emang ada waktunya sendiri.

“Ayo Nad, masuk.” ucap Adelio setelah turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Nada. Sederhana tapi bisa bikin orang modelan kaya Nada baper. “Nunggu lama?” tanya Adelio berbasa basi.

Nada menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Mau kemana?” tanyanya singkat. Dia mencoba buat bertingkah biasa aja di depan Adelio.

“Gatau, kamu ada destinasi yang bisa di kunjungi ga kalo di Malang?” tanya Adelio balik, meminta pendapat Nada.

“Ke Bakso Malang deket alun-alun aja. Gue laper.” katanya lagi, Adelio hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Tadi waktu mau ke sekolah Nada ngelewatin sana soalnya.

“Gimana kabar kamu? baik-baik aja kan??” tanya Adelio masih mencoba untuk mencairkan suasana. Nada nih emang bayol, tapi sekalinya diem, es pun kalah dingin sama dia.

“Ya gitu-gitu aja. Ga ada yang spesial dan spesifik.” ucap Nada pelan, dia masih grogi Adelio tetep manggil dia aku-kamu. Padahal hubungan mereka udah kandas.

“Ada temen baru disini?” ucap Adelio lagi masih tak menyerah. Gila ni cowo boleh juga mental nya kalo disuruh nenangin cewe modelan kaya Nada. Pantesan Nada gamon mulu, ga ada yang modelannya kaya Adelio sih disini.

“Hem, banyak.” jawab Nada seadanya. “Ada temen tongkrongan lo juga disini.” sambungnya membuat Adelio mengrinyit tak mengerti.

“Siapa?” tanya nya penasaran, dia gatau beneran soal nya.

“Felix.” ucap Nada singkat.

“Lah, Felix pindah kesini??” tanya Adelio heboh, “dia temen aku waktu ikut kakang-mbakyu Nad.” lanjutnya lagi mulai bercerita.

'Udah tau. Dahlah biarin aja dia ngoceh, biar ga sepi-sepi banget ini mobil.'


Akhirnya mereka berdua sampai di warung makan Bakso dan Mie ayam. Nada keinget kalo makan disini tuh pelayan nya agak kurang denger gitu, jadi dia udah mutusin buat ngomong beneran keras supaya kedengeran di telinga mbak nya.

Belom sempat Nada berpesan pada si pelayan, Adelio menyahuti. “Mbak, mie ayamnya gausah di kasih sawi ya.” ucapnya sambil tersenyum. Mbak nya juga ngangguk mengerti.

Dih, siapa coba yang ga baper? Nada sekarang udah mau lari ke jalan raya, terus nabrakin diri ke truk yang lewat aja. Dia salting banget, sial.

“Hubungan lo sama Felicia gimana?” tanya Nada mencoba mengalihkan perhatiannya dengan cara membahas topik lain dengan Adelio.

'Kenapa gue nanyain itu sih goblok, kan si Adelio gatau kalo gue ngerti dia selingkuh sama Felicia.'

“Hah? Felicia siapa??” tanya Adelio bingung, membuat Nada ikutan bingung.

“Lah, bukannya lo pacaran ya sama Felicia? Couple lo yang event kakang-mbakyu.” yaudah lah ya. Udah kepalang basah, mending masuk kolam sekalian.

“Kata siapa Nada?” tanya Adelio mulai serius. Agaknya dia ngerti kalo Nada tuh sebelum pengumuman pernikahan kedua orang tua mereka, si Nada mulai menjauh, bukan cuma karena kedua orang tua mereka menikah. Pasti karena salah paham kaya gini.

Nada jadi bingung sendiri, dia kira si Adelio beneran selingkuh sama si Felicia ini. Tapi kok si Adelio nya malah kekeuh nanya Felicia siapa.

“Yang ini bukan Nad??” tanya Adelio pada akhirnya, menyodorkan ponselnya yang menampilkan gambar seorang wanita. Nada menganggukkan kepala mengiyakan, karena wanita dalam foto itu adalah Felicia yang Nada ketahui sebagai selingkuhan Adelio.

“Ini Felicia, sepupu aku Nad.” ucap Adelio gemas. Nada hanya bisa membeo, beneran shock. “Coba liat wajah aku, familiar apa enggak sama dia??” titah Adelio lagi. Nada menolehkan kepalanya, menatap Adelio.

'Lah, iya juga anjir.'

Nada mendadak pusing, tangannya dengan sigap langsung memijit pangkal hidungnya. Jadi selama ini dia salah paham doang dong?! Goblok banget ya ampun Nada.

“Tapi kenapa gue ga tau kalo dia sepupu lo? Kenapa lo ga cerita ke gue? Kenapa Felix juga ngira lo pacaran sama dia?” tanya Nada bertubi-tubi, masih ga terima.

Adelio menghela nafas, “Aku gabisa cerita soalnya kamu udah ngejauh duluan. Entah siapa yang ngomong ke kamu kalo dia pacar aku.” kata Adelio mulai menjelaskan. “Orang-orang juga pasti salah paham, soalnya Felicia deket banget sama aku. Mereka salah mengartikan perlakuan ke keluarga sebagai perlakuan sepasang kekasih.” sambungnya.

