JC Halcyon

“Lama bener.”

Buset dah, si Keira baru duduk di kursi kemudi aja udah denger keluhan keluar dari bibir Hansa. Keira hanya mencebik, tak ingin membahas keluhan Hansa lebih lanjut. Ya gimana dong? Dia juga sadar kok, kalau kelamaan make up.

“Mau kemana dulu?” tanya Keira lebih lanjut.

Hansa menolehkan kepalanya sekilas pada Keira. Beneran, ni anak udah kaya mau fashion show aja.

“Ke mall aja mau?” tanya Hansa meminta persetujuan. Keira hanya menganggukan kepala, tanda setuju.

'Ini mall mana yang di maksud ya buset, di Malang kan mall ga cuma satu doang.'

Ya udah lah, Keira lebih memilih untuk menyibukkan dirinya sendiri dengan melihat video tiktok yang lewat di berandanya.

Merasa ada yang kurang lengkap dari perjalanan mereka ini, Keira kembali menolehkan kepalanya menghadap Hansa.

“Opo maneh to?” tanya Hansa mengerti, karena Keira pasti ingin berbuat sesuatu.

“Hehehe, gue mau setel lagu. Boleh gak?” tanya Keira lagi, meminta persetujuan.

Hansa mengangguk-angguk kecil, memberikan akses lebih lanjut pada Keira untuk membuka ponselnya dan memutar playlist yang ada di Spotify Hansa.

“Estetik bener playlist lo.” puji Keira.

Ya ga salah sie....


“Gue gaperlu topi Nan.” ucap Adelio menolak perintah Anan untuk membeli topi camping.

Anan mengerinyitkan dahi tidak mengerti, padahal naik gunung tuh panas banget loh. Masa iya Adelio gamau topian?

“Gosong.” kata Anan singkat, mengundang gelak tawa dari Adelio.

Pertemanannya dengan Anan hampir menginjak tiga tahun sekarang. Setelah pertemuan nya yang awkward, sewaktu dirinya ke Malang dan mengajak Nada untuk makan mie ayam.

Siapa yang mengira, kalau mereka berdua bisa sedekat ini? Apalagi mereka berdua sangat cocok bila di pasangkan.

Anan yang kadang berlagak jadi orang bisu, dan Adelio yang ada di sampingnya selalu menerjemahkan segala hal yang tidak bisa Anan ungkapkan secara langsung.

Anan mengambil topi putih dari rak, dan mencobanya di kepalanya sendiri. Topi itu tampak pas melingkar di kepalanya.

“Lo aja yang beli deh.” bujuk Adelio lagi, masih tidak menyerah.

Anan kembali memusatkan perhatiannya pada Adelio. Dengan cekatan, dirinya mengambil satu topi dengan acak dan memasangkannya pada kepala Adelio.

“Cocok.”

“Anjir, ini kaya topinya rapper anjir? Yakali gue mau ngerapp di gunung.”

“Gapapa, biar setannya terhibur.”

“Engga gitu konsepnya anjir.”

“Permisi mas, saya mau ambil topi dulu ya.” ucap seseorang menyela pembicaraan mereka, dan mengambil topi putih yang baru saja di coba oleh Anan.

Dengan segera, Anan dan Adelio menyingkir dan memberikan akses pada laki-laki itu untuk mengambil topi.

“Kenapa lo taroh balik di rak sih? Padahal topi itu tadi cocok banget di lo.” ucap Adelio setelah pria itu pergi menjauh untuk menuju meja kasir.

“Gapapa, gue ga butuh topi juga.” ucap Anan tidak perduli, dan mengajak Adelio untuk menuju meja kasir dan membayar topi milik Adelio.

“Yaelah, terus lo butuhnya apa.” tanya Adelio memincing, dia sebel banget kalo Anan udah mode ignorant gini.

“Lo tau betul, apa yang gue butuhin Del.” kata Anan, membuat langkah Adelio terhenti.

'Pasti Nada kan?'


“Lama banget sih lo, ah bego.” ucap Keira ketus, karena begitu sampai di mall Hansa langsung pergi meninggalkan dirinya untuk masuk ke toko aksesoris.

Dengan tersenyum, Hansa langsung memakaikan topi putih yang baru saja dibelinya dari toko aksesoris tadi.

“Cakep.” puji Hansa singkat.

Keira meraba topi putih yang kini melingkar dengan nyaman di kepalanya. Duh dia jadi merasa bersalah, soalnya Hansa beliin topi buat dia eh tapi malah dia ketusin.

“Padahal lo ga harus beliin ini buat gue.” ucap Keira jujur, dia ga enak hati soalnya. Apalagi topi yang di beli Hansa termasuk brand yang lumayan terkenal.

“Gapapa, ayo ke bawah. Ke cafe nya.” ajak Hansa lagi menarik tangan Keira untuk mengikutinya.


“Ini Anan sama Adelio pacaran dimana sih?” tanya Hengky asal, karena mereka berdua belum kembali ke cafe sejak tadi.

Tenang aja, biarpun geng mereka banyak kaya pasukan semut, tapi cafe milik Hardin nih cukup luas kok. Bahkan kalau kalian mau main golf disini juga gapapa.

GAPAPA KALO KENA GAMPAR PENGUNJUNG LAIN MAKSUDNYA.

Balik lagi ke konteks, lagi pun wajah mereka kan pada ganteng ni. Si Hardin tuh sambil menyelam mancing ikan, dia dengan cerdik memanfaatkan ketampanan teman temannya untuk menarik pelanggan ke cafe.

“Bacotan lo pacaran, ini kalo ada yang denger, dan gatau, bisa di kira homo beneran si Anan sama Adelio.” sahut Baejin kesal mendengar celetukan asal dari sahabatnya.

“Abis nempel mulu kaya jari sama upil.” ucap Hengky lebih lanjut, dan mengundang geplakan dari Dinan. Hengky menghindari pukulan dari Dinan dengan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.

“Analogi lo dari dulu tuh emang ga pernah bener.” ucap Dinan jijik.

“Males lah, temen gue main tangan semua bisa nya.” keluh Hengky sedih.

Javin hanya memandang sahabatnya dengan bingung. BENERAN BINGUNG MAU NGADEPINNYA GIMANA HADEHH.

Untung mereka udah kenal lumayan lama, jadi udah terbiasa. Ini mah kalo kenal sebentar doang, bisa kena mental semua.

“Eh, si Sylvia chat gue.” ucap Haikal tiba-tiba menyela, dan menunjukkan room chat nya dengan Sylvia.

“Buset dah brow, akeh tenan wedokan mu.” puji Binbin dari samping. (Buset dah brow, banyak bener cewe mu.)

“Baca yang betul tolol, dia nanyain Anan.” kata Haikal menyahuti dengan kesal.

“Tuh cewe ga cape apa ya, ngejar ngejar Anan dari semester satu?” tanya Yohan baru menimbrung. Soalnya dia baru selesai main game bareng Aldeo.

“Gatau malu emang.” sahut Hermas dari samping. Haikal hanya menggelengkan kepalanya pasrah, mulutnya Hermas emang gabisa di kontrol. Jadi temen-temennya yang lain, kalo denger kalimat ga ngenakin dari Hermas cuma bisa let it flow doang.

SEREM BENER.

“Kasih tau aja kita disini.” kata Dinan menanggapi Haikal, “Gue pengen Anan move on. Siapa tau Sylvia orang yang bisa bantu Anan buat move on.” sambungnya lagi, mengundang beragam tatapan dari sahabatnya.

Akhirnya setelah merenung panjang, Haikal menyetujui ide Dinan dan mulai memberikan lokasi online pada Sylvia.

Dinan bener, Anan udah harus mulai membuka lembaran baru di hidup dia. Sampai kapan dia hidup dengan penungguannya yang mustahil?


“Pesen apa?” tanya Hansa begitu tiba di cafe bawah mall bersama Keira.

Keira merapikan rambutnya yang agak berantakan di bawah topi. Merasa tidak nyaman, dirinya melepas ikat rambutnya dan mulai merapikan semula rambutnya yang kini tergerai.

“Buruan anjir, di belakang kita ada yang ngantri tuh.” ucap Hansa tidak sabaran.

“Yaudah anjir, gue Red velvet.” Ucap Keira ketus, dan meninggalkan Hansa yang masih berdiri di depan kasir untuk memesan minuman Keira.

Red velvet nya satu, terus ice coffee nya juga satu ya Mas.” ucap Hansa, kemudian mengeluarkan kartu ATM nya untuk membayar pesanan. Setelah selesai, dirinya dengan segera menyusul tempat dimana Keira berada.

“Anan, lo mau pesen apa?” tanya Hardin setelah melayani dua pembelinya tadi.

Anan melepas earphones yang sedari tadi memang menempel di telinga nya, “Americano 8 shot espresso. Terus buat Adelio, dia bilang mau Taro.” ucap Anan singkat.

Hardin menggelengkan kepalanya dengan tidak mengerti, “masih minum racun itu lo?” tanyanya bergurau, karena kecintaan Anan pada kopi cukup membuatnya ngeri. “eh gausah di bayar, kan gue traktir hari ini.” ucap Hardin langsung, begitu Anan menyodorkan ATM kepadanya.

Thanks.” ucap Anan tulus.

“Dah sana tunggu aja di meja, ntar gue anterin lagi.” kata Hardin dan berlalu ke belakang.

Anan mengerti, dan hendak menuju meja dimana tempat sahabatnya berkumpul. Kemudian atensinya teralihkan dengan ikat rambut warna maroon yang terjatuh di lantai.

'Pasti punya cewenya cowo yang tadi.'

Anan mengenggam tali rambut itu, dan hendak menghampiri keduanya untuk mengembalikan tali rambut pada si empunya.

“Anan, mau kemana?” belum sempat dirinya beranjak, Sylvia sudah ada di belakangnya dan memegang lengannya.

“Lo kok ada disini?”

“Itu tadi si Haikal chat katanya Anan lagi kumpul disini.”

“Sama siapa?”

“Naik grab sama si Gina hehe.”

Gina nih cewenya Dinan. Anak gue udah gede, sekarang udah punya pacar sendiri.

