JC Halcyon

Anan menyalakan lagu di spotify nya. Ia menolehkan kepalanya pada Haikal yang masih berpamitan pada Hermas yang mengendarai kendaraan berbeda.

Sedikit yang ia dengar, Haikal menyuruh Hermas untuk berhati-hati saat mengendarai mobil. Ia juga menitip pesan pada Hermas untuk di sampaikan ke bang Candra karena ia akan pulang terlambat sebab harus mengantar Anan terlebih dahulu.

“Lama banget, kaya ngasih wasiat.” keluh Anan, begitu Haikal memasuki mobilnya.

Haikal hanya tertawa kecil, “rutinitas Nan. Lo gatau aja, si Hermas kalo ga gue pamitin waktu balik sendiri pasti bawaannya bakalan gelisah.” jawab Haikal menjelaskan.

Anan mengangkat satu alisnya penasaran, “tau dari mana lu anaknya bakalan gelisah?” tanyanya kemudian.

Feeling lah bro, kita aja udah berbagi di dalam rahim yang sama dengan waktu yang sama juga. Kadang gue suka bingung, gue bisa ngerasain apa yang Hermas rasain tanpa harus di ucapkan di kalimat.” ujar Haikal jujur.

Anan menatap jalanan yang mulai sepi karena sudah menunjukkan pukul tengah malam.

“Tapi lo ga selalu klop sama Hermas.” gumam Anan, membuat Haikal yang mendengar nya ikut bingung.

“Maksud lo?”

“Ya ga semua sih, cuma menurut gue lo dan Hermas ga selalu cocok di segala situasi.”

“Hmmmm, mungkin karena emang ada beberapa hal di gue dan dia ga bisa di satuin juga sih.”

Indeed.”

Haikal dan Anan kembali terdiam, mereka hanya menikmati suasana kali ini dalam sepi.

“Nan, apa sih yang bikin lo masih belom bisa lupain Nada?” tanya Haikal tiba-tiba.

Anan menolehkan kepalanya, dirinya tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Haikal. “Nada itu yang melukis langit biru di hidup gue Kal, tapi dia juga yang mengubahnya jadi hujan.”

Haikal melihat raut wajah Anan melalui kaca dashboard. “Kalau di fikir lagi, lucu juga ya Nan. Nada itu harapan, yang harus lo ikhlaskan.” ucap Haikal mengejek.

Haikal belajar banyak hal sejak kepergian Nada. Mereka yang mengenal Nada, akan merindui sosok Nada jika mereka gagal mencari penggantinya. Sesingkat apa pun cerita nya, prihal melupakan bukan lah hal yang mudah.

Kemudian Haikal teringat dengan wanita yang ia temui tempo hari di Pujasera. Ia sudah menceritakan nya pada Hermas dan Delvin, tapi ia juga berniat untuk menceritakan hal ini pada Anan, karena ia ingin mengetahui bagaimana pendapat Anan.

Haikal mengetuk kemudi stir dengan ragu, apakah ia harus melakukannya atau tidak. “Nan, sebenernya gue mau cerita sesuatu sih. Tapi gue masih ragu.”

“Yaudah, gausah cerita kalo gitu.” potong Anan enteng. Haikal mendengus kesal, ia sudah menduga kalau jawaban Anan akan acuh seperti itu.

“Lo tau, gue sempet kaget karena ketemu orang yang suaranya mirip banget sama Nada.” ujar Haikal pada akhirnya.

Anan menolehkan kepalanya dengan cepat pada Haikal, “apa lo bilang?”

Haikal menundukkan pandangannya, tidak berani menatap Anan yang kini meminta penjelasan lebih lanjut padanya. Lagian Haikal sih, ngapain coba mancing mancing kaya gitu. Blunder sendiri kan jadinya.

“Gatau, gue merasa kalau itu bukan halu. Tapi Nan, gue tau betul gimana suara Nada. Gue sempet shock juga, dan gue kira kalau sangking rindunya sama Nada, mungkin gue berhalusinasi kalau orang itu punya suara kaya Nada. Tapi kemudian gue tersadar, kalau orang yang gue temui hari itu punya proposi tubuh dan tinggi yang mirip sama Nada.” jelas Haikal panjang lebar.

Anan mengeratkan kedua tangannya.

