JC Halcyon

Delvin kembali ke kamarnya, setelah dirinya pergi meninggalkan Haikal yang tertegun bersama dengan dokumen pasien yang ia tinggalkan di meja ruang tamu.

Serah dah, siapa aja yang mau beresin nanti. Pastinya saat ini dia butuh untuk sendiri dulu, karena setelah membahas soal dunia dan isinya mood nya kembali memburuk. Emang ni cowo satu, perasaan moody an banget jadi orang.

Delvin berjalan ke arah kasurnya, tidak lupa dirinya juga membawa photo album yang sudah di serahkan Yudha tadi sore.

Membahas tentang dunianya, Delvin tidak berbohong kalau dunianya sudah hancur. Nggak, ini bukan majas hiperbola dimana dirinya melebih lebihkan tentang hal yang telah terjadi.

Tetapi setelah kepergian Nada, banyak hal berubah dan hati Delvin adalah salah satunya. Hati Delvin berubah menjadi sekeras batu, dan membuat orang-orang di sekitarnya bingung untuk mengatasinya.

“Tiga tahun.” ucap Delvin sembari menyentuh potret Nada lembut, “Tiga tahun ternyata selama itu ya Nad?” sambungnya lagi.

Dirinya mengenang awal mula ia bertemu dengan Nada. Dimana Nada yang saat itu datang bersama Papa, tidak henti hentinya menatap kagum mereka semua.

Mungkin awal dulu, Delvin sedikit risih dengan adanya Nada. Karena dirinya menjadi tidak sebebas dulu saat di rumah.

Dulu sebelum kehadiran Nada, dirinya bebas untuk tidak memakai baju hanya sekedar berjalan kesana kemari mengelilingi rumah. Tetapi setelah Nada datang, Candra kerap menegurnya agar dirinya memakai setelan lengkap walau hanya ke dapur untuk menjaga kewarasan Nada tetap ada.

Cukup menyusahkan, karena Delvin sendiri bukan tipe orang yang menikmati perubahan. Tetapi seiring berjalannya waktu, justru kini Delvin adalah orang yang paling nyaman untuk selalu memakai bajunya atau keluar kamar menggunakan setelan lengkap. Tidak seperti saudaranya yang lain, dimana mereka semena mena menggunakan celana boxer untuk berjalan kesana kemari.

Dirinya teringat ketika memergoki Nada menangis keras sehabis bertengkar dengan Hermas. Ia yang merasa kebingungan untuk menenangkan seorang gadis menangis, dan juga ucapan bercanda Nada yang aneh meminta untuk menciumnya. Dia ingat semua itu, dan tidak akan pernah melupakan nya.

Delvin ingat ketika ia kebingungan mencari Nada, sewaktu Jeffery dengan tidak sengaja meninggalkan nya di mall. Dimana ia menjadi orang pertama yang langsung tancap gas mencari keberadaan Nada.

Jika di ingat lagi, sewaktu itu mungkin dirinya masih naif dan berfikir bahwa ia mencari Nada adalah sebuah kewajiban supaya Mama dan Papa tidak marah. Tetapi teryata ia sadar, kekhawatiran nya adalah hal yang nyata dimana ia sudah menerima Nada sebagai adiknya juga.

Delvin memotret kembali foto Nada, untuk ia jadikan wallpaper baru pada layar ponselnya.

Dirinya tersenyum, melihat jajaran benda langit antara bintang Sirius dan Venus. Bintangnya dan juga Nada.

Banyak teman kuliahnya yang mengira jikalau wanita yang selalu menjadi wallpaper di ponselnya itu adalah kekasihnya. Bukannya Delvin tidak tahu, hanya dirinya juga tidak ingin menyangkal nya dan menjelaskan pada orang lain siapa Nada sebenarnya.

Maka dari itu, se populernya Delvin di mata orang orang, tidak ada satupun wanita yang berani mendekatinya hanya sekedar untuk berkenalan. Seperti itu lah citra Delvin di mata orang lain, tidak tersentuh.

Delvin menutup photo album Nada, dan memasukkannya ke dalam laci dengan hati-hati. Sudah cukup untuk hari ini, mebebankan banyak hal untuk sekedar mengulik masa lalu.

Terlalu banyak kata andai yang ia sematkan bila berurusan dengan Nada. Andai ia menunjukkan semua kasih sayangnya dengan lebih terang terangan seperti yang Jerome lakukan. Andai ia lebih berani dan selalu mengajak Nada untuk keluar dan bermain seperti Jeffery. Andai ia selalu menjadi kakak yang bisa di andalkan seperti Jonathan.

Andai Delvin menjadi seseorang yang selalu ada untuk menampung keluh kesah Nada seperti yang di lakukan Tiyo. Andai Delvin bisa menjadi seperti Yudha, sosok yang selalu Nada kagumi segala tingkahnya yang menghangatkan hati. Andai Delvin seberani Arwena yang selalu di jadikan Nada sebagai tempat sandaran. Atau andai saja Delvin menjadi seseorang yang selalu mendukung dan menenangkan Nada di saat sulit seperti yang Candra sering lakukan.

Atau mungkin, andai saja Delvin bisa menjadi sahabat yang seru seperti hubungan Haikal dan Nada. Atau bahkan guru privat yang bisa di andalkan seperti Hermas yang sering mengajari Nada diam diam.

Banyak hal yang sudah terlewati, tetapi bagi Delvin hanya penyesalan lah yang paling utama. Entah sampai kapan, Delvin merasa rasa bersalah nya itu tak akan lekang oleh waktu.

Haikal akhirnya sampai di apartemen Adelio. Gatau ni anak naik mobil dalam kecepatan berapa, perasaan belum ada setengah jam udah nyampe aja.

“Gila, tadi gue berasa pake jalan pribadi anjir.” ucapnya tergesa, dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

“Kenapa?” tanya Adelio menanggapi.

“Sepi bener.”

Kemudian Hermas beranjak dari tempat duduknya, untuk mengambil tas nya yang ada di dalam kamar Adelio. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk dirinya menyerahkan photo album Nada pada Anan.

“Lo tadi langsung cabut dari cafe kesini?” tanya Anan berbasa-basi.

“Abis gue selesai makan, gue langsung cabut dari sana.” ucap Haikal jujur, dan duduk di bawah kaki Adelio.

“Lo ga pulang dulu?” tanya Hermas keluar membawa photo album di tangannya, “berarti lo belom tau soal ini ya? Nih Nan, dari Bang Jo buat lo.” sambungnya dan menyerahkan photo album di tangan Anan.

Anan melihat Hermas dengan heran. “Photo album siapa?” tanyanya.

Hermas mengedikkan bahu tidak peduli, seolah menyuruh Anan untuk membuka dan melihatnya sendiri.

Haikal sudah tau, kalau mungkin itu adalah photo album Nada. Sedangkan Adelio yang berada di samping Anan ikut penasaran.

Anan membuka halaman pertama, terlihat dengan jelas foto Nada yang sudah di cetak ada di sana.

Adelio menolehkan kepalanya dengan terkejut, berusaha mengetahui apa yang kini Anan rasakan setelah melihat photo Nada disana.

Dengan sedikit gemetar, Anan membalik halaman seterusnya dan mulai melihat semua foto yang telah di cetak di album dengan seksama.

Hermas hanya memandangi Anan dalam diam, dirinya sudah cukup lelah bila berurusan dengan masa lalu dan Nada. Sudah banyak hal menyakitkan terjadi hanya karena mengenang sosok Nada.

“Anan, are you okay?” Kata Adelio khawatir, karena Anan hanya terdiam sedari tadi.

Langkah Adelio untuk bertanya ternyata salah, karena tak lama dari itu air mata mulai turun dan menetes ke arah album.

