JC Halcyon

“Lah Je, mau kemana?” tanya Dean tiba-tiba berada di belakang Jeje yang tengah sibuk membawa ember cuciannya menuju lantai tiga.

Jeje spontan langsung menoleh ke sumber suara, dirinya melihat Dean tengah menenteng MacBook juga sebungkus rokok.

“Lo mau ke atap juga Kak?” tanya Jeje tanpa basa basi, ini bisa menjadi langkah yang tepat bagi dirinya. Siapa tau bisa barengan sama Dean.

Dean menganggukkan kepalanya mengiyakan. “Gue mau garap tugas sambil nyebat, soalnya kalo di dalem kamar ntar sumpek.” jawab Dean seadanya.

“Gue juga mau ke atap, jemur baju. Soalnya tadi kelupaan.” ucap Jeje lagi, menggebu-gebu.

“Oh yaudah, barengan aja.” sambung Dean lagi, dan menyerahkan MacBook nya pada Jeje, lalu membantu membawakan ember cuciannya.

“Cape nggak kak?” tanya Jeje kemudian ketika sudah berada di atap, dan mengambil alih ember cuciannya.

“Ga seberapa, lebih cape jadi mahasiswa FKG.” jawab Dean singkat, dan duduk di tempat yang lebih nyaman.

Dean kan ada di Fakultas Kedokteran Gigi nih ya, Jeje tahu betul kalo Fakultas itu emang susah banget buat di tembus sama orang-orang yang emang ga ada niat buat kesana. Tapi make a sense juga sih, paling si Dean juga lagi kena pressure nama.

Tak lama kemudian, ada Juni yang menyusul keduanya di atap. Juni ikut kaget, karena dia kira, dia akan menjadi satu-satunya orang yang ada disini.

“Wih, kebetulan banget nih.” ucap Juni senang, dan langsung mencari tempat duduk yang nyaman di samping Dean. “Padahal gue tadi niatnya mau nge-galau di atap. Kalo ada kalian disini, gue bisa langsung curhat juga dong.” sambungnya lagi, yang kayanya emang udah desperate banget.

“Jangan ke gue, lagi sibuk.” kata Dean singkat, sambil terus terfokus pada MacBook nya.

Juni menoleh wajah berharap pada Jeje, “yaudah sini kak, feel free kalo emang mau curhat.” ucap Jeje pada akhirnya, kasian liat muka Juni.

“Je, menurut lo pacaran beda agama tuh gimana?” tanya Juni to the point.

Jeje bingung, “astaghfirullah Kak, ga ada ancang-ancang dulu ya? langsung klimaks gitu.” ucap Jeje pening.

“Juni anaknya emang ga suka bertele-tele sih.” sahut Dean ikut membenarkan.

Jeje mengibaskan cuciannya dua kali, sebelum menggantungnya di tiang jemuran. “Berat. Pacaran berbeda keyakinan tuh berat banget.” jawab Jeje setelah berfikir berulang kali. “Lo disini curhat kan? jadi kalo semisalnya gue jawab pertanyaan lo menurut pendapat gue gapapa kan Kak?” tanya Jeje meminta pendapat terlebih dahulu, soalnya dia merasa kalo ini bakalan menyakiti perasaan Juni.

Juni sebenernya agak takut setelah Jeje dengan yakin menanyakan kesiapan nya atau tidak, tapi balik lagi Juni harus di tampar buat hal ini supaya dia sadar. “Go On.” jawab Juni sudah mempersiapkan diri.

“Lo tadi nanya kan, gimana pendapat gue buat orang yang pacaran beda kepercayaan. Berat kak, rumit kalo harus dilanjutkan. Gue berprinsip buat ga pernah pernah mengizinkan rasa cinta dari dan untuk seseorang yang berbeda agama perasaannya menjadi lebih dalam.” kata Jeje mulai menjelaskan. “Dulu sempet ada hantu yang cerita sama gue, soal hubungan dia yang semasa hidup sama pasangan berbeda agamanya. Ya pada akhirnya mereka ga bisa sama-sama. Sebetulnya itu balik lagi ke prinsip masing-masing orang. Tapi yang gue percaya, akan selalu ada orang yang tersakiti dalam cinta beda agama, entah itu gue, dia, maupun pihak keluarga. Jujur aja buat gue sendiri, gue gak mau orang yang gue sayangi terluka. Gue mau menjaga mereka buat tetap bahagia.” sambungnya panjang lebar, meninggalkan Juni yang sedikit terpaku dengan ucapan Jeje.

Dean menepuk pundak Juni pelan, dia sudah sering kali mendengar permasalahan Juni dengan kekasihnya tentang perbedaan agama ini. “Terlalu banyak yang harus lo korbankan kalau lo pindah agama cuma untuk seseorang Jun.” kata Dean ikut menasehati Juni.

Tak berselang lama, Jeje merasakan leher belakangnya dingin. Juni yang melihat pergerakan Jeje sedikit aneh, langsung menyadarinya. “Kenapa Je?” tanya Juni peka.

Suara anak ayam mulai terdengar, membuat Jeje, Juni, juga Dean terkesiap kaget. “Lo liat ada sesuatu nggak?” tanya Dean ikutan panik liat Jeje pucet.

“Anjing, turun aja lah ayok kita.” sahut Juni begitu suara anak ayamnya makin mengecil. “Makin kecil suara anak ayamnya, artinya makin deket kan Je?” tanya Juni lagi melihat Jeje mempercepat gerakannya untuk menjemur beberapa helai baju lagi.

“Gatau, gausah di bahas. Ayo turun Kak.” ajak Jeje cepat soalnya dia keburu tremor duluan.

Tapi mereka telat, karena udah ada sosok yang nutupin tangga bagian bawah lantai dua.

Hallo, miss K want to say hi!

Rara bingung begitu melihat mobil hitam terparkir dengan rapi di depan kontrakannya. Dia mengira kalau Haikal akan membawa motor saja, ternyata malah naik mobil kesini.

“Kal??” panggil Rara sembari mengetuk jendela Haikal pelan. Haikal yang tengah asyik bermain ponselnya sedikit terkejut, karena dia terlalu fokus sedari tadi.

Dengan segera, Haikal membukakan kunci pintu mobilnya supaya Rara bisa masuk kedalam.

“Anjir?? Lo beda banget buset.” ucap Haikal memuji, begitu dirinya melihat dandanan Rara agak sedikit berbeda malam ini.

“Aneh nggak sih?” tanya Rara sedikit canggung karena reaksi Haikal berlebihan.

“Nggak aneh juga, cuma lo better kaya gini sih menurut gue.” jawab Haikal dan mulai menjalankan mobilnya pelan. “Coba lo tiap hari tuh dandan kaya gini, lo keliatan lebih fresh Ra. Pasti lo ga bakalan kalah cantik sama Mona.” sambungnya lagi-lagi memuji. Rara memutar bola matanya malas,

'Haikal ini munafik bener jadi orang.'

“Gue ga munafik ya Ra.” ucap Haikal tiba-tiba.

'WTF?!'

Just in case kalo lo mikir gue aneh aneh di dalam otak lo.” lanjutnya lagi setelah melihat wajah kaget Rara. “Gue cuma berekspresi sesuai dengan hal yang emang nampak di mata Ra. Kalo gue sering ngata-ngatain lo, itu artinya lo emang berbuat sesuatu yang normal buat gue kata katain. Sebaliknya Mona, Rendy, Nathan, bahkan Jordan juga, gue ga memihak kubu siapapun dalam hal ini.” sambungnya lagi panjang lebar.

“Oh wow, sifat lo lumayan rare juga ya Kal.” ucap Rara pada akhirnya dan tersenyum ke arah Haikal. “Lo cuma seneng ngelempar kail buat mancing ikan doang, seterusnya lo ga tanggung jawab soal itu.” sambung Rara lagi, dan membuka pintu mobil.

