JC Halcyon

Alif memijat leher bagian belakang Via dengan perlahan. Dirinya langsung meninggalkan pekerjaan yang sedari tadi di lakukan nya di laptop, segera setelah mendengar suara Via muntah dari dalam kamar mandi.

“Masih mual sayang?” tanya Alif khawatir. Usia kandungan Via kini telah menginjak delapan bulan. Mual dan muntah yang di rasakan nya memang sedikit berkurang daripada trisemester kehamilan pertamanya dulu, tetapi bukan berarti itu sepenuhnya menghilang.

“Gatau, masih mual banget.” ucap Via mengadu.

“Kamu udah minum vitamin yang aku kasih kan?” tanya Alif dengan serius, mencoba memastikan.

Mata Via menyalang marah, “Gimana bisa aku ngelewatin minum vitamin, disaat semuanya kamu yang jadi koordinator. Mulai dari aku makan, minum, minum vitamin, kontrol dokter.” ucap Via dengan nada kesal.

Kini Via sudah mulai melunak pada Alif, dan dirinya sudah mulai menerima Alif sebagai suaminya. “Iya iya, aku salah. Maaf jangan marah-marah, nanti kamu tambah sakit.” ucap Alif menyesal dan mengelus dahi Via yang dingin dengan lembut.


“Alif?? Alif!” teriak Via mencari Alif ke seluruh penjuru rumah. “Kemana sih? Bukannya on time waktu di panggil. Padahal liat istri lagi hamil.” gerutunya lagi.

Sejak hamil tua, Via sudah sangat jarang untuk melakukan hal-hal berat di rumah. Bahkan untuk pekerjaan dasar seperti memasak, mencuci, dan yang lainnya Alif lah yang melakukannya.

Kemudian Via juga telah keluar dari pekerjaannya begitu dirinya menginjak enam bulan usia kehamilan. Bukan karena dirinya tidak sanggup atau apapun itu, tetapi karena bujukan dari kedua orang tuanya dan orang tua Alif. Apalagi Via mengandung anak kembar, yang pasti semakin menyulitkan dirinya untuk melakukan aktivitas.

“Assalamu'alaikum.” ucap Alif membuka pintu depan. Pandangan Via langsung tertuju ke arah sana. “Loh kok kamu sudah bangun sayang?” tanya Alif kebingungan, karena dia meninggalkan Via dalam kondisi tertidur, belum ada tiga puluh menit untuk membeli sesuatu di Indoapril terdekat.

“Kamu abis dari mana? Aku nyariin.” ucap Via dengan nada jengkel, sembari menghampiri Alif yang menenteng dua kantong plastik berisi belanjaannya.

Via memang sudah lunak terhadap Alif, dan juga menerima Alif dengan ikhlas sebagai suaminya. Tetapi bukan berarti sifat dirinya yang keras kepala dan selalu ingin menang dari Alif bisa di hindarkan.

Via masih sering marah-marah terhadap Alif, bahkan untuk hal-hal sepele yang mereka lalui tiap hari. Mulai dari handuk yang tidak di gantungkan di tempatnya, bekas kopi Alif di meja karena tidak memakai piringan, atau hal sepele seperti Alif yang lupa mengatur ulang sandal rumah Via setelah ia gunakan.

Bukan Alif tidak tahu, tapi dia lebih memilih menghindari hal itu dan menerima apapun makian yang keluar dari mulut Via. Karena dia tidak mau bertengkar dalam jangka waktu lama dengan Via, dan juga dirinya tulus serta mencintai Via dengan sepenuh hati.

“Maaf sayang, aku tadi abis belanja keperluan bulanan. Ini sudah bulan terakhir usia kandungan kamu, aku harus stok beberapa barang supaya aku nggak perlu ninggalin kamu di waktu-waktu genting nanti.” ucap Alif menjelaskan secara perlahan, dan mengelus lengan Via dengan lembut. “Kamu mau apa? Aku tata barang dulu ya di dapur, kamu tunggu di kamar aja.” sambung Alif lagi.

“Peluk.” ucap Via singkat.

“Hah, gimana??”

“Aku mau peluk Alif, aku kebangun karena anak kamu gerak terus ga ada yang meluk dari belakang!”

Yaa, mungkin Alif masih sedikit kurang siap untuk segala kemanjaan Via di kehamilan kali ini.

Ternyata tim Rara, Nathan, juga Jendra lolos ke babak final. Dimana sesuai dengan hal yang terjadi di kehidupan Rara sebelumnya, ada tim dari Fakultas Hukum yang juga sama lolos ke babak final.

Rara menggenggam kedua jarinya erat, merasa ragu dengan lomba yang akan di laksanakan kali ini. Karena dia tau, bahwa tim dari Fakultas Hukum akan menang.

“Ra, ga enak badan?” tanya Nathan khawatir melihat wajah gugup Rara.

Rara menggelengkan kepalanya, “Gue agak sedikit takut sih Nath.” jawab Rara jujur.

Jendra ikut menoleh pada Rara, “takut kenapa sih? Mereka ga mungkin nyaplok kok Ra.” jawab Jendra sedikit berkelakar .

“Ga ada, mungkin karena ini babak final kali ya. Makanya gue agak sedikit grogi juga.” ucap Rara singkat dan mulai mengambil tempat duduk yang ada di tengah.

“Baik, sesuai dengan peraturan awal.” ucap panitia meminta Nathan dan salah satu perwakilan dari tim lawan untuk maju ke depan. “Silahkan tiap perwakilan tim suit untuk menentukan mosi juga pihak pro atau kontra.” sambungnya lagi.

Kali ini Nathan memenangkan suit, otomatis dari tim mereka lah yang saat ini berhak untuk memilih mosi.

Sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka diskusikan tadi, maka kali ini Nathan memilih mosi “Media sosial berkontribusi besar akan maraknya pencemaran nama baik.”

Tim lawan memilih Pro, sedangkan tim Rara mendapatkan kubu kontra. Banyak persiapan yang mereka lakukan, tapi jujur saja Rara masih ragu dengan hasil yang akan mereka dapatkan akhir nanti.


“Dalam kehidupan ini, terdapat akibat atas segala perbuatan yang kita lakukan, jika kita tidak ingin mendapatkan akibat buruk maka sebaiknya menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk.” ucap Jendra menanggapi argumentasi dari tim Pro. “Jadi kesimpulannya adalah, hormatilah orang lain sebagaimana kita ingin dihormati. Dalam hidup kita harus mampu memanusiakan manusia. Karena dari setiap perbuatan yang menyimpang terdapat resiko berupa sanksi hukum maupun sanksi sosial yang harus ditanggung oleh setiap pelaku suatu perbuatan.” sambungnya lagi panjang lebar.