Suasana berakhir canggung setelah perdebatan mereka tadi. Nada akhirnya cuma ngaduk ngaduk mie ayam nya yang tinggal dikit. Malu sih, asli kalo jadi Nada.

“Lo ada rencana mau kuliah dimananya?” ucap Nada kembali pada akhirnya untuk mencairkan suasana. Ga enak soalnya, makan suasana canggung kaya gini.

“Ya di Universitas Malang lah Nad? emang kamu rencananya mau dimana??” tanya Adelio balik.

“Gatau, belom mikir.” sahut Nada singkat. Dia jujur masih belom mikirin mau ngelanjutin dimana soalnya, pengennya di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Tapi kalo disana bakalan jauh dari Papa, Mama, dan sodara sodaranya yang ganteng.

“Masih mau jadi Pskiater?” ucap Adelio lagi, santai. Dia tau dream plan nya Nada tuh kaya gimana, tapi Nada lumayan sensitif soal itu. Jadi sebisa mungkin Adelio mencoba buat membahasnya pelan pelan aja.

“Hmm.” ucap Nada cuek, dia udah males kalo bahas hal kaya gini. Soalnya nyokap dia tuh ga mendukung impian Nada yang mau jadi Pskiater.

“Buat apa kamu jadi Pskiater?! Kalo mau kedokteran, langsung aja ambil dokter bedah. Pskiater?! Kamu kira bergaul sama orang gila, gabakal bikin kamu gila juga?!”

ucapan Hera masih terngiang di telinga Nada. Dia merasa useless banget kalo udah bahas bahas masalah cita-cita. Ya karena dari awal dia punya cita-cita, udah di patahkan sama nyokap dia sendiri.

'Gaperlu nunggu jadi Pskiater, sekarang pun aku udah gila Ma.'

Akhirnya hari yang di tunggu-tunggu sama anak OSIS maupun Pramuka tiba. Gara-gara Hermas sama Haikal bingung, soal nyiapin acara di hari ini. Nada yang ngeliat jadi ikutan pusing.

“Nad buruan anjer, ntar gue kena amuk Ren.” teriak Haikal pada Nada yang tengah memakai sepatu nya.

Ini masih jam empat pagi, wtf? Dan Nada juga masih ngumpulin nyawa, setelah tadi pintunya di gebrak sama Haikal buat mandi dan cepet-cepet ke sekolah. Ini Haikal yang mau acara, kenapa Nada jadi ikut repot sih?

“Aduh anjing, kelamaan.” ucap Haikal pada akhirnya tak sabar, dengan segera Haikal menuntun Nada untuk masuk kedalam mobil, dan tangannya yang satunya mengambil sepatu Nada yang tadi belum sempat terpakai, untuk di pakai di mobil.

“Sabar buset, nyawa gue masih berceceran nih.” keluh Nada pening, jujur aja dia tuh ga bisa kalo di buru-buru gini.

Nada tuh terpaksa ikut Haikal soalnya, dia berangkat ke sekolah cuma bisa bareng Haikal. Hermas sendiri udah tidur di sekolah dari tadi malem, karena dia yang ngurusin semua dekorasi yang ada di panggung.

Sedangkan Haikal yang jadi sie acara, ga begitu ngurusin lapangan. Yang jadi korlap si Aldeo soalnya. Jadi Haikal ga repot-repot banget.

“Lo mau kena semprot Ren? Biar lo bukan anak Osis, tapi kalo lo menghambat kinerja gue di Osis pasti juga kena marah Ren ntar.” jelas Haikal panjang lebar.

Nada yang emang masih ngantuk, ga memperdulikan ucapan Haikal dan memilih buat tidur lagi.

Haikal cuma menggelengkan kepalanya tak habis pikir. Mana sepatunya kaga di pake lagi sama si Nada. Yaudah lah ya, kasian juga si Nada. Pasti dia juga agak pusing di bangunin tiba-tiba kaya gitu, akhirnya sama Haikal di biarin lagi si Nada tanpa ada niatan buat negur anaknya yang udah tidur pules.


Nada buka matanya pelan. Kaget, soalnya dia udah ga di mobil lagi. Makin kaget lagi, ketika Nada liat jam udah jam sembilan pagi.

“Gue kebo banget buset, ini dimana lagi bangsat?!” omelnya bingung, bangun-bangun udah kaya di dimensi lain.

Tangannya dengan spontan memegang hoodie berwarna mint, yang memang sedari tadi menjadi selimut untuk tubuhnya.

“Ini punya Anan bukan sih?” ucap Nada bingung. Setelah di bolak balik, barulah Nada yakin kalo hoodie yang ada di genggamannya emang punya Anan.