Haikal ikut membuka pintu, dan keluar dari mobil untuk masuk ke dalam club. “I take that as a compliment.” jawab Haikal sok kegantengan dan berlalu dari sana tanpa menunggu Rara.

“Perasaan itu bukan pujian deh anjirr??”


Sebenernya Rara akui, dia cukup pusing dengan keadaan club saat ini. Beneran dah, udah suara jedag jedug keras banget di tambah lagi lampu yang berlawanan kontras muter muter di segala penjuru arah. Asli bukan style Rara banget.

“Lo kaya orang ilang, asli.” kata Rendy yang kini menatap Rara dengan intens. “Baju lo emang pantes buat masuk sini, tapi gelagat lo kaya anak tk yang ilang di mall sendirian.” sambungnya lagi dan meminum minumannya dengan perlahan.

“Ih apasih Rendy, jangan gitu dong.” sahut Mona cepat, “kasian Rara. Gapapa Ra, ada kita kok, kita bakalan jagain lo disini.” ucap Mona lagi dan memegang lengan Rara.

“Katanya acara kating, tapi ga ada kating sama sekali disini.” ucap Jendra memecah suasana.

“Ini ulang tahunnya Kak Dhea, cewenya Bang Lucas. Jadi satu club di sewa sama Bang Lucas, sisanya terserah sih mau ngapain disini.” ucap Haikal menjelaskan.

“Eh tapi gue kan ga ada kartu undangan. Emang boleh masuk sini?” tanya Rara cemas, sewaktu masuk di pintu masuk tadi, dia hanya membuntuti Haikal aja soalnya.

“Biasanya kalo party kaya gini, acara terbuka sih Ra. Ga masalah kalo ga ada undangan. Yang penting lo masih anak Univ.” jelas Nathan mencoba menenangkan Rara.

“Nath anterin gue nyari dessert dong.” ucap Mona tiba-tiba, sembari menarik lengan Nathan untuk berdiri. “Kasian nih anak-anak, masa cuma minum doang.” sambungnya lagi. Nathan menurut dan mulai berjalan menjauh dari tempat duduk mereka tadi, mengikuti arah Mona menuntunnya.

Rara menatap keduanya yang mulai menjauh dalam diam, Rendy bergeser tempat duduk menjadi di samping Rara.

“Lo sebenernya cantik Ra, kenapa lo ga dandan kaya gini tiap hari sih?” tanya Rendy memulai percakapan dengan Rara. Haikal yang berada tak jauh dari Rendy, menganggukkan kepala setuju.

“Gue tadi juga udah bilang kaya gitu ke dia. Gue bahkan bilang, kalo semisal dia mau dandan kaya gini tiap waktu, si Rara ga kalah cakep kan sama Mona. Iya nggak Ren?” ucap Haikal lagi melempar pendapat pada Rendy.

Of course.” sahut Rendy cepat.

“Gausah ngehasut Rara ya bangsat.” ucap Jendra yang sedari tadi hanya diam saja. “Just Love yourself. Be comfortable with yourself. Don't let anyone shun you for it either Ra.” sambung Jendra dengan tegas.

Rara menganggukkan kepalanya setuju, ini kan hidup dia, kenapa dia harus pusing mikirin pendapat orang lain??

“Btw Ra,” kata Rendy lagi masih belom puas. “Nathan kan selama ini yang paling loyal dan baik sama lo. Lo pernah ada rasa nggak sih sama Nathan?” tanya Rendy lagi sembari mengerlingkan matanya nakal ke arah Haikal.

Rara terdiam mendengar pertanyaan itu,

'Gue suka nggak sih sama Nathan?'

Rara membereskan beberapa piring juga gelas kotor yang baru saja di tinggalkan pembeli. Suasana cafe tempatnya bekerja, siang hari ini cukup ramai. Mungkin karena ini adalah hari weekend jadi banyak pengunjung yang datang.

“Raraaa!” panggil seorang wanita dari pintu masuk dengan heboh. Beberapa lelaki mengekor dari belakang wanita tersebut, dan ikut melambaikan tangan pada Rara.

“Mon, dari mana kalian berlima?” tanya Rara yang masih sibuk berkutat dengan piring dan gelas kotor. “Mau pesen apa? gue tinggal bersihin ini dulu ya.” kata Rara dan menenteng beberapa barang kotor di nampan.

“Kaya biasanya aja Ra.” ucap salah satu lelaki, dengan eye smile dan duduk di salah satu kursi cafe di ikuti yang lain. Rara mengangguk mengerti, seolah itu bukanlah hal baru.

Rara berjalan meninggalkan kelimanya, untuk berlalu ke bagian belakang cafe.

“Eh Ra, temen temen lo dateng lagi ya?” panggil teman kerjanya yang lain, sebelum Rara masuk ke dapur untuk mencuci. “Teman-teman lo pada keliatan kaya orang berada gitu, kok mau sih temenan sama lo yang miskin dan jadi pelayan disini?” sambungnya lagi.

Rara mengeratkan pegangannya pada nampan, menahan rasa malu. Dirinya sudah kerap kali di beri pertanyaan seperti ini. “Gue udah temenan sama mereka dari lama mbak.” jawab Rara seadanya, dan berlalu dari sana.


“Iya ih, sumpah susah banget matkul yang gue ambil buat 24 sks.” keluh Mona, dan menyedot caramel macchiato nya.

“Lo nambah apa aja emang?” tanya pria dengan rambut berwarna pirang, Rendy.

“Gue ngambil peradaban budaya Indonesia. Gue kira sejarah doang ya, ternyata pusing anjir.” jawab Mona lagi, menjelaskan panjang lebar.

Lagi lagi, Rara yang melihat itu hanya tersenyum sendu. Dirinya tidak bisa mengambil 24 sks, karena dia harus bekerja paruh waktu. Padahal dirinya ingin lulus kuliah dengan gelar cumlaude. Tapi kehidupan memaksanya menjadi seperti ini.

“Lo udah ngerjain task dari Pak Herman Ra?” tanya lelaki dengan eye smile tadi, bernama Jendra. Diantara lainnya, mungkin hanya Jendra yang sedari tadi melihat Rara menautkan kedua jarinya, merasa canggung.

“HAH?! TUGAS YANG MANA??” sahut Mona heboh, tepat sebelum Rara menjawab pertanyaan Jendra. Bibir Rara kembali terkatub, karena pada akhirnya mereka kembali berbincang seru seperti sedia kala dan melupakan keberadaan Rara.

“Individu ya? Ra ajarin dong.” rengek lelaki dengan kulit tan, bernama Haikal.

“Iya, boleh.” jawab Rara singkat, akhirnya suaranya keluar juga.

“Tapi masa kita kumpul kaya gini malah ngerjain tugas sih?? ga asik lahh.” sela Mona lagi, membuat Haikal yang tadi bersiap mengeluarkan bukunya, kembali menaruh tas nya di bawah.

“Ya entar aja deh, gapapa.” sambung lelaki yang sedari tadi diam menjadi pemerhati suasana, Nathan.

Hari semakin sore, mereka yang sedari tadi berbincang bincang. Ralat, maksudnya Mona yang sedari tadi berbincang, mulai melihat suasana yang mulai redup dan memutuskan untuk mengajak mereka semua pulang.

“Lo pulang kan Ra?” tanya Mona berbasa-basi sembari merapikan barang bawaannya kedalam tas.

Weekend gue ambil dua shift Mon.” jawab Rara singkat.

Mona menganggukan kepalanya mengerti, “LAH TERUS GIMANA DONG RA??” teriak Haikal dari sebelah heboh. “Gue kan mau minta ajar tugasnya Pak Herman.” sambungnya lagi, memelankan suara setelah Mona memukul lengannya.

“Elo sih, nunda nunda dari tadi.” cibir Rendy dari samping.

“Dih kok jadi gue? Si Mona nih, tadi ngerecokin.” ucap Haikal membela diri.