Bahkan Haikal yang selalu berfikir hal positif pun tidak menyangka, bahwa seorang Anan bisa meneteskan air matanya hanya karena melihat photo album yang penuh potret Nada.

Haikal berdiri dengan tergopoh, dan mulai memeluk tubuh Anan yang rapuh. “Aduh jangan nangis dong Nan, gue ga punya permen.” ucapnya sedikit melucu, mencoba meredakan kesedihan yang ada di hati sahabatnya itu.

Adelio menatap Anan prihatin, dan ikut memeluk tubuh Anan dari samping. Baru kali ini dirinya melihat sosok Anan menangis, dan rasanya itu jauh lebih menyakitkan daripada ketika dirinya sendiri menangis.

“Sakit ya Nan?” kata Adelio bertanya, “I'm sorry, such stupid question. Pasti sangking banyaknya, lo sampe gatau yang mana yang paling menyakitkan.” sambungnya lagi dengan suara parau.

Kehilangan Nada benar benar membuat hidup semua orang yang mengenalnya ikut berubah. Adelio merasa kehilangan, jujur saja rasa kehilangan itu ada dan besar. Tetapi setelah dirinya melihat keadaan Anan, rasa kehilangannya itu tidak ada bandingnya daripada yang di miliki oleh Anan.


Hermas dan Haikal sampai di rumah dengan bersama. Kenapa? Ternyata mobilnya Haikal di tinggalin di apartement nya Adelio. Hari ini dia cape banget, dan lebih memilih untuk balik bareng Hermas aja.

Delvin berada di ruang tamu dengan tangan yang sibuk memegang dokumen pasien. Dirinya tidak sadar bahwa kedua adik kembarnya itu telah pulang.

“Serius banget Bang?” tanya Haikal menginterupsi fokus Delvin.

“Dari mana?” tanya Delvin balik bertanya, tanpa ingin menjawab pertanyaan Haikal tadi.

Haikal mengambil tempat duduk di samping Delvin. “Dari apartment nya Adelio.” jawabnya singkat, dan mulai menonton kegiatan Delvin.

“Ngapain?” tanyanya lagi, tanpa menoleh ke arah Haikal. Buset, dari gayanya udah kaya dokter beneran dah ni Delvin.

“Ga ada, main doang.” jawab Haikal lagi, “lo tuh perasaan kerja mulu, tanggal merah juga lo terobos. Baru magang aja kaya gini, apalagi kalo udah jadi dokter beneran Bang?” protes Haikal setelah melihat warna yang cukup gelap di bawah kantung mata Delvin.

“Jadi dokter ga ada libur nya Kal, soalnya orang kalau udah sakit juga ga ada jadwal tentu nya.” jawab Delvin se rasional mungkin, supaya jawabannya bisa di terima oleh Haikal yang emang cerewet banget.

Haikal menganggukkan kepalanya setuju, “tapi lo keren banget sih Bang, gue denger denger dari Bang Satria, katanya lo sering menangani pasien yang punya kasus complicated. Padahal lo masih magang.” Sahut Haikal lagi, memuji Delvin.

Delvin menolehkan kepalanya ke arah Haikal, mencoba melihat apa yang di inginkan oleh adiknya satu ini. Ga biasanya dia membicarakan hal ga penting, cuma untuk sekedar menyanjung hati orang lain.

“Kebetulan doang.” jawab Delvin singkat.

Haikal geregetan, kenapa dah ni kakaknya satu lempeng bener. “Appreciate diri lo sendiri dikit kek, padahal lo tuh udah jadi salah satu penyelamat dunia. Kenapa ga semangat banget jadi orang.” Cibirnya kesal.

Delvin melepas kacamatanya dengan asal, dan melempar dokumen pasien ke meja. Badannya cukup kaku karena sedari tadi fokusnya hanya tersita untuk memeriksa dokumen.

“Lo sebenernya mau ngomong apa sih?” tanya Delvin to the point, karena Haikal hanya berbicara berputar putar sedari tadi.

“Ya ga ada?? Gue serius yang bilang lo itu udah jadi salah satu orang yang menyelamatkan dunia dengan jadi dokter. Masa memuji lo kaya gitu, di kira mau ada apanya sih? Gue ga se pamrih itu kali.” ucap Haikal panjang lebar, menjelaskan maksud perkataannya tadi.

Delvin tersenyum kecil, dan mulai menyilangkan kedua tangannya di atas meja.

Sekarang coba gue tanya, apa gunanya kalo gue berhasil menyelamatkan dunia?” Kata Delvin penuh penekanan. “Sedangkan gue gagal buat menyelamatkan dunia gue sendiri.”

Jeje berdiri di depan pintu kamar kos Cindy cukup lama. Gatau nih anak, perasaan tadi udah mikir panjang di kamar, sampe disini kicep lagi.

“Je, ngapain?” tanya Jordan dari atas, abis selesai jemur baju.

Jeje yang ketahuan lagi bengong di depan pintu kamarnya Cindy cuma bisa ngeringis malu. “Gue mau kenalan sama Cindy, Bang.” jelas Jeje kemudian.

Jordan menganggukkan kepala mengerti, dan berjalan melewati Jeje untuk masuk menuju ke kamarnya.

“Cindy, halo... ” ucap Jeje selesai mengetuk pintu kamar Cindy tiga kali.

Di liat dari muka nya Jeje sekarang, seakan dunia mau runtuh karena Cindy langsung buka pintu kamarnya segera setelah ketukan tadi.

“Haloo, eh ini Jeje ya?” tanya Cindy berbasa-basi dan memegang tangan Jeje untuk mengajaknya duduk di dalam kamar kos.

“Hehe, iya..”

“Tadi udah di ceritain sama Hafizar, katanya lo mau kenalan soalnya kita satu jurusan.”

“Iya.”

“Iya iya mulu Je, gue emang nakutin ya?”

“Enggak kok, gue emang agak kikuk aja sama orang baru. Maaf ya Cin, itu bikin lo ga nyaman.”

“Gapapa, santai aja dah.”

Dan setelah itu, pembicaraan antara Cindy dan Jeje mengalir begitu saja. Bener kata Juni, apa guna nya takut kalau kita belom mencoba?

Adelio membawa seluruh belanjaannya turun dari mobil. Ada tiga kantong belanjaan, dan dia mutusin buat bawa dua dulu naik ke atas. Yakali tiga tiganya di bawa, kalian kira Adelio ni Hercules pa gmn?

Dengan langkah terburu-buru, Adelio mengejar lift yang sudah mau tertutup. “Eh maaf, tolong talangin bentar dong.” ucapnya keras pada dua orang yang tengah berada di dalam lift.

Adelio kembali melotot bingung, karena di dalam lift tersebut, dirinya bertemu Hansa lagi bersama seorang wanita. Ini dunia beneran selebar daun kelor, atau Hansa sama Adelio nih aslinya jodoh sih? Ketemu mulu perasaan.

“Adelio?”

“Hansa?”

Nah kan, sekarang jadi Jisel yang bingung melihat dua insan di depannya ini malah saling tegur sapa. “Misi om, jadi naik lift apa enggak ya?” tanya Jisel kesel, soalnya posisi Adelio tuh ada di tengah tengah pintu lift, makanya dia jadi penghalang sehingga pintu lift ga mau nutup.

“Dia seumuran kita anjir, Sel.” ucap Hansa membantah, membela Adelio yang kini tersenyum kikuk ke arah Jisel.

“Ya bodoamat anjir?”


“Mana si Adelio?” tanya Hermas melihat tumpukan bahan makanan yang telah di beli Adelio di atas meja pantry dapur.

Si Hermas tadi abis dari kamarnya Adelio, dia belom ngasih album nya. Masih di dalam tas dia, yang dia taroh di kamar Adelio. Gatau, kapan mau ngasih. Dia masih belum nemu momen yang tepat soalnya.