“Gue mungkin bilang lo harus lupain Nada dan yang lainnya, tapi lo tau betul Nan pemikiran gue jauh lebih rasional kalau berfikir soal Nada.” Sambungnya lagi, makin membuat Anan terdiam.

“Menurut lo, apa itu kemungkinan Nada?” tanya Anan pada akhirnya, setelah ia lebih memilih untuk terdiam sedikit lebih lama.

Haikal menggelengkan kepalanya, “Gue bilang, gue gue ga halu soal suara yang mirip Nada. Tapi di antara banyaknya manusia di bumi ini, banyak orang yang memiliki warna suara yang sama bukan?”

“Maksud ucapan lo saat ini apa?”

“Gue gatau juga, otak gue terbelah jadi dua saat ini. Gue yang mencoba untuk berfikir lebih faktual kalau Nada udah ga ada, dan gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalau dia udah di makamin di dalam tanah. Tapi di otak gue yang lain, gue berfikir kalau beberapa soal kematian Nada itu penuh kejanggalan. Apalagi sebelum Nada hilang, dia pake hoodie lo yang warna tosca. Tapi ketika jasad di temukan, dia ga pake hoodie itu. Walaupun gue tau, beberapa pihak udah menjelaskan kalau Nada mungkin sempat kena hipotermia dan membuat dia berhalusinasi kalau dia merasakan panas, kemudian lepas semua bajunya. Tapi tetep aja Anan, gue ga bisa menerima point yang itu. Sama sekali.”

Untungnya Keenan ngasih tahu lebih dulu, dimana backstage perlombaan karate berada. Keira baru tau, kalau di gedung olahraga hari ini yang ngadain perlombaan bukan cabang karate doang.

Ada banyak cabang perlombaan, kaya badminton, terus futsal, dan satunya tenis meja. Pantesan aja, kenapa Keira ga nemu tempat sepi sama sekali, alias di mana-mana penuh sama banyaknya manusia yang terus berdatangan.

Keira menghampiri Keenan yang tengah duduk di kursi yang telah di sediakan untuk para atlet.

“Keenan,” sapa Keira, dan langsung memegang wajah Keenan yang sedikit bengkak di bagian hidung. “Mimisan nya udah berhenti?” tanyanya lagi, khawatir.

Keenan yang tadinya lagi asik merem, langsung melotot terkejut begitu merasa ada seseorang memegang wajahnya.

“Kak? Gue kira lo kesasar dulu.” sapa Keenan balik, dan membiarkan Keira menyentuh wajahnya dengan lembut.

Keira memberikan tas slempang nya pada Keenan, dan berlalu dari sana. Keenan mengernyitkan dahinya bingung, ni anak mau kemana lagi dah.

Ternyata Keira menghampiri panitia penyelenggara untuk meminta ice bag compress untuk Keenan. Keenan mah tadi udah di obatin, tapi dia tetep biarin Keira melakukan effort untuknya tanpa berniat untuk mencegahnya. Dia cuma ga mau menghalangi kekhawatiran Keira, dan biarin Keira periksa keadaan dia sendiri.

“Aduh, idung lo ga sakit kan bagian sini?” tanya Keira sembari memencet batang hidung Keenan selembut mungkin.

Keenan menggelengkan kepalanya, “ga ada yang sakit, tadi kayanya cuma kena gores dikit.” jelas Keenan, dan memegang tangan Keira yang telaten mengompres pipi kirinya.

“Keen, gue takut idung lo bengkok.” ucap Keira polos, karena dia tahu betul sekeras apa tonjokan musuh nya tadi.

“Gue tau, tapi gue ga apa-apa kan buktinya.” ujar Keenan kemudian, menenangkan.

Keira melepas topi dan maskernya, kemudian ia memakaikan topi ke Keenan. “Mau makan di luar dulu abis ini?” tanya Keira lagi.

“Terserah kak Adit, gue nurut aja mau di bawa kemana.” jawab Keenan singkat.

Ponsel Keira berbunyi, menunjukkan profil Adit tengah menelponnya. “Eh bentar, gue angkat telpon dari kak Adit dulu. Lo beres beres, kayanya dia udah nyampe di depan Gedung Olahraga deh.” ucap Keira, dan berlalu dari sana untuk mengangkat panggilan dari Adit.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?”