“Lah?? Kok jadi gue anjir.” ucap Mona tidak terima. “Gue aja belom ngerjain juga loh??” lanjutnya menimpali.

“Gimana kalo elo aja yang ngerjain Ra?” kata Haikal tiba-tiba, tersenyum tidak jelas.

“Tapi kan ini essay Kal?” ucap Rara ragu.

“Halah, gapapa. Kan ntar bisa gue baca ulang kalo udah lo kerjain.” ucap Haikal lagi masih merayu, “ntar gue transfer deh, buat biaya ngerjakan tugas.” sambungnya lagi dan tersenyum licik.

Rara menggaruk tengkuknya pelan, “oke.” jawabnya singkat.

“LAH?? GUE JUGA RAA.” teriak Mona ikut ikutan, berebut dengan Rendy. Jendra dan Nathan hanya memandangi dengan santai.

Rara menghela nafasnya pelan.

'Why always me?'

Tak ingin ambil pusing, Jeje langsung menyingkap selimutnya dan bergegas berjalan keluar kamar untuk menuju dapur.

Bisa berabe kalo sampe dia papasan sama miss kunti, ntar kalo dia sampe keliatan risih pasti bakalan di ikutin terus.

“Je?” panggil seseorang dari belakang Jeje. Ternyata itu adalah Jafin, yang tadi sempat mampir terlebih dahulu di kamar Juni.

Di lantai dua, hanya memiliki empat penghuni yang menempati tiap kamar. Jeje, Dean, Juni, dan juga Jordan. Menurut Hafizar tadi, penghuni lantai atas tuh preman semua. Jadi bakalan aman, dan ga ada gangguan karena semua setan pada takut sama mereka.

Cuma disini yang Jeje liat, malah setannya pada riweuh mau gangguin si Jeje. Ya mungkin karena Jeje masih penghuni baru kali ya.

“Mau ke dapur?” tanya Jafin mencoba akrab. Jeje disini kan cewe sendiri, dia harus buat si Jeje ga awkward dengan lingkungan dia yang baru.

“Iya Kak.” jawab Jeje dengan singkat. Bukannya males atau gimana, dia tuh malu kalo disuruh ngomong sama orang baru.

“Yaudah, ayo barengan aja.” ajak Jafin lagi, dan berjalan sejajar dengan Jeje.

Tremor ga lu? Jalan bareng cogan? Tremor lah harusnya. Sayangnya disini Jeje tremor bukan karena dia jalan sama cogan, tapi karena ada mbak kun yang ngeliatin dia dengan sinis.

'Duh mampus gue, pasti kak Jafin cem cemannya si kunti itu deh.'


“Awal Hafizar sampe, dia malah ngeluh kalo disini penghuninya rame kaya pasar.” ucap Jordan heboh, sembari menoel noel lengan Hafizar.

“Ya gue ngeliatnya, hal yang gabisa lo liat anjir Bang.” jawab Hafizar tak terima.

Setelah sampai di dapur tadi, Wisam langsung menanyakan pada Jeje apakah dirinya cukup sensitif dengan hal “begituan”.

Jeje mengiyakan, daripada dia stress sendirian. Lagi pula, siapa tau Wisam bisa bantu dia kan? Ternyata Wisam emang bisa bantu dia, dan Jeje cukup lega untuk hal itu.

“Gapapa dek, disini penghuninya pada baik-baik.” tutur Wisam lembut, mencoba menenangkan hati Jeje. “Belom ketemu kan sama Mbah Rohmah di pinggir lorong?” tanya Wisam lagi.

“Ya kalo itu sih belom ketemu Bang, kalo emang mau ketemu jangan jadi wujud yang nyeremin juga plis,” keluh Jeje.

Wisam menggelengkan kepala dengan cepat, “roh orang sesepuh Je, gamungkin bakal gangguin. Dia yang jaga disini kok, percaya abang.” jelas Wisam, mencoba menerangkan lagi.

“Ya udah, alhamdulillah.” Jawab Jeje mulai tenang, tetapi tak berapa lama kemudian pikirannya kembali bercabang. “LAH TAPI DI KAMAR GUE, KUNTILANAK KELUAR MASUK ANJG BANG?!” teriaknya setelah ingat.

“SERIUS ANJIR JE?!” tanya Hafizar ikut tersedak kuah mie instan nya. “Gue udah ada tiga minggu disini, gapernah tuh di hampirin kuntilanak.” lanjutnya lagi tak percaya. Jeje hanya mengendikkan bahunya tidak perduli.

“Kebawa dari luar kayanya, soalnya Jeje kan cewe gampang kena aura negatif kaya gitu.” jelas Wisam menatap lantai dua, mencoba memastikan. “Gampang dah, abis ini abang bersihin.” lanjutnya lagi. Akhirnya Jeje menghela nafas lega, satu masalah terselesaikan pikirnya.

Gadis itu menyeret kopernya dengan sedikit malas. Teriknya matahari membakar kulit lengannya yang tak di tutupi oleh apapun.

“Ini mau Ayah temenin disini aja, atau Ayah jemput Bunda dulu?” tanya seorang lelaki dewasa pada gadis tersebut.

“Udah sana, Jeje biar disini sendiri aja gapapa. Ambil Bunda dulu, ntar di culik orang lagi.” jawabnya dengan sedikit bercanda, dan mendorong Ayahnya untuk duduk kembali di kursi kemudi.

“Mau nitip apa Jeje?” tanya Ayahnya lagi, menanyakan permintaan.

“Air aja deh yah, panas banget buset.” keluh nya sembari memegang tenggorokan nya yang kering. Ayahnya mengacungkan jempolnya, sebelum menjalankan mobilnya dan pergi dari sana.

Gadis yang bernama Jeje itu, kembali menatap bangunan di depannya dan membaca plang nama tempat di atasnya.

Neozen Indekos

Cukup terdengar millennial untuk bangunan yang terlihat sedikit berumur. Tanpa berfikir panjang, Jeje menarik kopernya dan berjalan memasuki gerbang masuk menuju dalam gedung kos tersebut.

Dirinya sedikit berjingkat kaget, begitu melihat keadaan di dalam kos. “Anjir, banyak banget yang ngisi.” gumamnya pelan dan melihat sekeliling. “Ini gue bakalan sial banget kalo dapet di lantai dua.” lanjutnya bergidik dan memilih duduk di depan ruang yang dia yakini untuk ruang tamu.

Karena dirinya lelah setelah perjalanan panjang, akhirnya kelopak matanya menutup dengan sempurna. Jeje tertidur nyenyak dengan posisi duduk, dan tanpa dia sadari banyak pasang mata yang melihatnya kala itu.


“Mau di bangunin aja?” tanya seorang lelaki samar-samar.

“Bokap nyokap nya tadi pesan suruh bangunin kalo udah sore sih.” sahut yang lainnya.

“Buset, kok ada ya orang bisa tidur duduk kaya gini.” sambung nya lagi.

“Bangunin aja deh, kasian juga pasti ga nyaman tidurnya.” putus salah seorang dari mereka.

Belum sempat mereka membangunkan Jeje, Jeje sudah lebih dulu membuka matanya.

'Ya Allah, kenapa bangun tidur langsung di suguhi pemandangan kaya gini?? Ini setannya kos ya? Kok ganteng ganteng banget sihh?!'

“Dek mau di bantuin angkat kopernya ke atas?” tanya salah seorang dari empat lelaki yang berdiri di hadapan Jeje.

“Anu, kalian dulu meninggalnya kenapa?? Kok tubuhnya bersih sih?” tanya Jeje langsung, sedikit ngawur soalnya masih ngawang abis bangun tidur.

Ketiganya langsung berpandangan satu sama lain, “Ini gue manusia woy.” sentak nya tak terima.

Jeje langsung terkesiap kaget, begitu lelaki dengan rambut berwarna dark brown mencolek lengannya.