“Ambil barang lagi, masih ada sebungkus di mobil katanya.” ucap Anan menjelaskan, sembari memotong jamur enoki.

“Mau masak apa?” tanya Hermas mendekati Anan yang tengah sibuk itu.

“Bantuin gue nyuci lemon aja.” sahut Anan tanpa perlu repot menjawab pertanyaan Hermas.

“Gue ga bilang mau bantuin.” kata Hermas ketus.

“Lo udah nanya, artinya lo wajib bantuin.” ucap Anan tak kalah bodoamat.

Walaupun setengah hati, pada akhirnya Hermas tetap mencuci lemon yang berada di styrofoam.

“Udah, apa lagi?” kata Hermas menghampiri Anan dengan membawa lemon yang sudah bersih di tangannya.

“Ga ada, udah lo tungguin aja di sofa depan TV.” ucap Anan menyuruh Hermas untuk segera pergi. Soalnya gara-gara Hermas nimbrung di dapur, kerjaan dia agak terganggu.


“Ga punya ati bener si Hansa sama Jisel anjing.” umpat Keira begitu dirinya harus membawa box berisi bahan makanan yang sudah di beli Hansa dan Jisel tadi di minimarket.

Iya sih, dia yang nawarin buat jadi tukang angkut barang. Tapi ya mikir lah anjing, dia yang bentukannya kaya anak SD gini, disuruh angkat box yang isinya udah kaya TV 32inci.

Dia tadi masuk ga barengan sama si Hansa dan Jisel, karena tiba-tiba ayahnya telpon dan bilang kalo si Keira mau nginep gapapa. Di kasih izin sama Ayah katanya.

Nah, karena dia ga ikut bareng Jisel dan Hansa, sekarang anaknya sibuk nih nelponin dua sahabatnya yang ga punya perasaan buat nanyain di lantai dan nomor berapa apartemennya si Jisel.

“Iya, Kei?”

“WOY BANGSAT, YANG BENER LAH ANJING? Lo di kamar berapa, gue buang juga nih semua belanjaannya.”

“Lah anjir, gue kira udah tau.”

“UDAH TAU DARI MANA ANJIR?? LO KIRA GUE BISA BAHASA KALBU?”

“HAHAHA, MAAF. Lantai tiga, nomor 298. Dari lift tinggal belok kiri dikit.”

Akhirnya setelah Keira mengetahui lokasi tepat apartemen Jisel, Keira langsung bergegas memasuki lift untuk menuju kesana.

Gila ni kotak belanjaannya Jisel, tubuhnya Keira sampe ga keliatan gara-gara angkat kaya ginian. Karena ga mau ribet, dan Keira gamau juga cape angkat naroh beban box, Keira memutuskan buat meminta tolong pada seseorang yang berdiri di sampingnya.

“Mas, tolong pencetin lantai tiga ya.” Kata Keira memohon pada lelaki di sampingnya yang juga membawa kantong kresek belanjaan di sampingnya.

Tak berapa lama, lift telah sampai di lantai tiga. Dengan segera, Keira beranjak keluar dari sana. Tidak lupa juga, dirinya mengucapkan terimakasih pada lelaki yang sudah membantunya tadi.


Adelio sedikit menahan pintu lift demi menolong seorang wanita yang terburu-buru masuk ke dalam lift dengan membawa kotak belanjaan yang besarnya melebihi tubuhnya itu.

Lucu pikirnya, soalnya sangking gedenya kotak belanjaan itu, si cewe tadi sampe gabisa pencet nomor lift buat ke lantai berapa.

“Mas, tolong pencetin lantai tiga ya.” ucap wanita tadi pada akhirnya menyerah.

Tangan Adelio berhenti di udara, mendengar suara wanita yang ia rasa familiar itu.

“Makasih Mas.” kata wanita tadi, dan bergegas keluar lift sebelum tangannya makin kebas karena membawa kotak belanjaan yang berat.

Belum habis kekagetan Adelio, dirinya dengan terburu-buru langsung mengejar wanita yang baru saja keluar dari lift tadi.

Ga ada, wanita tadi udah hilang dari lorong apartemen. Kelamaan sih lo anjir bengong nya.

“Itu ga mungkin Nada kan? Gue pasti delusi doang.”

Hermas memarkirkan mobil dengan rapi di samping motor Beat modifikasi milik Jerome. Heran ni orang, cakep tapi motornya kaya jamet.

“Haikal mana, kok lo balik sendiri?” tanya Arwena di ujung tangga, sembari membawa lilin aroma therapy. Mendekati semester akhir, Arwena makin pusing dengan berbagai tugas yang dia hadapi, makanya dia lebih sering stok lilin aroma therapy supaya bisa lebih santai ketika di dalam kamar, dan tentu aja untuk tidur nyenyak.

“Masih di cafe, kumpulan sama anak-anak.” jawab Hermas singkat, dan mendudukkan pantatnya di atas sofa ruang tamu. Dengan sigap, Tiyo yang baru saja tiba dari dapur, duduk di samping Hermas, dan menyalakan televisi melalui remote.

“Kuliah lo gimana? Ada kendala ga?” tanya Tiyo sambil asik nyemilin kacang almond yang dia bawa dari dapur.

Hermas sekarang udah semester empat bareng Haikal. Bedanya Haikal memilih Hubungan Internasional, dan Hermas memilih Sistem Informasi.

Ni anak kembar, tapi kalo soal hal yang di minati beneran jauh berbeda. Kaya kutub utara sama selatan. Haikal juga anaknya terbuka banget, punya temen dimana-mana. Beda sama Hermas kembarannya, beneran orang yang tertutup dan menghormati privasi.

“Masih semester empat, belom susah banget.” kata Hermas menjawab pertanyaan Tiyo singkat. Tiyo beranjak dari duduknya, meninggalkan Hermas yang masih fokus menonton televisi.

Tiyo dan Yudha sekarang udah lulus dari manajemen bisnis, dan lagi trial di perusahaan di bawah pengawasan nya Jonathan. Dikira enak apa punya bos kakak sendiri? Kalo salah justru makiannya ga main main.

Tiyo kembali ke ruang tamu, sembari membawa buku binder di tangannya, dan kemudian melemparkannya ke arah Hermas yang sedari tadi masih saja terfokus menonton berita.

“Apaan sih anj-”

Hermas terdiam setelah satu lembar dari buku yang ternyata album itu terbuka. Jonathan ga main-main waktu dia bilang mau ngecetak semua fotonya Nada yang ada di ponsel.

“Tadi gue disuruh balik buat bawa album nya, di cetak ada sebelas biji buat kita semua simpen.” kata Tiyo menjelaskan.

Gerakan tangan Hermas yang sedari tadi tengah melihat lihat isi album terhenti, “Sebelas? Yang satu buat siapa?” tanya Hermas tak mengerti, karena jumlah mereka ada sepuluh bukan?

“Anan.”

“Lama bener.”

Buset dah, si Keira baru duduk di kursi kemudi aja udah denger keluhan keluar dari bibir Hansa. Keira hanya mencebik, tak ingin membahas keluhan Hansa lebih lanjut. Ya gimana dong? Dia juga sadar kok, kalau kelamaan make up.

“Mau kemana dulu?” tanya Keira lebih lanjut.

Hansa menolehkan kepalanya sekilas pada Keira. Beneran, ni anak udah kaya mau fashion show aja.

“Ke mall aja mau?” tanya Hansa meminta persetujuan. Keira hanya menganggukan kepala, tanda setuju.

'Ini mall mana yang di maksud ya buset, di Malang kan mall ga cuma satu doang.'

Ya udah lah, Keira lebih memilih untuk menyibukkan dirinya sendiri dengan melihat video tiktok yang lewat di berandanya.