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan, seniornya di dojo karate nya yang baru saja selesai bertanding pada babak pertama.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung juniornya ini dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya kemudian.

Keenan mengangguk-angguk mendengarkan saran Yohan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” ajak Keira sekembalinya bercakap dengan Adit di ponselnya tadi.

Keira menolehkan kepalanya pada lelaki yang kini juga tengah menatapnya dengan intens.

Seolah meminta bantuan pada Keenan, Keira mengisyaratkan dengan tatapan mata seolah bertanya siapa pria itu.

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

“Oh, hai Yohan. Gue Keira, kakaknya Keenan.” kata Keira memperkenalkan diri, dan mengulurkan tangannya pada Yohan yang masih terdiam menatapnya.

'Ini seriusan kaga mau salaman sama gue apa gimana sih anjing? Sengaja banget lama lamain buat jabat tangan doang.'

Dengan perlahan, setelah agak lama, Yohan menyambut uluran tangan dari Keira.

'Kenapa tangannya dingin banget anjrot?!'

“Yohan.” ujar Yohan singkat memperkenalkan diri. Keira menganggukkan kepalanya dan tersenyum, kemudian melepas jabatan tangannya dari Yohan.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.


Yohan berjalan keluar dari panggung pertandingan dengan sumringah, karena ia bisa meraih poin penuh pada pertandingan pertamanya.

Setelah wasit mengarahkan mereka untuk beristirahat di stage, atensi Yohan teralihkan oleh juniornya yang ada di dojo yang sama dengan dirinya tengah memegang ice bag, dan menempelkan pada pipi kirinya.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?” Sapa nya langsung, dan menghampiri juniornya itu.

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan.

Yohan mengenal Keenan dengan baik, karena di Dojo dirinya selalu memperhatikan perkembangan anggota yang lain. Dan Keenan adalah salah satu anggota di Dojo yang memiliki perkembangan pesat, maka dari ia menaruh perhatian lebih pada Keenan.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung Keenan dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya lagi, dan menempelkan kembali ice bag yang sudah di pegang Keenan sedari tadi di tangan kanan nya ke pipi kiri Keenan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” Ucap seorang wanita, dan mengalihkan atensi Yohan ke sumber suara itu juga.

Yohan terdiam mematung, melihat wanita di depannya saat ini.

'Nada?'

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

Yohan masih menatap tak percaya pada wanita di depannya ini. Tangannya mendingin, ia benar benar merasa terkejut dengan situasi saat ini.

'Kakak nya Keenan?'

Seolah tersadar dengan tatapan tak nyaman yang datang dari Keenan dan wanita di depannya ini, Yohan mengusap kedua telapak tangannya di baju karate nya sebelum menyambut uluran tangan wanita itu.

“Yohan.” jawabnya singkat.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.

Seperginya Keenan dan Keira dari sana, Yohan langsung terduduk lemas di lantai. “Demi Tuhan, gue ga pernah merasa se kaget ini dalam hidup.” racau nya tidak jelas.

Yohan memandang kedua tangannya yang gemetar, ia masih mencoba untuk mempercayai apa yang baru saja ia lihat.

Yohan bahkan berfikir kalau matanya baru aja berbohong, dan yang ia barusan lihat hanyalah halusinasi semata. Nada yang sudah tiada, bagaimana bisa ada di depannya dan memiliki identitas lain sebagai Keira adik dari juniornya sendiri di karate.

Paras Nada dan Keira benar benar mengecoh nya. Yohan memegang rambutnya dengan frustasi, dirinya berusaha meredakan degup jantung yang menggila sedari tadi.

Doppelganger itu ga mungkin semirip itu kan...”

# Yohan dan prasangka

Untungnya Keenan ngasih tahu lebih dulu, dimana backstage perlombaan karate berada. Keira baru tau, kalau di gedung olahraga hari ini yang ngadain perlombaan bukan cabang karate doang.

Ada banyak cabang perlombaan, kaya badminton, terus futsal, dan satunya tenis meja. Pantesan aja, kenapa Keira ga nemu tempat sepi sama sekali, alias di mana-mana penuh sama banyaknya manusia yang terus berdatangan.