“Eh?? Lah gue kira setan anjir!” teriak Jeje frustasi, baru masuk kos aja udah bikin malu gimana kedepannya nanti?

“Sok sok ngomong ngeliat setan, emang lo bisa?” cibir lelaki di samping

'yeu, gatau aja lo.'

“Udah-udah, masa baru pertama kali ketemu langsung berantem.” tegur salah seorang dari mereka, yang sedari tadi terdiam mengamati suasana.

“Jehaf ya? Anaknya bu Fera kan?” tanya lelaki itu membuka pembicaraan.

“Iya kak.” jawab Jeje dengan embel-embel Kak, karena dia merasa lelaki di depannya ini lebih tua darinya.

“Bu Fera sama Pak Gio udah balik duluan tadi, ada urusan yang lebih penting. Kenalin gue Wisam, anak pemilik Indekos disini. Jadi kalo mau nanya sesuatu, langsung tanya gue aja ya.” jelas lelaki yang bernama Wisam itu panjang lebar.

“Gue Yazid, yang tadi lo katain hantu.” ucap lelaki yang bernama Dean itu sinis.

'yaudah maap, kenapa sih ya Allah???'

“Gue Juni, halo Jehaf.” ucap lelaki berambut dark brown yang menoel noel lengannya tadi.

Jehaf menggaruk lehernya yang tidak gatal, merasa awkward dengan keadaannya sekarang. “Yaudah, halo gue Jehaf. Panggil aja Jeje biar ga ribet.” ucap Jehaf pada akhirnya memperkenalkan diri.

Daripada dia bengong doang kan, sementara ketiganya juga ikutan diem seolah nungguin Jeje buat ucapin perkenalan juga.

“Kamar lo di lantai dua kata nyokap gue, nomer tujuh. Wah deket tuh sama kamarnya Juni.” ucap Wisam lagi menjelaskan, dan memberikan kunci kamar kepada Jeje.

'mampus gue, dapet lantai dua.'

“Lo kayanya juga kecapean, langsung ke atas aja yok.” sahut Juni dan menenteng koper milik Jeje, “gue bawain kopernya.” sambungnya lagi dan berjalan terlebih dulu melewati Wisam dan Yazid menuju tangga.

“Bantuin ya Jun.” teriak Wisam dari kejauhan.

“Yoi.” jawab Juna singkat, Jeje mengekor di belakangnya.

'ini kenapa ga ada penghuni cewe sih buset? Kalo kaya gini makin gencar dong mereka godain gue??'

Semua sudah berkumpul disini, Mama, Papa, bahkan saudara nya lengkap bersembilan berada disini. Tetapi masih ada yang kurang di mata Delvin.

“Nada dimana?” tanya nya polos.

Mama memeluk Papa dengan tabah, dirinya ikut terpukul dengan hal yang harus di lewati oleh Delvin dan juga Nada.

“Kakak,” ucap Papa pelan mencoba mengatur intonasi. “Udah ya, jangan gini terus. Terakhir kamu ngotot mau nyari Nada, justru kamu yang hilang karena masuk jurang.” sambungnya menjelaskan dengan perlahan.

Air muka Delvin langsung berubah. Otak nya langsung berfikir keras, mengumpulkan kepingan kepingan memori yang hilang.

Seingatnya, dirinya baru dua hari ada di rumah sakit. Itupun karena tonjokan Yudha pada pipi kirinya. Jelas itu bukan mimpi, karena pipi kirinya masih terasa nyeri.

Tapi apa yang di ucapkan oleh Papa nya tadi, kembali membuat Delvin termangu bingung. Dia masih belum bisa mencerna apa yang telah terjadi.

“Hari ke tujuh Nada menghilang, lo ngotot ikut Tim SAR buat nyariin Nada di kawah Ijen.” ucap Candra ikut menjelaskan, dirinya wajib membuat salah satu adiknya ini paham dengan hal yang telah terjadi. “Dan hari itu juga, lo sempet di nyatakan hilang ketika ikut penyisiran di Gunung Ranti. Lo baru ketemu setelah empat belas jam terpisah dari Tim SAR, dan kondisi lo ga baik-baik aja.” sambung Candra lagi menatap Delvin prihatin.

“Lo ga sadar, sampai di bawa ke Malang dan akhirnya di rawat jalan di rumah sakit. Sementara pencarian Nada masih terus di lakukan.” sahut Yudha di samping nya.

“Baru kemaren Del, di hari yang ke sepuluh. Nada di temukan di jurang ke dalaman 500m. Kemungkinan karena dia sempet menginjak tanah yang rapuh.” jelas Tiyo juga agak tersendat. Papa di sampingnya sudah mengeluarkan air mata.

“APA APAAN ANJING?! ORANG BARUSAN AJA GUE SEMPET KE TAMAN SAMA NADA!!” teriak Delvin histeris, otaknya mencoba untuk tak percaya dengan hal yang baru saja di katakan oleh saudaranya yang lain.

“Del, udah kasian Nada. Kasian Papa, kasian Mama.” kata Jonathan mencoba melerai Delvin yang tengah mengamuk. “Jasad Nada udah di semayamkan Del, kemarin Mama kandung nya Nada juga sempet kesini, buat ikut prosesi pemakaman nya.” sambungnya lagi parau, Jonathan benar-benar terpukul melihat betapa kacau nya kondisi Delvin saat ini.

“KALIAN LANGSUNG KUBUR?! GAK KALIAN OTOPSI DULU?! BENER NGGAK ITU NADA, BENER NGGAK ITU DNA NYA NADA!!” teriak Delvin lagi, masih mengamuk. Papa yang di sampingnya hanya mengelus lengan Delvin perlahan, mencoba menguatkannya.

Haikal yang berada di belakang Arwena, tangannya merasa gatal ingin memukul kepala Delvin. Teriak-teriak mulu soalnya, kupingnya Haikal kan jadi sakit. Apalagi disini yang berduka tuh bukan Delvin doang.

BUGH!!

Hermas maju ke depan, dan memukul kepala Delvin gemas. “Respek dikit dong, yang berduka bukan lo doang. Lo ga ada hak buat memojokkan Papa dan bilang seolah olah otopsi Nada itu patut di benarkan. Bahkan pagi ini aja, udah ada media yang terbitin artikel soal jasad Nada yang udah di temukan tanpa minta izin ke kita dulu. Lo harus ngerti juga, gimana keadaannya Papa.” ucap Hermas jadi ikut marah-marah. Delvin begitu menguji kesabarannya.

Delvin termangu, air mata masih keluar deras dari kedua bola matanya. Dirinya menatap Papa dengan sendu, “maafin Delvin ya Pa, Delvin gagal jaga Nada.” ucap nya kemudian, dan mengulurkan tangannya.

Papa menyambut uluran tangan Delvin, dan memeluk nya dengan tegar. “Semuanya udah hilang, tapi tidak dengan kenangannya Delvin. Papa juga berterima kasih, kamu sudah menyayangi Nada dengan tulus selama ini.”


Delvin dan yang lainnya tidak percaya, kalau pada akhirnya mereka akan menginjakkan kaki di tempat seperti ini untuk menemui Nada.

Tampak dari kejauhan, tempat Nada sekarang yang masih di penuhi oleh kelopak bunga juga tanahnya yang masih basah karena baru di gali belum lama ini.

“Del, gapapa?” tanya Tiyo mencengkram lengan Delvin yang tampak kepayahan.

Delvin hanya terdiam, tanpa ada niat untuk menjawab pertanyaan Tiyo. Kondisi hatinya saat ini sangat kacau. Dirinya masih belum siap menerima kepergian Nada, bahkan dia tidak melihat Nada di saat terakhir sebelum di makam kan.

“Bang, mau gue gendong aja?” tanya Jeffrey mencoba mencairkan suasana, berharap mendapatkan perhatian dari Delvin.

