JC Halcyon

Rezef mengetuk pintu rumah mertuanya itu dengan resah, gatau dah mau ngomong apaan abis ini.

“Loh, Syal. Ini loh suami mu udah dateng.” ucap Bunda Syal setelah membuka pintu ruang tamu, dan mendapati Rezef di depannya. “Ayo masuk Rezef, bunda bikinin teh dulu ya.” ucap Bunda Syal lagi, dan berlalu menuju dapur.

Syal menuruni tangga lantai dua dengan perlahan, pikirannya masih melayang di percakapan terakhir dirinya dengan Jeremy tadi di chat.

Semalam dia memutuskan untuk menginap di rumah orang tuanya, dan berdalih dengan alasan kalau Rezef bekerja hingga larut dan dirinya takut berada di rumah baru mereka.

Tentu saja kedua orang tua Syal mempercayai hal itu, dan tidak menanyakan lebih lanjut selama Syal mengatakan bahwa dirinya sudah izin pada Rezef.

Sebenarnya yang terjadi adalah, dia mampir sebentar ke apartemen yang sempat mereka tinggali sebelum pindah ke rumah. Karena Syal hendak mengambil barang yang memang belum sempat ia bawa ke rumah mereka yang baru.

Tapi alih-alih mengambil barang dan pulang, justru Syal melihat adegan panas Jeremy dengan kekasihnya yang ia kira adalah Rezef. Pikiran Syal langsung melayang ke hal hal yang tidak masuk akal, tentang Rezef yang berselingkuh di belakang pernikahan mereka dan hal yang lain.

“Syal?” panggil Rezef yang sudah duduk manis di sofa ruang tamu. “Duduk samping gue sini.” sambungnya lagi sembari menepuk bagian sofa kosong.

Seakan terhipnotis, Syalsabila langsung berjalan menghampiri dan duduk dengan tenang di samping Rezef. Rezef mungkin sudah gila, tapi tidak melihat istrinya ini dalam satu malam saja, kerinduannya sudah sangat memuncak.

“Rezef mau makan?” tanya Bunda menghampiri keduanya yang tengah duduk bersanding bak pengantin baru. Ya kan emang pengantin baru?

“Gausah bun,” ucap Rezef menolak dengan halus, “masih kenyang, tadi makan di kantor.” ucapnya menjelaskan. Bunda hanya menganggukkan kepala, mengerti.

Dengan segera Bunda meninggalkan keduanya dan masuk ke dalam kamar. Gatau, tapi firasat Bunda mengatakan kalau Rezef dan Syal emang butuh waktu untuk berduaan.

“Syal, gue kangen.” ucap Rezef tiba-tiba dan memeluk Syal dari samping. Syal hanya terdiam merinding, ga biasanya Rezef clingy ke dia kaya gini. Karena hari-hari mereka di habiskan buat bersitegang entah karena hal sepele atau hal yang ga banget buat di debatin.

Syal hanya berdehem menanggapi perlakuan Rezef saat ini. “Beneran udah makan?” tanya Syal pada akhirnya, berusaha mengusir kecanggungan yang ada.

Rezef mengangkat kepalanya yang sedari tadi ia taruh di pundak Syal, untuk menatap wajah Syal saat ini. “Gatau, lupa.” jawab Rezef dengan singkat, dan kembali menyenderkan kepalanya di pundak Syal lagi.

'Mau bilang geli, tapi ga enak juga. Kayanya ni anak capek.'


Pada akhirnya Syal memutuskan untuk tidur lagi di rumah Bunda, karena ia juga melihat kondisi Rezef tengah tidak sehat. Setelah gelendotan ada satu jam, sampe tulang selangka Syal cape banget buat nopang kepala Rezef.

“Lo tuh kalo lagi ga sehat gausah kerja dulu kenapa sih??” Ucap Syal sembari merebut laptop Rezef, dan menutup nya kemudian menaruhnya di atas nakas.

Rezef hanya diam, tanpa ada niatan untuk membantah perintah istrinya. Cielah, istrinya gak tuh?

Sebenernya si Syal itu penasaran, mau nanya nanya Rezef tentang banyak hal. Setelah dia baca chat Jeremy yang panjang banget kaya CV lamaran kerja, dia jadi penasaran dengan segala hal tentang Rezef. Udah nikah ada tiga bulan, penasarannya baru sekarang. Emang ga ada otak ni pasutri gaje.

Syal mengikat rambutnya yang memang hanya sepundak itu, untuk memulai skincare routine nya sebelum tidur. Sedangkan Rezef hanya memperhatikan istrinya dari atas ranjang, tidak ada kegiatan yang lebih indah dari yang ia lakukan saat ini.

'Kunci dalam sebuah hubungan itu komunikasi dan kejujuran.'

Tiba-tiba Rezef teringat akan chat terakhir Jeremy tadi. Jujur saja, selama tiga bulan ini memang dirinya jarang sekali untuk berkomunikasi dengan Syal.

Bukan dirinya yang canggung, hanya saja ia mencocokkan dahulu keadaan Syal yang mungkin kaget karena tiba-tiba langsung di nikahin sama Rezef.

“Syal,” panggil Rezef pelan. Syal hanya berdeham menanggapi panggilan Rezef, sembari terus mengaplikasikan serum malam di wajahnya. “Gue ga punya pacar, gue ga pernah selingkuh, gue cuma cinta sama lo, baik dulu, sekarang, maupun seterusnya.” lanjut Rezef lagi. Usapan Syal di pipinya langsung berhenti, kaget mendengar penuturan Rezef.

'aduh anjir, gue deg deg an banget.'

“Mau denger cerita ga, gimana awal kali gue suka sama lo?” tanya Rezef lagi.

'Gue mau denger, tapi gue gamau salting.'

Tak mendapat respon Syal, Rezef meneruskan perkataannya. “Lo waktu kelas dua SMP pernah jatuh kan waktu naik pagar sekolah cuma buat beli telur gulung?” tanya Rezef pelan.

Syal langsung menolehkan kepalanya dengan cepat, mendekati Rezef yang masih tersenyum mengingat kejadian itu. “Hah? Kok lo tau?” tanya Syal bertubi-tubi, penasaran.

“Gue yang nolongin rok lo yang nyangkut.” jawab Rezef singkat, membuat pipi Syal semakin memerah. Malu lah anjir, kenapa first impression Rezef ke dia itu hal yang memalukan kaya gitu.

Syal menarik selimut hingga ke kepala, berusaha menutupi rasa malu yang saat ini sudah naik sampai ke ubun-ubun. “Gausah di lanjutin!” ucap Syal kesal, dia gamau denger kisah konyol yang lainnya.

“Jangan di tutupin ih mukanya.” ucap Rezef menarik selimut yang menutupi wajah Syal. “Skincare lo kan masih basah, baru di apply.” sambungnya lagi dan mengibas-ngibaskan telapak tangannya untuk memberikan angin pada wajah Syal.

“Itu emang cara yang anti mainstream buat seseorang untuk fall in love. Tapi dari hal itu, gatau kenapa gue jadi terpesona banget sama lo. Di mata gue, lo yang nekat nerobos pagar sekolah cuma buat telur gulung tuh beneran effort yang besar banget. I had crush on you sejak saat itu. Apapun yang lo lakuin, di mata gue keren banget. Gue selalu liatin gerak gerik lo, bahkan gue rela masuk ke SMA yang sama kaya lo, cuma sekedar buat bisa terus liat lo dari jauh.” ucap Rezef panjang lebar, Syal yang mendengarkan perkataan Rezef sedari tadi hanya bisa terdiam. “Gue emang pengecut banget, gue ga pernah satu kali pun bergerak maju untuk sekedar menyapa atau ngajak kenalan lo. Gue cuma sibuk menimbang ini dan itu di dalam pikiran gue. Gue ga mau bikin lo ga nyaman dengan kehadiran gue, padahal gue belom pernah mencoba. Sampai akhirnya gue tau kalo lo kuliah di luar negri. Saat itu, gue cuma bisa menyesali tahun-tahun dimana gue cuma bisa bungkam dan lihat lo dari jauh. Bener kata orang mencintai dalam diam itu cuma bikin lo sekarat. Tapi setelah gue pikir lagi, justru mencintai dalam diam itu adalah satu-satunya cara gue buat mencintai lo Syal.” sambungnya panjang lebar.

Tanpa di sadari, Syal yang sedari tadi mendengarkan ucapan Rezef meneteskan air matanya. “KOK LO NANGIS SIH SYAL???” ucap Rezef panik, “ADUH SKINCARE NYA SAYANG BANGET, LUNTUR KENA AIR MATA LO!” sambungnya lagi heboh.