Keira menghampiri Keenan yang tengah duduk di kursi yang telah di sediakan untuk para atlet.

“Keenan,” sapa Keira, dan langsung memegang wajah Keenan yang sedikit bengkak di bagian hidung. “Mimisan nya udah berhenti?” tanyanya lagi, khawatir.

Keenan yang tadinya lagi asik merem, langsung melotot terkejut begitu merasa ada seseorang memegang wajahnya.

“Kak? Gue kira lo kesasar dulu.” sapa Keenan balik, dan membiarkan Keira menyentuh wajahnya dengan lembut.

Keira memberikan tas slempang nya pada Keenan, dan berlalu dari sana. Keenan mengernyitkan dahinya bingung, ni anak mau kemana lagi dah.

Ternyata Keira menghampiri panitia penyelenggara untuk meminta ice bag compress untuk Keenan. Keenan mah tadi udah di obatin, tapi dia tetep biarin Keira melakukan effort untuknya tanpa berniat untuk mencegahnya. Dia cuma ga mau menghalangi kekhawatiran Keira, dan biarin Keira periksa keadaan dia sendiri.

“Aduh, idung lo ga sakit kan bagian sini?” tanya Keira sembari memencet batang hidung Keenan selembut mungkin.

Keenan menggelengkan kepalanya, “ga ada yang sakit, tadi kayanya cuma kena gores dikit.” jelas Keenan, dan memegang tangan Keira yang telaten mengompres pipi kirinya.

“Keen, gue takut idung lo bengkok.” ucap Keira polos, karena dia tahu betul sekeras apa tonjokan musuh nya tadi.

“Gue tau, tapi gue ga apa-apa kan buktinya.” ujar Keenan kemudian, menenangkan.

Keira melepas topi dan maskernya, kemudian ia memakaikan topi ke Keenan. “Mau makan di luar dulu abis ini?” tanya Keira lagi.

“Terserah kak Adit, gue nurut aja mau di bawa kemana.” jawab Keenan singkat.

Ponsel Keira berbunyi, menunjukkan profil Adit tengah menelponnya. “Eh bentar, gue angkat telpon dari kak Adit dulu. Lo beres beres, kayanya dia udah nyampe di depan Gedung Olahraga deh.” ucap Keira, dan berlalu dari sana untuk mengangkat panggilan dari Adit.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?”

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan, seniornya di dojo karate nya yang baru saja selesai bertanding pada babak pertama.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung juniornya ini dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya kemudian.

Keenan mengangguk-angguk mendengarkan saran Yohan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” ajak Keira sekembalinya bercakap dengan Adit di ponselnya tadi.

Keira menolehkan kepalanya pada lelaki yang kini juga tengah menatapnya dengan intens.

Seolah meminta bantuan pada Keenan, Keira mengisyaratkan dengan tatapan mata seolah bertanya siapa pria itu.

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

“Oh, hai Yohan. Gue Keira, kakaknya Keenan.” kata Keira memperkenalkan diri, dan mengulurkan tangannya pada Yohan yang masih terdiam menatapnya.

'Ini seriusan kaga mau salaman sama gue apa gimana sih anjing? Sengaja banget lama lamain buat jabat tangan doang.'

Dengan perlahan, setelah agak lama, Yohan menyambut uluran tangan dari Keira.

'Kenapa tangannya dingin banget anjrot?!'

“Yohan.” ujar Yohan singkat memperkenalkan diri. Keira menganggukkan kepalanya dan tersenyum, kemudian melepas jabatan tangannya dari Yohan.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.


Yohan berjalan keluar dari panggung pertandingan dengan sumringah, karena ia bisa meraih poin penuh pada pertandingan pertamanya.

Setelah wasit mengarahkan mereka untuk beristirahat di stage, atensi Yohan teralihkan oleh juniornya yang ada di dojo yang sama dengan dirinya tengah memegang ice bag, dan menempelkan pada pipi kirinya.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?” Sapa nya langsung, dan menghampiri juniornya itu.

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan.

Yohan mengenal Keenan dengan baik, karena di Dojo dirinya selalu memperhatikan perkembangan anggota yang lain. Dan Keenan adalah salah satu anggota di Dojo yang memiliki perkembangan pesat, maka dari ia menaruh perhatian lebih pada Keenan.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung Keenan dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya lagi, dan menempelkan kembali ice bag yang sudah di pegang Keenan sedari tadi di tangan kanan nya ke pipi kiri Keenan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” Ucap seorang wanita, dan mengalihkan atensi Yohan ke sumber suara itu juga.