Jonathan dari samping melihatnya sinis. Jeffery benar-benar tidak tahu bagaimana mencari topik di waktu yang tepat. Ingin rasanya Jonathan mengubur Jeffery hidup-hidup disini.

Sampai di tempat peristirahatan Nada yang terakhir, Delvin hanya bisa tertunduk menangis. “Makasih Nad, lo udah sempet mampir di mimpi gue dan pesen ke gue kalo lo baik-baik aja.” kata Delvin parau, dadanya sesak karena dirinya terlalu banyak menangis dari kemarin. “Gue kira lo bakalan balik, tapi kepergian selamanya itu ada. Makasih udah mampir di hidup gue dan bikin hidup gue jadi lebih berarti.” sambungnya lagi dan mengusap nisan yang bertuliskan Nada Caroline itu lembut.

Haikal menatap pemandangan di depannya itu dengan sendu. Tiba-tiba dia teringat percakapannya dengan Nada, sewaktu Nada mengajaknya untuk ke Gramedia.

“Lo tau, gue paling suka sama tulisannya kak Tenderlova.” ucap Nada dengan antusias.

“Halah, lo kalo novel pasti ga jauh-jauh dari novel roman Picisan gitu deh kayanya.” jawab Haikal mencibir.

“Bukan anjirr!” ucap Nada menyela, “ini tuh novel keluarga gitu. Judulnya Tulisan Sastra, sad ending sih tapi banyak hal yang bisa gue petik dari karya nya kak Tenderlova itu.” jelas Nada lagi.

“Apaan tuh?”

“Yang pergi biar lah pergi, yang masih tinggal seharusnya dijaga. Kalau nggak ada yang abadi di dalam bahagia, berarti ga ada abadi juga dalam sedih.” ucapnya sembari tersenyum dan mengacak surai Haikal lembut.

Haikal tersenyum sedih mengingat hal itu. Akhirnya kepergian mereka di temani oleh awan gelap yang membawa gerimis. Haikal kembali melirik makam Nada, terlihat menonjol diantara bunga krisan putih yang menghiasi makamnya. Ada sebuket bunga Anyelir merah yang tertata rapi disana.

“Itu pasti bunga dari Anan.... “

Sembari menunggu pagi, Nada udah duduk di deketnya Candra buat di peluk. Gatau korelasinya gimana, tapi pelukan Candra tuh emang yang paling nyaman.

“Kalian tau filosofi bintang nggak?” tanya Nada tiba-tiba, sembari menatap ke arah langit yang memang di penuhi oleh bintang.

“Filosofi bintang?” tanya Jeffrey penasaran.

“Iya, coba lu pada liat bintang yang itu.” kata Nada lagi, sembari menunjuk bintang yang terlihat lebih besar daripada yang lainnya. “Itu Kak Jeffery.” sambungnya lagi.

“Eh?? Kok gueee??” tanya Jeffery kaget, karena tiba-tiba di mention Nada

“Soalnya kak Jeffery tuh yang selalu mempresentasikan kalian. Dia yang selalu jadi icon diantara kalian. Pertama kali kenal aja, gue paling inget sama Kak Jeff.” jelas Nada panjang lebar.

“Nah kalo yang itu.” tunjuk Nada lagi, pada bintang yang kecil. “Itu kak Jerome.”

“Hah? Yang mana sih anjir?” tanya Jerome bingung, matanya menyipit guna melihat bintang yang Nada maksud.

“Ituu.” ucap Nada lagi, “nah kak Jerome tuh sama kaya bintang itu. Ga tertebak, kalian coba liat bintang yang gue maksud, dengan mata telanjang emang ga keliatan, tapi kalo kalian liat pake alat tertentu dia itu bintang yang paling terang.”

“Yang itu lagi,” lanjut Nada sembari menunjuk bintang yang agak redup. “Itu Hermas. Dia sebenernya bintang yang indah, tapi banyak yang menyepelekan nya cuma karena cahaya nya yang redup.” Padahal bintang yang di tunjuk Nada, cahaya dia yang redup itu menggambarkan kehangatan.

“Kalau bulan, udah pasti Bang Candra.”

“Kenapa tuh dek?” tanya Candra ikut menyimak perkataan Nada.

“Ga ada yang spesifik, karena arti Candra itu sendiri bulan kan?” kata Nada tertawa. “Lagian, Bang Candra tuh kaya bulan diantara hamparan bintang. Cahaya nya mungkin bisa kalah sama bintang yang lain, tapi setidaknya dia ada untuk melengkapi hiasan di langit.” lanjutnya.

“Kalo gue, kalo gue Dek???” tanya Jonathan heboh.

“Nah Bang Jo tuh yang ituu.” ucap Nada menunjuk bintang yang ada di samping bulan.

“Dih, kenapa itu bukan gue??” protes Haikal, “kan gue yang paling deket sama Bang Candra.” lanjutnya lagi tak terima.

“Bukan kaya gitu bego cara main nya.” kata Nada mencibir. “Liat, posisi bintangnya tuh ada di tengah langit. Pas banget kaya posisi Bang Jo yang selalu mengikat, dan mempererat tali hubungan kita.”

Jonathan menganggukkan kepalanya puas.

“Nah terus kalo Bang Yudha sama Bang Tiyo tuh malam.”

Yudha menolehkan kepalanya cepat, “kenapa malam dek?” tanya Tiyo mewakilkan pertanyaan Yudha.

“Karena malam lah yang buat bintang dan bulan bersinar terang. Kalian tuh sering ga di perhatikan, padahal kalian yang paling care sama saudara kalian yang lain.”

“Ya ya, udah. Gantian gue dong.” protes Delvin. Soalnya nama dia dari tadi belom muncul juga.

“Kak Delvin bintang yang mana yaa??” ucap Nada sembari memilah milah bintang yang ada di langit. “Mungkin bintangnya kak Delvin belom muncul.” putus Nada kemudian

“Lah?? Kok yang lainnya bisa lo gambarin, giliran punya gue kaga sih!” amuk Delvin, dia cemburu yang lain punya filosofi bintang sendiri-sendiri tapi dirinya enggak.

“Bintangnya kak Delvin itu emang ga selalu terlihat. Tapi dia selalu ada.”

Delvin masih mencibir, padahal dalam hatinya udah berbunga-bunga karena Nada mepresentasikan dirinya dengan sangat dramatis. Padahal menurut Nada, itu dangdut banget.

“Nah terus kalo kak Wena, bintang yang itu.” ucap Nada sembari menunjuk bintang yang paling berkilau diantara yang lainnya.

“KENAPA ITU BUKAN BUAT GUE SIH ANJIR?!” ucap Haikal mulai tak terima lagi.

“Soalnya bintang yang berkilau itu, cuma bisa gue liat, gabisa gue sentuh, ataupun jadiin milik gue.” kata Nada mulai ngaco, “sama kaya kak Wena. Kak Wena tuh untouchable banget.”

“Anjing, nyesel gue dengerin serius.” rutuk Hermas kesal.

“Gue Nad?! LO KOK PILIH KASIH GITU SIH ANJIR??” amuk Haikal sudah tak tahan, karena hanya dirinya yang belum di berikan filosofi bintang oleh Nada.

“Tenang punya lo abis ini muncul kok.” ucap Nada santai, sembari menoleh ke arah jam di tangannya.

Tak lama kemudian, Matahari terbit dari ufuk timur. Cahaya nya yang hangat, mulai menyinari mereka semua.

“Lo matahari Kal. Karena ga ada awan gelap yang bisa selamanya menghalangi matahari buat bersinar.” kata Nada sembari mengusap rambut Haikal pelan. Haikal tersenyum semringah, penjelasan Nada lebih dari cukup untuk membuatnya senang.

“Dari tadi kita doang dek.” ucap Tiyo menyela. “Bintang kamu yang mana?” tanyanya lagi dan kembali mengalihkan perhatian nya ke arah matahari yang terbit.