“Oh, gue mau ada urusan bentar.” Ucap Anan melepas pegangan Sylvia dan menolehkan kepalanya ke seluruh penjuru cafe untuk mencari pasangan kekasih yang tadi masih ada di jangkauan pandangannya.

“Urusan apa?” tanya Sylvia penasaran.

'Oh, udah pergi ternyata.'

Anan kembali memasukkan ikat rambut itu ke dalam kantongnya, “ga ada.” jawabnya singkat dan berjalan lebih dulu meninggalkan Sylvia untuk menuju meja tempat temannya berkumpul.

Akhirnya rombongan Nada memutuskan untuk pulang pukul delapan pagi. Padahal tadi pagi tuh matahari udah terang loh, dia bisa ngeliat sunrise juga. Tapi setelah turun dari pondok Bunder, hujan langsung menyapa perjalanan mereka.

Nada sih beruntung soalnya dia juga bawa persiapan jas hujan. Dan Delvin di sampingnya juga. Akhirnya Nada dan Delvin berjalan untuk turun lebih dulu ke Pos Paltuding. Yang lainnya masih di Pondok Bunder, nungguin hujan reda sembari nyopotin tenda.

“TOLONG!!”

Satu teriakan berhasil di dengar keduanya. Nada dan Delvin saling berpandangan, Nada dengan reflek langsung memegang lengan Delvin. “Kak??” tanya Nada berusaha setenang mungkin.

Nada masih berani, soalnya Delvin ini orang nya rasional banget. Jadi Nada ga perlu  takut kena pressure soal hal-hal mistis kalo bareng Delvin.

“Gapapa, ayo lanjut aja.” ucap Delvin menenangkan. Keduanya masih berusaha menuruni jalanan curam, yang juga agak licin karena terkena air hujan. Belum lagi kabut yang menutupi pandangan keduanya.

Tiba-tiba dari arah depan, ada seorang lelaki dengan jas hujan berwarna orange menanjak dengan tergesa menghampiri Nada dan Delvin. Si Nada sendiri nih udah mau kejengkang kebelakang sangking kagetnya, asli dia kira itu tadi zombie anjir.

“MAS, MBAK?? BISA NOLONGIN TEMEN SAYA NGGAK?? TEMEN SAYA KENA HIPOTERMIA!!” ucap lelaki itu dengan raut wajah panik, meminta tolong pada Delvin dan Nada.

Delvin yang memang jurusan kedokteran, dia langsung faham kalau penurunan suhu tubuh secara drastis itu bisa menyebabkan kematian. “Temennya dimana mas?” tanya Delvin kemudian.

“Itu mas, di bawah ga jauh dari sini.” kata Mas-mas tadi masih kelabakan.

“Ayo kesana, ayo Nad.” ajak Delvin menggenggam tangan Nada.

Nada menggelengkan kepalanya, “Gue nungguin yang lainnya disini aja deh kak.” putus Nada sepihak, membuat Delvin melotot bingung. “Kalo gue ikut lo, ntar gue malah menghambat perjalanan lo buat nanganin orang Hipotermia ini.” sambung Nada menjelaskan, dan mendorong tubuh Delvin  untuk pergi.

“Apaan, ngga! Biar gue harus sambil ngesot ngesot gendong lo, gue ga bakalan ninggalin lo sendirian disini. Bukannya gue ga percaya sama lo, hanya diri gue yang ga mengizinkan buat biarin lo nungguin disini.” tolak Delvin dengan tegas.

Nada nih udah mau nolak lagi, tapi kemudian Delvin langsung narik tangan dia untuk kembali berjalan menuruni rute curam.

Delvin terus terusan memastikan, jikalau Nada yang ada di belakangnya dan juga tangan Nada yang saat ini Delvin genggam tidak akan terlepas, apapun keadaannya.

“Ini Mas, temen saya yang kena Hipotermia tadi.” jawab laki laki tadi, setelah mereka bertiga berhasil mencapai tempat dimana pasien berada.

Delvin memperhatikan seorang perempuan yang tengah menggigil di peluk oleh kedua temannya yang lain. Menggigil sebenernya adalah pertanda baik bahwa sistem pengaturan panas seseorang masih aktif. Jadi Delvin ga terlalu merisaukan hal itu.

“Coba lepas jaketnya yang basah dulu.” perintah Delvin. Dengan segera, kedua teman perempuannya tadi melepas jaket si wanita yang memang sudah setengah kering di badan.

Delvin ikut melepaskan jaket yang membalut tubuhnya dari balik mantel plastik. Nada yang melihat hal itu, memukul pundak Delvin pelan. Yailah, dimana mana mah pikirin diri sendiri dulu, bukan orang lain.

Dengan cekatan, Delvin menyelimuti wanita tersebut dengan jaketnya yang lumayan tebal. Jarak antara tempat mereka berdiam sekarang, dengan pos Paltuding cukup dekat.

“Untuk sekarang, turun dulu. Sejauh ini udah gapapa, walaupun masih gemeteran dikit. Kalau kita berusaha mengurangi gejala disini, sama aja boong. Karena disini ga ada tempat yang hangat.” jelas Delvin panjang lebar.

Akhirnya ketiga teman si wanita tersebut, bersama sama menggendong si wanita itu untuk turun lagi menuju pos Paltuding.

“Ternyata bener ya Kak, kalau mau liat sifat asli seseorang, ajak aja naik gunung.” celetuk Nada yang tengah mengekori keempatnya bersama Delvin yang masih setia menggengam tangannya.

“Si cewe beruntung banget, bisa dapet temen loyal kaya gitu.” balas Delvin setuju dengan pernyataan Nada. “Hati-hati, awas licin.” peringat nya juga.

Emang aneh ni Delvin, padahal dia yang di depan, dia yang liat jalan duluan dan yang mastiin supaya Nada ga kepleset.

Tapi ya gapapa, Nada mah demen demen aja Delvin over concern kaya gini. Nada berasa guci mewah yang takut sewaktu-waktu pecah, makanya harus extra di awasin.


“Hah sumpah??” tanya Haikal dengan heboh, begitu Nada menceritakan kejadian kalau dirinya tadi ikut menyelamatkan pasien Hipotermia.

Pasiennya mah sekarang udah di bawa turun, supaya dapet penanganan dari medis lebih lanjut dari puskesmas terdekat.

Dateng dateng kesembilan nya udah bingung, karena ngeliat Delvin sama Nada peluk pelukan. Maksudnya Nada yang meluk Delvin dari belakang.

Nada ga berniat gatel atau apapun kok disini, karena Nada sendiri menghindari kalau gantian Delvin yang kena Hipotermia karena jaket dia masih di bawa si pasien.

“Terus gimana?” tanya Haikal lebih lanjut.

“Yaa ga gimana gimana, abis itu kita turun ke pos Paltuding. Nah sampe disini ternyata udah ada petugas yang berjaga, akhirnya si embak embak tadi di bawa ke puskesmas deh. Selesai.” cerita Nada lagi.

Yang lainnya menganggukkan kepala mengerti, “Adek abang udah gede aja ya.” ucap Candra bangga, sembari mengusap kepala Delvin lembut. “Udah bisa kalau di suruh menghadapi pasien secara langsung.” sambungnya lagi.

Gila deh, siapa sih yang ga seneng di puji kaya gitu. Yang bisa Nada lihat sekarang, pipi Delvin lagi bersemu merah setelah mendengar pujian Candra.

“Langsung balik aja nih sekarang?” tanya Jonathan meminta persetujuan. Yang lainnya hanya mengangguk menyetujui.

“Gimana Nad? Seneng ga hari ini.” tanya Jeffrey menuntun Nada untuk masuk ke mobil. Mulus bener siasatnya Jeff buat bikin Nada naik mobil bareng dia.

Nada menganggukan kepala antusias, “Banget! Banyak pelajaran yang gue dapat dari pendakian kali ini. Gue juga jadi lebih deket sama Hermas. Belom lagi gue liat Kak Delvin yang keren banget selamatin orang kena Hipotermia, dan buat gue makin yakin buat ngambil fakultas kedokteran nanti.” jawab Nada panjang lebar.

Yudha nyengir doang liatin Nada ngoceh, punya adik cewe ternyata ga melelahkan yang teman temannya ceritakan. Nada justru bikin kebahagiaan diantara keluarganya yang lain.

Bahkan Hermas yang jarang senyum aja, dari tadi ketawa kecil liat Nada kena jahil Haikal. People come and go, tapi Yudha selalu percaya ada alasan di balik itu semua.

Haikal memasuki rumah dengan sedikit tidak bersemangat. Jerome yang biasanya melihat Haikal hiperaktif mendadak bingung,

'Ni anak ga biasanya kaya gini.'

“Kenapa Kal?” tanya Jerome langsung, mencoba menilik apa yang tengah terjadi pada adiknya itu.

“Bang, lo percaya ga kalo doppelganger itu nyata?” tanya Haikal langsung.

Jerome memiringkan kepalanya tidak mengerti, “maksud lo?”

“Ya kaya ada orang yang beneran mirip sama lo, dan dia tuh semirip itu sampe postur tubuh, dan suara tuh beneran kaya kloningan. Dan lo ngerasa kalo orang itu beneran kembar plek ketuplek sama lo.” jelas Haikal panjang lebar.

Jerome beringsut mendekati adiknya, dan menempelkan tangannya yang dingin ke dahi Haikal.

'normal kok suhu tubuhnya.'

“Gue ga lagi sakit anj-”

“Iya iya maaf, gue cuma mau mastiin aja. Karena hal yang barusan lo omongin itu agak ga masuk akal.” potong Jerome. “Gue ga pernah, maksud gue belom pernah ketemu doppelganger gue, tapi gue rasa kalaupun gue ketemu, pasti bakalan ada perbedaan antara gue dan doppelganger gue, ga mungkin sama persis karena Tuhan sendiri menciptakan kita berbeda beda kan?” sambungnya lagi panjang lebar.

Haikal hanya diam termenung, dirinya kembali mengingat pertemuan dengan gadis yang mirip Nada tadi. Harusnya ia mengejar gadis itu dan memastikan nya.

Sekarang dia nya jadi bingung sendiri kan, karena kebawa penasaran. Tadi sih, sok sok an bilang ga pengen berharap lah, apa lah. Padahal kalau dia lebih berani, pasti dia bisa menenangkan kegundahan hatinya saat ini.