Merasa ada yang kurang lengkap dari perjalanan mereka ini, Keira kembali menolehkan kepalanya menghadap Hansa.

“Opo maneh to?” tanya Hansa mengerti, karena Keira pasti ingin berbuat sesuatu.

“Hehehe, gue mau setel lagu. Boleh gak?” tanya Keira lagi, meminta persetujuan.

Hansa mengangguk-angguk kecil, memberikan akses lebih lanjut pada Keira untuk membuka ponselnya dan memutar playlist yang ada di Spotify Hansa.

“Estetik bener playlist lo.” puji Keira.

Ya ga salah sie....


“Gue gaperlu topi Nan.” ucap Adelio menolak perintah Anan untuk membeli topi camping.

Anan mengerinyitkan dahi tidak mengerti, padahal naik gunung tuh panas banget loh. Masa iya Adelio gamau topian?

“Gosong.” kata Anan singkat, mengundang gelak tawa dari Adelio.

Pertemanannya dengan Anan hampir menginjak tiga tahun sekarang. Setelah pertemuan nya yang awkward, sewaktu dirinya ke Malang dan mengajak Nada untuk makan mie ayam.

Siapa yang mengira, kalau mereka berdua bisa sedekat ini? Apalagi mereka berdua sangat cocok bila di pasangkan.

Anan yang kadang berlagak jadi orang bisu, dan Adelio yang ada di sampingnya selalu menerjemahkan segala hal yang tidak bisa Anan ungkapkan secara langsung.

Anan mengambil topi putih dari rak, dan mencobanya di kepalanya sendiri. Topi itu tampak pas melingkar di kepalanya.

“Lo aja yang beli deh.” bujuk Adelio lagi, masih tidak menyerah.

Anan kembali memusatkan perhatiannya pada Adelio. Dengan cekatan, dirinya mengambil satu topi dengan acak dan memasangkannya pada kepala Adelio.

“Cocok.”

“Anjir, ini kaya topinya rapper anjir? Yakali gue mau ngerapp di gunung.”

“Gapapa, biar setannya terhibur.”

“Engga gitu konsepnya anjir.”

“Permisi mas, saya mau ambil topi dulu ya.” ucap seseorang menyela pembicaraan mereka, dan mengambil topi putih yang baru saja di coba oleh Anan.

Dengan segera, Anan dan Adelio menyingkir dan memberikan akses pada laki-laki itu untuk mengambil topi.

“Kenapa lo taroh balik di rak sih? Padahal topi itu tadi cocok banget di lo.” ucap Adelio setelah pria itu pergi menjauh untuk menuju meja kasir.

“Gapapa, gue ga butuh topi juga.” ucap Anan tidak perduli, dan mengajak Adelio untuk menuju meja kasir dan membayar topi milik Adelio.

“Yaelah, terus lo butuhnya apa.” tanya Adelio memincing, dia sebel banget kalo Anan udah mode ignorant gini.

“Lo tau betul, apa yang gue butuhin Del.” kata Anan, membuat langkah Adelio terhenti.

'Pasti Nada kan?'


“Lama banget sih lo, ah bego.” ucap Keira ketus, karena begitu sampai di mall Hansa langsung pergi meninggalkan dirinya untuk masuk ke toko aksesoris.

Dengan tersenyum, Hansa langsung memakaikan topi putih yang baru saja dibelinya dari toko aksesoris tadi.

“Cakep.” puji Hansa singkat.

Keira meraba topi putih yang kini melingkar dengan nyaman di kepalanya. Duh dia jadi merasa bersalah, soalnya Hansa beliin topi buat dia eh tapi malah dia ketusin.

“Padahal lo ga harus beliin ini buat gue.” ucap Keira jujur, dia ga enak hati soalnya. Apalagi topi yang di beli Hansa termasuk brand yang lumayan terkenal.

“Gapapa, ayo ke bawah. Ke cafe nya.” ajak Hansa lagi menarik tangan Keira untuk mengikutinya.


“Ini Anan sama Adelio pacaran dimana sih?” tanya Hengky asal, karena mereka berdua belum kembali ke cafe sejak tadi.

Tenang aja, biarpun geng mereka banyak kaya pasukan semut, tapi cafe milik Hardin nih cukup luas kok. Bahkan kalau kalian mau main golf disini juga gapapa.

GAPAPA KALO KENA GAMPAR PENGUNJUNG LAIN MAKSUDNYA.

Balik lagi ke konteks, lagi pun wajah mereka kan pada ganteng ni. Si Hardin tuh sambil menyelam mancing ikan, dia dengan cerdik memanfaatkan ketampanan teman temannya untuk menarik pelanggan ke cafe.

“Bacotan lo pacaran, ini kalo ada yang denger, dan gatau, bisa di kira homo beneran si Anan sama Adelio.” sahut Baejin kesal mendengar celetukan asal dari sahabatnya.

“Abis nempel mulu kaya jari sama upil.” ucap Hengky lebih lanjut, dan mengundang geplakan dari Dinan. Hengky menghindari pukulan dari Dinan dengan tawa kecil yang keluar dari mulutnya.

“Analogi lo dari dulu tuh emang ga pernah bener.” ucap Dinan jijik.

“Males lah, temen gue main tangan semua bisa nya.” keluh Hengky sedih.

Javin hanya memandang sahabatnya dengan bingung. BENERAN BINGUNG MAU NGADEPINNYA GIMANA HADEHH.

Untung mereka udah kenal lumayan lama, jadi udah terbiasa. Ini mah kalo kenal sebentar doang, bisa kena mental semua.

“Eh, si Sylvia chat gue.” ucap Haikal tiba-tiba menyela, dan menunjukkan room chat nya dengan Sylvia.

“Buset dah brow, akeh tenan wedokan mu.” puji Binbin dari samping. (Buset dah brow, banyak bener cewe mu.)

“Baca yang betul tolol, dia nanyain Anan.” kata Haikal menyahuti dengan kesal.

“Tuh cewe ga cape apa ya, ngejar ngejar Anan dari semester satu?” tanya Yohan baru menimbrung. Soalnya dia baru selesai main game bareng Aldeo.

“Gatau malu emang.” sahut Hermas dari samping. Haikal hanya menggelengkan kepalanya pasrah, mulutnya Hermas emang gabisa di kontrol. Jadi temen-temennya yang lain, kalo denger kalimat ga ngenakin dari Hermas cuma bisa let it flow doang.

SEREM BENER.

“Kasih tau aja kita disini.” kata Dinan menanggapi Haikal, “Gue pengen Anan move on. Siapa tau Sylvia orang yang bisa bantu Anan buat move on.” sambungnya lagi, mengundang beragam tatapan dari sahabatnya.

Akhirnya setelah merenung panjang, Haikal menyetujui ide Dinan dan mulai memberikan lokasi online pada Sylvia.

Dinan bener, Anan udah harus mulai membuka lembaran baru di hidup dia. Sampai kapan dia hidup dengan penungguannya yang mustahil?


“Pesen apa?” tanya Hansa begitu tiba di cafe bawah mall bersama Keira.

Keira merapikan rambutnya yang agak berantakan di bawah topi. Merasa tidak nyaman, dirinya melepas ikat rambutnya dan mulai merapikan semula rambutnya yang kini tergerai.

“Buruan anjir, di belakang kita ada yang ngantri tuh.” ucap Hansa tidak sabaran.

“Yaudah anjir, gue Red velvet.” Ucap Keira ketus, dan meninggalkan Hansa yang masih berdiri di depan kasir untuk memesan minuman Keira.

Red velvet nya satu, terus ice coffee nya juga satu ya Mas.” ucap Hansa, kemudian mengeluarkan kartu ATM nya untuk membayar pesanan. Setelah selesai, dirinya dengan segera menyusul tempat dimana Keira berada.