Syal tertawa di balik tangisnya, “Gue cuma terharu dengan segala hal yang lo lakukan buat mempertahankan gue di hidup lo. Gue awalnya beneran nentang pernikahan ini, gue cuma agak kaget aja, kenapa balik kuliah dari luar negri langsung di jodohin. Siapa yang ga bingung? Siapa yang ga kaget? Tapi gue lihat dari cara lo yang selama ini cuma bisa mencintai gue dalam diam, I think beberapa perasaan dongkol gue tentang komitmen ini kurang etis kalau di bandingkan dengan perjuangan lo selama ini.” kata Syal menjelaskan panjang lebar.

Rezef tersenyum sembari mengusap air mata Syal, dan menepukkannya dengan lembut ke pipi Syal. “Ga ada yang perlu lo sesali, lo gapernah di jodohin. Gue yang datang melamar lo, karena udah cukup bagi gue untuk jadi pengecut. Maaf banget, kalau selama ini gue justru cuma diam dan menjadikan semua salah paham buat lo.” jawab Rezef mencoba menenangkan hati Syal.

Untuk kali pertama dalam tiga bulan pernikahan mereka, Syal memeluk Rezef dengan erat. Rezef terdiam mematung, berulang kali terkejut dengan perlakuan Syal kali ini.

i don't wanna lose you, makasih Rezef, makasih udah mau datang dan perjuangin gue.” ucap Syal dengan tulus.

Anan membuka pintu dengan perlahan, melihat ada Ren dan juga Kayla yang tengah duduk dengan tenang di sofa ruang tamu. Kayanya ni anak berdua abis balik dari ngedate.

“Udah lama Ren?” sapa Anan berbasa basi, dan di tanggapi gelengan dari Ren. “Tante mana Kay?” tanya Anan kemudian pada Kayla.

“Di atas, ngapain?” tanya Kayla penasaran.

“Nanyain soal kuliah offline, buat ketetapan nya mau gimana.” jelas Anan.

“Nginep sini?” tanya Kayla lagi, memastikan karena hari sudah mulai larut malam.

Anan mengangguk, “kalo gue lama ngobrol sama tante, ntar nginep sini kayanya.” ucap Anan menjelaskan, dan langsung berjalan menuju lantai atas.

“Kamu ga nanyain aku nginep sini juga?” tanya Ren bercanda, menggoda kekasihnya.

“Ihh, apasih. Emang kalo mau nginep tidur dimana coba.” jawab Kayla menanggapi godaan Ren.

Sudah setahun sejak Ren dan Kayla menjalin hubungan, yang bahkan Anan sendiri kaget karena tidak menyangka kedua orang itu akan menjadi pasangan kekasih.

Hal yang cukup mengejutkan, karena seantero sekolah mengetahui bagaimana dekatnya hubungan antara Kayla dan Haikal. Dan tidak sedikit pula yang mengira kalau Kayla akan berakhir bersama Haikal. Hidup memang tidak tertebak.

“Eh, di inget inget lagi ini hari kepergian Nada ya Kay?” tanya Ren begitu dirinya membuka room chat dan mengetahui kalau teman-teman nya tengah merencanakan acara untuk menjenguk Nada keesokan harinya.

“Eh?? Lah iya Ren.” ucap Kayla terkejut, “duh kayanya Anan harus fix tidur sini sih.” sambungnya lagi khawatir.

Ren menatap kekasih nya dengan bingung, “udah hampir tiga tahun Kay, kenapa sih?” tanya Ren tidak mengerti.

“Ren, kamu ga tau hal apa aja yang udah di lalui Anan dan Nada sebelumnya. Walaupun Nada udah ga ada hampir tiga tahun yang lalu, tapi aku liat hati Anan tuh masih buat Nada.” jelas Kayla lagi membeberkan keresahan nya. “Kamu ga inget, dua tahun yang lalu Anan sempet ngelakuin hal gila dengan tidur di kuburannya Nada? That's fucking scares me. Dan setahun yang lalu, Anan ngurung diri dia di dalam kamar sampai hampir mau seminggu, dan pada akhirnya dia bisa luluh karena di sadarin Kak Jerome. Aku selalu was-was Ren, kalau bahas soal Nada di depan Anan.” jelas Kayla panjang lebar.

“Kamu tau sendiri kan, Anan udah lebih bisa mengontrol emosinya saat ini. Ga ada yang harus kamu khawatirkan lagi Kay. Yang jaga Anan bukan kamu aja, kita sahabat nya juga jaga dia. Udah ga usah terlalu di pikirin.” ucap Ren menenangkan, sembari merengkuh tubuh kekasihnya.

Anan yang mendengarkan percakapan keduanya sedari tadi hanya terdiam. Ia mengurungkan niat untuk pulang ke rumah hari ini. Dia memutuskan untuk menginap di rumah Kayla saja malam ini.


Anan hanya terdiam melihat layar ponselnya. Masih sama, dengan yang sudah dia aplikasikan dari tiga tahun lalu. Foto Nada yang tengah tertidur di dalam mobilnya.

Bibirnya tersenyum dengan otomatis.

“Masih sama, tetep cantik.” pujinya dalam sepi.

Sudah hampir tiga tahun kepergian Nada, bukan berarti dirinya tidak berusaha untuk melupakan Nada. Ia sudah berusaha untuk melepas bayang-bayang Nada, tetapi semakin dia mencoba, maka semakin kuat bayang bayang Nada melekat dalam ingatannya.

Air mata menetes tanpa sadar, Anan hanya tertawa menyadari kalau dirinya tidak pernah berusaha dengan serius untuk melupakan Nada. Bukan karena dia tidak mau, tapi dia memang tidak bisa.

“Nad, Bunda pernah bilang sama gue. Kalau gue masih meneteskan air mata saat mengingat seseorang, berarti dia masih segalanya.” ucap Anan dengan parau. “Bunda bener Nad, lo masih segalanya bagi gue.” lanjutnya lagi sendu. Selalu seperti ini, hari-hari yang Anan lalui untuk sekedar melupakan Nada hanyalah makin menyakiti hati nya.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, Anan akan terus tertidur sembari menggenggam erat ponselnya yang di hiasi satu-satunya foto Nada yang berhasil ia ambil sendiri.

Haikal, Jendra, dan Nathan melangkah dengan pelan menuju tempat peristirahatan terakhir sahabat mereka, Rafaela Ranayla.

“Ngide banget sih, suruh bawa bunga Dandelion segala. Emang artinya apaan coba?” tanya Haikal dan menyerahkan sebuket bunga Dandelion kepada Nathan.

“Emang arti mawar putih sendiri apaan, Kal?” tanya Jendra menyahuti, dia bertanya karena pure tidak tahu.

“Hah? Selama ini tiap kita ke tempat Rara, lo tuh kenapa ga nanya anjir?” tanya Haikal gemas.

“Lah, mana gue tau kalo tiap bunga ada artinya.” ucap Jendra membela diri, “Gue kira semua bunga, ya bunga aja. Kaga ada pengertian khusus.” jelasnya lagi.

“Mawar putih itu melambangkan, kepolosan dan kesucian. Biasanya di pake buat orang nikahan sih, tapi I mean di balik kegunaannya yang itu, kata emak gue bawa mawar putih ke makam seseorang mengartikan kalau kita mempercayai kepolosan dan kesucian orang tersebut. Lagi pula, arti lain mawar putih kan juga sebagai lambang perpisahan.” jelas Haikal panjang lebar. Jendra menganggukkan kepalanya mengerti.

“Terus dandelion ini gimana? Artinya apaan?” tanya Jendra lagi masih belum puas, dengan cekatan ia mencabuti beberapa rumput liar yang menghiasi makam Rara.

“Kata emak gue sih-”

“Ga ada arti khusus, udah gausah berfilosofi.” potong Nathan, dan meletakkan buket bunga Dandelion di atas makam Rara. “Abis ini mau kemana? Langsung pulang atau jalan dulu?” sambungnya lagi.

“Jalan dulu ga sih? Kita tuh udah mulai jarang kumpul semenjak kerja. Lagian kan sekarang kita barengan satu mobil.” ucap Jendra mengusulkan.

Sebenarnya apa yang di bilang Jendra tidak salah. Memang karena pekerjaan, mereka menjadi jarang berkumpul.

Ini memang waktu yang tepat, karena mereka juga butuh waktu untuk saling bercakap dan bercerita tentang kehidupan mereka satu sama lain. Sembari melepas penat tentang hari-hari yang melulu soal pekerjaan.

“Yaudah, cus langsung ke cafe tante nya Nathan aja kita ya?” tanya Haikal meminta persetujuan.