Mau baper, tapi dia tahan-tahan. Takutnya emang Anan ngasih hoodie ke dia waktu tidur tuh buat nutupi bagian-bagian yang ga pantas buat di liat. Soalnya Nada tau sendiri kalo dia lagi tidur tuh pola nya kaya kuda liar gitu.

“Nad, wes tangi po?” ucap Binbin memasuki ruangan. Nada cuma nyengir ga bersalah, muka dia pasti jelek banget. (“Nad, udah bangun kamu?”)

“Rame banget Bin? Udah mulai acaranya??” tanya Nada balik bertanya. Karena jujur saja, Nada kebangun tuh karena ada suara keras banget yang datangnya pasti dari sound system.

“Iyo, iku arek Pramuka lagi tampil Reog Ponorogo.” jawab Binbin menjelaskan. (“Iya, itu anak Pramuka lagi tampil Reog Ponorogo.”)

“Hah serius?? baru mulai atau gimanaa??” tanya Nada antusias, soalnya dia paling demen kalo liat pertunjukan kaya gitu.

“Jek tas ae, ndelok kono.” suruh Binbin, sedangkan dia kembali fokus mengambil tali Pramuka yang entah untuk apa. (“Baru aja mulai, sana liat.”)

Nah, permasalahannya sekarang nih Nada bingung. Hoodie nya Anan mau di apain, kalo dia tinggal di tempat yang dia yakini adalah sanggar Pramuka ini. Takutnya ilang, terus Anan ngambek. Tapi kalo di bawa Nada, malesnya ntar ngerepotin.

Akhirnya tanpa pikir panjang, Nada langsung ngelepas cardigan dia serta pakaian luar seragamnya.

“Astaghfirullah Nada, aku sek polos ojok di ajak nganu hal gak senonoh.” teriak Binbin heboh, karena begitu dirinya melihat ke arah belakang, ada Nada yang tengah melepaskan luar seragam nya. (“Astaghfirullah Nada, aku masih polos jangan di ajak melakukan hal gak senonoh.”)

“Apasih Bin, jangan buat orang salah paham.” ucap Nada tak terima. Karena dia emang cuma ngelepas seragam luar buat di pakein hoodienya Anan supaya ga kepanasan.

“Guyon tok Ya Allah, nyapo baper banget sih?!” ucap Binbin dan kembali berfokus pada tali Pramuka. (“Bercanda doang Ya Allah, kenapa baper banget sih?!”)

Nada tak menghiraukan dan bergegas pergi dari sana. “Bin, gue nitip seragam sama cardigan gue disini yaa.” teriak Nada sebelum menghilang dari pandangan.


Nada tuh umumnya kalo di publik bakalan jaga sikap. Ya karena dia kan demen caper yak, jadi dia tuh gamau memperburuk citranya dengan bertingkah ga jelas.

Tapi aslian, ketika dia udah di lapangan kaya gini. Langsung ambyar ketika dia dengerin lagunya NDX yang Di tinggal Rabi. Ini sebenernya Nada bingung, kok bisa NDX di bawa kesini. Padahal mereka asli Jogja, ini NDX real gais. Bukan yang kw nya.

“Seru nggak?” ucap seseorang dari balik Nada. Dinan ternyata, pasti yang ngusulin ngundang NDX dia juga nih. Udah tau Nada otak otaknya si Dinan.

“Bangett!! Lo kok bisa kepikiran ngundang NDX sih??” tanya Nada antusias. Dia beneran mengapresiasi ide Dinan buat ngundang duo hiphop tenar itu.

“Mayoritas orang sini tuh demen sama lagu jedag jedug. Yang rame-rame gitu, biar bisa ambyar bareng.” jelas Dinan pada Nada, Nada hanya menganggukkan kepalanya setuju. “Btw, lo udah pacaran ya sama Anan?” tanya Dinan lagi membuat Nada melotot.

“Aduh, lo tuh kalo ngomong di filter dikit dong.” ucap Nada panik sembari membekap mulut Dinan sebelum keluar hal yang lain. “Ntar kalo yang lain denger, terus salah paham gimana?!” sambungnya lagi.

Dinan melepas bekapan tangan Nada dari wajahnya. “Gila, apaan yang mau di tutupin sih anjeng? Semua anak Osis, Pramuka, sama Ekstrakurikuler udah pada liat.” kata Dinan makin membuat Nada penasaran.

“Liat apaan?”

“Tadi pagi kan Anan gendong lo yang masih tidur, ke sanggar Pramuka.” Nada speechless. “Belom lagi lo pake hoodie nya Anan. Ini kan hoodie kesayangannya dia, ngapa lu yang make??” sudut Dinan lagi, Nada makin bingung status mereka tuh apa.

Lagu berganti menajadi Konco Mesra. Suasana masih ramai hiruk pikuk orang-orang menyanyikan lagu ini. Bahkan Dinan yang ada di sebelah Nada juga ikut mengangkat tangannya dan bernyanyi bersama.

“Yen tak sawang sorote mripatmu.”

“janeku ngerti ono, ati sliramu”

“nanging onone mung sewates konco”

“podo ra wanine ngungkapke tresno..”