BIP BIP BIP

Suara dari bel waktu berbunyi,

“Itu tadi argumentasi dari tim kontra, kurang lebihnya kami minta maaf.” lanjut Jendra mengakhiri sesi perdebatan kali ini.

Rara menepuk dua kali pundak Jendra dengan pelan, Jendra sudah melakukan hal yang sempurna hari ini.

Walaupun sedari tadi, Nathan sedikit memberikan kode pada Jendra untuk mengatur emosi nya. Karena Jendra selalu saja menaikan intonasi suaranya begitu membahas awal argumentasi baru.

“Baik, silahkan untuk kedua tim maju dan berjabat tangan.” ucap panitia dari samping.

Rara langsung berdiri dan mengikuti Nathan yang sudah berjalan untuk berjabat tangan dengan tim Pro.

“Kalian keren.” ucap Nathan tulus memuji.

“Iya, kalian juga keren.” sahut salah seorang dari mereka.

Setelah mereka selesai berjabat tangan, panitia mengarahkan tim Pro dan Kontra untuk keluar ruangan guna juri berdiskusi akan hasil dari debat tadi.

“Masih grogi Ra?” tanya Nathan sembari mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

“Udah lewat haha.” jawab Rara singkat, “Jendra kemana?” lanjut Rara bertanya karena Jendra tidak terlihat batang hidungnya sejak keluar ruangan.

“Gatau, kamar mandi paling. Dia pasti banyak nyesel nya sekarang, soalnya tadi bolak balik blunder.” ucap Nathan menjelaskan.

“Blunder? Perasaan fine fine aja deh tadi.” kata Rara bingung, karena lomba debat mereka tadi berjalan dengan lancar.

“Ya lo ga merhatiin paling, sibuk grogi sendiri. Tadi Jendra banyak salah ucap, untung public speaking dia bagus jadi semua bisa ke handle lagi.” jelas Nathan lagi, dan Rara hanya menganggukkan kepala mengerti.

“Tapi Nath, kalo kita ternyata ga menang gimana?” tanya Rara mulai overthinking lagi.

Nathan hanya tersenyum sembari terus memainkan ponselnya.

“Walaupun ini kompetisi, percaya sama gue deh Ra. Dunia itu isinya bukan cuma hitam putih doang. Terkadang menang dalam suatu perdebatan malah merugikan diri lo sendiri.”

Rara menghampiri Nathan juga Jendra yang tengah duduk di dekat ruang Check in. Dapat Rara pastikan, kalau mereka berdua tengah menunggu dirinya.

Salahkan pada Haikal yang masih ngotot ingin membeli Pop Ice terlebih dahulu karena cuaca memang sedang panas panasnya.

“Mau check in sekarang?” tanya Rara langsung, begitu Jendra menyadari keberadaannya.

“Lama banget Ra?” keluh Nathan, dan mulai beranjak berdiri untuk mendatangi meja Check in.

“Buset, awal awal udah lawan anak Sastra Bahasa aja nih.” ucap Jendra begitu melihat kertas peserta yang baru saja di berikan oleh panitia.

“Susah sih, ntar kasih batasan aja buat ga pake bahasa kiasan yang terlalu tinggi.” ucap Nathan berbicara pada Jendra, “takut otak lo ga nyampe.” sambungnya lagi.

“Ya kali anjing, kapasitas otak gue sama lo tuh sebelas duabelas.” bela Jendra tidak terima.

“Udah ih, tengkar mulu. Ayo nyari tempat duduk buat diskusi aja kita.” Lerai Rara dan berjalan mendahului keduanya.


Rara membuka ponsel nya, mencoba mencari ketenangan disana. Sebentar lagi tim mereka akan maju untuk melakukan lomba debat. Rara tersenyum miring melihat percakapan yang ada di grup.

'Attention seeker banget haha.'

“Ra, ayo masuk.” ajak Jendra tiba-tiba, dan membuat Rara harus menutup ponselnya dengan tergesa.

'ini kenapa dingin banget sih ruangannya, gila aja AC dua biji di nyalain semua. Sengaja buat suasana makin serem atau gimana sih.'

Rara mengambil tempat duduk yang ada di tengah, karena dirinya adalah pembicara kedua. Sedangkan Nathan menjadi pembicara pertama, dan Jendra menjadi pembicara ketiga.

Oleh panitia, Nathan di persilahkan maju. Begitu pula dengan pembicara pertama dari pihak lawan. Panitia menjelaskan beberapa aturan dasar tentang memilih Mosi juga tim pro atau kontra.

Pemilihan tersebut akan di lakukan menggunakan suit batu kertas gunting. Bagi tim yang menang suit akan menentukan mosi yang akan di gunakan untuk debat, sedangkan untuk tim yang kalah akan memilih mereka di pihak pro atau kontra.

Nathan kalah dalam suit, maka dari itu dari pihak lawan lah yang memilih mosi. Dan mosi yang di pilih oleh pihak lawan adalah, “Pencabutan hak politik mantan narapidana korupsi.”

Seakan mengerti jalan fikiran Nathan, maka Jendra mengiyakan keinginan Nathan untuk mengambil tim Pro pada perdebatan kali ini.


“Cape banget asli.” ucap Rara begitu sesi pertama lomba debat sudah selesai.

Jendra langsung mengambil tempat duduk di samping Rara, yang saat ini tengah sibuk mengibaskan kertas argumentasi yang sedari tadi di bawa nya ketika di dalam ruangan.

Anehnya waktu awal mereka masuk ke dalam ruangan, suasana begitu dingin. Tetapi begitu mereka memulai perlombaan, hawa panas mulai mengelilingi mereka.

“Lo tadi keren banget Ra.” ucap Nathan memuji, dan ikut mengambil duduk di samping Jendra.

Keputusan tepat bagi Nathan untuk mengambil pihak Pro, karena untuk Rara sendiri pada mosi yang di pilih oleh lawan justru lebih condong kepada pihak pro.

Padahal menurut Jendra, tim pro itu sangat sulit karena kita harus mempertahankan hak pembicaraan kita.

“Lo juga keren.” ucap Rara balik memuji. “Jendra juga keren.” sambungnya lagi.

“Masih nunggu hasil, semangat hari ini?” tanya Nathan kembali menggebu-gebu.

“Iyalah, wajib semangat!”

Acara lomba fashion show kali ini berjalan dengan lancar, Rara juga menyadari jikalau acara pada hari tidak jauh berbeda hectic nya dengan acara di kehidupan dirinya sebelumnya.

Setelah acara walk selesai, akan ada sesi wawancara dimana para peserta akan di tanyai mengenai alasan mereka kenapa memilih kostum itu.