“Ya emang mau dimana lagi? Itu mah emang markas kita bukan sih? Hahahahaha.” sahut Jendra dan tertawa. Nathan hanya tersenyum kecil melihat tingkah kedua sahabatnya.

Perpisahan memang akan selalu terjadi, setidaknya itu yang mereka ketahui. Tetapi di balik semua itu, kita juga harus merelakan perpisahan dan mulai menyambut yang datang.


Nathan, Jendra, dan Haikal tidak menyadari bahwa ada sosok lain yang tengah mengamati mereka sedari tadi dari balik pohon Trembesi yang ada di area makam itu.

Rendy melangkahkan kakinya perlahan, keluar dari tempat persembunyiannya. Ia tanpa sadar tersenyum, bahwa bunga yang ia bawa dan Nathan sama.

“Dandelion, bunga yang punya makna yang begitu dalam bagi kehidupan.” ucap Rendy setelah berdiam diri cukup lama, sembari mengelus batu nisan Rara pelan. “Dia bisa tumbuh dimana saja mulai dari tepi tebing yang curam hingga di semak-semak. Bijinya yang terbang mengikuti arah angin hingga mendarat di suatu tempat pun mengajarkan bahwa, dalam hidup orang harus mengikuti alurnya dan tetap kuat meskipun sudah terseok-seok. Mungkin Nathan sengaja ga mau ngomong arti nya di depan Haikal dan Jendra karena takut mereka berdua bersedih kan Ra? Sejujurnya Dandelion sendiri mempresentasikan diri lo banget.” sambungnya panjang lebar.

“Bunga Dandelion mengajarkan ke semua orang bahwa dalam hidup harus berani, optimis, dan beradaptasi dengan lingkungan sebaik mungkin.” Rendy mulai menyeka air matanya yang deras berjatuhan. “Seperti yang lo tahu hidup itu keras, jadi kalau lo cuma bermalas-malasan maka tidak akan mendapat apapun dalam hidup ini, jangan pernah merasa tidak pantas karena semua orang pantas memiliki hal yang diinginkan asal tidak merugikan orang lain.” lanjutnya lagi, air mata semakin deras membanjiri kedua pipinya.

“Maaf Ra, butuh tiga tahun bagi gue untuk memupuk keberanian dan datang ke rumah lo sekarang. Gue emang se-pengecut itu.” ungkap Rendy dengan terbata-bata, “justru lo yang tulus memaafkan segala kesalahan gue, malah jadi tombak rasa bersalah yang menembus dan terus bersarang di hati gue. Seberapa keras gue mencoba buat menghapus rasa bersalah ini, maka semakin keras juga gue terluka.” jelas Rendy lagi.

“Makasih Ra, udah mau jadi dandelion di hidup gue, di hidup semua orang yang mengenal lo. Gue beruntung, pernah mengenal orang sehebat lo.” ucap Rendy lagi sebelum berdiri dan beranjak dari sana.

Banyak hal yang sulit di mengerti. Dan mungkin, di saat kamu menyadari nya, sesuatu itu telah berubah menjadi penyesalan, sehingga akan sulit untuk membuatnya utuh.

— Evline Kartika

“Ini kita mau kemana?” tanya Nathan begitu memasuki mobil Haikal, ia melihat ada Jendra yang duduk di kursi samping kemudi.

Bukannya menjawab pertanyaan Nathan, Haikal dan Jendra memilih untuk diam. “Ini serius mau diem dieman?” tanya Nathan lagi, tidak betah dengan situasi di dalam mobil saat ini.

Mobil Haikal terus melaju, sampai Nathan menyadari bahwa mereka tengah menuju ke kediaman Rara.

“Ngapain?” tanya Nathan bingung.

“Kak Gio, kakaknya Rara. Pengen ketemu kita.” jawab Jendra singkat, dan mampu membuat Nathan kembali bungkam.

“Gue juga gatau, dia chat gue tadi siang dan minta gue buat ketemu.” sambung Haikal, ikut menjelaskan.

Mobil sudah terparkir rapi di depan kontrakan Rara. Mereka bertiga masih saling terdiam di dalam mobil, enggan untuk turun.

“Ayolah jing, kalo kita disini terus kita juga ga bakalan tau.” ucap Jendra memecah suasana, dan mulai membuka pintu mobil untuk turun. Haikal dan Nathan yang melihat hal itu, ikut turun dan mengikuti langkah Jendra.

Tapi tanpa mereka duga, ternyata Gio sudah menunggu kedatangan mereka sedari tadi. Ia langsung membuka pintu, dan membuat ketiganya berjengit kaget. “Akhirnya kalian datang, ayo langsung masuk aja.” ajak Gio ramah.

“Kalau boleh tau, kenapa kakak minta kita bertiga buat kesini?” tanya Haikal langsung, ia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran nya.

Gio hanya tersenyum, dan mulai menjelaskan semua yang terjadi. “Rara memang punya riwayat penyakit mental setelah kepergian kedua orang tua kami. Saya kira semuanya akan baik-baik saja, seiring berjalannya waktu. Sampai ketika, saya memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh dan meninggalkan Rara untuk tetap tinggal disini, di kota kelahirannya.” ucap Gio, “Dia selalu bertingkah baik-baik saja di depan saya, dia juga bercerita kalau dirinya memiliki banyak teman di Universitas tempatnya menuntut ilmu. Tetapi banyak yang ia sembunyikan dari saya selama ini.”

Gio meletakkan ponsel Rara yang menyala, di atas meja depan Jendra, Haikal, dan Nathan. Dapat dengan jelas ketiga nya lihat, bahwa layar ponsel Rara menampilkan private account nya, tempat untuk dirinya berkeluh kesah.

“Saya tidak tahu, kalau adik saya menerima tidak bully baik secara verbal ataupun non verbal. Dia juga mendapatkan ancaman dari stalker, dan hal itu pula yang mungkin membuat anxiety nya semakin menjadi jadi.” jelas Gio lagi.

“Kita semua ga ada yang tau kalau Rara punya anxiety seperti itu Kak, dan untuk masalah pembullyan itu terjadi setelah masalah stalker Rara terungkap kalau itu cuma hal yang di buat Rara semata.” bela Jendra, ia ingin meluruskan kesalahpahaman disini.

“Kalian mungkin tidak tahu, tapi otopsi mengatakan kalau tubuh Rara banyak bekas luka. Beberapa di tangan, dan sisanya di paha. Jadi saya bisa memaklumi kalau kalian tidak mengetahui soal hal itu. Tapi untuk masalah pembullyan, dan juga stalker. Kalian bisa baca lengkapnya di private account dia. Rara ga mungkin berbohong bukan, kalau itu menyangkut dirinya sendiri dan tempat yang ia anggap paling privasi?” tanya Gio sembari menyerahkan ponsel Rara yang tadinya di meja, untuk di pegang Nathan.

Ketiga nya dengan serius membaca semua Tweet Rara, yang memang tidak di tunjukkan untuk publik. Bagaimana dirinya ketakutan perihal hidup, dan juga dirinya yang takut akan teror stalker.

“Mona?” tanya Haikal, setelah ia membaca Tweet Rara yang berisikan ungkapan untuk Mona. “Bukannya dia transfer lima juta ya, kok si Rara transfer balik dua juta?” tanya Haikal lagi, melihat Tweet lama Rara yang mengungkapkan rasa bingung karena Mona meminta Rara mengembalikan uang joki yang sudah di sepakati.

“Kapan? Eh, ini waktu essay dulu bukan sih?” tanya Nathan juga ikut penasaran.

“Berarti Mona bohong dong sama gue? Kata dia, dia udah transfer Rara lima juta, tapi ternyata di tarik lagi dua juta. Anjing, kok jadi gue yang malu bangsat.” ucap Haikal menyesal.

Belum sampai situ, ketiga nya terus membaca Tweet yang lainnya. Mengeluhkan tentang Rendy yang berubah, setelah ungkapan publik di terima Rara.

“Kalo Rendy, gue udah ngerti dari Mona sih.” ungkap Haikal lagi, “jadi kita sempet diskusi, kenapa Rara lebih sering lo anterin pulang. Dan juga si Rendy jadi lebih care ke arah Rara, padahal biasanya dia kan tipe orang bodo amat. Terus pada akhirnya, Mona milih untuk nyelidikin sendiri, dan dia tau kalau Rara kena teror stalker juga dia tau kalo Rendy udah ikut buat bantu Rara saat itu. Cuma gue sama Mona sempet debat, dan adu argumen kenapa Rendy ga cerita soal itu. Ya gue bilang, mungkin Rendy menghargai keputusan Rara yang paling ga pengen kalau masalah dia itu di ketahui orang lain dulu.” jelas Haikal panjang lebar.