“Yen kupandang gemerlap nyang mripatmu”

“terpampang gambar waru ning atimu”

“nganti kapan abot iki ora mok dukung”

“mung dadi konco mesra mergo kependem cinta..”

'Sial, ini kenapa lagunya ngejek gue banget sih?'

“Nah ini dia Nad, lagu yang cocok buat lo sama Anan!!” teriak Dinan di samping Nada dengan keras, karena takut tak terdengar.

'Dinan bangsat!'

Tak memperdulikan Dinan, Nada menoleh ke sekitar panggung mengalihkan perhatian. Dia salting soalnya. Begitu dirinya melihat di samping kiri panggung, tampak dari kejauhan Anan melihatnya dengan intens dan di sampingnya ada Jevin.

Paham kalau dirinya sudah ketahuan oleh Nada, Anan buru-buru mengalihkan perhatiannya ke arah panggung lagi. Meninggalkan Nada yang bingung dengan perasaannya saat ini.

Akhirnya Nada memilih buat make baju yang ga formal formal banget. Tapi begitu dia keluar kamar, dan ke lantai satu. Mendadak dirinya pusing karena ngeliat Jonathan pake baju casual yang biasanya dipake anak jaman sekarang buat pacaran. Necis abisss T.T

'asli ini mah, abis ini gue jadi obat nyamuk beneran.'

Jonathan yang sedari tadi bercakap-cakap dengan Delvin sembari menunggu Nada datang, begitu Nada sudah sampai di sana dia langsung bangkit dan berjalan meninggalkan Delvin menuju ke Nada. .

“Gausah ganjen ntar disana.” pesan Delvin pada Nada yang udah senyum-senyum sendiri di samperin Jonathan. Ini kenapa sih, si Delvin sewot banget??

Padahal Nada tuh udah atur mood, karena dia tau abis ini pasti bakalan melihat banyak kebucinan. “Gue liat-liat bukan kaya adek kakak, tapi lebih kaya bapak sama anak ya?” ucap Delvin lagi mengejek.

Ini Nada udah mau lari ke arah Delvin, terus dia mau nabok mulutnya Delvin sekali aja. Bisa gak sih?


“Gausah tegang gitu mukanya, pacar abang ga segalak pacarnya Jeffrey.” ucap Jonathan menenangkan.

Kalo boleh jujur, yang di bilang Jonathan tuh emang ada benernya. Setelah insiden Nada dengan “Delvi, pacarnya Jeffery yang ketiga belas.” dia tuh jadi lebih menjaga sikap buat berhadapan sama kekasih abang-abangnya yang lain.

Di tampar tuh ga enak cuy. Kalo enak mah, Nada bakalan mau di tampar setiap hari sama sodara nya yang lain. Siapa sih di rumah yang gamau nampar Nada? anaknya kan emang nyebelin, semua pasti pengen nampar dia. Minimal sekali aja.

Akhirnya mobil Jonathan memasuki pekarangan rumah yang ga seluas rumah mereka, tapi cukup rapi menurut Nada buat ukuran orang biasa.

Tak lama kemudian, ada wanita yang anggun menyapa keduanya dan menyuruh mereka berdua untuk masuk ke dalam rumah.

“Sayang, ini adek aku.” ucap Jonathan memperkenalkan Nada pada kekasihnya, supaya suasana disini tak terlalu canggung.

“Halo Nada, kenalin aku Tasya.” ucap wanita itu dan tersenyum lembut. Pantes aja Jonathan demen sama ni cewe, Nada aja yang baru di senyumin langsung klepek-klepek.


Ternyata mereka tuh ga lama di rumahnya Tasya. Karena selain Jonathan cuma niat buat ngenalin Nada ke Tasya, anaknya juga ada acara lain yang buat dia gabisa lama-lama buat nemenin Nada sama Jonathan.

Nada sih merasa nyesel banget, karena Tasya emang anaknya se asyik itu. Jujur tadinya dia kesel, kenapa Jonathan milih waktu buat ketemu Nada disaat anaknya ada acara lain.

Padahal kalo di waktu Tasya free, pasti Nada bakalan seneng-seneng aja kalo di ajakin buat nginep di rumah Tasya. Itung-itung latihan kan, mau jadi kakak ipar.

“Nad, mau nyoba ke pantai??” tanya Jonathan mengajak Nada berbicara. Karena sedari tadi Nada hanya bermain Magic Chess sembari bersenandung lagu Reckless yang tengah berputar.

Senandung doang, soalnya Nada tau diri kalo dia nyanyi suaranya kaya kambing sekarat. “Jauh Bang?” tanya Nada balik, soalnya kalo jauh mending skip aja. Bokong dia masih mengalami trauma gara-gara keseringan duduk. Dia cuma ngeri tiba-tiba ambeyen, karena keseringan duduk.

“Enggak kok. Lumayan deh, sambil liat sunset.” ucap Jonathan lagi. Nada kok di bujuk cogan? udah tau kelemahan dia tuh cowo ganteng. Akhirnya Nada cuma mengangguk pasrah.