Rara sedikit bingung, karena di fikir akan ada jeda sebentar dan dirinya bisa memeriksa apakah ada chat dari Kak Jay atau tidak.

'Lah kalo gue disini, gimana caranya gue ngasih tau soal costume Mona ke Kak Jay?'

“Baik, untuk peserta selanjutnya. Nomor urut sebelas, Mona Grisella. Silahkan maju kedepan.” ucap host mempersilahkan Mona untuk maju dan memegang microphone. “Bisa di jelaskan, apa alasan anda memilih penampilan Wulan pada malam hari ini?” tanya Host itu lagi kepada Mona.

Mona tersenyum kecil dan mulai mengangkat microphone nya mendekati bibir, “Alasan saya memilih karakter Mulan adalah, karena karakter Mulan sangat pantas untuk dijadikan panutan, dirinya mengajarkan bahwa setiap perempuan bisa melakukan dan menjadi apapun yang mereka impikan meskipun banyak orang yang akan meragukan. Mulan juga membuktikan bahwa aturan baku tentang perempuan itu hanyalah omong kosong. Perempuan juga bisa menjadi sosok yang tangguh bisa diandalkan dan tidak hanya dipandang sebelah mata.” jelas Mona panjang lebar.

Rara sontak menegang, karena bagian “Perempuan juga bisa menjadi sosok yang tangguh bisa diandalkan dan tidak hanya dipandang sebelah mata.” itu jelas jelas adalah kalimat dari catatannya.

Kenapa Mona bisa tahu? Apakah Mona menyalin alasan Rara sebelumnya?

Rara mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru panggung, netranya terhenti ke arah Haikal yang juga menatapnya dengan bingung.

Haikal juga sempat membaca catatan yang Rara siapkan ketika tadi ada di ruang tunggu. Seakan memberikan gesture pada Rara, bahwa ada yang aneh.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena Rara kemudian juga di panggil untuk maju ke depan setelah Mona selesai berbicara.

Mona melayangkan senyuman sinis ke arahnya.

'What you gonna do?' satu satunya hal yang bisa Rara tangkap dari mimik muka Mona saat ini.

“Baik, untuk nomor urut dua belas Rafaela Ranayla. Apa yang melandasi anda untuk memilih karakter Elsa pada perlombaan kali ini?” ucap Host mengalihkan perhatian Rara sejenak.

Rara terdiam agak lama, sampai seluruh penonton juga juri ikut bingung di buatnya. Di belakang, Mona sudah tertawa terpingkal karena dirinya tahu Rara tidak memiliki apa pun untuk di ucapkan.

“Menurut saya, Elsa adalah karakter yang dewasa.” kata Rara pada akhirnya, “Elsa adalah sosok yang bertanggung jawab, bukan hanya pada dirinya dan saudaranya namun juga kepada masyarakat Arendelle. Selain itu, karakter Elsa digambarkan saling menyelamatkan dan menunjukkan kekuatan wanita.” lanjut Rara panjang lebar.

Rara bernafas lega begitu wawancara dengan setiap peserta berakhir, mereka di berikan waktu selama lima belas menit untuk beristirahat sembari menunggu penilaian dari juri.

Dengan langkah terburu, Rara mengangkat gaunnya yang sedikit panjang menuju tas nya untuk mengambil ponsel. Ingin melihat apakah sudah ada balasan dari Jay.

Belum sampai dirinya turun ke backstage, Haikal sudah menarik tangannya untuk di ajak entah kemana.

“Ra, kalimat terakhir yang di ucapin Mona waktu wawancara tadi. Itu punya lo kan? Kok bisa dia yang ngomong duluan?” tanya Haikal langsung, setelah mereka berada di tempat yang sepi.

Rara menggelengkan kepala tidak mengerti, “kayanya gue kecolongan waktu kita berenam tadi kumpul.” ucap Rara asal, “lo liat sendiri kan, kertas wawancara gue di taroh di meja depan tempat kita duduk. Bisa aja itu kesempatan Mona buat ambil ide gue.” sambungnya ikut pening.

“Gue gatau, kenapa dia bisa selicik itu.” ucap Haikal lagi tidak habis fikir.

“Terus maksud lo seret gue kesini buat apa? Cuma mau gibah doang gitu?” tanya Rara balik, karena dia juga masih ada hal yang perlu diselesaikan.

“Gue agak heran sih tadi sebenernya, waktu lo minta nomernya Kak Jay.” ucap Haikal langsung, “lo mau ketemu dia?” tanya nya lagi.

“Eh?? Bisa?” ucap Rara senang.

Haikal menyipitkan matanya curiga, “lo seneng ya sama Kak Jay? gausah demen, liat level lo seberapa. Ntar jatuh sakit lagi, ngincernya yang spek dewa kaya gitu.” kata Haikal julid.

Rara memukul kepala Haikal gemas, “yakali anjir, udah ayo buru. Kita istirahat cuma bentar kan.”

“Yaudah ayo.” kata Haikal berlalu, tidak lupa menggandeng tangan Rara.

'Ini emang mesti di gandeng gini ya??'


“Kenapa Kal? Kok lo bawa peserta ke sini sih? Kan bentar lagi acara mau mulai.” ucap Jay bingung, begitu melihat Rara dan Haikal berjalan memasuki ruang panitia.

Haikal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “gimana ye, gue ngomongnya.” ucapnya bermonolog.

Rara meninju pundak Haikal pelan, “Halo kak, sebelumnya perkenalkan nama saya Rafaela Ranayla.” kata Rara memperkenalkan diri guna untuk berbasa-basi.

“Oh, lo yang chat gue tadi? iya kenapa?”

“Maaf kalo disini pake bahasa non formal ya Kak.” ucap Rara meminta persetujuan pada Jay. Jay menganggukkan kepala, mempersilahkan. “Gue mau to the point aja, kalau ada salah satu peserta yang ikut lomba tapi costume dia tidak sesuai dengan tema yang telah di tentukan oleh panitia Inagurasi.” lanjut Rara panjang lebar.

Haikal ikut menoleh ke arah Rara, dirinya tidak mengerti kalau Rara akan membawa topik seperti ini. Karena dia kira, Rara akan mengatakan perihal kecurangan Mona yang tadi sudah menyontek catatan wawancara dia.

“Maksud?” tanya Jay singkat, meminta penjelasan.

“Tema untuk lomba ini 'Fairy tale' kan kak?” tanya Rara memastikan. Jay menganggukkan kepalanya mengiyakan, “tapi karakter Mulan itu bukan fairy tale.” sambung Rara mantab.