“Kenapa sih Kal?” tanya Jerome lagi ngeliat Haikal balik bengong.

“Gue gatau, ini gue halu atau gimana. Tapi Bang, gue tadi waktu di pujasera ketemu orang yang postur tubuh dan suaranya mirip Nada banget.” kata Haikal takut-takut, karena semenjak kepergian Nada hampir tiga tahun lalu, membahas Nada adalah hal yang tabu di rumah ini.

Jerome mengehela nafas kemudian menggelengkan kepala. “Ga mungkin Kal, yang udah pergi ga mungkin kembali. Lo halu, cuma halu.” ucapnya final.

Candra mencengkram kuat pegangan tangga setelah sedari tadi menguping pembicaraan kedua adiknya. Sesakit itu mereka kehilangan, dan sesakit itu mereka berusaha melupakan.


Selesai sampai Delvin, yang lain sudah di sibuk kan oleh dunia pekerjaan. Termasuk Delvin sendiri yang saat ini sudah menempuh ujian sertifikasi dan tengah melalui masa internship.

Buat kalian yang ga tau, sedikit informasi aja. Masa internship ini biasanya berlangsung selama 1 tahun dan tetap mendapatkan bimbingan dari dokter senior.

Kelebihannya, saat masa internship kalian itu udah punya jam kerja sendiri selayaknya dokter sungguhan. Kalian juga lebih diberi kebebasan dan nggak diawasi seketat saat kamu menjadi co-ass dulu.

Delvin menghampiri kamar Haikal yang berada di lantai dua untuk mengambil sempol pesanannya.

Emang ni adek durhaka, bukannya di kasih langsung ke Delvin, malah di keep di dalem kamar. Sengaja banget mau bikin Delvin jauh jauh nyamperin.

“Bang, menurut lo doppelganger ada ga?” tanya Haikal setelah Delvin duduk di pinggir ranjangnya untuk makan sempol.

“Random banget pertanyaan lo.”

“Jawab aja coba, gue lagi butuh validasi nih.”

“Ya kalo menurut gue mah ada aja sih, kan dunia ini luas. Apapun bisa terjadi di dalamnya, termasuk ketemu doppelganger seseorang.” jelas Delvin.

Haikal menganggukkan kepala mengerti, penjelasan dari Delvin sudah lebih dari cukup untuk menghibur kegundahan hatinya.

“Kenapa sih? Lo ketemu ddoppelganger lo atau gimana?” tanya Delvin lebih lanjut, masih penasaran. Karena ga biasanya Haikal mikir sampe sekeras ini.

Haikal menggelengkan kepala, “bukan gue, tapi Nada.”

Suapan Delvin terhenti di udara begitu mendengar nama Nada di sebutkan.

Masih belum puas, Haikal melanjutkan ucapannya. “Dan orang yang gue temuin tadi, beneran semirip itu sampe dalam beberapa waktu gue dempet speechless dan sedikit halu kalo itu Nada beneran.”

Delvin menelan sisa sempol di mulutnya dengan susah payah. Belum kering luka nya tentang kepergian Nada, kali ini apa? Haikal bertemu doppelganger Nada?

“Iya, lo halu doang pasti.” jawab Delvin singkat dan beranjak pergi dari sana, meninggalkan Haikal yang masih melamun di atas kasur.

Anan tersenyum kecil melihat Kayla berjalan cepat ke arahnya setelah turun dari mobil orang tuanya.

Kaya anak kecil, pikirnya. Kayla siap dengan dress putihnya. Dirinya dan Anan sudah memberitahu yang lainnya kalau akan berangkat lebih lambat, karena memang berangkat nya terpisah.

“Cantik nggak gue? Mau ke rumah Nada nih.” ucap Kayla sembari menutarkan tubuhnya, memamerkan dress putihnya yang bisa mengembang.

“Iya, cakep. Nada pasti suka.” puji Anan tulus.

Kayla kembali mengatupkan bibirnya rapat, menyesal sudah bertanya. Karena pada akhirnya, Anan akan menjawab dengan konteks yang tidak jauh dari bahasan mereka sedari tadi, Nada. Dan hal itu justru membuat Anan semakin kacau.

“Gapapa?”

“Gapapa.”

“Maaf Nan.”

“Bukan salah lo Kayla, cuma emang gue yang terus bawa dia ke segala hal di hidup gue.” jawab Anan final, lantas dirinya mulai menjalankan mobilnya membelah ramainya jalan.

Kayla kembali membisu, dirinya sudah menyiapkan banyak hal untuk di bicarakan dengan Anan hari ini. Tapi begitu sekarang banyak waktu tersisa, dirinya hanya bisa bungkam tanpa tau ingin membuka percakapan seperti apa.

“Gue udah isi surat verifikasi kemaren, kayanya awal bulan nanti kita bisa kuliah offline bareng deh Nan.” ucap Kayla pada akhirnya, berhasil membuka satu pembicaraan.

Anan menganggukkan kepalanya mengerti, “Gue juga udah, bareng anak-anak lain kemaren.” jawabnya singkat. Beberapa dari sahabatnya yang lain pun juga begitu. Mereka memutuskan untuk berkuliah tatap muka untuk kedepannya.

“Ren akhir-akhir ini aneh banget.” ucap Kayla lagi, mencari pembicaraan yang lain. Dirinya tidak tahan bila harus berdiam dengan Anan di dalam mobil. Karena aura mengintimidasi Anan terlalu kuat.

“Aneh kenapa?” tanya Anan menanggapi.

“Dia kaya lebih tertutup sama gue. Gue gatau apa gue bikin salah, tapi gue rasa ini ada kaitannya sama Haikal.” ucap Kayla menjelaskan.

Sejak hubungan Kayla dengan Ren bermula, memang hubungan antara Ren dan Haikal menjadi memburuk.

Ini bukan salah siapapun, beneran. Ini cuma persoalan ego tiap masing-masing orang dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di hidup mereka. Anan tau hal itu, dan untuk ini dia tidak akan ikut campur lebih jauh.

“Haikal sama Ren emang lagi perang dingin.” kata Anan jujur, mencoba menjelaskan hal yang saat ini tengah terjadi kepada sepupunya itu. “Gue rasa, masalah antara mereka berdua emang kompleks. Lo gabisa masuk ke dalamnya, jadi saat ini biarin aja. Toh mereka berdua juga udah dewasa, harusnya mereka bisa ngurusin hal apa yang buat hubungan mereka jadi kaya gini.” jelas Anan panjang lebar.

Kayla menghela nafas, dirinya mengerti kalau yang di katakan Anan sepenuhnya benar. Tetapi tetap saja, apapun yang terjadi antara Ren dan Haikal saat ini tak lepas dari andil dirinya di masa lalu.


Kayla menaruh satu buket bunga warna putih di atas makam Nada yang memang sudah di penuhi bunga mawar putih yang lainnya.

“Siapa sih anjir yang ngide beli buket buka segede kepala reog gini?” protes Kayla begitu melihat bunganya yang di tumpuk tidak memberikan efek perubahan apa-apa.

“Dinan.” jawab Anan singkat.

“Pantesan, konsepnya lebay kaya anaknya.” cibirnya lagi. “Nadaaa, gue kangen banget. Bulan depan kita udah mulai kuliah offline loh. Sumpah kayanya dunia kuliah seru deh. Tapi serunya nomer dua, karena yang nomer satu tetep masa sama lo di SMA.” Ucap Kayla lagi melanjutkan.

Ganti Anan meletakkan Mysotis berwarna biru keunguan di atas Mawar putih lainnya. Warna nya yang berbeda, menjadikannya menonjol di antara lainnya.

“Tumben bukan anyelir.” komentar Kayla.

“Dimarahin Haikal.”

Kayla menahan tawanya, mungkin Haikal sudah bosan melihat kombinasi makam Nada yang terlihat seperti bendera merah dan putih. Makanya sama Haikal, Anan ga di bolehin bawa anyelir lagi.

“Nad, udah hampir tiga tahun ya.” ucap Anan lembut, “Tau nggak apa artinya bunga Mysotis yang hari ini gue bawa? Bunga ini artinya forget me not.” sambungnya lagi.

Kayla menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Anan. Dirinya tidak tahu kalau sebuket bunga berwarna biru keunguan itu memiliki makna mendalam.

“Tau nggak kenapa hari ini gue bawa bunga Mysotis? Padahal biasanya bawa Anyelir merah. Yang pertama karena di marahin Haikal.” kata Anan sembari mendengus kecil, “yang kedua, bunga nya cantik kaya lo. Dan yang ketiga, lo masih tetap satu satunya dalam ingatan gue.” Jelasnya lagi, membuat Kayla yang disamping nya berkaca kaca.

Kayla dan Anan terdiam dalam waktu yang cukup lama, mereka berdua hanya sibuk mendalami fikiran masing masing tentang apa yang terjadi, dan akan terjadi.

Matahari sudah menujukkan tanda tanda akan terbenam, Kayla beringsut berdiri hendak mengajak Anan yang terlihat masih enggan untuk meninggalkan makam Nada.

Nan, gue mau nanya sesuatu.” ucap Kayla lirih, sembari memandangi makam Nada lamat. “Menurut lo kenapa manusia lebih menyukai senja daripada fajar?” tanya Kayla kemudian. Anan hanya terdiam mendengarkan kalimat apa yang akan Kayla lontarkan selanjutnya.

Karena manusia lebih banyak meratapi kepergian, daripada menyambut yang datang.”

Jeje melirik keranjang cucian yang berada di sudut kamar. Perasaan dia udah berusaha untuk mandi satu kali sehari doang, tapi kenapa sih cuciannya tetep banyak? Bingung banget.

Hari ini Jeje emang pulang lebih cepat, karena memang ospek prodi nya terjadwal ga begitu lama kaya ospek Universitas kemarin.

Maka dari itu, dia tadi balik naik Go-Jek dan ga bareng sama Hafiz. Kenapa? Karena prodi mereka beda, dan ospek prodi Hafiz masih belom selesai. Ya kali Jeje mau nungguin Hafiz selesai ospek.