Kalian kalo di posisinya Nada, biar lagi kebelet boker tapi kalo yang ngajak Jonathan, ga mungkin nolak kan??

Akhirnya Nada sampe juga di aula OSIS yang lumayan gede. Tempatnya ada di lantai dua, deketnya sama lab Fisika yang pernah dia bersihin dulu.

Bener aja, begitu dia masuk ke dalam aula OSIS. Banyak wajah yang ga asing di mata dia, pada duduk melingkar disana. Beberapa yang ga dia tau, kemungkinan adek kelas atau kakak kelas yang mencoba berbaur.

'Asuk, ini mah beneran keliatan adek kelas semua anjerr.'

Haikal kemudian menariknya untuk duduk di dekat Hermas, sedangkan Haikal sendiri duduk di sebelah kanannya Nada. Jadi Nada nih sekarang ada di tengah tengahnya Hermas sama Haikal.

Yang dia tau, ada Felix, Binbin, Baejin, Aldeo, sama Dino disini. Belom lagi ada Ren sama Kayla yang duduk di depan, sebagai pusatnya.

“Oke, jadi kita mulai aja rapat pada sore hari ini.” ucap Ren mengawali acara, bisa Nada tebak Ren nih yang jadi Ketua Pelaksana di acara Agustusan sekolah.

Kemudian Kayla disampingnya mulai mengatur jalannya tiap sie ketika berpresentasi. Haikal ternyata bagian dari sie Acara, bersama dengan Aldeo dan salah satu adik kelas.

Sedangkan Hermas adalah bendahara pertama. Ngeliatin Hermas yang rajin mencatat setiap pengeluaran sie, Nada jadi flashback jaman dia masih di Bandung, dia selalu di tunjuk jadi sekertaris kalo ada acara OSIS kaya gini.

“Buat acara nih, untuk Agustusan kalian dari sie yang lain ada pendapat gak? Mau di tambahin lomba apa??” tanya Haikal begitu selesai mempresentasikan rancangan acaranya di depan.

“Pie lek semisal-”

“Pakai Bahasa Indonesia Bin, ga semua orang disini ngerti Bahasa Jawa.” potong Ren galak, Nada sampe menciut sendiri.

“Gimana kalo semisal, kita ngadain bazar buat acaranya di sorenya. Buat mengisi kekosongan juga.” usulnya.

Nada menggeleng tidak setuju, dia dari tadi dengerin penjelasan dari sie acara, mereka ada bahas masalah soal bazar tapi ga tentu dimana waktunya.

Tapi dia mau jelasin tuh, rada gantung. Soalnya dia bukan anggota OSIS kan, belom tentu juga pendapat dia bakalan di hitung di dalam rapat ini.

Anan yang dari tadi merhatiin Nada, sadar kalo Nada tuh mau ngeluarin pendapat dia. “Nad, lo ada pendapat?” tanyanya langsung, seluruh atensi berubah ke arah Nada.

Nada ikutan bingung, dia cuma garuk garuk kepalanya yang ga gatel. “Emang boleh gue ngasih saran? Soalnya gue bukan anak OSIS.” tanya Nada pelan, dia gamau ngerusak rapat penting mereka soalnya.

Anan menoleh ke arah Ren, meminta persetujuan. Ren mengangguk kepalanya, “bilang aja Nad, siapa tau pendapat lo bisa kita pake.” ucap Ren pada akhirnya.

Nada tersenyum senang, “jadi gini, tadi kan dari sie acara udah buat rancangan untuk bazar. Cuma mereka belom ngatur kapan waktu yang tepat.” ucap Nada mulai menjelaskan. “Gimana kalo semisal, kalian sediakan stand aja di tiap sudut lapangan sesuai dengan berapa banyak kelas di sekolah ini. Terus ntar minta buat setiap kelas yang mau untuk ngisi stand itu, entah mau jualan apa kek itu terserah mereka.” sambungnya lagi.

“Terus kalo semisalnya anak OSIS nyediakan stand buat mereka, keuntungan kita apa? Kan stand nyewa juga pake duit Nad.” sela Aldeo bingung, dia gamau kalo semisalnya banyak dana yang keluar karena persiapan yang tidak matang.

“Nah, sebagai partisipasi atas acara ini. Kalian sebagai OSIS juga berhak untuk cari keuntungan dari hasil jualan mereka.” jelas Nada lagi, “gue tadi bilang yang mau doang kan, jadi mereka harus bayar tempat buat jualan. Ya kasarnya aja, kalian nyediain tempat siapapun yang mau make, langsung beli aja areanya sama anak OSIS.” sambungnya, membuat seisi aula berfikir.

“Gue setuju sih.” ucap Kayla selaku wakil ketua pelaksana, “biar rame juga kalo semisalnya ada stand dari pagi sampe acara malem.” sambungnya lagi memperjelas.