“Bentar, siapa Kal yang jadi Mulan?” tanya Jay pada Haikal yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka.

“Eh, Mona Grisella Kak.” ucap Haikal kelabakan, dirinya tidak menyangka kalau Rara akan membawa permasalahan seperti ini.

“Gimana cara lo jelasin, kalo Mulan bukan termasuk fairy tale? Sedangkan tokoh dia sendiri di angkat ke Disney, which is perkumpulan cerita soal fairy tale.” tuntut Jay meminta penjelasan.

Rara sudah menduga, kalau akan ada rekasi seperti ini. “Mulan, in 1998 and now, is based on an ancient Chinese legend. Not a fairy tale. Her story was commonly known across Asia long before Disney’s animated feature, and it’s that story (as much as the animated feature) that makes up the inspiration for the new film.” jawab Rara dengan tegas.

Jay menyibak surai nya kebelakang, apa yang di katakan Rara cukup membuatnya bimbang.

“Gue ga nakut nakutin actually, tapi untuk jaga-jaga kedepannya kalau ucapan gue saat ini ga di percaya.” sahut Rara lagi memecah suasana, “kalau pada akhirnya Mona yang bakalan menang, pasti setelah kemenangan dia akan ada pro dan kontra dari berbagai pihak, dan pasti pada akhirnya akan berimbas ke panitia juga. Tema untuk lomba Fairy tale bukan Disney, dari sini aja udah ada perbedaan kan? Pasti di fikiran mereka, kok bisa sih panitia kebobolan hal basic kaya gini.” sambung Rara final.

Haikal yang berada di samping nya sedari tadi, hanya bisa mengerjapkan mata tidak percaya. Wanita di sampingnya ini, baru saja mengancam lelaki yang paling galak seantero kampus.

“Okay, saran lo gue terima. Habis ini bakalan gue diskusiin sama juri.” jawab Jay menyanggupi permintaan Rara, “tapi bukannya Mona itu anak manajemen juga ya? Kok lo malah ngejatuhin temen satu prodi lo sih?” tanya Jay setelah sadar.

Rara tersenyum kecil, “kita emang satu prodi, tapi namanya kompetisi tetap kompetisi. Siapa sih yang gamau gelar juara?” tanya Rara realistis ke arah Jay.

Jay tertawa sembari bertepuk tangan, ucapan Rara sungguh menghibur dirinya.

“Kalo lo ga menang gimana?” tanya Jay balik, mencoba untuk menyudutkan Rara.

“Ga ada penyesalan, at least gue udah berjasa buat kepanitian Inagurasi tahun ini. Dan itu udah cukup buat gue merasa senang.” jawab Rara dengan percaya diri.

“Jawaban lo memuaskan.” ucap Jay masih tertawa, “lo ada keinginan lain nggak, yang bisa gue kabulin selain jadi juara? gue mau kabulin karena lo udah buat gue ketawa hari ini.” lanjutnya sembari menepuk pundak Rara pelan.

CCTV.”

Sorry?

“Gue minta CCTV lantai empat. Masih ada hal yang perlu gue selesain dan itu butuh bukti dari CCTV.”

Rara berjalan dengan santai menuju kantin fakultas, banyak hal yang membebani fikiran nya akhir-akhir ini.

Entah itu masalah internal, ataupun eksternal. Rara hanya merasa, kalau seakan dunia tidak penat memberinya berbagai macam cobaan.

Bisikan terdengar di seluruh penjuru kantin, begitu Rara duduk dengan santai di salah satu kursi kantin.

“eh, itu si attention seeker ya? Gila, pede banget duduk sendirian di kursi kampus.”

Ucap salah satu orang disana, yang Rara tidak tahu pasti siapa. Mengisi perutnya saat ini lebih penting, daripada cemooh orang disana.

“Gatau malu banget ya lo?” kata Shafira menghampiri meja Rara. “Udah bikin drama masih aja ada muka buat kemana mana.” sambungnya lagi sinis, dan mengelus rambut Rara yang tergerai dengan pelan.

“Bukan urusan lo.” jawab Rara singkat dan berdiri hendak pergi dari sana.

“Nyolot banget sih lu anjing.” ucap Shafira tak terima, dan mulai menarik pundak Rara untuk berhadapan dengannya.

“Apasih, kalo lo gabut jangan sama gue.” balas Rara dingin, sembari melepaskan cengkraman tangan Shafira dari pundaknya.

Tanpa di duga, kedua teman Shafira sudah membawa seember penuh air berwarna merah. Dan kemudian keduanya menyiramkan air dengan kasar pada bagian belakang tubuh Rara yang hendak berjalan menjauh.

“LO APAAN SIH?!” teriak Rara pias, dirinya sudah lelah dengan semua hal yang terjadi.

“Lah, emang gue ngapain? Gue kan cuma guyur lo doang, soalnya bau. Bau tukang drama.” sahut Shafira remeh, dan tertawa dengan puas.

Rara melihat sekeliling kantin, mereka hanya menatap Rara dengan berbagai macam jenis pandangan. Ada yang kasihan, dan juga ada yang merasa itu hal yang menarik.

Sampai Rara menangkap pemandangan yang baru saja memasuki area kantin. Mona yang tengah bergandengan tangan dengan Nathan berjalan menuju ke arahnya.

Entah apa yang mereka lakukan selama tiga hari dan tidak di ketahui Rara, sampai Rara harus melihat pemandangan di depannya ini.

Mereka berdua sudah cukup dekat untuk di katakan sebagai pasangan kekasih bukan?

Dengan segera, Rara melangkahkan kakinya untuk pergi dari area kantin.


“Gila, di siram air apaan tuh Rara tadi ya?” ucap salah seorang anak begitu memasuki kamar mandi.

Mereka tidak tahu, bahwasanya Rara ada di salah satu bilik kamar mandi tersebut dan mendengarkan segala pembicaraan keduanya.

“Pas banget asli, mana si Rara lagi pake baju putih lagi.” sambung salah satu dari mereka, “gue kalo jadi Rara, mending mati aja. Yang musuhin dia satu kampus coy.”

'andai semudah itu gue tinggalin tanggung jawab, mending gue juga mati aja.'

“Gue gatau sih, sampe kapan tuh anak bertahan. Mana lo liat kaga tadi?? Si Nathan masuk kantin gandengan tangan sama Mona anjir. Pasti tuh anak berdua udah jadian.” ucap wanita pertama, masih melanjutkan percakapan yang tadi sempat terputus.

“Lah emang kenapa kalo Mona sama Nathan pacaran?” tanya wanita kedua tidak mengerti.