Akhirnya dengan langkah malas, Jeje menghampiri keranjang cucian itu, dan dengan sigap memasukkan baju kotornya ke dalam kantong kresek. Jeje udah memutuskan, buat laundry aja. Jangan sebut dirinya pemalas ((walaupun iya)). Jeje udah cape banget, dari kemaren di sibukkan sama ospek, belom lagi malam nya dia sempet demam karena kecapean. Dia gamau tumbang lagi, karena perkara kecapean nyuci baju.

Jeje menuruni tangga dengan perlahan, sesampainya di lantai satu dirinya berpapasan dengan Tsani yang juga menenteng kantong kresek berisikan baju. Jeje gatau, itu baju bersih ataupun baju kotor.

“Lah Je, mau laundry juga?” tanya Tsani memperhatikan kantong kresek yang di bawa Jeje.

“Iya bang,” jawab Jeje singkat. “Bang Tsani mau laundry juga apa gimana?” tanyanya balik berbasa basi.

“Iya Je, yaudah lah kita barengan aja ke tempat laundry. Nih pegangin baju kotor gue dulu, gue mau minjem motornya Jordan.” kata Tsani langsung, sembari menyerahkan kantong kresek berisi baju kotornya ke Jeje.

Tidak lama kemudian, Tsani sudah menuruni tangga lantai dua, dan menuju Honda CBR150R warna hitam milik Jordan.

'Anying, ini seriusan gue naik motor kaya gini sama Bang Tsani?? Ntar kalo bokong gue mlorot gimana njir, gue gamau di katain gatel perkara pegangan Bang Tsani naik motor. Mana dia udah ada cewe lagi.'

“Je, ayo naik. Ngapa bengong disitu sih?” tanya Tsani yang sudah duduk dengan nyaman di kursi kemudi.

“Ini kita beneran nih naik motor ginian? Buset dah, mau laundry aja berasa sunmori.” ucap Jeje tak nyaman.

“Gapapa, adanya ini doang. Daripada naik astrea nya Bang Wisam yang ada di gudang. Ntar malah mogok di jalan, kita dorong lagi.” sambung Tsani berkelakar, “Cus naik, ga licin kok dudukan belakangnya. Kalo ga nyaman, pegangan pundak gue aja.” sambungnya lagi, menenangkan kerisauan Jeje.

“Biasanya gue liat orang beli motor ginian, Jok nya selalu licin. Jadi orang yang di belakang selalu merusut kedepan.” ucap Jeje bingung, soalnya begitu dia duduk rasanya keset.

“Yaelah, Jordan mah mau ngelicinin Jok buat siapa. Cewe aja ga punya.”


Sebenernya di bandingkan dengan Wisam, Juni, Dean, ataupun Jordan. Jeje nih ga deket deket banget sama Tsani. Apalagi buat ngobrol, kayanya bisa di hitung deh seminggu Jeje sama Tsani ngobrol berapa kali doang.

Makanya dia agak canggung begitu Tsani ngajakin dia buat laundry bareng. Jeje ga baper, serius dia justru menjaga jarak aman karena si Tsani juga udah punya cewe.

“Dulu gue kaget banget, waktu liat Bang Wisam punya kelebihan yang ga semua orang punya. Kaya dia tuh bisa berkomunikasi sama mahluk halus, dan lain sebagainya.” ucap Tsani membuka pembicaraan, ga betah kali diem dieman di tempat laundry setelah sepuluh menit yang lalu mereka sampe. “Tapi setelah liat lo sama Hafiz, gue udah ga kaget lagi. Ternyata emang banyak orang yang punya kelebihan kaya gitu di sekitar kita. Cuma kitanya aja yang suka ga sadar.” sambungnya lagi panjang lebar.

Jeje menganggukkan kepalanya mengerti, apa yang di bilang Tsani ada benernya.

“Lo sendiri gimana? Gimana rasanya punya sixth sense kaya gini?” tanya Tsani lagi, masih belum puas.

Jeje menggelengkan kepalanya tidak setuju, “Beda orang beda tanggapan Bang, dibanding menyebut kelebihan, gue malah menganggap ini kekurangan dan penyakit sih.” kata Jeje sedih, dia beneran desperate banget tentang hal yang udah menjadi insecure dia bertahun tahun ini. “Kelebihan yang lo maksudkan di Bang Tsani, dan Hafiz itu berbeda sama hal yang terjadi sama gue.” lanjutnya lagi, masih sedih.

“Beda? Apanya yang beda Je?” tanya Tsani tidak mengerti.

“Ya beda aja, Bang Wisam sama Hafiz bisa mengontrol apa yang mau mereka lakukan. Baik berhubungan sama hal dari dunia lain, ataupun hal hal yang berkesinambungan. Tapi gue engga, dari situ aja udah beda. Di pendapat gue, Indigo itu bukan kelebihan, tapi penyakit. Gue ngerasa aneh aja, ga kaya orang normal lainnya. Sering di anggap ngibul, makanya sebisa mungkin gue selalu nutupin hal ini.” jawab Jeje sembari menjelaskan panjang lebar. “Semua keluarga gue dari pihak Ayah, punya kejadian yang serupa kaya gini. Kakak cowo gue juga indigo, tapi di umur ke dua puluh empatnya kuasa dia buat melihat hal selain dunia ini ilang. Gue juga berharap, bisa kaya gitu. Karena punya hal kaya gini, bukan hal yang patut di banggain.” lanjutnya lagi.

Tsani terdiam, dia ga paham kalau beban yang di tanggung Jeje untung sebuah tittle “Anak Indigo” Itu se-melelahkan ini. Tiba-tiba dia merasa bersalah, karena udah bahas hal kaya gitu.

“Btw, gue sempet liat skandal lo waktu di kosan beberapa minggu lalu.” kata Jeje lagi, mencoba mencairkan suasana.

Tsani menolehkan kepalanya dengan kaget, “Kenapa nyebutnya skandal banget sih???” tanya Tsani tidak terima.

“Terus apaan kalo bukan skandal? Aib?” balas Jeje lagi, makin membuat Tsani naik pitam.

“Ga gitu juga anj-”

“Iya iya becanda, maaf Bang.” Ucap Jeje mengalah, Tsani lucu banget kalo lagi kelabakan.

“Seantero indekos kayanya paham kalo gue tuh bucin banget sama cewe gue, dan kayanya lo orang terbaru yang tau hal itu.” kata Tsani mulai menjelaskan, “Gatau sih, kaya dia tuh support system banget bagi gue. Dia selalu ada di waktu waktu sulit di hidup gue. Gue ga bisa bayangin, apa gue bakalan tetep bisa lewatin hal itu, kalo ga ada cewe gue di sampingnya.” sambungnya lagi.

Bisa Jeje liat, cara Tsani mendeskripsikan cewenya itu beneran tulus banget. Jeje jadi kepikiran, Kira-kira dia bakalan punya seseorang yang bisa mencintai dia setulus yang di lakukan Tsani ke cewenya ga ya?

“Jadi jangan bilang itu skandal atau aib ya njir, gue beneran pure jaga cewe gue. Dan dia nginep di kosan itu juga karena kosan dia udah di tutup di atas jam sepuluh. Dia abis ngerjain proker sama temennya.” Sahut Tsani, mengagetkan lamunan Jeje.

Jeje cuma nyengir, “Iya, maaf Bang. Tadi ga maksud nyindir gitu kok. Terus gimana? Lo ada rencana buat jenjang yang lebih serius ga?” tanya Jeje lagi, mengalihkan perhatian biar kaga di nyinyirin Tsani mulu.

“Nah, rencananya sih lulus kuliah gue mau lamaran Je.” jawab Tsani menggebu-gebu.

“Bentar, lo lulus kuliah langsung nikah gitu?” tanya Jeje tak percaya.

“Ya, iya? emang kenapa?”

“Nyari kerja dulu lah Bang, masa fresh graduated langsung kawin. Lagian buat meyakinkan orang tua pacar lo, kalo lo tuh pantas buat anak cewe nya.” kata Jeje panjang lebar, menasehati.

Tsani yang ada di sampingnya tertawa dengan puas, tangannya menepuk nepuk pundak Jeje keras. “Maksudnya lamaran tuh tunangan doang Je, Ya Allah. Cewe gue juga butuh lulus kuliah dulu.”

'Anjing, sok sokan nasehatin ternyata salah arah. Malu banget gue bangsat.'

“Tapi di balik itu juga, apa yang lo bilang emang ada benernya sih Je. Gue perlu kerja, untuk bangun rumah yang pantas buat cewe gue di masa depan.” sambung Tsani senyum ganteng ke arah Jeje.

“Enak juga ya lo Je di ajak curhat, pantes aja Juni sering curhat ke lo.” Ni orang udah punya cewe tapi gatau diri banget, bikin jantung Jeje ketar ketir aja.

Rezef mengetuk pintu rumah mertuanya itu dengan resah, gatau dah mau ngomong apaan abis ini.

“Loh, Syal. Ini loh suami mu udah dateng.” ucap Bunda Syal setelah membuka pintu ruang tamu, dan mendapati Rezef di depannya. “Ayo masuk Rezef, bunda bikinin teh dulu ya.” ucap Bunda Syal lagi, dan berlalu menuju dapur.

Syal menuruni tangga lantai dua dengan perlahan, pikirannya masih melayang di percakapan terakhir dirinya dengan Jeremy tadi di chat.

Semalam dia memutuskan untuk menginap di rumah orang tuanya, dan berdalih dengan alasan kalau Rezef bekerja hingga larut dan dirinya takut berada di rumah baru mereka.

Tentu saja kedua orang tua Syal mempercayai hal itu, dan tidak menanyakan lebih lanjut selama Syal mengatakan bahwa dirinya sudah izin pada Rezef.

Sebenarnya yang terjadi adalah, dia mampir sebentar ke apartemen yang sempat mereka tinggali sebelum pindah ke rumah. Karena Syal hendak mengambil barang yang memang belum sempat ia bawa ke rumah mereka yang baru.

Tapi alih-alih mengambil barang dan pulang, justru Syal melihat adegan panas Jeremy dengan kekasihnya yang ia kira adalah Rezef. Pikiran Syal langsung melayang ke hal hal yang tidak masuk akal, tentang Rezef yang berselingkuh di belakang pernikahan mereka dan hal yang lain.