Yohan terdiam mematung, melihat wanita di depannya saat ini.

'Nada?'

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

Yohan masih menatap tak percaya pada wanita di depannya ini. Tangannya mendingin, ia benar benar merasa terkejut dengan situasi saat ini.

'Kakak nya Keenan?'

Seolah tersadar dengan tatapan tak nyaman yang datang dari Keenan dan wanita di depannya ini, Yohan mengusap kedua telapak tangannya di baju karate nya sebelum menyambut uluran tangan wanita itu.

“Yohan.” jawabnya singkat.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.

Seperginya Keenan dan Keira dari sana, Yohan langsung terduduk lemas di lantai. “Demi Tuhan, gue ga pernah merasa se kaget ini dalam hidup.” racau nya tidak jelas.

Yohan memandang kedua tangannya yang gemetar, ia masih mencoba untuk mempercayai apa yang baru saja ia lihat.

Yohan bahkan berfikir kalau matanya baru aja berbohong, dan yang ia barusan lihat hanyalah halusinasi semata. Nada yang sudah tiada, bagaimana bisa ada di depannya dan memiliki identitas lain sebagai Keira adik dari juniornya sendiri di karate.

Paras Nada dan Keira benar benar mengecoh nya. Yohan memegang rambutnya dengan frustasi, dirinya berusaha meredakan degup jantung yang menggila sedari tadi.

Doppelganger itu ga mungkin semirip itu kan...”

Anan menghampiri Hermas yang tengah menikmati pemandangan sore hari itu. Buset dah, kaya bocah indie beneran ni anak.

“Kenapa ikutan keluar?” sambut Hermas, begitu Anan sudah mengambil tempat duduk di sampingnya.

“Berisik.” jawab Anan singkat, dan mulai mengikuti kegiatan yang saat ini tengah di lakukan Hermas. Menikmati fase matahari terbenam.

“Hermas, gue boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Anan tiba-tiba, memotong sesi mereka menjadi anak indie saat ini.

Hermas hanya menganggukkan kepalanya, mempersilahkan Anan untuk bertanya.

“Penyesalan terbesar apa yang sampai saat ini masih sering lo sesali?” ujar Anan lagi, setelah ia berfikir cukup lama.

Hermas menolehkan kepalanya dengan bingung, tidak mengerti kenapa Anan menanyakan hal seperti itu padanya.

Sejurus kemudian, Hermas kembali menatap langit yang kini sudah berubah warna menjadi gelap.

“Banyak, dan mungkin yang paling besar adalah Nada.” jawab Hermas kemudian.

Anan tersenyum kecil, ia sudah menduga kalau jawaban itu akan keluar dari mulut Hermas.

“Maksud lo apaan nanya kaya gini?” tanya Hermas lagi, setelah ia menyadari bahwa Anan sudah menjebaknya untuk pertanyaan yang menjerumus.

Anan menggelengkan kepalanya kecil, “Ga ada maksud apa-apa. Gue cuma penasaran aja.” kilahnya lebih lanjut.

“Gue gatau kalau dari kacamata kalian semua kaya gimana, atau bahkan kesannya gue kaya adu nasib gini.” ungkap Hermas setelah terdiam lama. “Di bandingkan bang Delvin yang udah ninggalin Nada di tengah track saat itu, dan buat Nada menghilang. Gue lebih merasa kalau perasaan bersalah di gue untuk Nada jauh lebih besar dari apa yang bang Delvin rasakan.” sambungnya lagi.

Anan hanya bisa mendengarkan ucapan Hermas dalam diam, tanpa ada niat untuk menyanggahnya.

“Gue jauh lebih merasa bersalah, karena lo tau, bahkan di malamnya gue baru aja baikan secara resmi sama Nada.” racau Hermas sesak. “Gue baru aja liat gimana binar mata Nada bisa buat hati gue jauh lebih nyaman. Banyak penyesalan yang gue rasakan saat itu, kaya kenapa gue ga mencoba untuk menerima Nada lebih awal dan lainnya. Setelah kepergian Nada, setiap malam gue susah tidur, dan sekalinya gue bisa tidur, alam bawah sadar gue bahkan ga mengizinkan gue buat beristirahat dengan nyenyak karena rasa bersalah itu bahkan tetap mengejar gue bahkan ke alam mimpi.”