“Anan, lo mau pesen apa?” tanya Hardin setelah melayani dua pembelinya tadi.

Anan melepas earphones yang sedari tadi memang menempel di telinga nya, “Americano 8 shot espresso. Terus buat Adelio, dia bilang mau Taro.” ucap Anan singkat.

Hardin menggelengkan kepalanya dengan tidak mengerti, “masih minum racun itu lo?” tanyanya bergurau, karena kecintaan Anan pada kopi cukup membuatnya ngeri. “eh gausah di bayar, kan gue traktir hari ini.” ucap Hardin langsung, begitu Anan menyodorkan ATM kepadanya.

Thanks.” ucap Anan tulus.

“Dah sana tunggu aja di meja, ntar gue anterin lagi.” kata Hardin dan berlalu ke belakang.

Anan mengerti, dan hendak menuju meja dimana tempat sahabatnya berkumpul. Kemudian atensinya teralihkan dengan ikat rambut warna maroon yang terjatuh di lantai.

'Pasti punya cewenya cowo yang tadi.'

Anan mengenggam tali rambut itu, dan hendak menghampiri keduanya untuk mengembalikan tali rambut pada si empunya.

“Anan, mau kemana?” belum sempat dirinya beranjak, Sylvia sudah ada di belakangnya dan memegang lengannya.

“Lo kok ada disini?”

“Itu tadi si Haikal chat katanya Anan lagi kumpul disini.”

“Sama siapa?”

“Naik grab sama si Gina hehe.”

Gina nih cewenya Dinan. Anak gue udah gede, sekarang udah punya pacar sendiri.

“Oh, gue mau ada urusan bentar.” Ucap Anan melepas pegangan Sylvia dan menolehkan kepalanya ke seluruh penjuru cafe untuk mencari pasangan kekasih yang tadi masih ada di jangkauan pandangannya.

“Urusan apa?” tanya Sylvia penasaran.

'Oh, udah pergi ternyata.'

Anan kembali memasukkan ikat rambut itu ke dalam kantongnya, “ga ada.” jawabnya singkat dan berjalan lebih dulu meninggalkan Sylvia untuk menuju meja tempat temannya berkumpul.

Akhirnya rombongan Nada memutuskan untuk pulang pukul delapan pagi. Padahal tadi pagi tuh matahari udah terang loh, dia bisa ngeliat sunrise juga. Tapi setelah turun dari pondok Bunder, hujan langsung menyapa perjalanan mereka.

Nada sih beruntung soalnya dia juga bawa persiapan jas hujan. Dan Delvin di sampingnya juga. Akhirnya Nada dan Delvin berjalan untuk turun lebih dulu ke Pos Paltuding. Yang lainnya masih di Pondok Bunder, nungguin hujan reda sembari nyopotin tenda.

“TOLONG!!”

Satu teriakan berhasil di dengar keduanya. Nada dan Delvin saling berpandangan, Nada dengan reflek langsung memegang lengan Delvin. “Kak??” tanya Nada berusaha setenang mungkin.

Nada masih berani, soalnya Delvin ini orang nya rasional banget. Jadi Nada ga perlu  takut kena pressure soal hal-hal mistis kalo bareng Delvin.

“Gapapa, ayo lanjut aja.” ucap Delvin menenangkan. Keduanya masih berusaha menuruni jalanan curam, yang juga agak licin karena terkena air hujan. Belum lagi kabut yang menutupi pandangan keduanya.

Tiba-tiba dari arah depan, ada seorang lelaki dengan jas hujan berwarna orange menanjak dengan tergesa menghampiri Nada dan Delvin. Si Nada sendiri nih udah mau kejengkang kebelakang sangking kagetnya, asli dia kira itu tadi zombie anjir.

“MAS, MBAK?? BISA NOLONGIN TEMEN SAYA NGGAK?? TEMEN SAYA KENA HIPOTERMIA!!” ucap lelaki itu dengan raut wajah panik, meminta tolong pada Delvin dan Nada.

Delvin yang memang jurusan kedokteran, dia langsung faham kalau penurunan suhu tubuh secara drastis itu bisa menyebabkan kematian. “Temennya dimana mas?” tanya Delvin kemudian.

“Itu mas, di bawah ga jauh dari sini.” kata Mas-mas tadi masih kelabakan.

“Ayo kesana, ayo Nad.” ajak Delvin menggenggam tangan Nada.

Nada menggelengkan kepalanya, “Gue nungguin yang lainnya disini aja deh kak.” putus Nada sepihak, membuat Delvin melotot bingung. “Kalo gue ikut lo, ntar gue malah menghambat perjalanan lo buat nanganin orang Hipotermia ini.” sambung Nada menjelaskan, dan mendorong tubuh Delvin  untuk pergi.

“Apaan, ngga! Biar gue harus sambil ngesot ngesot gendong lo, gue ga bakalan ninggalin lo sendirian disini. Bukannya gue ga percaya sama lo, hanya diri gue yang ga mengizinkan buat biarin lo nungguin disini.” tolak Delvin dengan tegas.

Nada nih udah mau nolak lagi, tapi kemudian Delvin langsung narik tangan dia untuk kembali berjalan menuruni rute curam.

Delvin terus terusan memastikan, jikalau Nada yang ada di belakangnya dan juga tangan Nada yang saat ini Delvin genggam tidak akan terlepas, apapun keadaannya.

“Ini Mas, temen saya yang kena Hipotermia tadi.” jawab laki laki tadi, setelah mereka bertiga berhasil mencapai tempat dimana pasien berada.

Delvin memperhatikan seorang perempuan yang tengah menggigil di peluk oleh kedua temannya yang lain. Menggigil sebenernya adalah pertanda baik bahwa sistem pengaturan panas seseorang masih aktif. Jadi Delvin ga terlalu merisaukan hal itu.

“Coba lepas jaketnya yang basah dulu.” perintah Delvin. Dengan segera, kedua teman perempuannya tadi melepas jaket si wanita yang memang sudah setengah kering di badan.

Delvin ikut melepaskan jaket yang membalut tubuhnya dari balik mantel plastik. Nada yang melihat hal itu, memukul pundak Delvin pelan. Yailah, dimana mana mah pikirin diri sendiri dulu, bukan orang lain.

Dengan cekatan, Delvin menyelimuti wanita tersebut dengan jaketnya yang lumayan tebal. Jarak antara tempat mereka berdiam sekarang, dengan pos Paltuding cukup dekat.

“Untuk sekarang, turun dulu. Sejauh ini udah gapapa, walaupun masih gemeteran dikit. Kalau kita berusaha mengurangi gejala disini, sama aja boong. Karena disini ga ada tempat yang hangat.” jelas Delvin panjang lebar.

Akhirnya ketiga teman si wanita tersebut, bersama sama menggendong si wanita itu untuk turun lagi menuju pos Paltuding.

“Ternyata bener ya Kak, kalau mau liat sifat asli seseorang, ajak aja naik gunung.” celetuk Nada yang tengah mengekori keempatnya bersama Delvin yang masih setia menggengam tangannya.

“Si cewe beruntung banget, bisa dapet temen loyal kaya gitu.” balas Delvin setuju dengan pernyataan Nada. “Hati-hati, awas licin.” peringat nya juga.

Emang aneh ni Delvin, padahal dia yang di depan, dia yang liat jalan duluan dan yang mastiin supaya Nada ga kepleset.

Tapi ya gapapa, Nada mah demen demen aja Delvin over concern kaya gini. Nada berasa guci mewah yang takut sewaktu-waktu pecah, makanya harus extra di awasin.


“Hah sumpah??” tanya Haikal dengan heboh, begitu Nada menceritakan kejadian kalau dirinya tadi ikut menyelamatkan pasien Hipotermia.