Haikal mengarahkan jempolnya pada Nada, puas dengan apa yang Nada usulkan. “Pinter kan sodara gue, hehehe.”


Akhirnya rapat sore hari itu selesai, cuma besok kayanya masih ada rapat lagi. Dan Nada mungkin bakalan lebih milih buat balik aja.

Asli ikut rapat OSIS tuh cuma bikin pusing doang, mau cuci mata ternyata adanya berondong semua. Anggota kelas satu yang paling banyak, Nada kan gasuka berondong. Tapi kalo sama yang lebih tua dia gas aja.

“Ini yang tadi namanya Nada ya??” tanya seseorang menghentikan langkah Nada dan Haikal yang hendak menuju parkiran sekolah.

Nada yang denger suara cowo macho, langsung nengok kebelakang. Liat siapa yang manggil dia. Dan wow gais, tidak zonk karena yang dia liat adalah cowo ganteng yang tadi sempet dia liat di aula, tapi buru-buru keluar.

“Eh, Bang Lukas.” panggil Haikal akrab, dia langsung berjalan berbalik untuk menghampiri lelaki yang di panggilnya Lukas itu.

“Sodara lo boleh juga Kal.” ucap Lukas memuji, “dulu pernah ikutan OSIS dek di sekolah lama?” tanyanya lagi.

Si Nada yang kesenengan, ternyata ada kakak kelas yang ganteng yang kenal dia. Langsung siap badan mau caper, “iya Kak, tapi cuma bentar doang di kelas satu. Soalnya abis itu langsung pindah kesini.” jawabnya sembari menyisir rambutnya kebelakang.

Haikal yang ngeliat saudaranya mulai centil, cuma begidik ngeri sendiri. Nada nih kalo udah ketemu cowo ganteng, langsung kaya otomatis mau flirting gitu.

“Sayaang~” panggil seorang wanita dari belakang Lukas.

“Kak Ferra.” panggil Haikal lagi, akrab. Ini Nada sampe bingung, kenapa Haikal bisa kenal sama setiap orang di sekolah ini sih.

“Mau langsung pulang yang?” tanya Lukas langsung pada perempuan yang menggelendoti lengan di sampingnya. Nada melotot bingung,

'Lah udah punya pacar?? Baru aja mau gue godain anjer.”

Ferra menatap Nada yang masih termenung, sedikit sakit dengan fakta bahwa Lukas sudah memiliki kekasih. “Eh ini Nada bukan sih??” tanya Ferra memotong lamunan Nada.

Lukas menoleh ke arah pacarnya, “kamu kenal yang?” tanyanya bingung. Ternyata Nada nih cukup populer buat ukuran anak baru di sekolah ini. Buktinya aja, cewenya Lukas yang jadi primadona sekolah, sampe tau Nada.

“Lah, ini kan yang sempet heboh gelud sama geng nya Misfa itu yang.” ucap Ferra ngakak, “satu lawan tiga, malah golongannya Misfa yang kalah.” lanjutnya, membuat Nada menggaruk tengkuknya pelan, malu.

Nada hina banget di sekolah ini, dia terkenal bukan karena cakep atau pinter, tapi karena gelud. Lukas yang baru ngerti, ikutan ngakak. Nada yang keliatannya kalem ternyata bisa gelud satu versus tiga gitu. Tenaga nya Nada udah setara sumo kalo di ibaratin.

Haikal yang ngerti Nada malu, langsung megang tangan Nada dan mengajaknya berlalu dari sana. Kasian cuy, mana Nada diem doang lagi di ketawain.

“Asli, gara-gara Misfa anjeng image gue jadi ancur berantakan!!”

Mobil sudah terparkir rapi di garasi, dengan perlahan Nada keluar dari mobil. Dirinya masih takut, dengan apa yang mungkin di hadapinya habis ini.

Ya iyalah, orang dia kaya bocil baperan gitu, dikit-dikit kabur, dikit-dikit ngambek. Makanya sekarang jujurly dia agak malu gitu mau masuk ke dalam rumah.

Hermas di sampingnya ga ngomong apa-apa, dan keliatan pasrah aja. Pasti abis ini mereka berdua bakalan di sidang, karena yang ada di dalam surat Nada cuma nyebut Hermas seorang.

'Biar deh, abis si Hermas juga nyebelin anj.'

Bener aja, baru buka pintu depan udah ada Jonathan yang nungguin mereka dengan pose garang macam ini.

Nada tuh mau mleyot sampe gajadi, karena liat berapa seriusnya muka Jonathan ngeliatin mereka. Emang sih, Nada salah. Tapi gara-gara ini juga, dia jadi nyesel pulang kerumah. Niatnya kabur buat menata hati, eh ketauan kabur bakalan sidang terus di maki.

“Adek.” ucap Jonathan dengan intonasi rendah, “kenapa bajunya lusuh banget?” tanyanya lagi pada Nada, melihat ada banyak noda kecoklatan yang menempel pada bajunya.