“Gue mulai mengkonsumsi obat tidur tanpa resep dokter, dan di puncaknya gue sempet drop dan masuk rumah sakit karena itu. Lo tau, betapa hancurnya kita kan Nan? Karena lo juga ikut melewati hal itu.”

“Gue tau banyak tentang orang-orang di sekitar gue, walaupun di kenyataannya gue emang memilih untuk diam daripada mengatakan apa keresahan gue. Kenapa? Ya karena gue rasa itu adalah hal yang sia-sia. Sampai saat Nada datang, dan dia dengan terang terangan bisa menentang ucapan Oma. Lo tau, dari situ gue merasa kalau ada kalanya kita memang harus menyuarakan pendapat kita walaupun banyak orang yang menentangnya.”

“Gue juga tau, di keadaan ini banyak orang yang mendesak lo buat ngelupain Nada.” sambung Hermas lagi.

Anan menolehkan kepalanya pada Hermas dengan cepat.

“Selama ini gue diem, karena gue tau apa yang lo rasakan pasti ga jauh berbeda dari yang gue rasakan. Tapi pada kenyataannya, gue ga bener-bener merasa kehilangan Nada, karena memang sejak awal Nada selalu ada di dalam hati gue” tutur Hermas, dan menepuk pundak Anan dua kali dengan lembut.

“Banyak yang bilang, kalau fase paling tinggi dalam melepaskan seseorang itu dengan mengikhlaskannya. Dan itu memang benar adanya Nan. Tapi untuk saat ini, baik gue sama lo kayanya belom sampai di tahap itu deh.” ujar Hermas lagi membuat Anan tersadar, kalau ia dan Hermas tidak jauh berbeda.

“Her, gue ga salah kan kalau sampai saat ini belom bisa lupain Nada?” tanya Anan gamang.

Hermas tersenyum tipis, “nggak salah kok.”

“Makasih, udah mau ngertiin gue. Gue kadang suka ketawa, kok bisa kita cocok di hal yang lumayan rumit ini.” kata Anan setelah mendapatkan validasi dari Hermas. “Even saudara kembar lo sendiri, Haikal, dia nyuruh gue buat ngelupain Nada.” sambungnya lagi sendu.

“Lo tau, bahkan sebelum waktu kita berpisah sama Nada, anaknya masih sempet sempetnya loh ngeanalogiin kita sama bintang.” sahut Hermas mengingat ketika Nada menjelaskan padanya, kalau dia adalah bintang yang indah tetapi cahayanya redup.

“Bintang?” tanya Anan tidak mengerti.

“Iya, dia bilang bintang gue itu yang paling redup diantara yang lainnya, tapi kalau di lihat lagi, bintang gue itu sebenernya yang paling indah.” jawab Hermas dengan bangga.

“Hahahahaha, at least lo punya kenangan dan perpisahan terakhir yang indah sama Nada.” ujar Anan iri setelah mendengarkan penuturan Hermas.

Hermas menggelengkan kepalanya tidak setuju, “Seindah apapun cara seseorang berpamitan, yang namanya perpisahan itu tetap menyakitkan.”

Keira mengajak Jisel untuk bergabung bersama keluarganya dalam rangka mendukung Keenan yang saat ini tengah mengikuti Olimpiade Olahraga cabang Karate.

Kak Adit sendiri yang jemput mereka berdua tadi, dan sekalian si Jisel bilang pengen kenalan sama keluarganya si Keira.

Keira juga dengan senang hati memperkenalkan keluarga dia sama Jisel. Mau gimanapun Jisel itu anak perantauan, dia ga mau kalau sampai sahabatnya itu kesepian saat menuntut ilmu sendirian di sini. Maka dari itu, sebisa mungkin Keira ingin membuat Jisel merasa nyaman dalam kondisi apapun.

“Rame banget buset.” keluh Jisel, begitu mereka sampai di gedung olahraga banyak orang yang juga berada di sana untuk menonton pertandingan hari ini.