“Terus pada akhirnya, semua kebongkar ketika udah ada yang up di base kan? Dan ternyata Nathan udah tau. Di situ gue beneran gelap fikiran dan langsung memutuskan hal sepihak untuk blame semuanya ke Rara. Gue beneran tolol sih.” lanjutnya lagi, sembari menegang kepalanya pusing. Sungguh rasa bersalahnya menumpuk setinggi gunung saat ini.

Gio masih terus memperhatikan ketiga nya berdebat, tentang siapa yang benar dan juga yang salah.

In case, kalian mau liat room chat Rara juga ga?” tanya Gio menyela pertengkaran Haikal, Nathan, dan Jendra. “Saya sudah baca semuanya, dan beruntungnya Rara tidak pernah menghapus history chat nya. Saya fikir, kalian perlu tau hal ini supaya kalian bisa menebak apa kebenaran nya.” jelas Gio lagi.

“Ga apa-apa kak?” tanya Jendra ragu, ia sudah kepalang menyesal dengan segala tindakannya pada Rara di masa lalu.

“Tidak apa-apa, kenapa hanya kalian yang saya panggil kesini, ya karena saya fikir kalian bertiga butuh validasi untuk beberapa hal, dan untuk membantu saya dalam memperjuangkan keadilan untuk Rara nanti.” jawab Gio dengan bijak.

Nathan menyerahkan ponsel Rara ke tangan Jendra, ia sudah tidak sanggup untuk memegang nya. Rasa bersalah memenuhi perasaannya saat ini.

Jendra mengetuk ikon massage dengan gemetar, ia masih belum terlalu siap untuk mengetahui setiap kebenarannya saat ini.

“Mau buka punya siapa dulu?” tanya Jendra meminta usul pada kedua temannya.

“Rendy?” tanya Haikal tidak yakin.

“Iya, ayo kita buka chat dari Rendy.” ucap Nathan mendukung.

Begitu membuka room chat, bubble chat menunjukkan status pesan tidak terkirim, yang artinya Rendy telah memblokir akses pada nomor kontak itu.

Ketiga nya makin terkejut, begitu mengetahui kalau Rendy mampu mengatakan hal jahat seperti ini pada Rara.

“Anjing??” ucap Haikal emosi, “dia awalnya dukung dan bantu Rara, tapi kok tiba-tiba banget bisa berubah arah dan mulai hilang kepercayaan?” tanya Haikal masih tak habis fikir.

“Kalau lo liat dari tanggal pesan, itu tanggal yang sama dimana akun stalker Rara ke ungkap di publik, terus kesuspend kan?” tanya Nathan memastikan.

Jendra menganggukkan kepala membenarkan, “hari yang sama juga dimana lo sama Mona out dari grup.” tambah Jendra sembari menunjuk Haikal.

Setelah selesai membaca percakapan di room chat Rendy, ketiga nya langsung menekan room chat dari Mona.

Semakin mereka larut dalam membaca chat antara Mona dan Rara, semakin mereka paham kalau selama ini Mona lah yang telah memanipulasi mereka.

“Bangsat, gue kata juga apa jing. Itu anak sakit.” ucap Jendra masih terus mengumpat, benar-benar merasa emosi dengan Mona dan dirinya saat ini.

Mereka benar-benar di tipu habis-habisan. Bukan Rara, ternyata Mona lah yang selama ini play victim dan menyusun panggung seolah mengarahkan kalau Rara lah penjahatnya disini.

“Haha, kenapa kamu nangis?” tanya Gio pada Haikal yang kini sibuk menyeka air matanya.

Haikal menggelengkan kepalanya, “gue cuma, eh sorry kak. Aku cuma kepikiran tentang apa yang aku perbuat sama Rara selama ini.” jawab Haikal jujur, ia juga tidak menyangka kalau air mata akan turun ke pipinya saat ini.

“Semua udah terjadi, gausah di sesali.” kata Gio menasehati, “kalian sekarang udah bisa menilai kan, apa kebenarannya disini.” tanya Gio lagi. Ketiga nya menganggukkan kepala.

“Sekarang kita cuma perlu selesaikan semua ini, dan ungkap kebenarannya ke publik kan?” tanya Nathan menyimpulkan semua yang telah mereka bahas saat ini.

“Tapi masalah stalker gimana? Kita mau selidiki atau apa? Kehadiran stalker juga trigger anxiety Rara juga kan?” tanya Jendra tersadar.

“Oiya ya, gimana njir? Jejaknya udah ga ada kan? Akun terakhir udah ilang, abis itu nomor yang buat kontak Rara juga nomor sekali pakai kan?” tanya Haikal mendadak pusing kembali.

“Masalah itu, saya fikir kalian tidak perlu khawatir.” ucap Gio menengahi. “Kemarin sudah ada seseorang yang melaporkan sesuatu pada saya.” sambungnya lagi sembari menunjukkan room chat Gio dengan nomor asing.

“HAH, ANJING KAK DIKA??”

Cw // mention of violence

Mona mendekati Rara yang kini sudah terduduk lemas di kursi. Sejak dua hari lalu, dirinya tidak mendapatkan asupan makanan yang cukup untuk memenuhi energinya.

“Aduh, kok muka cantiknya lesu gini sih?” ucap Mona mengejek, begitu mendekati Rara.

“Haha.” sahut Rara tanpa tenaga. “Gue lesu gini aja lo bilang gue cantik, apalagi kalo gue lagi dalam kondisi prima. Pasti lo kalah cantik sama gue.” sambung Rara balik mengejek.

Mona mendelikkan matanya tidak suka, dan maju ke hadapa Rara. Dengan enteng tangan Mona langsung melayang ke arah wajah Rara yang mulus.

“Udah dua hari loh, gue sekap lo disini.” kata Mona tidak percaya, “Dan lo masih ga belajar dari kesalahan, kalau gue bisa lakuin apapun yang gue suka ke lo.” sambungnya lagi dengan penekanan di setiap kata.

“Lo maunya gue takut? Sorry Mon, gue gatau gimana rasa takut itu setelah gue jalanin kehidupan gue yang dulu.” ucap Rara menjawab, dan membayangkan akhir dari kehidupan pertamanya.

Mona kembali tersenyum manis, “ohh, kalau gitu gue bakalan ajarin lo dari awal buat mengenal apa sih itu takut.” kata Mona dengan lembut.

Mata Rara menyalang begitu melihat Mona mengeluarkan sebilah pisau dari dalam jaketnya.

“Gimana, Ra? udah takut belom?” tanya Mona dengan tawanya yang menggelegar di seluruh penjuru ruangan. “Kalau ini gue tempelin ke pipi lo, biaya operasinya semahal apa ya?” sambung Mona sambil terus bermain pisau di atas pipi Rara.

Tubuh Rara bergetar, ia mulai ketakutan saat ini. Mona tidak bermain-main ternyata, terbukti dengan dia yang tengah mengancam dirinya dengan sebilah pisau.

Tanpa sadar, air mata Rara mulai menetes membasahi pipinya. Mona yang melihat hal itu, tawanya semakin mengeras saja.

“Ehh?? Kok nangis sih anjir.” kata Mona di sela tawanya, “Tadi galak banget kaya macan, setelah gue keluarin pisau langsung nangis kaya kucing yang kehilangan induknya.” ucap Mona bermonolog, puas dengan reaksi Rara saat ini.

“Lo psikopat.” ucap Rara pendek, dengan suara yang tentunya masih bergetar.

Mona kembali menampar wajah Rara dengan keras, “aduh, anjingnya udah mulai menggonggong lagi nih.” ucap Mona dengan sinis. “Gue kaya gini juga karena ada alasannya Ra, masa lo tega sih ngatain gue kaya gitu? Ih, itu kasar banget.” sambungnya dengan nada yang di lebih-lebihkan.


“Kita seriusan ga nunggu polisi?” tanya Haikal dengan khawatir, begitu dirinya sampai Gio, Nathan, dan juga Rendy langsung mengajak nya naik mobil untuk menuju suatu tempat.

“Kita ga tau Kal, apa yang bakalan terjadi kalau kita telat sedikit.” ucap Nathan menjawab pertanyaan Haikal, ia telah mendapat informasi dari Jendra tentang keberadaan Rara saat ini.

Dirinya teringat tentang chat nya dan Jendra sebelumnya, yang menyuruhnya untuk siaga di segala kondisi.

“Gue udah laporin hal lengkapnya ke polisi, gue juga barusan udah kasih tau alamat yang saat ini kita tuju ke polisi.” ucap Rendy yang sedari tadi terdiam, ikut menambahkan informasi yang tak kalah penting.