“Lah, gosip si Rara sama Kak Dika bisa reda kan gara-gara anak kampus bilang kalo si Rara demen sama Nathan.” jelas wanita pertama, “kalo emang realita nya begitu, bayangin si Rara udah di musuhin satu kampus, eh cowo yang di taksir juga di rebut sama mantan sahabat nya.”

Rara mengepalkan kedua tangannya erat, perkataan keduanya begitu menoreh luka besar pada hatinya.

'Dari awal kan gue udah bilang, jangan pernah menaruh ekspetasi Rara.'

“Lah Je, mau kemana?” tanya Dean tiba-tiba berada di belakang Jeje yang tengah sibuk membawa ember cuciannya menuju lantai tiga.

Jeje spontan langsung menoleh ke sumber suara, dirinya melihat Dean tengah menenteng MacBook juga sebungkus rokok.

“Lo mau ke atap juga Kak?” tanya Jeje tanpa basa basi, ini bisa menjadi langkah yang tepat bagi dirinya. Siapa tau bisa barengan sama Dean.

Dean menganggukkan kepalanya mengiyakan. “Gue mau garap tugas sambil nyebat, soalnya kalo di dalem kamar ntar sumpek.” jawab Dean seadanya.

“Gue juga mau ke atap, jemur baju. Soalnya tadi kelupaan.” ucap Jeje lagi, menggebu-gebu.

“Oh yaudah, barengan aja.” sambung Dean lagi, dan menyerahkan MacBook nya pada Jeje, lalu membantu membawakan ember cuciannya.

“Cape nggak kak?” tanya Jeje kemudian ketika sudah berada di atap, dan mengambil alih ember cuciannya.

“Ga seberapa, lebih cape jadi mahasiswa FKG.” jawab Dean singkat, dan duduk di tempat yang lebih nyaman.

Dean kan ada di Fakultas Kedokteran Gigi nih ya, Jeje tahu betul kalo Fakultas itu emang susah banget buat di tembus sama orang-orang yang emang ga ada niat buat kesana. Tapi make a sense juga sih, paling si Dean juga lagi kena pressure nama.

Tak lama kemudian, ada Juni yang menyusul keduanya di atap. Juni ikut kaget, karena dia kira, dia akan menjadi satu-satunya orang yang ada disini.

“Wih, kebetulan banget nih.” ucap Juni senang, dan langsung mencari tempat duduk yang nyaman di samping Dean. “Padahal gue tadi niatnya mau nge-galau di atap. Kalo ada kalian disini, gue bisa langsung curhat juga dong.” sambungnya lagi, yang kayanya emang udah desperate banget.

“Jangan ke gue, lagi sibuk.” kata Dean singkat, sambil terus terfokus pada MacBook nya.

Juni menoleh wajah berharap pada Jeje, “yaudah sini kak, feel free kalo emang mau curhat.” ucap Jeje pada akhirnya, kasian liat muka Juni.

“Je, menurut lo pacaran beda agama tuh gimana?” tanya Juni to the point.

Jeje bingung, “astaghfirullah Kak, ga ada ancang-ancang dulu ya? langsung klimaks gitu.” ucap Jeje pening.

“Juni anaknya emang ga suka bertele-tele sih.” sahut Dean ikut membenarkan.

Jeje mengibaskan cuciannya dua kali, sebelum menggantungnya di tiang jemuran. “Berat. Pacaran berbeda keyakinan tuh berat banget.” jawab Jeje setelah berfikir berulang kali. “Lo disini curhat kan? jadi kalo semisalnya gue jawab pertanyaan lo menurut pendapat gue gapapa kan Kak?” tanya Jeje meminta pendapat terlebih dahulu, soalnya dia merasa kalo ini bakalan menyakiti perasaan Juni.

Juni sebenernya agak takut setelah Jeje dengan yakin menanyakan kesiapan nya atau tidak, tapi balik lagi Juni harus di tampar buat hal ini supaya dia sadar. “Go On.” jawab Juni sudah mempersiapkan diri.

“Lo tadi nanya kan, gimana pendapat gue buat orang yang pacaran beda kepercayaan. Berat kak, rumit kalo harus dilanjutkan. Gue berprinsip buat ga pernah pernah mengizinkan rasa cinta dari dan untuk seseorang yang berbeda agama perasaannya menjadi lebih dalam.” kata Jeje mulai menjelaskan. “Dulu sempet ada hantu yang cerita sama gue, soal hubungan dia yang semasa hidup sama pasangan berbeda agamanya. Ya pada akhirnya mereka ga bisa sama-sama. Sebetulnya itu balik lagi ke prinsip masing-masing orang. Tapi yang gue percaya, akan selalu ada orang yang tersakiti dalam cinta beda agama, entah itu gue, dia, maupun pihak keluarga. Jujur aja buat gue sendiri, gue gak mau orang yang gue sayangi terluka. Gue mau menjaga mereka buat tetap bahagia.” sambungnya panjang lebar, meninggalkan Juni yang sedikit terpaku dengan ucapan Jeje.

Dean menepuk pundak Juni pelan, dia sudah sering kali mendengar permasalahan Juni dengan kekasihnya tentang perbedaan agama ini. “Terlalu banyak yang harus lo korbankan kalau lo pindah agama cuma untuk seseorang Jun.” kata Dean ikut menasehati Juni.

Tak berselang lama, Jeje merasakan leher belakangnya dingin. Juni yang melihat pergerakan Jeje sedikit aneh, langsung menyadarinya. “Kenapa Je?” tanya Juni peka.

Suara anak ayam mulai terdengar, membuat Jeje, Juni, juga Dean terkesiap kaget. “Lo liat ada sesuatu nggak?” tanya Dean ikutan panik liat Jeje pucet.

“Anjing, turun aja lah ayok kita.” sahut Juni begitu suara anak ayamnya makin mengecil. “Makin kecil suara anak ayamnya, artinya makin deket kan Je?” tanya Juni lagi melihat Jeje mempercepat gerakannya untuk menjemur beberapa helai baju lagi.

“Gatau, gausah di bahas. Ayo turun Kak.” ajak Jeje cepat soalnya dia keburu tremor duluan.

Tapi mereka telat, karena udah ada sosok yang nutupin tangga bagian bawah lantai dua.

Hallo, miss K want to say hi!

Rara bingung begitu melihat mobil hitam terparkir dengan rapi di depan kontrakannya. Dia mengira kalau Haikal akan membawa motor saja, ternyata malah naik mobil kesini.

“Kal??” panggil Rara sembari mengetuk jendela Haikal pelan. Haikal yang tengah asyik bermain ponselnya sedikit terkejut, karena dia terlalu fokus sedari tadi.

Dengan segera, Haikal membukakan kunci pintu mobilnya supaya Rara bisa masuk kedalam.