Nada tersenyum, “bintang gue ga ada disini.” ucapnya singkat. “Mungkin lain hari bakalan gue kasih liat, yang mana bintang gue.”

Akhirnya perjalan mereka berjalan sesuai dengan rencana. Cuma ada sedikit perubahan formasi, Tasya ga jadi ikut soalnya dia sakit. Gatau, kayanya masuk angin deh. Soalnya sama si Jonathan di ajakin ngalong mulu.

Berarti ini Nada sendiri yang cewe dong?? dih, enak banget Nada. Naik gunung yang jagain dia hampir selusin, cowo semua lagi.

“Nad lo serius cuma bawa ini doang?” tanya Haikal bingung, begitu melihat ransel Nada hanya berisi mie instan, jacket tebal, juga hoodie dari Anan.

“Emang mau bawa apalagi anjir? Udah cukup itu. Kan udah di bagi-bagi buat yang lain.” jawab Nada menjelaskan, “lo sendiri ngapain bawa sampe gede gitu sih tas nya?” komentar Nada balik, begitu melihat ransel Haikal obesitas. Entah apa yang di bawa oleh anak itu.

“Ck, iya kayanya gue bongkar aja.” keluh Haikal, ikut setuju dengan saran Nada. Dia ngeliat Nada bawaannya cuma segitu doang jadi ikut tergoda. Dia takut aja ntar pundaknya cape, kalo bawa barang banyak-banyak.

Akhirnya Haikal mengeluarkan berbagai macam barang yang dia anggap terlalu berlebihan untuk di bawa. Nada memegang lilin yang baru saja di keluarkan Haikal dari dalam ranselnya. “Lo naik gunung bawa lilin buat apa sih? Ngepet?” ucap Nada bingung.

“Kepikiran aja, biar ntar bisa kaya di drama drama gitu. Lagian ini tuh lilin buat ngusir nyamuk anj.” kata Haikal tak terima, dan merebut lilin yang ada di genggaman Nada dengan paksa.

Nada kembali bingung, begitu Haikal mengeluarkan panci dari dalam bagian tas nya yang lain. “Anjing, lo tuh bukan naik gunung bangsat. Lo tuh persiapan buat pindah rumah.” sahut Nada frustasi.


Jonathan membagikan masker yang ada di tangan, pada saudara saudaranya yang lain. Dari villa, mereka berangkat ke kawah ijen pukul sepuluh malam.

Karena menurut Jerome, sebagai anak mapala mendaki gunung itu lebih baik saat malam hari. Biar besok paginya bisa liat sunrise pastinya.

Nada udah kebayang gimana capeknya, perjalanan ke Banyuwangi udah lama, sekali udah sampe sini malem nya langsung di ajak naik gunung.

Jonathan melihat Nada dengan khawatir. “Nad, kamu gapapa kan? Kalo cape kita bisa kok bikin tenda dulu di deketnya Pos Paltuding. Terus baru berangkat besoknya” ucapnya sembari mengelus pelan lengan Nada.

Nada menggelengkan kepala tidak setuju, “mending langsung naik aja deh Bang, biar kita sama-sama istirahat di puncak Kawah Ijen nya.” ucap Nada menenangkan. Dia serius yang bilang mending istirahat di atas aja, lagian kondisi fisik Nada emang prima. Dan ga lupa juga, dia gamau membebani saudaranya yang lain.

Lagian mereka tadi juga udah sempet istirahat bentar kok di Pos Paltunding sampe jalur pendakian di buka. Soalnya jalur pendakian menuju Kawah Ijen tuh baru dibuka jam 12.30 dini hari dan tutup pukul 12.00 siang.

“Yaudah, ntar kalo cape bilang aja. Biar bisa istirahat di jalan.” kata Jeffery menepuk kepala Nada yang memakai topi bonnie. “Apa mau kakak bawain tas nya?” tanya Jeffey lagi sembari mencoba mengangkat tas ransel Nada.

Matanya melotot, “heh, lu bawa apa aja anjir? Kok enteng banget?!” tanya Jeffrey bingung, pasalnya ransel Nada nih enteng banget, kaya ga di isi apa-apa. Beda sama ransel dia yang beratnya udah kaya nenteng dosa.

“Baju doang, sama mie.” jawab Nada cuek dan terus melanjutkan perjalanan.

“Awas Nad, hati-hati.” ingat Yudha dari belakangnya. Nada memberikan senyumannya sebagai tanda bahwa dia mengerti.

Urutan mereka naik track itu mulai dari Jerome, Arwena, Jeffery, Nada, Yudha, Haikal, Hermas, Tiyo, Delvin, Candra, dan yang terakhir Jonathan.

Sebenernya track di Kawah Ijen nih ga begitu susah, rute nya juga udah jelas. Bener aja, sekitar 90 menit mereka udah sampe di pondok Bunder. Nah pondok Bunder nih semacam bangunan untuk beristirahat dan ada warungnya juga.

Kalo di itung, mulai mereka naik tadi jam setengah satu pagi, dan sekarang udah sampe di pondok bunder jam dua pagi. Capek banget, Nada sampe diem aja dari tadi sangking capek nya.

Banyak pendaki lain yang juga trekking ke puncak Gunung Ijen buat liat empat spot populer. Kaya puncak gunung Ijen, Kawah Ijen, Lanscape Ijen, dan yang terakhir Blue Fire Ijen.

Baru aja Delvin tenang, Nada ga banyak tingkah. Tiba-tiba aja Nada udah bangun lagi dari duduknya dan berjalan ke arah pendaki lain buat tepe tepe.

Tiyo hanya bisa tertawa tanpa suara, Nada tuh moodboster banget buat dia. Akhirnya Haikal dengan paksa menyeret Nada untuk kembali ke tenda yang telah mereka dirikan.

Serem anjir, di mana-mana ni anak ngadal mulu. Mana yang di kadalin bapak-bapak lagi. Nada sebenarnya ga ngadalin sembarang orang. Orang yang di bilang Haikal bapak-bapak itu tadi bule anjir. Makanya Nada sambil nyari kesempatan, siapa tau di angkat jadi sugar baby.

Akhirnya setelah istirahat sejenak, rombongan mereka mutusin buat ngelanjutin perjalan ke mulut kawah Ijen. Arwena juga udah ngewanti wanti buat saudara-saudaranya make masker, soalnya bau belerang udah menyengat banget. Bau belerang di kawah Sikadang, Dieng aja kalah anjir.

Dan setelah perjalanan yang penuh perjuangan,nurunin lereng lewat batu-batu terjal, akhirnya mereka sampai di titik tempat melihat blue fire

Nada cuma bisa melongo liat pemandangan di depan dia, rasanya tuh perjuangan dia buat naik kemari ga sia-sia. Dia terharu banget liat pemandangan seindah ini. Ciptaan Tuhan emang ga main-main.

“Do you want to take a photo of the blue thing?” tanya Hermas di sampingnya, gatau arahnya dari mana tiba-tiba aja udah ada di samping Nada.

“No, I don't. I just wanna see it from here.” jawab Nada dan tersenyum menatap Hermas, “lo mau gue fotoin?” tanya Nada balik.

Hermas menggelengkan kepalanya. “I just want to record this scene with my own eyes.” ucap Hermas menjelaskan. Nada menganggukkan kepalanya mengerti. Ya, terkadang memang ada satu titik dimana kita itu nggak ingin memotret sesuatu, dengan alasan karena kita ingin merekamnya lewat mata. 

“Sorry.” ucap Hermas lagi, Nada menolehkan kepalanya penasaran. Ini Hermas kenapa sih? dari kemaren tiba-tiba jadi soft gini. Kan Nada jadi bingung gimana ngehadapin nya.

“For?”

“Everything.” jawab Hermas cepat.

“Dulu gue tinggal sama Oma gue.” ucap Hermas memulai bercerita. “Dia sayang sama gue untuk awalnya. Sampai tante gue datang, dan mulai merubah semua sifat Oma yang tadinya lemah lembut jadi keras ke gue.” lanjutnya lagi masih terus memandang ke arah blue fire.