“Kakak ga tau, apa salah Rara sama teman kamu yang namanya Mona itu. Mona anak perempuan yang tadi juga ikut ke kontrakan kan?” tanya Gio sembari mengusap wajahnya gusar, ia benar-benar khawatir dengan adik semata wayangnya itu.

Sejak perjalanan mereka tadi, Rendy sudah menjelaskan semua hal yang terjadi kepada mereka bertiga.

Dimana dirinya yang mendapat clue keberadaan Rara, dengan mengetahui ponsel Rara di pegang oleh Mona.

Kemudian kabar yang juga datang dari Jendra, tentang keberadaan Rara saat ini yang tengah di sekap oleh Mona di sebuah pondok tua yang berada di pinggir kota.

“Banyak konflik sih Kak, kalau lo nanya soal mereka berdua.” ucap Haikal mulai menjelaskan, “I mean, mereka sering bersaing di akademik. Terus mereka juga berkonflik buat orang yang sama, terus-”

“Hah? Berkonflik untuk orang yang sama? Eh siapa?” tanya Nathan menyela.

Haikal mengetuk gemas kepala Nathan yang saat ini tengah menyetir, “ya lo lah anjir, yang ada di konflik mereka berdua.” ucap Haikal menjelaskan.

“Lah, kok jadi gue?” tanya Nathan tidak terima.

“Gimana bukan lo, sekarang nih ya, lo suka Rara, tapi Mona suka sama lo. Ya jelas kalau Mona sama Rara berkonflik gara-gara lo.” jawab Haikal masih tidak santai, ia tidak menyangka bahwa Nathan akan sangat ignorance dengan hal yang menurutnya menjadi inti permasalahan kali ini.

“Tapi kakak masih ga ngerti, kenapa cuma perkara rebutan Nathan, Mona sampai berbuat sejauh ini ke Rara?” tanya Gio membawa topik awal yang belum terselesaikan tadi.

“Mungkin karena hal terakhir yang sempat di ungkap Rara sih Kak, kalau menurut gue. Apalagi Mona itu orang nya nekat.” kata Haikal dengan hati-hati, berusaha menjelaskan dengan perlahan agar Gio tidak ikut terbawa emosi.

“Hal terakhir?” tanya Gio tidak mengerti.

“Maksud lo yang Mona di diskualifikasi sama yang CCTV si Mona ambil kertas catatan interview Rara?” tanya Rendy menyela dengan tidak percaya.

“Iya, Mona di diskualifikasi karena laporan Rara. Dan CCTV-nya Mona soal ambil catatan interview Rara, itu juga dari Rara yang nyebarin. Tapi pakai pihak ketiga.” jelas Haikal membuat ketiga orang di sana menahan nafas.

“Kalau dia udah sampai tahap culik Rara kaya gini, pasti si Mona beneran psikopat.” ucap Rendy membuat keempatnya ngeri.

Nathan langsung mempercepat mobilnya untuk segera sampai ke tempat yang telah Jendra berikan.


“Aduh, coba lo liat ini.” ucap Mona dengan wajah yang sengaja di buat sedih, sembari membuka jaket panjangnya yang menutupi lengan kanan dan kirinya yang lebam dan juga membiru. “SEKARANG LO BISA LIHAT KAN, APA YANG GUE DAPATKAN DARI ULAH LO YANG BIKIN GUE DIDISKUALIFIKASI!!” teriak Mona di telinga kanan Rara.

Rara langsung memejamkan matanya pusing, sungguh efek teriakan Mona membuatnya mual seketika.

“TETAP AJA, ITU BUKAN SALAH GUE MONA!” ucap Rara membalas teriakan Mona dengan lantang, “ITU SALAH LO, KARENA LO GA MENGERTI APA TEMA DARI LOMBA. ITU JUGA SALAH LO, DIMANA LO GA BERUSAHA LEBIH DULU UNTUK BUAT CATATAN INTERVIEW, DAN BUAT LO NYONTEK CATATAN INTERVIEW GUE!!” sambungnya lagi, dada Rara naik turun, emosi menguasai dirinya saat ini.

Mona kembali menampar wajah Rara untuk kesekian kalinya, “Hahaha, hidup itu lucu banget ya Ra. Gue lebih memilih ga punya orang tua kaga lo daripada jadi anak yang di asuh orang tua kaya gini.” kata Mona dengan sendu, menarik kursi dengan ujung kakinya, untuk duduk di hadapan Rara.

“Bokap gue orang yang ambisius, dia senang banget soal kemenangan dan juga benci tentang kekalahan.” kata Mona melanjutkan ucapannya tadi, mulai bercerita. “As you can see, dia bahkan berinvestasi buat gue. Bokap gue selalu berekspektasi hasil yang bagus dari gue, dan ketika gue berada di nomor dua karena ulah lo, gue sama dengan mengecewakan bokap gue. Gara-gara lo, gue terpaksa harus membayar dengan cara menerima setiap pukulan.” sambung Mona panjang lebar.

Mona kembali bermain-main dengan pisau yang ada di tangannya, kali ini dengan lebih berani dirinya menempelkan dengan sedikit tekanan di permukaan pipi Rara.

“Tapi tetep aja, itu bukan salah gue.” ucap Rara merinding. “HARUSNYA LO LEBIH BEKERJA KERAS ANJING!!” sambungnya dengan teriakan, dan menendang kursi Mona hingga terjatuh.

Dengan segera Rara melepaskan ikatan di tangannya, yang dua hari ini ia sudah coba untuk renggang kan.

Ia sudah menunggu momen ini, dimana Mona tanpa ada penjagaan dari siapapun, supaya dirinya bisa lebih leluasa untuk kabur.

Rara sudah berhasil melepaskan ikatan yang ada di tangan, dan kakinya. Sungguh, kakinya saat ini begitu lemas untuk ia paksakan berjalan.

Mona memegangi pinggangnya yang sakit, akibat terjatuh dari kursi karena tendangan Rara. “BANGSAT!!” maki Mona dan berdiri dengan kesakitan, mulai mengejar Rara yang lebih dulu berlari meninggalkannya.

Sungguh, Rara tidak pernah menyangka kalau hidupnya bisa berubah menjadi genre thriller seperti di film saat ini. Dimana Mona mengejarnya dengan kesetanan, sembari membawa pisau di tangan kanannya.

Belum sampai Rara membuka pintu, Mona sudah menjambak rambutnya dan membuat dirinya terpaksa menoleh ke arah Rara. Dan kemudian, dengan asal Mona mengayunkan pisau ke arah Rara.

Rara kaget setengah mati, merasakan sakit yang amat sangat dari lehernya. Ayunan pisau dari Mona tadi mengenai leher Rara yang kini sudah berlumuran darah.

Dengan gemetar, Mona membuang pisau yang sudah di lumuri sedikit darah Rara itu ke lantai. Ia tak percaya, kalau ia akan melakukan hal itu.

Pintu pondok di dobrak dengan paksa, Polisi beserta rombongan nya masuk ke dalam pondok untuk mengamankan Mona.

Diluar tampak ada beberapa polisi lain yang juga mengamankan penjaga pondok yang dua hari ini terus mengawasi Rara.

Gio berlari dengan tergesa-gesa, menuju tubuh Rara yang sudah ambruk di lantai. Tangannya menggantikan tangan Rara yang sedari tadi menutupi luka yang tertoreh di atas kulit lehernya.

“RARA, KAMU DENGAR KAKAK?? RARA, JANGAN TIDUR DULU!!” teriak Gio frustasi, air mata membanjiri wajahnya.

Setidaknya itu yang sempat ia ingat, sebelum pandangannya mengabur dan menggelap.

'My life, still doesn't change right?'

Alif memijat leher bagian belakang Via dengan perlahan. Dirinya langsung meninggalkan pekerjaan yang sedari tadi di lakukan nya di laptop, segera setelah mendengar suara Via muntah dari dalam kamar mandi.

“Masih mual sayang?” tanya Alif khawatir. Usia kandungan Via kini telah menginjak delapan bulan. Mual dan muntah yang di rasakan nya memang sedikit berkurang daripada trisemester kehamilan pertamanya dulu, tetapi bukan berarti itu sepenuhnya menghilang.

“Gatau, masih mual banget.” ucap Via mengadu.

“Kamu udah minum vitamin yang aku kasih kan?” tanya Alif dengan serius, mencoba memastikan.

Mata Via menyalang marah, “Gimana bisa aku ngelewatin minum vitamin, disaat semuanya kamu yang jadi koordinator. Mulai dari aku makan, minum, minum vitamin, kontrol dokter.” ucap Via dengan nada kesal.