Pasiennya mah sekarang udah di bawa turun, supaya dapet penanganan dari medis lebih lanjut dari puskesmas terdekat.

Dateng dateng kesembilan nya udah bingung, karena ngeliat Delvin sama Nada peluk pelukan. Maksudnya Nada yang meluk Delvin dari belakang.

Nada ga berniat gatel atau apapun kok disini, karena Nada sendiri menghindari kalau gantian Delvin yang kena Hipotermia karena jaket dia masih di bawa si pasien.

“Terus gimana?” tanya Haikal lebih lanjut.

“Yaa ga gimana gimana, abis itu kita turun ke pos Paltuding. Nah sampe disini ternyata udah ada petugas yang berjaga, akhirnya si embak embak tadi di bawa ke puskesmas deh. Selesai.” cerita Nada lagi.

Yang lainnya menganggukkan kepala mengerti, “Adek abang udah gede aja ya.” ucap Candra bangga, sembari mengusap kepala Delvin lembut. “Udah bisa kalau di suruh menghadapi pasien secara langsung.” sambungnya lagi.

Gila deh, siapa sih yang ga seneng di puji kaya gitu. Yang bisa Nada lihat sekarang, pipi Delvin lagi bersemu merah setelah mendengar pujian Candra.

“Langsung balik aja nih sekarang?” tanya Jonathan meminta persetujuan. Yang lainnya hanya mengangguk menyetujui.

“Gimana Nad? Seneng ga hari ini.” tanya Jeffrey menuntun Nada untuk masuk ke mobil. Mulus bener siasatnya Jeff buat bikin Nada naik mobil bareng dia.

Nada menganggukan kepala antusias, “Banget! Banyak pelajaran yang gue dapat dari pendakian kali ini. Gue juga jadi lebih deket sama Hermas. Belom lagi gue liat Kak Delvin yang keren banget selamatin orang kena Hipotermia, dan buat gue makin yakin buat ngambil fakultas kedokteran nanti.” jawab Nada panjang lebar.

Yudha nyengir doang liatin Nada ngoceh, punya adik cewe ternyata ga melelahkan yang teman temannya ceritakan. Nada justru bikin kebahagiaan diantara keluarganya yang lain.

Bahkan Hermas yang jarang senyum aja, dari tadi ketawa kecil liat Nada kena jahil Haikal. People come and go, tapi Yudha selalu percaya ada alasan di balik itu semua.

Haikal memasuki rumah dengan sedikit tidak bersemangat. Jerome yang biasanya melihat Haikal hiperaktif mendadak bingung,

'Ni anak ga biasanya kaya gini.'

“Kenapa Kal?” tanya Jerome langsung, mencoba menilik apa yang tengah terjadi pada adiknya itu.

“Bang, lo percaya ga kalo doppelganger itu nyata?” tanya Haikal langsung.

Jerome memiringkan kepalanya tidak mengerti, “maksud lo?”

“Ya kaya ada orang yang beneran mirip sama lo, dan dia tuh semirip itu sampe postur tubuh, dan suara tuh beneran kaya kloningan. Dan lo ngerasa kalo orang itu beneran kembar plek ketuplek sama lo.” jelas Haikal panjang lebar.

Jerome beringsut mendekati adiknya, dan menempelkan tangannya yang dingin ke dahi Haikal.

'normal kok suhu tubuhnya.'

“Gue ga lagi sakit anj-”

“Iya iya maaf, gue cuma mau mastiin aja. Karena hal yang barusan lo omongin itu agak ga masuk akal.” potong Jerome. “Gue ga pernah, maksud gue belom pernah ketemu doppelganger gue, tapi gue rasa kalaupun gue ketemu, pasti bakalan ada perbedaan antara gue dan doppelganger gue, ga mungkin sama persis karena Tuhan sendiri menciptakan kita berbeda beda kan?” sambungnya lagi panjang lebar.

Haikal hanya diam termenung, dirinya kembali mengingat pertemuan dengan gadis yang mirip Nada tadi. Harusnya ia mengejar gadis itu dan memastikan nya.

Sekarang dia nya jadi bingung sendiri kan, karena kebawa penasaran. Tadi sih, sok sok an bilang ga pengen berharap lah, apa lah. Padahal kalau dia lebih berani, pasti dia bisa menenangkan kegundahan hatinya saat ini.

“Kenapa sih Kal?” tanya Jerome lagi ngeliat Haikal balik bengong.

“Gue gatau, ini gue halu atau gimana. Tapi Bang, gue tadi waktu di pujasera ketemu orang yang postur tubuh dan suaranya mirip Nada banget.” kata Haikal takut-takut, karena semenjak kepergian Nada hampir tiga tahun lalu, membahas Nada adalah hal yang tabu di rumah ini.

Jerome mengehela nafas kemudian menggelengkan kepala. “Ga mungkin Kal, yang udah pergi ga mungkin kembali. Lo halu, cuma halu.” ucapnya final.

Candra mencengkram kuat pegangan tangga setelah sedari tadi menguping pembicaraan kedua adiknya. Sesakit itu mereka kehilangan, dan sesakit itu mereka berusaha melupakan.


Selesai sampai Delvin, yang lain sudah di sibuk kan oleh dunia pekerjaan. Termasuk Delvin sendiri yang saat ini sudah menempuh ujian sertifikasi dan tengah melalui masa internship.

Buat kalian yang ga tau, sedikit informasi aja. Masa internship ini biasanya berlangsung selama 1 tahun dan tetap mendapatkan bimbingan dari dokter senior.

Kelebihannya, saat masa internship kalian itu udah punya jam kerja sendiri selayaknya dokter sungguhan. Kalian juga lebih diberi kebebasan dan nggak diawasi seketat saat kamu menjadi co-ass dulu.

Delvin menghampiri kamar Haikal yang berada di lantai dua untuk mengambil sempol pesanannya.

Emang ni adek durhaka, bukannya di kasih langsung ke Delvin, malah di keep di dalem kamar. Sengaja banget mau bikin Delvin jauh jauh nyamperin.

“Bang, menurut lo doppelganger ada ga?” tanya Haikal setelah Delvin duduk di pinggir ranjangnya untuk makan sempol.

“Random banget pertanyaan lo.”

“Jawab aja coba, gue lagi butuh validasi nih.”

“Ya kalo menurut gue mah ada aja sih, kan dunia ini luas. Apapun bisa terjadi di dalamnya, termasuk ketemu doppelganger seseorang.” jelas Delvin.

Haikal menganggukkan kepala mengerti, penjelasan dari Delvin sudah lebih dari cukup untuk menghibur kegundahan hatinya.

“Kenapa sih? Lo ketemu ddoppelganger lo atau gimana?” tanya Delvin lebih lanjut, masih penasaran. Karena ga biasanya Haikal mikir sampe sekeras ini.

Haikal menggelengkan kepala, “bukan gue, tapi Nada.”

Suapan Delvin terhenti di udara begitu mendengar nama Nada di sebutkan.

Masih belum puas, Haikal melanjutkan ucapannya. “Dan orang yang gue temuin tadi, beneran semirip itu sampe dalam beberapa waktu gue dempet speechless dan sedikit halu kalo itu Nada beneran.”

Delvin menelan sisa sempol di mulutnya dengan susah payah. Belum kering luka nya tentang kepergian Nada, kali ini apa? Haikal bertemu doppelganger Nada?

“Iya, lo halu doang pasti.” jawab Delvin singkat dan beranjak pergi dari sana, meninggalkan Haikal yang masih melamun di atas kasur.

Anan tersenyum kecil melihat Kayla berjalan cepat ke arahnya setelah turun dari mobil orang tuanya.

Kaya anak kecil, pikirnya. Kayla siap dengan dress putihnya. Dirinya dan Anan sudah memberitahu yang lainnya kalau akan berangkat lebih lambat, karena memang berangkat nya terpisah.