“Anjir?? Lo beda banget buset.” ucap Haikal memuji, begitu dirinya melihat dandanan Rara agak sedikit berbeda malam ini.

“Aneh nggak sih?” tanya Rara sedikit canggung karena reaksi Haikal berlebihan.

“Nggak aneh juga, cuma lo better kaya gini sih menurut gue.” jawab Haikal dan mulai menjalankan mobilnya pelan. “Coba lo tiap hari tuh dandan kaya gini, lo keliatan lebih fresh Ra. Pasti lo ga bakalan kalah cantik sama Mona.” sambungnya lagi-lagi memuji. Rara memutar bola matanya malas,

'Haikal ini munafik bener jadi orang.'

“Gue ga munafik ya Ra.” ucap Haikal tiba-tiba.

'WTF?!'

Just in case kalo lo mikir gue aneh aneh di dalam otak lo.” lanjutnya lagi setelah melihat wajah kaget Rara. “Gue cuma berekspresi sesuai dengan hal yang emang nampak di mata Ra. Kalo gue sering ngata-ngatain lo, itu artinya lo emang berbuat sesuatu yang normal buat gue kata katain. Sebaliknya Mona, Rendy, Nathan, bahkan Jordan juga, gue ga memihak kubu siapapun dalam hal ini.” sambungnya lagi panjang lebar.

“Oh wow, sifat lo lumayan rare juga ya Kal.” ucap Rara pada akhirnya dan tersenyum ke arah Haikal. “Lo cuma seneng ngelempar kail buat mancing ikan doang, seterusnya lo ga tanggung jawab soal itu.” sambung Rara lagi, dan membuka pintu mobil.

Haikal ikut membuka pintu, dan keluar dari mobil untuk masuk ke dalam club. “I take that as a compliment.” jawab Haikal sok kegantengan dan berlalu dari sana tanpa menunggu Rara.

“Perasaan itu bukan pujian deh anjirr??”


Sebenernya Rara akui, dia cukup pusing dengan keadaan club saat ini. Beneran dah, udah suara jedag jedug keras banget di tambah lagi lampu yang berlawanan kontras muter muter di segala penjuru arah. Asli bukan style Rara banget.

“Lo kaya orang ilang, asli.” kata Rendy yang kini menatap Rara dengan intens. “Baju lo emang pantes buat masuk sini, tapi gelagat lo kaya anak tk yang ilang di mall sendirian.” sambungnya lagi dan meminum minumannya dengan perlahan.

“Ih apasih Rendy, jangan gitu dong.” sahut Mona cepat, “kasian Rara. Gapapa Ra, ada kita kok, kita bakalan jagain lo disini.” ucap Mona lagi dan memegang lengan Rara.

“Katanya acara kating, tapi ga ada kating sama sekali disini.” ucap Jendra memecah suasana.

“Ini ulang tahunnya Kak Dhea, cewenya Bang Lucas. Jadi satu club di sewa sama Bang Lucas, sisanya terserah sih mau ngapain disini.” ucap Haikal menjelaskan.

“Eh tapi gue kan ga ada kartu undangan. Emang boleh masuk sini?” tanya Rara cemas, sewaktu masuk di pintu masuk tadi, dia hanya membuntuti Haikal aja soalnya.

“Biasanya kalo party kaya gini, acara terbuka sih Ra. Ga masalah kalo ga ada undangan. Yang penting lo masih anak Univ.” jelas Nathan mencoba menenangkan Rara.

“Nath anterin gue nyari dessert dong.” ucap Mona tiba-tiba, sembari menarik lengan Nathan untuk berdiri. “Kasian nih anak-anak, masa cuma minum doang.” sambungnya lagi. Nathan menurut dan mulai berjalan menjauh dari tempat duduk mereka tadi, mengikuti arah Mona menuntunnya.

Rara menatap keduanya yang mulai menjauh dalam diam, Rendy bergeser tempat duduk menjadi di samping Rara.

“Lo sebenernya cantik Ra, kenapa lo ga dandan kaya gini tiap hari sih?” tanya Rendy memulai percakapan dengan Rara. Haikal yang berada tak jauh dari Rendy, menganggukkan kepala setuju.

“Gue tadi juga udah bilang kaya gitu ke dia. Gue bahkan bilang, kalo semisal dia mau dandan kaya gini tiap waktu, si Rara ga kalah cakep kan sama Mona. Iya nggak Ren?” ucap Haikal lagi melempar pendapat pada Rendy.

Of course.” sahut Rendy cepat.

“Gausah ngehasut Rara ya bangsat.” ucap Jendra yang sedari tadi hanya diam saja. “Just Love yourself. Be comfortable with yourself. Don't let anyone shun you for it either Ra.” sambung Jendra dengan tegas.

Rara menganggukkan kepalanya setuju, ini kan hidup dia, kenapa dia harus pusing mikirin pendapat orang lain??

“Btw Ra,” kata Rendy lagi masih belom puas. “Nathan kan selama ini yang paling loyal dan baik sama lo. Lo pernah ada rasa nggak sih sama Nathan?” tanya Rendy lagi sembari mengerlingkan matanya nakal ke arah Haikal.

Rara terdiam mendengar pertanyaan itu,

'Gue suka nggak sih sama Nathan?'

Rara membereskan beberapa piring juga gelas kotor yang baru saja di tinggalkan pembeli. Suasana cafe tempatnya bekerja, siang hari ini cukup ramai. Mungkin karena ini adalah hari weekend jadi banyak pengunjung yang datang.

“Raraaa!” panggil seorang wanita dari pintu masuk dengan heboh. Beberapa lelaki mengekor dari belakang wanita tersebut, dan ikut melambaikan tangan pada Rara.

“Mon, dari mana kalian berlima?” tanya Rara yang masih sibuk berkutat dengan piring dan gelas kotor. “Mau pesen apa? gue tinggal bersihin ini dulu ya.” kata Rara dan menenteng beberapa barang kotor di nampan.

“Kaya biasanya aja Ra.” ucap salah satu lelaki, dengan eye smile dan duduk di salah satu kursi cafe di ikuti yang lain. Rara mengangguk mengerti, seolah itu bukanlah hal baru.

Rara berjalan meninggalkan kelimanya, untuk berlalu ke bagian belakang cafe.

“Eh Ra, temen temen lo dateng lagi ya?” panggil teman kerjanya yang lain, sebelum Rara masuk ke dapur untuk mencuci. “Teman-teman lo pada keliatan kaya orang berada gitu, kok mau sih temenan sama lo yang miskin dan jadi pelayan disini?” sambungnya lagi.