Kini Via sudah mulai melunak pada Alif, dan dirinya sudah mulai menerima Alif sebagai suaminya. “Iya iya, aku salah. Maaf jangan marah-marah, nanti kamu tambah sakit.” ucap Alif menyesal dan mengelus dahi Via yang dingin dengan lembut.


“Alif?? Alif!” teriak Via mencari Alif ke seluruh penjuru rumah. “Kemana sih? Bukannya on time waktu di panggil. Padahal liat istri lagi hamil.” gerutunya lagi.

Sejak hamil tua, Via sudah sangat jarang untuk melakukan hal-hal berat di rumah. Bahkan untuk pekerjaan dasar seperti memasak, mencuci, dan yang lainnya Alif lah yang melakukannya.

Kemudian Via juga telah keluar dari pekerjaannya begitu dirinya menginjak enam bulan usia kehamilan. Bukan karena dirinya tidak sanggup atau apapun itu, tetapi karena bujukan dari kedua orang tuanya dan orang tua Alif. Apalagi Via mengandung anak kembar, yang pasti semakin menyulitkan dirinya untuk melakukan aktivitas.

“Assalamu'alaikum.” ucap Alif membuka pintu depan. Pandangan Via langsung tertuju ke arah sana. “Loh kok kamu sudah bangun sayang?” tanya Alif kebingungan, karena dia meninggalkan Via dalam kondisi tertidur, belum ada tiga puluh menit untuk membeli sesuatu di Indoapril terdekat.

“Kamu abis dari mana? Aku nyariin.” ucap Via dengan nada jengkel, sembari menghampiri Alif yang menenteng dua kantong plastik berisi belanjaannya.

Via memang sudah lunak terhadap Alif, dan juga menerima Alif dengan ikhlas sebagai suaminya. Tetapi bukan berarti sifat dirinya yang keras kepala dan selalu ingin menang dari Alif bisa di hindarkan.

Via masih sering marah-marah terhadap Alif, bahkan untuk hal-hal sepele yang mereka lalui tiap hari. Mulai dari handuk yang tidak di gantungkan di tempatnya, bekas kopi Alif di meja karena tidak memakai piringan, atau hal sepele seperti Alif yang lupa mengatur ulang sandal rumah Via setelah ia gunakan.

Bukan Alif tidak tahu, tapi dia lebih memilih menghindari hal itu dan menerima apapun makian yang keluar dari mulut Via. Karena dia tidak mau bertengkar dalam jangka waktu lama dengan Via, dan juga dirinya tulus serta mencintai Via dengan sepenuh hati.

“Maaf sayang, aku tadi abis belanja keperluan bulanan. Ini sudah bulan terakhir usia kandungan kamu, aku harus stok beberapa barang supaya aku nggak perlu ninggalin kamu di waktu-waktu genting nanti.” ucap Alif menjelaskan secara perlahan, dan mengelus lengan Via dengan lembut. “Kamu mau apa? Aku tata barang dulu ya di dapur, kamu tunggu di kamar aja.” sambung Alif lagi.

“Peluk.” ucap Via singkat.

“Hah, gimana??”

“Aku mau peluk Alif, aku kebangun karena anak kamu gerak terus ga ada yang meluk dari belakang!”

Yaa, mungkin Alif masih sedikit kurang siap untuk segala kemanjaan Via di kehamilan kali ini.

Ternyata tim Rara, Nathan, juga Jendra lolos ke babak final. Dimana sesuai dengan hal yang terjadi di kehidupan Rara sebelumnya, ada tim dari Fakultas Hukum yang juga sama lolos ke babak final.

Rara menggenggam kedua jarinya erat, merasa ragu dengan lomba yang akan di laksanakan kali ini. Karena dia tau, bahwa tim dari Fakultas Hukum akan menang.

“Ra, ga enak badan?” tanya Nathan khawatir melihat wajah gugup Rara.

Rara menggelengkan kepalanya, “Gue agak sedikit takut sih Nath.” jawab Rara jujur.

Jendra ikut menoleh pada Rara, “takut kenapa sih? Mereka ga mungkin nyaplok kok Ra.” jawab Jendra sedikit berkelakar .

“Ga ada, mungkin karena ini babak final kali ya. Makanya gue agak sedikit grogi juga.” ucap Rara singkat dan mulai mengambil tempat duduk yang ada di tengah.

“Baik, sesuai dengan peraturan awal.” ucap panitia meminta Nathan dan salah satu perwakilan dari tim lawan untuk maju ke depan. “Silahkan tiap perwakilan tim suit untuk menentukan mosi juga pihak pro atau kontra.” sambungnya lagi.

Kali ini Nathan memenangkan suit, otomatis dari tim mereka lah yang saat ini berhak untuk memilih mosi.

Sesuai dengan kesepakatan yang telah mereka diskusikan tadi, maka kali ini Nathan memilih mosi “Media sosial berkontribusi besar akan maraknya pencemaran nama baik.”

Tim lawan memilih Pro, sedangkan tim Rara mendapatkan kubu kontra. Banyak persiapan yang mereka lakukan, tapi jujur saja Rara masih ragu dengan hasil yang akan mereka dapatkan akhir nanti.


“Dalam kehidupan ini, terdapat akibat atas segala perbuatan yang kita lakukan, jika kita tidak ingin mendapatkan akibat buruk maka sebaiknya menghindarkan diri dari perbuatan-perbuatan buruk.” ucap Jendra menanggapi argumentasi dari tim Pro. “Jadi kesimpulannya adalah, hormatilah orang lain sebagaimana kita ingin dihormati. Dalam hidup kita harus mampu memanusiakan manusia. Karena dari setiap perbuatan yang menyimpang terdapat resiko berupa sanksi hukum maupun sanksi sosial yang harus ditanggung oleh setiap pelaku suatu perbuatan.” sambungnya lagi panjang lebar.

BIP BIP BIP

Suara dari bel waktu berbunyi,

“Itu tadi argumentasi dari tim kontra, kurang lebihnya kami minta maaf.” lanjut Jendra mengakhiri sesi perdebatan kali ini.

Rara menepuk dua kali pundak Jendra dengan pelan, Jendra sudah melakukan hal yang sempurna hari ini.

Walaupun sedari tadi, Nathan sedikit memberikan kode pada Jendra untuk mengatur emosi nya. Karena Jendra selalu saja menaikan intonasi suaranya begitu membahas awal argumentasi baru.

“Baik, silahkan untuk kedua tim maju dan berjabat tangan.” ucap panitia dari samping.

Rara langsung berdiri dan mengikuti Nathan yang sudah berjalan untuk berjabat tangan dengan tim Pro.

“Kalian keren.” ucap Nathan tulus memuji.

“Iya, kalian juga keren.” sahut salah seorang dari mereka.

Setelah mereka selesai berjabat tangan, panitia mengarahkan tim Pro dan Kontra untuk keluar ruangan guna juri berdiskusi akan hasil dari debat tadi.

“Masih grogi Ra?” tanya Nathan sembari mengeluarkan ponselnya dari dalam saku.

“Udah lewat haha.” jawab Rara singkat, “Jendra kemana?” lanjut Rara bertanya karena Jendra tidak terlihat batang hidungnya sejak keluar ruangan.

“Gatau, kamar mandi paling. Dia pasti banyak nyesel nya sekarang, soalnya tadi bolak balik blunder.” ucap Nathan menjelaskan.

“Blunder? Perasaan fine fine aja deh tadi.” kata Rara bingung, karena lomba debat mereka tadi berjalan dengan lancar.

“Ya lo ga merhatiin paling, sibuk grogi sendiri. Tadi Jendra banyak salah ucap, untung public speaking dia bagus jadi semua bisa ke handle lagi.” jelas Nathan lagi, dan Rara hanya menganggukkan kepala mengerti.

“Tapi Nath, kalo kita ternyata ga menang gimana?” tanya Rara mulai overthinking lagi.

Nathan hanya tersenyum sembari terus memainkan ponselnya.

“Walaupun ini kompetisi, percaya sama gue deh Ra. Dunia itu isinya bukan cuma hitam putih doang. Terkadang menang dalam suatu perdebatan malah merugikan diri lo sendiri.”

Rara menghampiri Nathan juga Jendra yang tengah duduk di dekat ruang Check in. Dapat Rara pastikan, kalau mereka berdua tengah menunggu dirinya.

Salahkan pada Haikal yang masih ngotot ingin membeli Pop Ice terlebih dahulu karena cuaca memang sedang panas panasnya.

“Mau check in sekarang?” tanya Rara langsung, begitu Jendra menyadari keberadaannya.

“Lama banget Ra?” keluh Nathan, dan mulai beranjak berdiri untuk mendatangi meja Check in.

“Buset, awal awal udah lawan anak Sastra Bahasa aja nih.” ucap Jendra begitu melihat kertas peserta yang baru saja di berikan oleh panitia.