Nada bingung, dia udah nyiapin hati buat di marahin ternyata sama Jonathan ga di marahin. Malah nanya kenapa baju dia lusuh, nah kan kalo begini ceritanya dia jadi mleyot lagi.


Setelah mandi dan ganti baju, Nada langsung menuju ke ruang keluarga tempat dimana semua saudaranya berkumpul. Dia beneran cemas banget, biar tadi Jonathan nyembut dia kaya fine-fine aja, tapi tetep aja dia ga tau gimana reaksi yang lainnya.

“Sini duduk deket abang dek.” suruh Candra begitu melihat Nada sampai dibawah. Nada cuma cengo, perihal dia kabur aja langsung jadi bahan sidang sodara-sodaranya. Asli keluarga ini apa-apa harus di sidang kayanya.

Akhirnya Nada langsung beringsut mendekati Candra, dan duduk di tengah-tengah Candra dan Tiyo. Berasa tahanan massal, tapi di deket mereka berdua pressure dari saudaranya yang lain sedikit berkurang.

“Lo mikir dulu nggak sebelum kabur?” tanya Delvin langsung, menyudutkan Nada. “Asli, gue tau lo marah sama Hermas. Tapi gausah pake acara kabur-kaburan. Lo itu anak cewe, gimana kalo semisal lo di apa-apain sama orang jahat di luar sana??” sambungnya lagi, membuat Nada menundukkan kepalanya lebih dalam.

Apa yang di bilang Delvin ada benernya, walaupun bukan orang jahat melainkan orang gila. Nada udah kelabakan tadi waktu kejar kejaran, dan secara otomatis dia teringat akan rumah.

'Ceritain gak ya, Kalo gue tadi di kejar orang gila??'

Tiyo memegang telapak tangan Nada yang sedikit memar dan lecet. Tadi kan sempet gelantungan kaya orang utan kan, pasti tangan dia nahan beban banget buat turun.

“Hermas udah minta maaf?” tanya Yudha mencoba menengahi Nada yang tengah di marahi oleh Delvin.

Nada menoleh ke arah Hermas yang membuang pandangan tak perduli, kemudian menoleh ke arah Yudha lagi. “Udah bang, tadi waktu pulang. Di dalem mobil.” ucap Nada menjelaskan.

Jam sudah menunjukkan tengah malam, karena tadi Candra juga udah nyiapin makanan buat Nada akhirnya Jeffery sama Arwena ikutan ngibrit sama Nada ke dapur buat nemenin dia.

Enak banget jadi Nada buset, makan aja yang nemenin dua pangeran surga. Nada ga banyak omong waktu makan, ya iyalah masa lagi makan ngomong. Ntar kalo kesedak gimana, malu-maluin banget.

Setelah selesai makan, Nada udah di jemput aja sama Jerome buat ngobatin luka di tangan dia. Tanpa banyak omong juga, akhirnya Nada ngikutin Jerome ke ruang keluarga dulu. Yang lainnya udah masuk ke dalam kamar masing-masing buat tidur.

“Maaf ya kak, gue buat masalah mulu.” ucap Nada membuka pembicaraan, merasa menyesal dengan apa yang dia lakukan tadi.

Jerome menggelengkan kepalanya pelan, “ga ada yang perlu di sesali dek. Kita marahin lo juga karena khawatir lo bakalan kenapa-napa.” tenang Jerome. “Cuma kalo bisa, ketika ada masalah hadapi dulu. Jangan langsung kabur.” nasehatnya lagi.

Asli, Nada malu banget. Yang di bilang sama Jerome ada bener nya. “Gue cuma ga habis fikir, emang Hermas se benci itukah sama gue?” kata Nada mulai curhat, soalnya dia curhat ke Jerome doang. “Gue ga ngapa-ngapain tapi kenapa gue keliatan salah banget di depan dia?” sambungnya lagi kesal.

Jerome tersenyum menanggapi ucapan Nada, “semua ada waktunya dek. Mungkin sekarang Hermas belom mau nerima lo. Tapi mungkin di lain waktu, dia bakalan nerima lo dan bakalan jelasin alasan dia ke lo kenapa pernah begini.” jelas Jerome panjang lebar.

'Kalo ga bobrok, dan ngomong serius gini. Aura kebapakan nya memancar dengan jelas ya. Pengen gue peluk, terus gue panggil Daddy deh.'

Mobil sudah terparkir rapi di garasi, dengan perlahan Nada keluar dari mobil. Dirinya masih takut, dengan apa yang mungkin di hadapinya habis ini.

Ya iyalah, orang dia kaya bocil baperan gitu, dikit-dikit kabur, dikit-dikit ngambek. Makanya sekarang jujurly dia agak malu gitu mau masuk ke dalam rumah.

Hermas di sampingnya ga ngomong apa-apa, dan keliatan pasrah aja. Pasti abis ini mereka berdua bakalan di sidang, karena yang ada di dalam surat Nada cuma nyebut Hermas seorang.

'Biar deh, abis si Hermas juga nyebelin anj.'