Nada mendengarkannya dengan seksama. “Oma jadi lebih toxic, dan dia selalu menuntut semuanya ke gue. Dan berakhir gue yang sekarang trauma sama cewe.” ucap Hermas lagi getir, “but everything changed when you came. Gue sampe bingung karena muka lo tebel banget buset, dan ga nyerah buat deketin gue. Yang notabenenya udah nyakitin lo berkali kali.” sambungnya sambil tertawa.

i take that as a compliment.” ucap Nada ikut senang, karena Hermas sudah mau bercerita tentang dirinya sendiri sama Nada.

“Makasih Her, makasih banget lo udah mulai mau untuk terbuka dan nerima gue.” kata Nada lagi sembari mengenggam tangan Hermas lembut.

Akhirnya panjat pinang hari itu dimenangkan oleh anak IPS2, kelasnya Haikal. Emang anak IPS tuh pada suka kompetisi kaya gini daripada sibuk ngapalin ilmu sejarah di kelasnya.

Haikal sendiri ga ikut untuk lomba, soalnya dia panitia nya. Oiya ngomongin soal Kayla, anaknya hari ini udah masuk tapi ga begitu keliatan karena mungkin ngawasin dari dalem ruangan. Justru yang Nada liat dari tadi tuh Ren, mondar mandir sana sini seakan-akan ngegantiin Kayla kemaren.

Nada curiga, jangan-jangan si Ren nih suka juga sama Kayla. Diliat kemaren waktu si Kayla pingsan, dia kan juga ikutan khawatir. Bukannya apa-apa ya, cuma Nada tuh kasian sama Haikal kalo saingannya kaya si Ren.

Secara dari spek, si Haikal nih kalah jauh. Cuma kalo bikin nyaman, mungkin Haikal ada satu langkah di depan Ren lah harusnya. Bodoamat dah Nad, mikirin idup lo sendiri aja pusing, ngapain mikirin idup orang lain?

“Nad, lo udah ketemu Anan nggak hari ini?” tanya Kayla tiba-tiba di belakangnya. Kaget beneran Nada, soalnya dia abis mikirin soal Haikal-Kayla-Ren.

“Nggak Kay, kenapa lo ada perlu sama dia?” tanya Nada balik bertanya. “Perlu gue telponin?” sambungnya lagi.

Ini sih sebenernya ada udang di balik tumis kangkung. Karena Nada juga pengen ketemu sama Anan. Tadi pagi kan dia ngomongin masalah hoodie sama Anan lewat chat, dan mereka belom ketemuan sampe sekarang.

“Gabisa Nad, soalnya hape dia gue yang bawa.” ucap Kayla lagi menjelaskan, dan mengeluarkan sebuah ponsel berwarna hitam dari sakunya. “Gue mau balikin hape dia, tapi dianya malah ngilang.” keluh Kayla lagi.

'wah, ini kode bukan sih? Yaudah lah yaw kesempatan ga dateng dua kali, sikat ajaa.'

“Yaudah, gue aja Kay yang nyari Anan buat ngasih hapenya dia.” ucap Nada lagi, mencoba sedikit memperhalus niat nya yang lain.

“Bener nih Nad??” tanya Kayla dengan pandangan berbinar. “Yaudah, nih. Makasih ya Nad, gue mau ke Aula dulu.” sambungnya lagi sembari menyerahkan ponsel ke tangan Nada, dan segera berlalu dari sana.

“Ini kenapa gue jadi ngerasa, kalo gue yang di manfaatin ya?”


Nada membolak-balikan ponsel Anan yang sedari tadi ada di tangannya. Asli dia tuh cape banget, udah muter muter sekolahan dan masih ga nemu keberadaan Anan ada dimana.

Mana sekolahan dia tuh gedenya udah kaya lima gedung di jadiin satu lagi. Dan yang paling parah, mau ke lantai atas tuh ga ada lift, semua manual pake tangga. Nada kan mager.

“Mana lagi yang belom gue datengin ya?” gumamnya pelan, mencoba berfikir. “Serius nih gue ke atap sekolah?” bayang nya ngeri, karena tempat yang belum dia datangi hanya di atap sekolah saja.

Buset, kayanya dia bisa lumpuh deh kalo semisalnya naik kesana, dan ga ada Anan pula disana. Ntar turunnya gimana? Gelindingin diri gitu??

“Yaudah deh, ayo kita modal nekad.” tekad Nada, karena dia juga udah janji ke Kayla.

Bener aja, sampe sana ada Anan yang lagi berdiri di pinggiran tembok atap sekolah, sambil ngeliatin awan sore yang warnanya oren gitu. Buset, anak indie banget nich.

“Lo ngapain disini sih anjerr?!” teriak Nada kesal, dia langsung duduk selonjoran di semen atap karena kaki nya udah kepalang linu.

Anan yang tadinya lagi ngelamun, langsung kaget denger suaranya Nada. Dengan segera dirinya menghampiri Nada yang udah tepar tak berdaya.

“Kok lo bisa nemu gue disini sih? hahahaha.” ucap Anan senang, karena ngeliat muka Nada kembang kempis karena cape naik tangga.

“Nih hape lo.” ucap Nada singkat, dan memberikan ponsel yang sedari tadi di bawanya, pada pemiliknya.

“Lo gabuka hape gue?” tanya Anan. Intonasi bicaranya sih sebenernya biasa aja, tapi karena Nada demen ngebayol, jadi sama Nada di isengin.

“Kenapa sih? lo masang foto cewe lo ya buat jadi wallpaper??” ejeknya sembari merebut kembali ponsel Anan, dan membuka lockscreen yang memang tidak ada kata sandinya.

'anjing, tau gini gue buka dari tadi bangsat.'

“Eh? Gapapa kan Nan?” tanya Nada meminta persetujuan, karena Anan cuma diem doang dari tadi ngeliatin hape dia yang ada di tangan Nada. Nada cuma takut kalo dia ngelanggar privasi.

“Buka aja.” ucapnya singkat.

Begitu Nada membuka layar lockscreen pada ponsel Anan, Nada tertegun, hatinya sedikit bergetar karena Anan memasang wallpaper wanita di ponselnya.

'lah, dia udah punya cewe?? Kok selama ini dia diem aja gue godain?!'

Nada gatau gimana perasaan dia saat ini. Di bilang poteq, dia biasa aja. Dia bilang biasa aja, tapi dia poteq. Bingung banget muka nya Nada kayanya. Karena Anan juga sampe ngeliatin dia jadi ikutan bingung gitu.

“Kenapa Nad?” tanya Anan kemudian, mencoba untuk bersikap biasa aja.

“Oh lo udah ada cewe ya Nan?” tanya Nada lemes, perasaan dia saat ini beneran kaya di campur aduk gitu. “Sorry ya, kalo selama ini gue sering berlebihan sama lo. Kedepannya gue bakalan lebih jaga sikap.” sambungnya lagi, dan beringsut berdiri dari sana untuk pergi meninggalkan Anan.

“Lah?! Itu kan foto lo Nad??” ucap Anan kelabakan, dia tidak menyangka kalo Nada bakalan salah paham kaya gini.

“HAH?! FOTO GUE DARIMANA ANJ??” ucap Nada kaget setelah mendengar penuturan Anan, “LAH?! IYA JUGA BNGST. KOK LO BISA DAPET FOTO GUE WAKTU TIDUR SIH??!” sambungnya lagi heboh.

Akhirnya setelah perdebatan panjang antara Nada dan Anan, Nada mulai mengerti dan mencoba untuk nggak salting.

Siapa yang nggak salting anjir? Foto lo tiba-tiba di jadiin wallpaper sama cowo yang selama ini lo pepet?? Ini Nada udah make hoki nya dia berulang kali, kenapa ga abis-abis sih??