“Syal?” panggil Rezef yang sudah duduk manis di sofa ruang tamu. “Duduk samping gue sini.” sambungnya lagi sembari menepuk bagian sofa kosong.

Seakan terhipnotis, Syalsabila langsung berjalan menghampiri dan duduk dengan tenang di samping Rezef. Rezef mungkin sudah gila, tapi tidak melihat istrinya ini dalam satu malam saja, kerinduannya sudah sangat memuncak.

“Rezef mau makan?” tanya Bunda menghampiri keduanya yang tengah duduk bersanding bak pengantin baru. Ya kan emang pengantin baru?

“Gausah bun,” ucap Rezef menolak dengan halus, “masih kenyang, tadi makan di kantor.” ucapnya menjelaskan. Bunda hanya menganggukkan kepala, mengerti.

Dengan segera Bunda meninggalkan keduanya dan masuk ke dalam kamar. Gatau, tapi firasat Bunda mengatakan kalau Rezef dan Syal emang butuh waktu untuk berduaan.

“Syal, gue kangen.” ucap Rezef tiba-tiba dan memeluk Syal dari samping. Syal hanya terdiam merinding, ga biasanya Rezef clingy ke dia kaya gini. Karena hari-hari mereka di habiskan buat bersitegang entah karena hal sepele atau hal yang ga banget buat di debatin.

Syal hanya berdehem menanggapi perlakuan Rezef saat ini. “Beneran udah makan?” tanya Syal pada akhirnya, berusaha mengusir kecanggungan yang ada.

Rezef mengangkat kepalanya yang sedari tadi ia taruh di pundak Syal, untuk menatap wajah Syal saat ini. “Gatau, lupa.” jawab Rezef dengan singkat, dan kembali menyenderkan kepalanya di pundak Syal lagi.

'Mau bilang geli, tapi ga enak juga. Kayanya ni anak capek.'


Pada akhirnya Syal memutuskan untuk tidur lagi di rumah Bunda, karena ia juga melihat kondisi Rezef tengah tidak sehat. Setelah gelendotan ada satu jam, sampe tulang selangka Syal cape banget buat nopang kepala Rezef.

“Lo tuh kalo lagi ga sehat gausah kerja dulu kenapa sih??” Ucap Syal sembari merebut laptop Rezef, dan menutup nya kemudian menaruhnya di atas nakas.

Rezef hanya diam, tanpa ada niatan untuk membantah perintah istrinya. Cielah, istrinya gak tuh?

Sebenernya si Syal itu penasaran, mau nanya nanya Rezef tentang banyak hal. Setelah dia baca chat Jeremy yang panjang banget kaya CV lamaran kerja, dia jadi penasaran dengan segala hal tentang Rezef. Udah nikah ada tiga bulan, penasarannya baru sekarang. Emang ga ada otak ni pasutri gaje.

Syal mengikat rambutnya yang memang hanya sepundak itu, untuk memulai skincare routine nya sebelum tidur. Sedangkan Rezef hanya memperhatikan istrinya dari atas ranjang, tidak ada kegiatan yang lebih indah dari yang ia lakukan saat ini.

'Kunci dalam sebuah hubungan itu komunikasi dan kejujuran.'

Tiba-tiba Rezef teringat akan chat terakhir Jeremy tadi. Jujur saja, selama tiga bulan ini memang dirinya jarang sekali untuk berkomunikasi dengan Syal.

Bukan dirinya yang canggung, hanya saja ia mencocokkan dahulu keadaan Syal yang mungkin kaget karena tiba-tiba langsung di nikahin sama Rezef.

“Syal,” panggil Rezef pelan. Syal hanya berdeham menanggapi panggilan Rezef, sembari terus mengaplikasikan serum malam di wajahnya. “Gue ga punya pacar, gue ga pernah selingkuh, gue cuma cinta sama lo, baik dulu, sekarang, maupun seterusnya.” lanjut Rezef lagi. Usapan Syal di pipinya langsung berhenti, kaget mendengar penuturan Rezef.

'aduh anjir, gue deg deg an banget.'

“Mau denger cerita ga, gimana awal kali gue suka sama lo?” tanya Rezef lagi.

'Gue mau denger, tapi gue gamau salting.'

Tak mendapat respon Syal, Rezef meneruskan perkataannya. “Lo waktu kelas dua SMP pernah jatuh kan waktu naik pagar sekolah cuma buat beli telur gulung?” tanya Rezef pelan.

Syal langsung menolehkan kepalanya dengan cepat, mendekati Rezef yang masih tersenyum mengingat kejadian itu. “Hah? Kok lo tau?” tanya Syal bertubi-tubi, penasaran.

“Gue yang nolongin rok lo yang nyangkut.” jawab Rezef singkat, membuat pipi Syal semakin memerah. Malu lah anjir, kenapa first impression Rezef ke dia itu hal yang memalukan kaya gitu.

Syal menarik selimut hingga ke kepala, berusaha menutupi rasa malu yang saat ini sudah naik sampai ke ubun-ubun. “Gausah di lanjutin!” ucap Syal kesal, dia gamau denger kisah konyol yang lainnya.

“Jangan di tutupin ih mukanya.” ucap Rezef menarik selimut yang menutupi wajah Syal. “Skincare lo kan masih basah, baru di apply.” sambungnya lagi dan mengibas-ngibaskan telapak tangannya untuk memberikan angin pada wajah Syal.

“Itu emang cara yang anti mainstream buat seseorang untuk fall in love. Tapi dari hal itu, gatau kenapa gue jadi terpesona banget sama lo. Di mata gue, lo yang nekat nerobos pagar sekolah cuma buat telur gulung tuh beneran effort yang besar banget. I had crush on you sejak saat itu. Apapun yang lo lakuin, di mata gue keren banget. Gue selalu liatin gerak gerik lo, bahkan gue rela masuk ke SMA yang sama kaya lo, cuma sekedar buat bisa terus liat lo dari jauh.” ucap Rezef panjang lebar, Syal yang mendengarkan perkataan Rezef sedari tadi hanya bisa terdiam. “Gue emang pengecut banget, gue ga pernah satu kali pun bergerak maju untuk sekedar menyapa atau ngajak kenalan lo. Gue cuma sibuk menimbang ini dan itu di dalam pikiran gue. Gue ga mau bikin lo ga nyaman dengan kehadiran gue, padahal gue belom pernah mencoba. Sampai akhirnya gue tau kalo lo kuliah di luar negri. Saat itu, gue cuma bisa menyesali tahun-tahun dimana gue cuma bisa bungkam dan lihat lo dari jauh. Bener kata orang mencintai dalam diam itu cuma bikin lo sekarat. Tapi setelah gue pikir lagi, justru mencintai dalam diam itu adalah satu-satunya cara gue buat mencintai lo Syal.” sambungnya panjang lebar.

Tanpa di sadari, Syal yang sedari tadi mendengarkan ucapan Rezef meneteskan air matanya. “KOK LO NANGIS SIH SYAL???” ucap Rezef panik, “ADUH SKINCARE NYA SAYANG BANGET, LUNTUR KENA AIR MATA LO!” sambungnya lagi heboh.

Syal tertawa di balik tangisnya, “Gue cuma terharu dengan segala hal yang lo lakukan buat mempertahankan gue di hidup lo. Gue awalnya beneran nentang pernikahan ini, gue cuma agak kaget aja, kenapa balik kuliah dari luar negri langsung di jodohin. Siapa yang ga bingung? Siapa yang ga kaget? Tapi gue lihat dari cara lo yang selama ini cuma bisa mencintai gue dalam diam, I think beberapa perasaan dongkol gue tentang komitmen ini kurang etis kalau di bandingkan dengan perjuangan lo selama ini.” kata Syal menjelaskan panjang lebar.

Rezef tersenyum sembari mengusap air mata Syal, dan menepukkannya dengan lembut ke pipi Syal. “Ga ada yang perlu lo sesali, lo gapernah di jodohin. Gue yang datang melamar lo, karena udah cukup bagi gue untuk jadi pengecut. Maaf banget, kalau selama ini gue justru cuma diam dan menjadikan semua salah paham buat lo.” jawab Rezef mencoba menenangkan hati Syal.

Untuk kali pertama dalam tiga bulan pernikahan mereka, Syal memeluk Rezef dengan erat. Rezef terdiam mematung, berulang kali terkejut dengan perlakuan Syal kali ini.

i don't wanna lose you, makasih Rezef, makasih udah mau datang dan perjuangin gue.” ucap Syal dengan tulus.

Anan membuka pintu dengan perlahan, melihat ada Ren dan juga Kayla yang tengah duduk dengan tenang di sofa ruang tamu. Kayanya ni anak berdua abis balik dari ngedate.

“Udah lama Ren?” sapa Anan berbasa basi, dan di tanggapi gelengan dari Ren. “Tante mana Kay?” tanya Anan kemudian pada Kayla.

“Di atas, ngapain?” tanya Kayla penasaran.

“Nanyain soal kuliah offline, buat ketetapan nya mau gimana.” jelas Anan.

“Nginep sini?” tanya Kayla lagi, memastikan karena hari sudah mulai larut malam.

Anan mengangguk, “kalo gue lama ngobrol sama tante, ntar nginep sini kayanya.” ucap Anan menjelaskan, dan langsung berjalan menuju lantai atas.

“Kamu ga nanyain aku nginep sini juga?” tanya Ren bercanda, menggoda kekasihnya.

“Ihh, apasih. Emang kalo mau nginep tidur dimana coba.” jawab Kayla menanggapi godaan Ren.

Sudah setahun sejak Ren dan Kayla menjalin hubungan, yang bahkan Anan sendiri kaget karena tidak menyangka kedua orang itu akan menjadi pasangan kekasih.

Hal yang cukup mengejutkan, karena seantero sekolah mengetahui bagaimana dekatnya hubungan antara Kayla dan Haikal. Dan tidak sedikit pula yang mengira kalau Kayla akan berakhir bersama Haikal. Hidup memang tidak tertebak.

“Eh, di inget inget lagi ini hari kepergian Nada ya Kay?” tanya Ren begitu dirinya membuka room chat dan mengetahui kalau teman-teman nya tengah merencanakan acara untuk menjenguk Nada keesokan harinya.