“Cantik nggak gue? Mau ke rumah Nada nih.” ucap Kayla sembari menutarkan tubuhnya, memamerkan dress putihnya yang bisa mengembang.

“Iya, cakep. Nada pasti suka.” puji Anan tulus.

Kayla kembali mengatupkan bibirnya rapat, menyesal sudah bertanya. Karena pada akhirnya, Anan akan menjawab dengan konteks yang tidak jauh dari bahasan mereka sedari tadi, Nada. Dan hal itu justru membuat Anan semakin kacau.

“Gapapa?”

“Gapapa.”

“Maaf Nan.”

“Bukan salah lo Kayla, cuma emang gue yang terus bawa dia ke segala hal di hidup gue.” jawab Anan final, lantas dirinya mulai menjalankan mobilnya membelah ramainya jalan.

Kayla kembali membisu, dirinya sudah menyiapkan banyak hal untuk di bicarakan dengan Anan hari ini. Tapi begitu sekarang banyak waktu tersisa, dirinya hanya bisa bungkam tanpa tau ingin membuka percakapan seperti apa.

“Gue udah isi surat verifikasi kemaren, kayanya awal bulan nanti kita bisa kuliah offline bareng deh Nan.” ucap Kayla pada akhirnya, berhasil membuka satu pembicaraan.

Anan menganggukkan kepalanya mengerti, “Gue juga udah, bareng anak-anak lain kemaren.” jawabnya singkat. Beberapa dari sahabatnya yang lain pun juga begitu. Mereka memutuskan untuk berkuliah tatap muka untuk kedepannya.

“Ren akhir-akhir ini aneh banget.” ucap Kayla lagi, mencari pembicaraan yang lain. Dirinya tidak tahan bila harus berdiam dengan Anan di dalam mobil. Karena aura mengintimidasi Anan terlalu kuat.

“Aneh kenapa?” tanya Anan menanggapi.

“Dia kaya lebih tertutup sama gue. Gue gatau apa gue bikin salah, tapi gue rasa ini ada kaitannya sama Haikal.” ucap Kayla menjelaskan.

Sejak hubungan Kayla dengan Ren bermula, memang hubungan antara Ren dan Haikal menjadi memburuk.

Ini bukan salah siapapun, beneran. Ini cuma persoalan ego tiap masing-masing orang dalam menghadapi permasalahan yang terjadi di hidup mereka. Anan tau hal itu, dan untuk ini dia tidak akan ikut campur lebih jauh.

“Haikal sama Ren emang lagi perang dingin.” kata Anan jujur, mencoba menjelaskan hal yang saat ini tengah terjadi kepada sepupunya itu. “Gue rasa, masalah antara mereka berdua emang kompleks. Lo gabisa masuk ke dalamnya, jadi saat ini biarin aja. Toh mereka berdua juga udah dewasa, harusnya mereka bisa ngurusin hal apa yang buat hubungan mereka jadi kaya gini.” jelas Anan panjang lebar.

Kayla menghela nafas, dirinya mengerti kalau yang di katakan Anan sepenuhnya benar. Tetapi tetap saja, apapun yang terjadi antara Ren dan Haikal saat ini tak lepas dari andil dirinya di masa lalu.


Kayla menaruh satu buket bunga warna putih di atas makam Nada yang memang sudah di penuhi bunga mawar putih yang lainnya.

“Siapa sih anjir yang ngide beli buket buka segede kepala reog gini?” protes Kayla begitu melihat bunganya yang di tumpuk tidak memberikan efek perubahan apa-apa.

“Dinan.” jawab Anan singkat.

“Pantesan, konsepnya lebay kaya anaknya.” cibirnya lagi. “Nadaaa, gue kangen banget. Bulan depan kita udah mulai kuliah offline loh. Sumpah kayanya dunia kuliah seru deh. Tapi serunya nomer dua, karena yang nomer satu tetep masa sama lo di SMA.” Ucap Kayla lagi melanjutkan.

Ganti Anan meletakkan Mysotis berwarna biru keunguan di atas Mawar putih lainnya. Warna nya yang berbeda, menjadikannya menonjol di antara lainnya.

“Tumben bukan anyelir.” komentar Kayla.

“Dimarahin Haikal.”

Kayla menahan tawanya, mungkin Haikal sudah bosan melihat kombinasi makam Nada yang terlihat seperti bendera merah dan putih. Makanya sama Haikal, Anan ga di bolehin bawa anyelir lagi.

“Nad, udah hampir tiga tahun ya.” ucap Anan lembut, “Tau nggak apa artinya bunga Mysotis yang hari ini gue bawa? Bunga ini artinya forget me not.” sambungnya lagi.

Kayla menolehkan kepalanya dengan cepat ke arah Anan. Dirinya tidak tahu kalau sebuket bunga berwarna biru keunguan itu memiliki makna mendalam.

“Tau nggak kenapa hari ini gue bawa bunga Mysotis? Padahal biasanya bawa Anyelir merah. Yang pertama karena di marahin Haikal.” kata Anan sembari mendengus kecil, “yang kedua, bunga nya cantik kaya lo. Dan yang ketiga, lo masih tetap satu satunya dalam ingatan gue.” Jelasnya lagi, membuat Kayla yang disamping nya berkaca kaca.

Kayla dan Anan terdiam dalam waktu yang cukup lama, mereka berdua hanya sibuk mendalami fikiran masing masing tentang apa yang terjadi, dan akan terjadi.

Matahari sudah menujukkan tanda tanda akan terbenam, Kayla beringsut berdiri hendak mengajak Anan yang terlihat masih enggan untuk meninggalkan makam Nada.

Nan, gue mau nanya sesuatu.” ucap Kayla lirih, sembari memandangi makam Nada lamat. “Menurut lo kenapa manusia lebih menyukai senja daripada fajar?” tanya Kayla kemudian. Anan hanya terdiam mendengarkan kalimat apa yang akan Kayla lontarkan selanjutnya.

Karena manusia lebih banyak meratapi kepergian, daripada menyambut yang datang.”

Jeje melirik keranjang cucian yang berada di sudut kamar. Perasaan dia udah berusaha untuk mandi satu kali sehari doang, tapi kenapa sih cuciannya tetep banyak? Bingung banget.

Hari ini Jeje emang pulang lebih cepat, karena memang ospek prodi nya terjadwal ga begitu lama kaya ospek Universitas kemarin.

Maka dari itu, dia tadi balik naik Go-Jek dan ga bareng sama Hafiz. Kenapa? Karena prodi mereka beda, dan ospek prodi Hafiz masih belom selesai. Ya kali Jeje mau nungguin Hafiz selesai ospek.

Akhirnya dengan langkah malas, Jeje menghampiri keranjang cucian itu, dan dengan sigap memasukkan baju kotornya ke dalam kantong kresek. Jeje udah memutuskan, buat laundry aja. Jangan sebut dirinya pemalas ((walaupun iya)). Jeje udah cape banget, dari kemaren di sibukkan sama ospek, belom lagi malam nya dia sempet demam karena kecapean. Dia gamau tumbang lagi, karena perkara kecapean nyuci baju.

Jeje menuruni tangga dengan perlahan, sesampainya di lantai satu dirinya berpapasan dengan Tsani yang juga menenteng kantong kresek berisikan baju. Jeje gatau, itu baju bersih ataupun baju kotor.

“Lah Je, mau laundry juga?” tanya Tsani memperhatikan kantong kresek yang di bawa Jeje.

“Iya bang,” jawab Jeje singkat. “Bang Tsani mau laundry juga apa gimana?” tanyanya balik berbasa basi.