“Jadi gimana Nad?” ucap Anan lagi, mulai mengatur suasana hatinya yang kini berdegup kencang.

“Gimana apanya?” ucap Nada balik bertanya. Dia gamau kegeeran dengan membayangkan hal hal lain yang belum sepenuhnya terealisasikan.

“May I be your boyfriend?”

Akhirnya Adelio sampai juga di sekolah Nada, setelah kira-kira dirinya menunggu setengah jam. Nada nih kalo disuruh cerita, dia awkward nggak kalo sama Adelio. Dia juga bingung.

Kalo udah ketemuan kaya gini tuh biasa aja. Emang sih masih ada deg deg ser gitu, gatau artinya belom move on atau gimana. Ya mau gimana lagi? semuanya butuh waktu kan? Nada sama Adelio juga ga pacaran sebentar, jadi semua emang ada waktunya sendiri.

“Ayo Nad, masuk.” ucap Adelio setelah turun dari mobil dan membukakan pintu mobil untuk Nada. Sederhana tapi bisa bikin orang modelan kaya Nada baper. “Nunggu lama?” tanya Adelio berbasa basi.

Nada menggelengkan kepala sebagai jawaban. “Mau kemana?” tanyanya singkat. Dia mencoba buat bertingkah biasa aja di depan Adelio.

“Gatau, kamu ada destinasi yang bisa di kunjungi ga kalo di Malang?” tanya Adelio balik, meminta pendapat Nada.

“Ke Bakso Malang deket alun-alun aja. Gue laper.” katanya lagi, Adelio hanya menganggukkan kepalanya mengerti. Tadi waktu mau ke sekolah Nada ngelewatin sana soalnya.

“Gimana kabar kamu? baik-baik aja kan??” tanya Adelio masih mencoba untuk mencairkan suasana. Nada nih emang bayol, tapi sekalinya diem, es pun kalah dingin sama dia.

“Ya gitu-gitu aja. Ga ada yang spesial dan spesifik.” ucap Nada pelan, dia masih grogi Adelio tetep manggil dia aku-kamu. Padahal hubungan mereka udah kandas.

“Ada temen baru disini?” ucap Adelio lagi masih tak menyerah. Gila ni cowo boleh juga mental nya kalo disuruh nenangin cewe modelan kaya Nada. Pantesan Nada gamon mulu, ga ada yang modelannya kaya Adelio sih disini.

“Hem, banyak.” jawab Nada seadanya. “Ada temen tongkrongan lo juga disini.” sambungnya membuat Adelio mengrinyit tak mengerti.

“Siapa?” tanya nya penasaran, dia gatau beneran soal nya.

“Felix.” ucap Nada singkat.

“Lah, Felix pindah kesini??” tanya Adelio heboh, “dia temen aku waktu ikut kakang-mbakyu Nad.” lanjutnya lagi mulai bercerita.

'Udah tau. Dahlah biarin aja dia ngoceh, biar ga sepi-sepi banget ini mobil.'


Akhirnya mereka berdua sampai di warung makan Bakso dan Mie ayam. Nada keinget kalo makan disini tuh pelayan nya agak kurang denger gitu, jadi dia udah mutusin buat ngomong beneran keras supaya kedengeran di telinga mbak nya.

Belom sempat Nada berpesan pada si pelayan, Adelio menyahuti. “Mbak, mie ayamnya gausah di kasih sawi ya.” ucapnya sambil tersenyum. Mbak nya juga ngangguk mengerti.

Dih, siapa coba yang ga baper? Nada sekarang udah mau lari ke jalan raya, terus nabrakin diri ke truk yang lewat aja. Dia salting banget, sial.

“Hubungan lo sama Felicia gimana?” tanya Nada mencoba mengalihkan perhatiannya dengan cara membahas topik lain dengan Adelio.

'Kenapa gue nanyain itu sih goblok, kan si Adelio gatau kalo gue ngerti dia selingkuh sama Felicia.'

“Hah? Felicia siapa??” tanya Adelio bingung, membuat Nada ikutan bingung.

“Lah, bukannya lo pacaran ya sama Felicia? Couple lo yang event kakang-mbakyu.” yaudah lah ya. Udah kepalang basah, mending masuk kolam sekalian.

“Kata siapa Nada?” tanya Adelio mulai serius. Agaknya dia ngerti kalo Nada tuh sebelum pengumuman pernikahan kedua orang tua mereka, si Nada mulai menjauh, bukan cuma karena kedua orang tua mereka menikah. Pasti karena salah paham kaya gini.

Nada jadi bingung sendiri, dia kira si Adelio beneran selingkuh sama si Felicia ini. Tapi kok si Adelio nya malah kekeuh nanya Felicia siapa.

“Yang ini bukan Nad??” tanya Adelio pada akhirnya, menyodorkan ponselnya yang menampilkan gambar seorang wanita. Nada menganggukkan kepala mengiyakan, karena wanita dalam foto itu adalah Felicia yang Nada ketahui sebagai selingkuhan Adelio.

“Ini Felicia, sepupu aku Nad.” ucap Adelio gemas. Nada hanya bisa membeo, beneran shock. “Coba liat wajah aku, familiar apa enggak sama dia??” titah Adelio lagi. Nada menolehkan kepalanya, menatap Adelio.

'Lah, iya juga anjir.'

Nada mendadak pusing, tangannya dengan sigap langsung memijit pangkal hidungnya. Jadi selama ini dia salah paham doang dong?! Goblok banget ya ampun Nada.

“Tapi kenapa gue ga tau kalo dia sepupu lo? Kenapa lo ga cerita ke gue? Kenapa Felix juga ngira lo pacaran sama dia?” tanya Nada bertubi-tubi, masih ga terima.

Adelio menghela nafas, “Aku gabisa cerita soalnya kamu udah ngejauh duluan. Entah siapa yang ngomong ke kamu kalo dia pacar aku.” kata Adelio mulai menjelaskan. “Orang-orang juga pasti salah paham, soalnya Felicia deket banget sama aku. Mereka salah mengartikan perlakuan ke keluarga sebagai perlakuan sepasang kekasih.” sambungnya.

Suasana berakhir canggung setelah perdebatan mereka tadi. Nada akhirnya cuma ngaduk ngaduk mie ayam nya yang tinggal dikit. Malu sih, asli kalo jadi Nada.

“Lo ada rencana mau kuliah dimananya?” ucap Nada kembali pada akhirnya untuk mencairkan suasana. Ga enak soalnya, makan suasana canggung kaya gini.

“Ya di Universitas Malang lah Nad? emang kamu rencananya mau dimana??” tanya Adelio balik.

“Gatau, belom mikir.” sahut Nada singkat. Dia jujur masih belom mikirin mau ngelanjutin dimana soalnya, pengennya di Fakultas Kedokteran Universitas Padjajaran. Tapi kalo disana bakalan jauh dari Papa, Mama, dan sodara sodaranya yang ganteng.

“Masih mau jadi Pskiater?” ucap Adelio lagi, santai. Dia tau dream plan nya Nada tuh kaya gimana, tapi Nada lumayan sensitif soal itu. Jadi sebisa mungkin Adelio mencoba buat membahasnya pelan pelan aja.

“Hmm.” ucap Nada cuek, dia udah males kalo bahas hal kaya gini. Soalnya nyokap dia tuh ga mendukung impian Nada yang mau jadi Pskiater.

“Buat apa kamu jadi Pskiater?! Kalo mau kedokteran, langsung aja ambil dokter bedah. Pskiater?! Kamu kira bergaul sama orang gila, gabakal bikin kamu gila juga?!”

ucapan Hera masih terngiang di telinga Nada. Dia merasa useless banget kalo udah bahas bahas masalah cita-cita. Ya karena dari awal dia punya cita-cita, udah di patahkan sama nyokap dia sendiri.

'Gaperlu nunggu jadi Pskiater, sekarang pun aku udah gila Ma.'