“Eh?? Lah iya Ren.” ucap Kayla terkejut, “duh kayanya Anan harus fix tidur sini sih.” sambungnya lagi khawatir.

Ren menatap kekasih nya dengan bingung, “udah hampir tiga tahun Kay, kenapa sih?” tanya Ren tidak mengerti.

“Ren, kamu ga tau hal apa aja yang udah di lalui Anan dan Nada sebelumnya. Walaupun Nada udah ga ada hampir tiga tahun yang lalu, tapi aku liat hati Anan tuh masih buat Nada.” jelas Kayla lagi membeberkan keresahan nya. “Kamu ga inget, dua tahun yang lalu Anan sempet ngelakuin hal gila dengan tidur di kuburannya Nada? That's fucking scares me. Dan setahun yang lalu, Anan ngurung diri dia di dalam kamar sampai hampir mau seminggu, dan pada akhirnya dia bisa luluh karena di sadarin Kak Jerome. Aku selalu was-was Ren, kalau bahas soal Nada di depan Anan.” jelas Kayla panjang lebar.

“Kamu tau sendiri kan, Anan udah lebih bisa mengontrol emosinya saat ini. Ga ada yang harus kamu khawatirkan lagi Kay. Yang jaga Anan bukan kamu aja, kita sahabat nya juga jaga dia. Udah ga usah terlalu di pikirin.” ucap Ren menenangkan, sembari merengkuh tubuh kekasihnya.

Anan yang mendengarkan percakapan keduanya sedari tadi hanya terdiam. Ia mengurungkan niat untuk pulang ke rumah hari ini. Dia memutuskan untuk menginap di rumah Kayla saja malam ini.


Anan hanya terdiam melihat layar ponselnya. Masih sama, dengan yang sudah dia aplikasikan dari tiga tahun lalu. Foto Nada yang tengah tertidur di dalam mobilnya.

Bibirnya tersenyum dengan otomatis.

“Masih sama, tetep cantik.” pujinya dalam sepi.

Sudah hampir tiga tahun kepergian Nada, bukan berarti dirinya tidak berusaha untuk melupakan Nada. Ia sudah berusaha untuk melepas bayang-bayang Nada, tetapi semakin dia mencoba, maka semakin kuat bayang bayang Nada melekat dalam ingatannya.

Air mata menetes tanpa sadar, Anan hanya tertawa menyadari kalau dirinya tidak pernah berusaha dengan serius untuk melupakan Nada. Bukan karena dia tidak mau, tapi dia memang tidak bisa.

“Nad, Bunda pernah bilang sama gue. Kalau gue masih meneteskan air mata saat mengingat seseorang, berarti dia masih segalanya.” ucap Anan dengan parau. “Bunda bener Nad, lo masih segalanya bagi gue.” lanjutnya lagi sendu. Selalu seperti ini, hari-hari yang Anan lalui untuk sekedar melupakan Nada hanyalah makin menyakiti hati nya.

Sama seperti malam-malam sebelumnya, Anan akan terus tertidur sembari menggenggam erat ponselnya yang di hiasi satu-satunya foto Nada yang berhasil ia ambil sendiri.

Haikal, Jendra, dan Nathan melangkah dengan pelan menuju tempat peristirahatan terakhir sahabat mereka, Rafaela Ranayla.

“Ngide banget sih, suruh bawa bunga Dandelion segala. Emang artinya apaan coba?” tanya Haikal dan menyerahkan sebuket bunga Dandelion kepada Nathan.

“Emang arti mawar putih sendiri apaan, Kal?” tanya Jendra menyahuti, dia bertanya karena pure tidak tahu.

“Hah? Selama ini tiap kita ke tempat Rara, lo tuh kenapa ga nanya anjir?” tanya Haikal gemas.

“Lah, mana gue tau kalo tiap bunga ada artinya.” ucap Jendra membela diri, “Gue kira semua bunga, ya bunga aja. Kaga ada pengertian khusus.” jelasnya lagi.

“Mawar putih itu melambangkan, kepolosan dan kesucian. Biasanya di pake buat orang nikahan sih, tapi I mean di balik kegunaannya yang itu, kata emak gue bawa mawar putih ke makam seseorang mengartikan kalau kita mempercayai kepolosan dan kesucian orang tersebut. Lagi pula, arti lain mawar putih kan juga sebagai lambang perpisahan.” jelas Haikal panjang lebar. Jendra menganggukkan kepalanya mengerti.

“Terus dandelion ini gimana? Artinya apaan?” tanya Jendra lagi masih belum puas, dengan cekatan ia mencabuti beberapa rumput liar yang menghiasi makam Rara.

“Kata emak gue sih-”

“Ga ada arti khusus, udah gausah berfilosofi.” potong Nathan, dan meletakkan buket bunga Dandelion di atas makam Rara. “Abis ini mau kemana? Langsung pulang atau jalan dulu?” sambungnya lagi.

“Jalan dulu ga sih? Kita tuh udah mulai jarang kumpul semenjak kerja. Lagian kan sekarang kita barengan satu mobil.” ucap Jendra mengusulkan.

Sebenarnya apa yang di bilang Jendra tidak salah. Memang karena pekerjaan, mereka menjadi jarang berkumpul.

Ini memang waktu yang tepat, karena mereka juga butuh waktu untuk saling bercakap dan bercerita tentang kehidupan mereka satu sama lain. Sembari melepas penat tentang hari-hari yang melulu soal pekerjaan.

“Yaudah, cus langsung ke cafe tante nya Nathan aja kita ya?” tanya Haikal meminta persetujuan.

“Ya emang mau dimana lagi? Itu mah emang markas kita bukan sih? Hahahahaha.” sahut Jendra dan tertawa. Nathan hanya tersenyum kecil melihat tingkah kedua sahabatnya.

Perpisahan memang akan selalu terjadi, setidaknya itu yang mereka ketahui. Tetapi di balik semua itu, kita juga harus merelakan perpisahan dan mulai menyambut yang datang.


Nathan, Jendra, dan Haikal tidak menyadari bahwa ada sosok lain yang tengah mengamati mereka sedari tadi dari balik pohon Trembesi yang ada di area makam itu.

Rendy melangkahkan kakinya perlahan, keluar dari tempat persembunyiannya. Ia tanpa sadar tersenyum, bahwa bunga yang ia bawa dan Nathan sama.

“Dandelion, bunga yang punya makna yang begitu dalam bagi kehidupan.” ucap Rendy setelah berdiam diri cukup lama, sembari mengelus batu nisan Rara pelan. “Dia bisa tumbuh dimana saja mulai dari tepi tebing yang curam hingga di semak-semak. Bijinya yang terbang mengikuti arah angin hingga mendarat di suatu tempat pun mengajarkan bahwa, dalam hidup orang harus mengikuti alurnya dan tetap kuat meskipun sudah terseok-seok. Mungkin Nathan sengaja ga mau ngomong arti nya di depan Haikal dan Jendra karena takut mereka berdua bersedih kan Ra? Sejujurnya Dandelion sendiri mempresentasikan diri lo banget.” sambungnya panjang lebar.

“Bunga Dandelion mengajarkan ke semua orang bahwa dalam hidup harus berani, optimis, dan beradaptasi dengan lingkungan sebaik mungkin.” Rendy mulai menyeka air matanya yang deras berjatuhan. “Seperti yang lo tahu hidup itu keras, jadi kalau lo cuma bermalas-malasan maka tidak akan mendapat apapun dalam hidup ini, jangan pernah merasa tidak pantas karena semua orang pantas memiliki hal yang diinginkan asal tidak merugikan orang lain.” lanjutnya lagi, air mata semakin deras membanjiri kedua pipinya.

“Maaf Ra, butuh tiga tahun bagi gue untuk memupuk keberanian dan datang ke rumah lo sekarang. Gue emang se-pengecut itu.” ungkap Rendy dengan terbata-bata, “justru lo yang tulus memaafkan segala kesalahan gue, malah jadi tombak rasa bersalah yang menembus dan terus bersarang di hati gue. Seberapa keras gue mencoba buat menghapus rasa bersalah ini, maka semakin keras juga gue terluka.” jelas Rendy lagi.

“Makasih Ra, udah mau jadi dandelion di hidup gue, di hidup semua orang yang mengenal lo. Gue beruntung, pernah mengenal orang sehebat lo.” ucap Rendy lagi sebelum berdiri dan beranjak dari sana.

Banyak hal yang sulit di mengerti. Dan mungkin, di saat kamu menyadari nya, sesuatu itu telah berubah menjadi penyesalan, sehingga akan sulit untuk membuatnya utuh.

— Evline Kartika

“Ini kita mau kemana?” tanya Nathan begitu memasuki mobil Haikal, ia melihat ada Jendra yang duduk di kursi samping kemudi.

Bukannya menjawab pertanyaan Nathan, Haikal dan Jendra memilih untuk diam. “Ini serius mau diem dieman?” tanya Nathan lagi, tidak betah dengan situasi di dalam mobil saat ini.

Mobil Haikal terus melaju, sampai Nathan menyadari bahwa mereka tengah menuju ke kediaman Rara.

“Ngapain?” tanya Nathan bingung.

“Kak Gio, kakaknya Rara. Pengen ketemu kita.” jawab Jendra singkat, dan mampu membuat Nathan kembali bungkam.

“Gue juga gatau, dia chat gue tadi siang dan minta gue buat ketemu.” sambung Haikal, ikut menjelaskan.

Mobil sudah terparkir rapi di depan kontrakan Rara. Mereka bertiga masih saling terdiam di dalam mobil, enggan untuk turun.

“Ayolah jing, kalo kita disini terus kita juga ga bakalan tau.” ucap Jendra memecah suasana, dan mulai membuka pintu mobil untuk turun. Haikal dan Nathan yang melihat hal itu, ikut turun dan mengikuti langkah Jendra.

Tapi tanpa mereka duga, ternyata Gio sudah menunggu kedatangan mereka sedari tadi. Ia langsung membuka pintu, dan membuat ketiganya berjengit kaget. “Akhirnya kalian datang, ayo langsung masuk aja.” ajak Gio ramah.