“Iya Je, yaudah lah kita barengan aja ke tempat laundry. Nih pegangin baju kotor gue dulu, gue mau minjem motornya Jordan.” kata Tsani langsung, sembari menyerahkan kantong kresek berisi baju kotornya ke Jeje.

Tidak lama kemudian, Tsani sudah menuruni tangga lantai dua, dan menuju Honda CBR150R warna hitam milik Jordan.

'Anying, ini seriusan gue naik motor kaya gini sama Bang Tsani?? Ntar kalo bokong gue mlorot gimana njir, gue gamau di katain gatel perkara pegangan Bang Tsani naik motor. Mana dia udah ada cewe lagi.'

“Je, ayo naik. Ngapa bengong disitu sih?” tanya Tsani yang sudah duduk dengan nyaman di kursi kemudi.

“Ini kita beneran nih naik motor ginian? Buset dah, mau laundry aja berasa sunmori.” ucap Jeje tak nyaman.

“Gapapa, adanya ini doang. Daripada naik astrea nya Bang Wisam yang ada di gudang. Ntar malah mogok di jalan, kita dorong lagi.” sambung Tsani berkelakar, “Cus naik, ga licin kok dudukan belakangnya. Kalo ga nyaman, pegangan pundak gue aja.” sambungnya lagi, menenangkan kerisauan Jeje.

“Biasanya gue liat orang beli motor ginian, Jok nya selalu licin. Jadi orang yang di belakang selalu merusut kedepan.” ucap Jeje bingung, soalnya begitu dia duduk rasanya keset.

“Yaelah, Jordan mah mau ngelicinin Jok buat siapa. Cewe aja ga punya.”


Sebenernya di bandingkan dengan Wisam, Juni, Dean, ataupun Jordan. Jeje nih ga deket deket banget sama Tsani. Apalagi buat ngobrol, kayanya bisa di hitung deh seminggu Jeje sama Tsani ngobrol berapa kali doang.

Makanya dia agak canggung begitu Tsani ngajakin dia buat laundry bareng. Jeje ga baper, serius dia justru menjaga jarak aman karena si Tsani juga udah punya cewe.

“Dulu gue kaget banget, waktu liat Bang Wisam punya kelebihan yang ga semua orang punya. Kaya dia tuh bisa berkomunikasi sama mahluk halus, dan lain sebagainya.” ucap Tsani membuka pembicaraan, ga betah kali diem dieman di tempat laundry setelah sepuluh menit yang lalu mereka sampe. “Tapi setelah liat lo sama Hafiz, gue udah ga kaget lagi. Ternyata emang banyak orang yang punya kelebihan kaya gitu di sekitar kita. Cuma kitanya aja yang suka ga sadar.” sambungnya lagi panjang lebar.

Jeje menganggukkan kepalanya mengerti, apa yang di bilang Tsani ada benernya.

“Lo sendiri gimana? Gimana rasanya punya sixth sense kaya gini?” tanya Tsani lagi, masih belum puas.

Jeje menggelengkan kepalanya tidak setuju, “Beda orang beda tanggapan Bang, dibanding menyebut kelebihan, gue malah menganggap ini kekurangan dan penyakit sih.” kata Jeje sedih, dia beneran desperate banget tentang hal yang udah menjadi insecure dia bertahun tahun ini. “Kelebihan yang lo maksudkan di Bang Tsani, dan Hafiz itu berbeda sama hal yang terjadi sama gue.” lanjutnya lagi, masih sedih.

“Beda? Apanya yang beda Je?” tanya Tsani tidak mengerti.

“Ya beda aja, Bang Wisam sama Hafiz bisa mengontrol apa yang mau mereka lakukan. Baik berhubungan sama hal dari dunia lain, ataupun hal hal yang berkesinambungan. Tapi gue engga, dari situ aja udah beda. Di pendapat gue, Indigo itu bukan kelebihan, tapi penyakit. Gue ngerasa aneh aja, ga kaya orang normal lainnya. Sering di anggap ngibul, makanya sebisa mungkin gue selalu nutupin hal ini.” jawab Jeje sembari menjelaskan panjang lebar. “Semua keluarga gue dari pihak Ayah, punya kejadian yang serupa kaya gini. Kakak cowo gue juga indigo, tapi di umur ke dua puluh empatnya kuasa dia buat melihat hal selain dunia ini ilang. Gue juga berharap, bisa kaya gitu. Karena punya hal kaya gini, bukan hal yang patut di banggain.” lanjutnya lagi.

Tsani terdiam, dia ga paham kalau beban yang di tanggung Jeje untung sebuah tittle “Anak Indigo” Itu se-melelahkan ini. Tiba-tiba dia merasa bersalah, karena udah bahas hal kaya gitu.

“Btw, gue sempet liat skandal lo waktu di kosan beberapa minggu lalu.” kata Jeje lagi, mencoba mencairkan suasana.

Tsani menolehkan kepalanya dengan kaget, “Kenapa nyebutnya skandal banget sih???” tanya Tsani tidak terima.

“Terus apaan kalo bukan skandal? Aib?” balas Jeje lagi, makin membuat Tsani naik pitam.

“Ga gitu juga anj-”

“Iya iya becanda, maaf Bang.” Ucap Jeje mengalah, Tsani lucu banget kalo lagi kelabakan.

“Seantero indekos kayanya paham kalo gue tuh bucin banget sama cewe gue, dan kayanya lo orang terbaru yang tau hal itu.” kata Tsani mulai menjelaskan, “Gatau sih, kaya dia tuh support system banget bagi gue. Dia selalu ada di waktu waktu sulit di hidup gue. Gue ga bisa bayangin, apa gue bakalan tetep bisa lewatin hal itu, kalo ga ada cewe gue di sampingnya.” sambungnya lagi.

Bisa Jeje liat, cara Tsani mendeskripsikan cewenya itu beneran tulus banget. Jeje jadi kepikiran, Kira-kira dia bakalan punya seseorang yang bisa mencintai dia setulus yang di lakukan Tsani ke cewenya ga ya?

“Jadi jangan bilang itu skandal atau aib ya njir, gue beneran pure jaga cewe gue. Dan dia nginep di kosan itu juga karena kosan dia udah di tutup di atas jam sepuluh. Dia abis ngerjain proker sama temennya.” Sahut Tsani, mengagetkan lamunan Jeje.

Jeje cuma nyengir, “Iya, maaf Bang. Tadi ga maksud nyindir gitu kok. Terus gimana? Lo ada rencana buat jenjang yang lebih serius ga?” tanya Jeje lagi, mengalihkan perhatian biar kaga di nyinyirin Tsani mulu.

“Nah, rencananya sih lulus kuliah gue mau lamaran Je.” jawab Tsani menggebu-gebu.

“Bentar, lo lulus kuliah langsung nikah gitu?” tanya Jeje tak percaya.

“Ya, iya? emang kenapa?”

“Nyari kerja dulu lah Bang, masa fresh graduated langsung kawin. Lagian buat meyakinkan orang tua pacar lo, kalo lo tuh pantas buat anak cewe nya.” kata Jeje panjang lebar, menasehati.

Tsani yang ada di sampingnya tertawa dengan puas, tangannya menepuk nepuk pundak Jeje keras. “Maksudnya lamaran tuh tunangan doang Je, Ya Allah. Cewe gue juga butuh lulus kuliah dulu.”

'Anjing, sok sokan nasehatin ternyata salah arah. Malu banget gue bangsat.'

“Tapi di balik itu juga, apa yang lo bilang emang ada benernya sih Je. Gue perlu kerja, untuk bangun rumah yang pantas buat cewe gue di masa depan.” sambung Tsani senyum ganteng ke arah Jeje.

“Enak juga ya lo Je di ajak curhat, pantes aja Juni sering curhat ke lo.” Ni orang udah punya cewe tapi gatau diri banget, bikin jantung Jeje ketar ketir aja.