Rara mengeratkan pegangannya pada nampan, menahan rasa malu. Dirinya sudah kerap kali di beri pertanyaan seperti ini. “Gue udah temenan sama mereka dari lama mbak.” jawab Rara seadanya, dan berlalu dari sana.


“Iya ih, sumpah susah banget matkul yang gue ambil buat 24 sks.” keluh Mona, dan menyedot caramel macchiato nya.

“Lo nambah apa aja emang?” tanya pria dengan rambut berwarna pirang, Rendy.

“Gue ngambil peradaban budaya Indonesia. Gue kira sejarah doang ya, ternyata pusing anjir.” jawab Mona lagi, menjelaskan panjang lebar.

Lagi lagi, Rara yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Dirinya tidak bisa mengambil 24 sks, karena dia harus bekerja paruh waktu. Padahal dirinya ingin lulus kuliah dengan gelar cumlaude. Tapi kehidupan memaksanya menjadi seperti ini.

“Lo udah ngerjain task dari Pak Herman Ra?” tanya lelaki dengan eye smile tadi, bernama Jendra. Diantara lainnya, mungkin hanya Jendra yang sedari tadi melihat Rara menautkan kedua jarinya, merasa canggung.

“HAH?! TUGAS YANG MANA??” sahut Mona heboh, tepat sebelum Rara menjawab pertanyaan Jendra. Bibir Rara kembali terkatub, karena pada akhirnya mereka kembali berbincang seru seperti sedia kala dan melupakan keberadaan Rara.

“Individu ya? Ra ajarin dong.” rengek lelaki dengan kulit tan, bernama Haikal.

“Iya, boleh.” jawab Rara singkat, akhirnya suaranya keluar juga.

“Tapi masa kita kumpul kaya gini malah ngerjain tugas sih?? ga asik lahh.” sela Mona lagi, membuat Haikal yang tadi bersiap mengeluarkan bukunya, kembali menaruh tas nya di bawah.

“Ya entar aja deh, gapapa.” sambung lelaki yang sedari tadi diam menjadi pemerhati suasana, Nathan.

Hari semakin sore, mereka yang sedari tadi berbincang bincang. Ralat, maksudnya Mona yang sedari tadi berbincang, mulai melihat suasana yang mulai redup dan memutuskan untuk mengajak mereka semua pulang.

“Lo pulang kan Ra?” tanya Mona berbasa-basi sembari merapikan barang bawaannya kedalam tas.

Weekend gue ambil dua shift Mon.” jawab Rara singkat.

Mona menganggukan kepalanya mengerti, “LAH TERUS GIMANA DONG RA??” teriak Haikal dari sebelah heboh. “Gue kan mau minta ajar tugasnya Pak Herman.” sambungnya lagi, memelankan suara setelah Mona memukul lengannya.

“Elo sih, nunda nunda dari tadi.” cibir Rendy dari samping.

“Dih kok jadi gue? Si Mona nih, tadi ngerecokin.” ucap Haikal membela diri.

“Lah?? Kok jadi gue anjir.” ucap Mona tidak terima. “Gue aja belom ngerjain juga loh??” lanjutnya menimpali.

“Gimana kalo elo aja yang ngerjain Ra?” kata Haikal tiba-tiba, tersenyum tidak jelas.

“Tapi kan ini essay Kal?” ucap Rara ragu.

“Halah, gapapa. Kan ntar bisa gue baca ulang kalo udah lo kerjain.” ucap Haikal lagi masih merayu, “ntar gue transfer deh, buat biaya ngerjakan tugas.” sambungnya lagi dan tersenyum licik.

Rara menggaruk tengkuknya pelan, “oke.” jawabnya singkat.

“LAH?? GUE JUGA RAA.” teriak Mona ikut ikutan, berebut dengan Rendy. Jendra dan Nathan hanya memandangi dengan santai.

Rara menghela nafasnya pelan.

'Why always me?'

Tak ingin ambil pusing, Jeje langsung menyingkap selimutnya dan bergegas berjalan keluar kamar untuk menuju dapur.

Bisa berabe kalo sampe dia papasan sama miss kunti, ntar kalo dia sampe keliatan risih pasti bakalan di ikutin terus.

“Je?” panggil seseorang dari belakang Jeje. Ternyata itu adalah Jafin, yang tadi sempat mampir terlebih dahulu di kamar Juni.

Di lantai dua, hanya memiliki empat penghuni yang menempati tiap kamar. Jeje, Dean, Juni, dan juga Jordan. Menurut Hafizar tadi, penghuni lantai atas tuh preman semua. Jadi bakalan aman, dan ga ada gangguan karena semua setan pada takut sama mereka.

Cuma disini yang Jeje liat, malah setannya pada riweuh mau gangguin si Jeje. Ya mungkin karena Jeje masih penghuni baru kali ya.

“Mau ke dapur?” tanya Jafin mencoba akrab. Jeje disini kan cewe sendiri, dia harus buat si Jeje ga awkward dengan lingkungan dia yang baru.

“Iya Kak.” jawab Jeje dengan singkat. Bukannya males atau gimana, dia tuh malu kalo disuruh ngomong sama orang baru.

“Yaudah, ayo barengan aja.” ajak Jafin lagi, dan berjalan sejajar dengan Jeje.

Tremor ga lu? Jalan bareng cogan? Tremor lah harusnya. Sayangnya disini Jeje tremor bukan karena dia jalan sama cogan, tapi karena ada mbak kun yang ngeliatin dia dengan sinis.

'Duh mampus gue, pasti kak Jafin cem cemannya si kunti itu deh.'


“Awal Hafizar sampe, dia malah ngeluh kalo disini penghuninya rame kaya pasar.” ucap Jordan heboh, sembari menoel noel lengan Hafizar.

“Ya gue ngeliatnya, hal yang gabisa lo liat anjir Bang.” jawab Hafizar tak terima.

Setelah sampai di dapur tadi, Wisam langsung menanyakan pada Jeje apakah dirinya cukup sensitif dengan hal “begituan”.

Jeje mengiyakan, daripada dia stress sendirian. Lagi pula, siapa tau Wisam bisa bantu dia kan? Ternyata Wisam emang bisa bantu dia, dan Jeje cukup lega untuk hal itu.

“Gapapa dek, disini penghuninya pada baik-baik.” tutur Wisam lembut, mencoba menenangkan hati Jeje. “Belom ketemu kan sama Mbah Rohmah di pinggir lorong?” tanya Wisam lagi.

“Ya kalo itu sih belom ketemu Bang, kalo emang mau ketemu jangan jadi wujud yang nyeremin juga plis,” keluh Jeje.