Bener aja, baru buka pintu depan udah ada Jonathan yang nungguin mereka dengan pose garang macam ini.

Nada tuh mau mleyot sampe gajadi, karena liat berapa seriusnya muka Jonathan ngeliatin mereka. Emang sih, Nada salah. Tapi gara-gara ini juga, dia jadi nyesel pulang kerumah. Niatnya kabur buat menata hati, eh ketauan kabur bakalan sidang terus di maki.

“Adek.” ucap Jonathan dengan intonasi rendah, “kenapa bajunya lusuh banget?” tanyanya lagi pada Nada, melihat ada banyak noda kecoklatan yang menempel pada bajunya.

Nada bingung, dia udah nyiapin hati buat di marahin ternyata sama Jonathan ga di marahin. Malah nanya kenapa baju dia lusuh, nah kan kalo begini ceritanya dia jadi mleyot lagi.


Setelah mandi dan ganti baju, Nada langsung menuju ke ruang keluarga tempat dimana semua saudaranya berkumpul. Dia beneran cemas banget, biar tadi Jonathan nyembut dia kaya fine-fine aja, tapi tetep aja dia ga tau gimana reaksi yang lainnya.

“Sini duduk deket abang dek.” suruh Candra begitu melihat Nada sampai dibawah. Nada cuma cengo, perihal dia kabur aja langsung jadi bahan sidang sodara-sodaranya. Asli keluarga ini apa-apa harus di sidang kayanya.

Akhirnya Nada langsung beringsut mendekati Candra, dan duduk di tengah-tengah Candra dan Tiyo. Berasa tahanan massal, tapi di deket mereka berdua pressure dari saudaranya yang lain sedikit berkurang.

“Lo mikir dulu nggak sebelum kabur?” tanya Delvin langsung, menyudutkan Nada. “Asli, gue tau lo marah sama Hermas. Tapi gausah pake acara kabur-kaburan. Lo itu anak cewe, gimana kalo semisal lo di apa-apain sama orang jahat di luar sana??” sambungnya lagi, membuat Nada menundukkan kepalanya lebih dalam.

Apa yang di bilang Delvin ada benernya, walaupun bukan orang jahat melainkan orang gila. Nada udah kelabakan tadi waktu kejar kejaran, dan secara otomatis dia teringat akan rumah.

'Ceritain gak ya, Kalo gue tadi di kejar orang gila??'

Tiyo memegang telapak tangan Nada yang sedikit memar dan lecet. Tadi kan sempet gelantungan kaya orang utan kan, pasti tangan dia nahan beban banget buat turun.

“Hermas udah minta maaf?” tanya Yudha mencoba menengahi Nada yang tengah di marahi oleh Delvin.

Nada menoleh ke arah Hermas yang membuang pandangan tak perduli, kemudian menoleh ke arah Yudha lagi. “Udah bang, tadi waktu pulang. Di dalem mobil.” ucap Nada menjelaskan.

Jam sudah menunjukkan tengah malam, karena tadi Candra juga udah nyiapin makanan buat Nada akhirnya Jeffery sama Arwena ikutan ngibrit sama Nada ke dapur buat nemenin dia.

Enak banget jadi Nada buset, makan aja yang nemenin dua pangeran surga. Nada ga banyak omong waktu makan, ya iyalah masa lagi makan ngomong. Ntar kalo kesedak gimana, malu-maluin banget.

Setelah selesai makan, Nada udah di jemput aja sama Jerome buat ngobatin luka di tangan dia. Tanpa banyak omong juga, akhirnya Nada ngikutin Jerome ke ruang keluarga dulu. Yang lainnya udah masuk ke dalam kamar masing-masing buat tidur.

“Maaf ya kak, gue buat masalah mulu.” ucap Nada membuka pembicaraan, merasa menyesal dengan apa yang dia lakukan tadi.

Jerome menggelengkan kepalanya pelan, “ga ada yang perlu di sesali dek. Kita marahin lo juga karena khawatir lo bakalan kenapa-napa.” tenang Jerome. “Cuma kalo bisa, ketika ada masalah hadapi dulu. Jangan langsung kabur.” nasehatnya lagi.

Asli, Nada malu banget. Yang di bilang sama Jerome ada bener nya. “Gue cuma ga habis fikir, emang Hermas se benci itukah sama gue?” kata Nada mulai curhat, soalnya dia curhat ke Jerome doang. “Gue ga ngapa-ngapain tapi kenapa gue keliatan salah banget di depan dia?” sambungnya lagi kesal.

Jerome tersenyum menanggapi ucapan Nada, “semua ada waktunya dek. Mungkin sekarang Hermas belom mau nerima lo. Tapi mungkin di lain waktu, dia bakalan nerima lo dan bakalan jelasin alasan dia ke lo kenapa pernah begini.” jelas Jerome panjang lebar.

*'Kalo ga bobrok, dan ngomong serius gini. Aura kebapakan nya memancar dengan jelas ya. Pengen gue peluk, terus gue panggil Daddy deh.' *