“Kalau boleh tau, kenapa kakak minta kita bertiga buat kesini?” tanya Haikal langsung, ia sudah tidak bisa menahan rasa penasaran nya.

Gio hanya tersenyum, dan mulai menjelaskan semua yang terjadi. “Rara memang punya riwayat penyakit mental setelah kepergian kedua orang tua kami. Saya kira semuanya akan baik-baik saja, seiring berjalannya waktu. Sampai ketika, saya memberanikan diri untuk melangkah lebih jauh dan meninggalkan Rara untuk tetap tinggal disini, di kota kelahirannya.” ucap Gio, “Dia selalu bertingkah baik-baik saja di depan saya, dia juga bercerita kalau dirinya memiliki banyak teman di Universitas tempatnya menuntut ilmu. Tetapi banyak yang ia sembunyikan dari saya selama ini.”

Gio meletakkan ponsel Rara yang menyala, di atas meja depan Jendra, Haikal, dan Nathan. Dapat dengan jelas ketiga nya lihat, bahwa layar ponsel Rara menampilkan private account nya, tempat untuk dirinya berkeluh kesah.

“Saya tidak tahu, kalau adik saya menerima tidak bully baik secara verbal ataupun non verbal. Dia juga mendapatkan ancaman dari stalker, dan hal itu pula yang mungkin membuat anxiety nya semakin menjadi jadi.” jelas Gio lagi.

“Kita semua ga ada yang tau kalau Rara punya anxiety seperti itu Kak, dan untuk masalah pembullyan itu terjadi setelah masalah stalker Rara terungkap kalau itu cuma hal yang di buat Rara semata.” bela Jendra, ia ingin meluruskan kesalahpahaman disini.

“Kalian mungkin tidak tahu, tapi otopsi mengatakan kalau tubuh Rara banyak bekas luka. Beberapa di tangan, dan sisanya di paha. Jadi saya bisa memaklumi kalau kalian tidak mengetahui soal hal itu. Tapi untuk masalah pembullyan, dan juga stalker. Kalian bisa baca lengkapnya di private account dia. Rara ga mungkin berbohong bukan, kalau itu menyangkut dirinya sendiri dan tempat yang ia anggap paling privasi?” tanya Gio sembari menyerahkan ponsel Rara yang tadinya di meja, untuk di pegang Nathan.

Ketiga nya dengan serius membaca semua Tweet Rara, yang memang tidak di tunjukkan untuk publik. Bagaimana dirinya ketakutan perihal hidup, dan juga dirinya yang takut akan teror stalker.

“Mona?” tanya Haikal, setelah ia membaca Tweet Rara yang berisikan ungkapan untuk Mona. “Bukannya dia transfer lima juta ya, kok si Rara transfer balik dua juta?” tanya Haikal lagi, melihat Tweet lama Rara yang mengungkapkan rasa bingung karena Mona meminta Rara mengembalikan uang joki yang sudah di sepakati.

“Kapan? Eh, ini waktu essay dulu bukan sih?” tanya Nathan juga ikut penasaran.

“Berarti Mona bohong dong sama gue? Kata dia, dia udah transfer Rara lima juta, tapi ternyata di tarik lagi dua juta. Anjing, kok jadi gue yang malu bangsat.” ucap Haikal menyesal.

Belum sampai situ, ketiga nya terus membaca Tweet yang lainnya. Mengeluhkan tentang Rendy yang berubah, setelah ungkapan publik di terima Rara.

“Kalo Rendy, gue udah ngerti dari Mona sih.” ungkap Haikal lagi, “jadi kita sempet diskusi, kenapa Rara lebih sering lo anterin pulang. Dan juga si Rendy jadi lebih care ke arah Rara, padahal biasanya dia kan tipe orang bodo amat. Terus pada akhirnya, Mona milih untuk nyelidikin sendiri, dan dia tau kalau Rara kena teror stalker juga dia tau kalo Rendy udah ikut buat bantu Rara saat itu. Cuma gue sama Mona sempet debat, dan adu argumen kenapa Rendy ga cerita soal itu. Ya gue bilang, mungkin Rendy menghargai keputusan Rara yang paling ga pengen kalau masalah dia itu di ketahui orang lain dulu.” jelas Haikal panjang lebar.

“Terus pada akhirnya, semua kebongkar ketika udah ada yang up di base kan? Dan ternyata Nathan udah tau. Di situ gue beneran gelap fikiran dan langsung memutuskan hal sepihak untuk blame semuanya ke Rara. Gue beneran tolol sih.” lanjutnya lagi, sembari menegang kepalanya pusing. Sungguh rasa bersalahnya menumpuk setinggi gunung saat ini.

Gio masih terus memperhatikan ketiga nya berdebat, tentang siapa yang benar dan juga yang salah.

In case, kalian mau liat room chat Rara juga ga?” tanya Gio menyela pertengkaran Haikal, Nathan, dan Jendra. “Saya sudah baca semuanya, dan beruntungnya Rara tidak pernah menghapus history chat nya. Saya fikir, kalian perlu tau hal ini supaya kalian bisa menebak apa kebenaran nya.” jelas Gio lagi.

“Ga apa-apa kak?” tanya Jendra ragu, ia sudah kepalang menyesal dengan segala tindakannya pada Rara di masa lalu.

“Tidak apa-apa, kenapa hanya kalian yang saya panggil kesini, ya karena saya fikir kalian bertiga butuh validasi untuk beberapa hal, dan untuk membantu saya dalam memperjuangkan keadilan untuk Rara nanti.” jawab Gio dengan bijak.

Nathan menyerahkan ponsel Rara ke tangan Jendra, ia sudah tidak sanggup untuk memegang nya. Rasa bersalah memenuhi perasaannya saat ini.

Jendra mengetuk ikon massage dengan gemetar, ia masih belum terlalu siap untuk mengetahui setiap kebenarannya saat ini.

“Mau buka punya siapa dulu?” tanya Jendra meminta usul pada kedua temannya.

“Rendy?” tanya Haikal tidak yakin.

“Iya, ayo kita buka chat dari Rendy.” ucap Nathan mendukung.

Begitu membuka room chat, bubble chat menunjukkan status pesan tidak terkirim, yang artinya Rendy telah memblokir akses pada nomor kontak itu.

Ketiga nya makin terkejut, begitu mengetahui kalau Rendy mampu mengatakan hal jahat seperti ini pada Rara.

“Anjing??” ucap Haikal emosi, “dia awalnya dukung dan bantu Rara, tapi kok tiba-tiba banget bisa berubah arah dan mulai hilang kepercayaan?” tanya Haikal masih tak habis fikir.

“Kalau lo liat dari tanggal pesan, itu tanggal yang sama dimana akun stalker Rara ke ungkap di publik, terus kesuspend kan?” tanya Nathan memastikan.

Jendra menganggukkan kepala membenarkan, “hari yang sama juga dimana lo sama Mona out dari grup.” tambah Jendra sembari menunjuk Haikal.

Setelah selesai membaca percakapan di room chat Rendy, ketiga nya langsung menekan room chat dari Mona.

Semakin mereka larut dalam membaca chat antara Mona dan Rara, semakin mereka paham kalau selama ini Mona lah yang telah memanipulasi mereka.

“Bangsat, gue kata juga apa jing. Itu anak sakit.” ucap Jendra masih terus mengumpat, benar-benar merasa emosi dengan Mona dan dirinya saat ini.

Mereka benar-benar di tipu habis-habisan. Bukan Rara, ternyata Mona lah yang selama ini play victim dan menyusun panggung seolah mengarahkan kalau Rara lah penjahatnya disini.

“Haha, kenapa kamu nangis?” tanya Gio pada Haikal yang kini sibuk menyeka air matanya.

Haikal menggelengkan kepalanya, “gue cuma, eh sorry kak. Aku cuma kepikiran tentang apa yang aku perbuat sama Rara selama ini.” jawab Haikal jujur, ia juga tidak menyangka kalau air mata akan turun ke pipinya saat ini.

“Semua udah terjadi, gausah di sesali.” kata Gio menasehati, “kalian sekarang udah bisa menilai kan, apa kebenarannya disini.” tanya Gio lagi. Ketiga nya menganggukkan kepala.

“Sekarang kita cuma perlu selesaikan semua ini, dan ungkap kebenarannya ke publik kan?” tanya Nathan menyimpulkan semua yang telah mereka bahas saat ini.

“Tapi masalah stalker gimana? Kita mau selidiki atau apa? Kehadiran stalker juga trigger anxiety Rara juga kan?” tanya Jendra tersadar.

“Oiya ya, gimana njir? Jejaknya udah ga ada kan? Akun terakhir udah ilang, abis itu nomor yang buat kontak Rara juga nomor sekali pakai kan?” tanya Haikal mendadak pusing kembali.

“Masalah itu, saya fikir kalian tidak perlu khawatir.” ucap Gio menengahi. “Kemarin sudah ada seseorang yang melaporkan sesuatu pada saya.” sambungnya lagi sembari menunjukkan room chat Gio dengan nomor asing.

“HAH, ANJING KAK DIKA??”

Cw // mention of violence

Mona mendekati Rara yang kini sudah terduduk lemas di kursi. Sejak dua hari lalu, dirinya tidak mendapatkan asupan makanan yang cukup untuk memenuhi energinya.

“Aduh, kok muka cantiknya lesu gini sih?” ucap Mona mengejek, begitu mendekati Rara.

“Haha.” sahut Rara tanpa tenaga. “Gue lesu gini aja lo bilang gue cantik, apalagi kalo gue lagi dalam kondisi prima. Pasti lo kalah cantik sama gue.” sambung Rara balik mengejek.

Mona mendelikkan matanya tidak suka, dan maju ke hadapa Rara. Dengan enteng tangan Mona langsung melayang ke arah wajah Rara yang mulus.

“Udah dua hari loh, gue sekap lo disini.” kata Mona tidak percaya, “Dan lo masih ga belajar dari kesalahan, kalau gue bisa lakuin apapun yang gue suka ke lo.” sambungnya lagi dengan penekanan di setiap kata.

“Lo maunya gue takut? Sorry Mon, gue gatau gimana rasa takut itu setelah gue jalanin kehidupan gue yang dulu.” ucap Rara menjawab, dan membayangkan akhir dari kehidupan pertamanya.