Wisam menggelengkan kepala dengan cepat, “roh orang sesepuh Je, gamungkin bakal gangguin. Dia yang jaga disini kok, percaya abang.” jelas Wisam, mencoba menerangkan lagi.

“Ya udah, alhamdulillah.” Jawab Jeje mulai tenang, tetapi tak berapa lama kemudian pikirannya kembali bercabang. “LAH TAPI DI KAMAR GUE, KUNTILANAK KELUAR MASUK ANJG BANG?!” teriaknya setelah ingat.

“SERIUS ANJIR JE?!” tanya Hafizar ikut tersedak kuah mie instan nya. “Gue udah ada tiga minggu disini, gapernah tuh di hampirin kuntilanak.” lanjutnya lagi tak percaya. Jeje hanya mengendikkan bahunya tidak perduli.

“Kebawa dari luar kayanya, soalnya Jeje kan cewe gampang kena aura negatif kaya gitu.” jelas Wisam menatap lantai dua, mencoba memastikan. “Gampang dah, abis ini abang bersihin.” lanjutnya lagi. Akhirnya Jeje menghela nafas lega, satu masalah terselesaikan pikirnya.

Gadis itu menyeret kopernya dengan sedikit malas. Teriknya matahari membakar kulit lengannya yang tak di tutupi oleh apapun.

“Ini mau Ayah temenin disini aja, atau Ayah jemput Bunda dulu?” tanya seorang lelaki dewasa pada gadis tersebut.

“Udah sana, Jeje biar disini sendiri aja gapapa. Ambil Bunda dulu, ntar di culik orang lagi.” jawabnya dengan sedikit bercanda, dan mendorong Ayahnya untuk duduk kembali di kursi kemudi.

“Mau nitip apa Jeje?” tanya Ayahnya lagi, menanyakan permintaan.

“Air aja deh yah, panas banget buset.” keluh nya sembari memegang tenggorokan nya yang kering. Ayahnya mengacungkan jempolnya, sebelum menjalankan mobilnya dan pergi dari sana.

Gadis yang bernama Jeje itu, kembali menatap bangunan di depannya dan membaca plang nama tempat di atasnya.

Neozen Indekos

Cukup terdengar millennial untuk bangunan yang terlihat sedikit berumur. Tanpa berfikir panjang, Jeje menarik kopernya dan berjalan memasuki gerbang masuk menuju dalam gedung kos tersebut.

Dirinya sedikit berjingkat kaget, begitu melihat keadaan di dalam kos. “Anjir, banyak banget yang ngisi.” gumamnya pelan dan melihat sekeliling. “Ini gue bakalan sial banget kalo dapet di lantai dua.” lanjutnya bergidik dan memilih duduk di depan ruang yang dia yakini untuk ruang tamu.

Karena dirinya lelah setelah perjalanan panjang, akhirnya kelopak matanya menutup dengan sempurna. Jeje tertidur nyenyak dengan posisi duduk, dan tanpa dia sadari banyak pasang mata yang melihatnya kala itu.


“Mau di bangunin aja?” tanya seorang lelaki samar-samar.

“Bokap nyokap nya tadi pesan suruh bangunin kalo udah sore sih.” sahut yang lainnya.

“Buset, kok ada ya orang bisa tidur duduk kaya gini.” sambung nya lagi.

“Bangunin aja deh, kasian juga pasti ga nyaman tidurnya.” putus salah seorang dari mereka.

Belum sempat mereka membangunkan Jeje, Jeje sudah lebih dulu membuka matanya.

'Ya Allah, kenapa bangun tidur langsung di suguhi pemandangan kaya gini?? Ini setannya kos ya? Kok ganteng ganteng banget sihh?!'

“Dek mau di bantuin angkat kopernya ke atas?” tanya salah seorang dari empat lelaki yang berdiri di hadapan Jeje.

“Anu, kalian dulu meninggalnya kenapa?? Kok tubuhnya bersih sih?” tanya Jeje langsung, sedikit ngawur soalnya masih ngawang abis bangun tidur.

Ketiganya langsung berpandangan satu sama lain, “Ini gue manusia woy.” sentak nya tak terima.

Jeje langsung terkesiap kaget, begitu lelaki dengan rambut berwarna dark brown mencolek lengannya.

“Eh?? Lah gue kira setan anjir!” teriak Jeje frustasi, baru masuk kos aja udah bikin malu gimana kedepannya nanti?

“Sok sok ngomong ngeliat setan, emang lo bisa?” cibir lelaki di samping

'yeu, gatau aja lo.'

“Udah-udah, masa baru pertama kali ketemu langsung berantem.” tegur salah seorang dari mereka, yang sedari tadi terdiam mengamati suasana.

“Jehaf ya? Anaknya bu Fera kan?” tanya lelaki itu membuka pembicaraan.

“Iya kak.” jawab Jeje dengan embel-embel Kak, karena dia merasa lelaki di depannya ini lebih tua darinya.

“Bu Fera sama Pak Gio udah balik duluan tadi, ada urusan yang lebih penting. Kenalin gue Wisam, anak pemilik Indekos disini. Jadi kalo mau nanya sesuatu, langsung tanya gue aja ya.” jelas lelaki yang bernama Wisam itu panjang lebar.

“Gue Yazid, yang tadi lo katain hantu.” ucap lelaki yang bernama Dean itu sinis.

'yaudah maap, kenapa sih ya Allah???'

“Gue Juni, halo Jehaf.” ucap lelaki berambut dark brown yang menoel noel lengannya tadi.

Jehaf menggaruk lehernya yang tidak gatal, merasa awkward dengan keadaannya sekarang. “Yaudah, halo gue Jehaf. Panggil aja Jeje biar ga ribet.” ucap Jehaf pada akhirnya memperkenalkan diri.

Daripada dia bengong doang kan, sementara ketiganya juga ikutan diem seolah nungguin Jeje buat ucapin perkenalan juga.

“Kamar lo di lantai dua kata nyokap gue, nomer tujuh. Wah deket tuh sama kamarnya Juni.” ucap Wisam lagi menjelaskan, dan memberikan kunci kamar kepada Jeje.

'mampus gue, dapet lantai dua.'

“Lo kayanya juga kecapean, langsung ke atas aja yok.” sahut Juni dan menenteng koper milik Jeje, “gue bawain kopernya.” sambungnya lagi dan berjalan terlebih dulu melewati Wisam dan Yazid menuju tangga.

“Bantuin ya Jun.” teriak Wisam dari kejauhan.

“Yoi.” jawab Juna singkat, Jeje mengekor di belakangnya.

'ini kenapa ga ada penghuni cewe sih buset? Kalo kaya gini makin gencar dong mereka godain gue??'