“Susah sih, ntar kasih batasan aja buat ga pake bahasa kiasan yang terlalu tinggi.” ucap Nathan berbicara pada Jendra, “takut otak lo ga nyampe.” sambungnya lagi.

“Ya kali anjing, kapasitas otak gue sama lo tuh sebelas duabelas.” bela Jendra tidak terima.

“Udah ih, tengkar mulu. Ayo nyari tempat duduk buat diskusi aja kita.” Lerai Rara dan berjalan mendahului keduanya.


Rara membuka ponsel nya, mencoba mencari ketenangan disana. Sebentar lagi tim mereka akan maju untuk melakukan lomba debat. Rara tersenyum miring melihat percakapan yang ada di grup.

'Attention seeker banget haha.'

“Ra, ayo masuk.” ajak Jendra tiba-tiba, dan membuat Rara harus menutup ponselnya dengan tergesa.

'ini kenapa dingin banget sih ruangannya, gila aja AC dua biji di nyalain semua. Sengaja buat suasana makin serem atau gimana sih.'

Rara mengambil tempat duduk yang ada di tengah, karena dirinya adalah pembicara kedua. Sedangkan Nathan menjadi pembicara pertama, dan Jendra menjadi pembicara ketiga.

Oleh panitia, Nathan di persilahkan maju. Begitu pula dengan pembicara pertama dari pihak lawan. Panitia menjelaskan beberapa aturan dasar tentang memilih Mosi juga tim pro atau kontra.

Pemilihan tersebut akan di lakukan menggunakan suit batu kertas gunting. Bagi tim yang menang suit akan menentukan mosi yang akan di gunakan untuk debat, sedangkan untuk tim yang kalah akan memilih mereka di pihak pro atau kontra.

Nathan kalah dalam suit, maka dari itu dari pihak lawan lah yang memilih mosi. Dan mosi yang di pilih oleh pihak lawan adalah, “Pencabutan hak politik mantan narapidana korupsi.”

Seakan mengerti jalan fikiran Nathan, maka Jendra mengiyakan keinginan Nathan untuk mengambil tim Pro pada perdebatan kali ini.


“Cape banget asli.” ucap Rara begitu sesi pertama lomba debat sudah selesai.

Jendra langsung mengambil tempat duduk di samping Rara, yang saat ini tengah sibuk mengibaskan kertas argumentasi yang sedari tadi di bawa nya ketika di dalam ruangan.

Anehnya waktu awal mereka masuk ke dalam ruangan, suasana begitu dingin. Tetapi begitu mereka memulai perlombaan, hawa panas mulai mengelilingi mereka.

“Lo tadi keren banget Ra.” ucap Nathan memuji, dan ikut mengambil duduk di samping Jendra.

Keputusan tepat bagi Nathan untuk mengambil pihak Pro, karena untuk Rara sendiri pada mosi yang di pilih oleh lawan justru lebih condong kepada pihak pro.

Padahal menurut Jendra, tim pro itu sangat sulit karena kita harus mempertahankan hak pembicaraan kita.

“Lo juga keren.” ucap Rara balik memuji. “Jendra juga keren.” sambungnya lagi.

“Masih nunggu hasil, semangat hari ini?” tanya Nathan kembali menggebu-gebu.

“Iyalah, wajib semangat!”

Acara lomba fashion show kali ini berjalan dengan lancar, Rara juga menyadari jikalau acara pada hari tidak jauh berbeda hectic nya dengan acara di kehidupan dirinya sebelumnya.

Setelah acara walk selesai, akan ada sesi wawancara dimana para peserta akan di tanyai mengenai alasan mereka kenapa memilih kostum itu.

Rara sedikit bingung, karena di fikir akan ada jeda sebentar dan dirinya bisa memeriksa apakah ada chat dari Kak Jay atau tidak.

'Lah kalo gue disini, gimana caranya gue ngasih tau soal costume Mona ke Kak Jay?'

“Baik, untuk peserta selanjutnya. Nomor urut sebelas, Mona Grisella. Silahkan maju kedepan.” ucap host mempersilahkan Mona untuk maju dan memegang microphone. “Bisa di jelaskan, apa alasan anda memilih penampilan Wulan pada malam hari ini?” tanya Host itu lagi kepada Mona.

Mona tersenyum kecil dan mulai mengangkat microphone nya mendekati bibir, “Alasan saya memilih karakter Mulan adalah, karena karakter Mulan sangat pantas untuk dijadikan panutan, dirinya mengajarkan bahwa setiap perempuan bisa melakukan dan menjadi apapun yang mereka impikan meskipun banyak orang yang akan meragukan. Mulan juga membuktikan bahwa aturan baku tentang perempuan itu hanyalah omong kosong. Perempuan juga bisa menjadi sosok yang tangguh bisa diandalkan dan tidak hanya dipandang sebelah mata.” jelas Mona panjang lebar.

Rara sontak menegang, karena bagian “Perempuan juga bisa menjadi sosok yang tangguh bisa diandalkan dan tidak hanya dipandang sebelah mata.” itu jelas jelas adalah kalimat dari catatannya.

Kenapa Mona bisa tahu? Apakah Mona menyalin alasan Rara sebelumnya?

Rara mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru panggung, netranya terhenti ke arah Haikal yang juga menatapnya dengan bingung.

Haikal juga sempat membaca catatan yang Rara siapkan ketika tadi ada di ruang tunggu. Seakan memberikan gesture pada Rara, bahwa ada yang aneh.

Tapi hal itu tidak berlangsung lama, karena Rara kemudian juga di panggil untuk maju ke depan setelah Mona selesai berbicara.

Mona melayangkan senyuman sinis ke arahnya.

'What you gonna do?' satu satunya hal yang bisa Rara tangkap dari mimik muka Mona saat ini.

“Baik, untuk nomor urut dua belas Rafaela Ranayla. Apa yang melandasi anda untuk memilih karakter Elsa pada perlombaan kali ini?” ucap Host mengalihkan perhatian Rara sejenak.

Rara terdiam agak lama, sampai seluruh penonton juga juri ikut bingung di buatnya. Di belakang, Mona sudah tertawa terpingkal karena dirinya tahu Rara tidak memiliki apa pun untuk di ucapkan.

“Menurut saya, Elsa adalah karakter yang dewasa.” kata Rara pada akhirnya, “Elsa adalah sosok yang bertanggung jawab, bukan hanya pada dirinya dan saudaranya namun juga kepada masyarakat Arendelle. Selain itu, karakter Elsa digambarkan saling menyelamatkan dan menunjukkan kekuatan wanita.” lanjut Rara panjang lebar.

Rara bernafas lega begitu wawancara dengan setiap peserta berakhir, mereka di berikan waktu selama lima belas menit untuk beristirahat sembari menunggu penilaian dari juri.

Dengan langkah terburu, Rara mengangkat gaunnya yang sedikit panjang menuju tas nya untuk mengambil ponsel. Ingin melihat apakah sudah ada balasan dari Jay.

Belum sampai dirinya turun ke backstage, Haikal sudah menarik tangannya untuk di ajak entah kemana.

“Ra, kalimat terakhir yang di ucapin Mona waktu wawancara tadi. Itu punya lo kan? Kok bisa dia yang ngomong duluan?” tanya Haikal langsung, setelah mereka berada di tempat yang sepi.

Rara menggelengkan kepala tidak mengerti, “kayanya gue kecolongan waktu kita berenam tadi kumpul.” ucap Rara asal, “lo liat sendiri kan, kertas wawancara gue di taroh di meja depan tempat kita duduk. Bisa aja itu kesempatan Mona buat ambil ide gue.” sambungnya ikut pening.

“Gue gatau, kenapa dia bisa selicik itu.” ucap Haikal lagi tidak habis fikir.

“Terus maksud lo seret gue kesini buat apa? Cuma mau gibah doang gitu?” tanya Rara balik, karena dia juga masih ada hal yang perlu diselesaikan.

“Gue agak heran sih tadi sebenernya, waktu lo minta nomernya Kak Jay.” ucap Haikal langsung, “lo mau ketemu dia?” tanya nya lagi.

“Eh?? Bisa?” ucap Rara senang.

Haikal menyipitkan matanya curiga, “lo seneng ya sama Kak Jay? gausah demen, liat level lo seberapa. Ntar jatuh sakit lagi, ngincernya yang spek dewa kaya gitu.” kata Haikal julid.

Rara memukul kepala Haikal gemas, “yakali anjir, udah ayo buru. Kita istirahat cuma bentar kan.”

“Yaudah ayo.” kata Haikal berlalu, tidak lupa menggandeng tangan Rara.