Mona kembali tersenyum manis, “ohh, kalau gitu gue bakalan ajarin lo dari awal buat mengenal apa sih itu takut.” kata Mona dengan lembut.

Mata Rara menyalang begitu melihat Mona mengeluarkan sebilah pisau dari dalam jaketnya.

“Gimana, Ra? udah takut belom?” tanya Mona dengan tawanya yang menggelegar di seluruh penjuru ruangan. “Kalau ini gue tempelin ke pipi lo, biaya operasinya semahal apa ya?” sambung Mona sambil terus bermain pisau di atas pipi Rara.

Tubuh Rara bergetar, ia mulai ketakutan saat ini. Mona tidak bermain-main ternyata, terbukti dengan dia yang tengah mengancam dirinya dengan sebilah pisau.

Tanpa sadar, air mata Rara mulai menetes membasahi pipinya. Mona yang melihat hal itu, tawanya semakin mengeras saja.

“Ehh?? Kok nangis sih anjir.” kata Mona di sela tawanya, “Tadi galak banget kaya macan, setelah gue keluarin pisau langsung nangis kaya kucing yang kehilangan induknya.” ucap Mona bermonolog, puas dengan reaksi Rara saat ini.

“Lo psikopat.” ucap Rara pendek, dengan suara yang tentunya masih bergetar.

Mona kembali menampar wajah Rara dengan keras, “aduh, anjingnya udah mulai menggonggong lagi nih.” ucap Mona dengan sinis. “Gue kaya gini juga karena ada alasannya Ra, masa lo tega sih ngatain gue kaya gitu? Ih, itu kasar banget.” sambungnya dengan nada yang di lebih-lebihkan.


“Kita seriusan ga nunggu polisi?” tanya Haikal dengan khawatir, begitu dirinya sampai Gio, Nathan, dan juga Rendy langsung mengajak nya naik mobil untuk menuju suatu tempat.

“Kita ga tau Kal, apa yang bakalan terjadi kalau kita telat sedikit.” ucap Nathan menjawab pertanyaan Haikal, ia telah mendapat informasi dari Jendra tentang keberadaan Rara saat ini.

Dirinya teringat tentang chat nya dan Jendra sebelumnya, yang menyuruhnya untuk siaga di segala kondisi.

“Gue udah laporin hal lengkapnya ke polisi, gue juga barusan udah kasih tau alamat yang saat ini kita tuju ke polisi.” ucap Rendy yang sedari tadi terdiam, ikut menambahkan informasi yang tak kalah penting.

“Kakak ga tau, apa salah Rara sama teman kamu yang namanya Mona itu. Mona anak perempuan yang tadi juga ikut ke kontrakan kan?” tanya Gio sembari mengusap wajahnya gusar, ia benar-benar khawatir dengan adik semata wayangnya itu.

Sejak perjalanan mereka tadi, Rendy sudah menjelaskan semua hal yang terjadi kepada mereka bertiga.

Dimana dirinya yang mendapat clue keberadaan Rara, dengan mengetahui ponsel Rara di pegang oleh Mona.

Kemudian kabar yang juga datang dari Jendra, tentang keberadaan Rara saat ini yang tengah di sekap oleh Mona di sebuah pondok tua yang berada di pinggir kota.

“Banyak konflik sih Kak, kalau lo nanya soal mereka berdua.” ucap Haikal mulai menjelaskan, “I mean, mereka sering bersaing di akademik. Terus mereka juga berkonflik buat orang yang sama, terus-”

“Hah? Berkonflik untuk orang yang sama? Eh siapa?” tanya Nathan menyela.

Haikal mengetuk gemas kepala Nathan yang saat ini tengah menyetir, “ya lo lah anjir, yang ada di konflik mereka berdua.” ucap Haikal menjelaskan.

“Lah, kok jadi gue?” tanya Nathan tidak terima.

“Gimana bukan lo, sekarang nih ya, lo suka Rara, tapi Mona suka sama lo. Ya jelas kalau Mona sama Rara berkonflik gara-gara lo.” jawab Haikal masih tidak santai, ia tidak menyangka bahwa Nathan akan sangat ignorance dengan hal yang menurutnya menjadi inti permasalahan kali ini.

“Tapi kakak masih ga ngerti, kenapa cuma perkara rebutan Nathan, Mona sampai berbuat sejauh ini ke Rara?” tanya Gio membawa topik awal yang belum terselesaikan tadi.

“Mungkin karena hal terakhir yang sempat di ungkap Rara sih Kak, kalau menurut gue. Apalagi Mona itu orang nya nekat.” kata Haikal dengan hati-hati, berusaha menjelaskan dengan perlahan agar Gio tidak ikut terbawa emosi.

“Hal terakhir?” tanya Gio tidak mengerti.

“Maksud lo yang Mona di diskualifikasi sama yang CCTV si Mona ambil kertas catatan interview Rara?” tanya Rendy menyela dengan tidak percaya.

“Iya, Mona di diskualifikasi karena laporan Rara. Dan CCTV-nya Mona soal ambil catatan interview Rara, itu juga dari Rara yang nyebarin. Tapi pakai pihak ketiga.” jelas Haikal membuat ketiga orang di sana menahan nafas.

“Kalau dia udah sampai tahap culik Rara kaya gini, pasti si Mona beneran psikopat.” ucap Rendy membuat keempatnya ngeri.

Nathan langsung mempercepat mobilnya untuk segera sampai ke tempat yang telah Jendra berikan.


“Aduh, coba lo liat ini.” ucap Mona dengan wajah yang sengaja di buat sedih, sembari membuka jaket panjangnya yang menutupi lengan kanan dan kirinya yang lebam dan juga membiru. “SEKARANG LO BISA LIHAT KAN, APA YANG GUE DAPATKAN DARI ULAH LO YANG BIKIN GUE DIDISKUALIFIKASI!!” teriak Mona di telinga kanan Rara.

Rara langsung memejamkan matanya pusing, sungguh efek teriakan Mona membuatnya mual seketika.

“TETAP AJA, ITU BUKAN SALAH GUE MONA!” ucap Rara membalas teriakan Mona dengan lantang, “ITU SALAH LO, KARENA LO GA MENGERTI APA TEMA DARI LOMBA. ITU JUGA SALAH LO, DIMANA LO GA BERUSAHA LEBIH DULU UNTUK BUAT CATATAN INTERVIEW, DAN BUAT LO NYONTEK CATATAN INTERVIEW GUE!!” sambungnya lagi, dada Rara naik turun, emosi menguasai dirinya saat ini.

Mona kembali menampar wajah Rara untuk kesekian kalinya, “Hahaha, hidup itu lucu banget ya Ra. Gue lebih memilih ga punya orang tua kaga lo daripada jadi anak yang di asuh orang tua kaya gini.” kata Mona dengan sendu, menarik kursi dengan ujung kakinya, untuk duduk di hadapan Rara.

“Bokap gue orang yang ambisius, dia senang banget soal kemenangan dan juga benci tentang kekalahan.” kata Mona melanjutkan ucapannya tadi, mulai bercerita. “As you can see, dia bahkan berinvestasi buat gue. Bokap gue selalu berekspektasi hasil yang bagus dari gue, dan ketika gue berada di nomor dua karena ulah lo, gue sama dengan mengecewakan bokap gue. Gara-gara lo, gue terpaksa harus membayar dengan cara menerima setiap pukulan.” sambung Mona panjang lebar.

Mona kembali bermain-main dengan pisau yang ada di tangannya, kali ini dengan lebih berani dirinya menempelkan dengan sedikit tekanan di permukaan pipi Rara.

“Tapi tetep aja, itu bukan salah gue.” ucap Rara merinding. “HARUSNYA LO LEBIH BEKERJA KERAS ANJING!!” sambungnya dengan teriakan, dan menendang kursi Mona hingga terjatuh.

Dengan segera Rara melepaskan ikatan di tangannya, yang dua hari ini ia sudah coba untuk renggang kan.

Ia sudah menunggu momen ini, dimana Mona tanpa ada penjagaan dari siapapun, supaya dirinya bisa lebih leluasa untuk kabur.

Rara sudah berhasil melepaskan ikatan yang ada di tangan, dan kakinya. Sungguh, kakinya saat ini begitu lemas untuk ia paksakan berjalan.

Mona memegangi pinggangnya yang sakit, akibat terjatuh dari kursi karena tendangan Rara. “BANGSAT!!” maki Mona dan berdiri dengan kesakitan, mulai mengejar Rara yang lebih dulu berlari meninggalkannya.

Sungguh, Rara tidak pernah menyangka kalau hidupnya bisa berubah menjadi genre thriller seperti di film saat ini. Dimana Mona mengejarnya dengan kesetanan, sembari membawa pisau di tangan kanannya.

Belum sampai Rara membuka pintu, Mona sudah menjambak rambutnya dan membuat dirinya terpaksa menoleh ke arah Rara. Dan kemudian, dengan asal Mona mengayunkan pisau ke arah Rara.

Rara kaget setengah mati, merasakan sakit yang amat sangat dari lehernya. Ayunan pisau dari Mona tadi mengenai leher Rara yang kini sudah berlumuran darah.

Dengan gemetar, Mona membuang pisau yang sudah di lumuri sedikit darah Rara itu ke lantai. Ia tak percaya, kalau ia akan melakukan hal itu.

Pintu pondok di dobrak dengan paksa, Polisi beserta rombongan nya masuk ke dalam pondok untuk mengamankan Mona.

Diluar tampak ada beberapa polisi lain yang juga mengamankan penjaga pondok yang dua hari ini terus mengawasi Rara.

Gio berlari dengan tergesa-gesa, menuju tubuh Rara yang sudah ambruk di lantai. Tangannya menggantikan tangan Rara yang sedari tadi menutupi luka yang tertoreh di atas kulit lehernya.

“RARA, KAMU DENGAR KAKAK?? RARA, JANGAN TIDUR DULU!!” teriak Gio frustasi, air mata membanjiri wajahnya.

Setidaknya itu yang sempat ia ingat, sebelum pandangannya mengabur dan menggelap.

'My life, still doesn't change right?'