'Ini emang mesti di gandeng gini ya??'


“Kenapa Kal? Kok lo bawa peserta ke sini sih? Kan bentar lagi acara mau mulai.” ucap Jay bingung, begitu melihat Rara dan Haikal berjalan memasuki ruang panitia.

Haikal menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, “gimana ye, gue ngomongnya.” ucapnya bermonolog.

Rara meninju pundak Haikal pelan, “Halo kak, sebelumnya perkenalkan nama saya Rafaela Ranayla.” kata Rara memperkenalkan diri guna untuk berbasa-basi.

“Oh, lo yang chat gue tadi? iya kenapa?”

“Maaf kalo disini pake bahasa non formal ya Kak.” ucap Rara meminta persetujuan pada Jay. Jay menganggukkan kepala, mempersilahkan. “Gue mau to the point aja, kalau ada salah satu peserta yang ikut lomba tapi costume dia tidak sesuai dengan tema yang telah di tentukan oleh panitia Inagurasi.” lanjut Rara panjang lebar.

Haikal ikut menoleh ke arah Rara, dirinya tidak mengerti kalau Rara akan membawa topik seperti ini. Karena dia kira, Rara akan mengatakan perihal kecurangan Mona yang tadi sudah menyontek catatan wawancara dia.

“Maksud?” tanya Jay singkat, meminta penjelasan.

“Tema untuk lomba ini 'Fairy tale' kan kak?” tanya Rara memastikan. Jay menganggukkan kepalanya mengiyakan, “tapi karakter Mulan itu bukan fairy tale.” sambung Rara mantab.

“Bentar, siapa Kal yang jadi Mulan?” tanya Jay pada Haikal yang sedari tadi menyimak pembicaraan mereka.

“Eh, Mona Grisella Kak.” ucap Haikal kelabakan, dirinya tidak menyangka kalau Rara akan membawa permasalahan seperti ini.

“Gimana cara lo jelasin, kalo Mulan bukan termasuk fairy tale? Sedangkan tokoh dia sendiri di angkat ke Disney, which is perkumpulan cerita soal fairy tale.” tuntut Jay meminta penjelasan.

Rara sudah menduga, kalau akan ada rekasi seperti ini. “Mulan, in 1998 and now, is based on an ancient Chinese legend. Not a fairy tale. Her story was commonly known across Asia long before Disney’s animated feature, and it’s that story (as much as the animated feature) that makes up the inspiration for the new film.” jawab Rara dengan tegas.

Jay menyibak surai nya kebelakang, apa yang di katakan Rara cukup membuatnya bimbang.

“Gue ga nakut nakutin actually, tapi untuk jaga-jaga kedepannya kalau ucapan gue saat ini ga di percaya.” sahut Rara lagi memecah suasana, “kalau pada akhirnya Mona yang bakalan menang, pasti setelah kemenangan dia akan ada pro dan kontra dari berbagai pihak, dan pasti pada akhirnya akan berimbas ke panitia juga. Tema untuk lomba Fairy tale bukan Disney, dari sini aja udah ada perbedaan kan? Pasti di fikiran mereka, kok bisa sih panitia kebobolan hal basic kaya gini.” sambung Rara final.

Haikal yang berada di samping nya sedari tadi, hanya bisa mengerjapkan mata tidak percaya. Wanita di sampingnya ini, baru saja mengancam lelaki yang paling galak seantero kampus.

“Okay, saran lo gue terima. Habis ini bakalan gue diskusiin sama juri.” jawab Jay menyanggupi permintaan Rara, “tapi bukannya Mona itu anak manajemen juga ya? Kok lo malah ngejatuhin temen satu prodi lo sih?” tanya Jay setelah sadar.

Rara tersenyum kecil, “kita emang satu prodi, tapi namanya kompetisi tetap kompetisi. Siapa sih yang gamau gelar juara?” tanya Rara realistis ke arah Jay.

Jay tertawa sembari bertepuk tangan, ucapan Rara sungguh menghibur dirinya.

“Kalo lo ga menang gimana?” tanya Jay balik, mencoba untuk menyudutkan Rara.

“Ga ada penyesalan, at least gue udah berjasa buat kepanitian Inagurasi tahun ini. Dan itu udah cukup buat gue merasa senang.” jawab Rara dengan percaya diri.

“Jawaban lo memuaskan.” ucap Jay masih tertawa, “lo ada keinginan lain nggak, yang bisa gue kabulin selain jadi juara? gue mau kabulin karena lo udah buat gue ketawa hari ini.” lanjutnya sembari menepuk pundak Rara pelan.

CCTV.”

Sorry?

“Gue minta CCTV lantai empat. Masih ada hal yang perlu gue selesain dan itu butuh bukti dari CCTV.”

Rara berjalan dengan santai menuju kantin fakultas, banyak hal yang membebani fikiran nya akhir-akhir ini.

Entah itu masalah internal, ataupun eksternal. Rara hanya merasa, kalau seakan dunia tidak penat memberinya berbagai macam cobaan.

Bisikan terdengar di seluruh penjuru kantin, begitu Rara duduk dengan santai di salah satu kursi kantin.

“eh, itu si attention seeker ya? Gila, pede banget duduk sendirian di kursi kampus.”

Ucap salah satu orang disana, yang Rara tidak tahu pasti siapa. Mengisi perutnya saat ini lebih penting, daripada cemooh orang disana.

“Gatau malu banget ya lo?” kata Shafira menghampiri meja Rara. “Udah bikin drama masih aja ada muka buat kemana mana.” sambungnya lagi sinis, dan mengelus rambut Rara yang tergerai dengan pelan.

“Bukan urusan lo.” jawab Rara singkat dan berdiri hendak pergi dari sana.

“Nyolot banget sih lu anjing.” ucap Shafira tak terima, dan mulai menarik pundak Rara untuk berhadapan dengannya.

“Apasih, kalo lo gabut jangan sama gue.” balas Rara dingin, sembari melepaskan cengkraman tangan Shafira dari pundaknya.

Tanpa di duga, kedua teman Shafira sudah membawa seember penuh air berwarna merah. Dan kemudian keduanya menyiramkan air dengan kasar pada bagian belakang tubuh Rara yang hendak berjalan menjauh.

“LO APAAN SIH?!” teriak Rara pias, dirinya sudah lelah dengan semua hal yang terjadi.

“Lah, emang gue ngapain? Gue kan cuma guyur lo doang, soalnya bau. Bau tukang drama.” sahut Shafira remeh, dan tertawa dengan puas.

Rara melihat sekeliling kantin, mereka hanya menatap Rara dengan berbagai macam jenis pandangan. Ada yang kasihan, dan juga ada yang merasa itu hal yang menarik.

Sampai Rara menangkap pemandangan yang baru saja memasuki area kantin. Mona yang tengah bergandengan tangan dengan Nathan berjalan menuju ke arahnya.

Entah apa yang mereka lakukan selama tiga hari dan tidak di ketahui Rara, sampai Rara harus melihat pemandangan di depannya ini.

Mereka berdua sudah cukup dekat untuk di katakan sebagai pasangan kekasih bukan?

Dengan segera, Rara melangkahkan kakinya untuk pergi dari area kantin.


“Gila, di siram air apaan tuh Rara tadi ya?” ucap salah seorang anak begitu memasuki kamar mandi.

Mereka tidak tahu, bahwasanya Rara ada di salah satu bilik kamar mandi tersebut dan mendengarkan segala pembicaraan keduanya.

“Pas banget asli, mana si Rara lagi pake baju putih lagi.” sambung salah satu dari mereka, “gue kalo jadi Rara, mending mati aja. Yang musuhin dia satu kampus coy.”

'andai semudah itu gue tinggalin tanggung jawab, mending gue juga mati aja.'

“Gue gatau sih, sampe kapan tuh anak bertahan. Mana lo liat kaga tadi?? Si Nathan masuk kantin gandengan tangan sama Mona anjir. Pasti tuh anak berdua udah jadian.” ucap wanita pertama, masih melanjutkan percakapan yang tadi sempat terputus.

“Lah emang kenapa kalo Mona sama Nathan pacaran?” tanya wanita kedua tidak mengerti.

“Lah, gosip si Rara sama Kak Dika bisa reda kan gara-gara anak kampus bilang kalo si Rara demen sama Nathan.” jelas wanita pertama, “kalo emang realita nya begitu, bayangin si Rara udah di musuhin satu kampus, eh cowo yang di taksir juga di rebut sama mantan sahabat nya.”

Rara mengepalkan kedua tangannya erat, perkataan keduanya begitu menoreh luka besar pada hatinya.

'Dari awal kan gue udah bilang, jangan pernah menaruh ekspetasi Rara.'