“Gapapa Sel?” tanya Adit memperhatikan Jisel yang melirik sekitarnya dengan tidak nyaman.

“Ga masalah sih gue kak sebenernya, cuma ya gitu, pusing aja bisa seramai ini.” jelas Jisel tak ingin membuat adik dan kakak itu khawatir lebih lanjut.

“Ayah, mas Bima, sama mbak Tiara dimana sih kak?” tanya Keira begitu menyadari, mereka bertiga sedari tadi hanya melewati bangku penonton yang kosong.

“Di podium sebelah Ra, tadi kita salah masuk.” jelas Adit, dan memegang tangan Keira untuk terus membuntuti nya.

“Terus kita mau jalan muter ke sana?” tanya Keira bingung, sumpah kalau boleh dia ga akan mau untuk muter sampai ke podium sebelah. Karena dia udah cape banget dari tadi naik tangga buat ke kursi podium atas.

“Enggak kok, ini kakak ajak kalian berdua gabung di tempat temennya kakak. Biar ga jalan kelamaan juga, kalian pasti capek.” jelas Adit lagi sembari tersenyum menenangkan.

Kalau ga ada banyak orang, rasanya Keira udah mau lari dan memeluk punggung kakaknya itu dari belakang. So sweet banget dah jadi cowo!


Binbin udah berasa kaya guru taman kanak-kanak, karena saat ini dia sama Dinan lagi sibuk banget mengkondisikan teman temannya yang pada heboh mau dukung Yohan.

Sebenernya ini masih jam empat sore, sedangkan pertandingan Yohan sendiri baru di mulai jam enam nanti. Tapi atas usul Haikal, mereka berangkat lebih awal supaya mudah dalam mencari tempat nonton yang strategis.

“Heh, ayolah rek. Kok koyok bocah cilik kabeh. Mbok yo seng penak lek di atur!” keluh Binbin, karena sedari tadi teman teman nya ribut melulu soal posisi kursi. (Heh, ayolah guys. Kok kaya anak kecil semua. Ayo dong, yang enak kalau di atur.)

Pokoknya ribet banget, si Javin yang gamau ada di samping anak tangga. Gatau kenapa anaknya gamau, padahal si Dinan sengaja naroh dia disitu, karena badannya kekar dan berotot guna menutupi orang lain yang ingin masuk ke tempat duduk mereka.

Terus si Haikal yang ga mau duduk sampingan sama Ren, ini juga ulahnya si Kayla yang mohon ke Binbin tadi lewat chat supaya kedua anak itu di sandingkan.

Abis itu si Adelio yang ga mau di pisah buat duduk sama Anan, gatau kenapa ini anaknya nempel si Anan terus kaya pasangan homo.

Belum lagi si Hermas yang lebih memilih duduk menjauh dari kawanan temannya, karena ga mau ikutan sibuk ngeliatin temen temennya susah di atur.

Dinan sama Binbin udah mau nangis aja, karena si Hardin beneran ga bisa dateng buat nontonin pertandingan Yohan. Dan Hardin sendiri udah nitip pesan buat ngatur anak-anak di gedung olahraga supaya ga ricuh. Karena anaknya bilang hari ini ada rapat management, yang wajib dia datangi untuk membuka cabang cafe di daerah lain.

Akhirnya setelah perdebatan panjang, mereka semua bisa duduk rapi di bangku masing masing.

Ini urutan mereka duduk,

Anan hanya bisa tersenyum dan menepuk pundak Dinan lembut, dia tau kalau temannya ini udah berusaha keras dan memang wajib di berikan apresiasi.

Tatapan Anan kembali ke arah depan, dirinya kembali menonton pertandingan karate antar SMA itu dengan fokus.

“Masih sabuk hijau ya.” gumam Anan pelan.

“Iya, gue jadi keinget, dulu Nada juga masih sabuk hijau waktu dia cerita soal karate nya.” sahut Aldeo dari samping, ternyata ia mendengar ucapan Anan.

Anan menolehkan kepalanya, ia tersenyum karena Aldeo juga masih mengingat hal kecil tentang Nada, sama sepertinya.

“Kenapa lo ga ikut tanding kaya Yohan?” tanya Anan kemudian.

Aldeo menggelengkan kepalanya, “gue fikir lagi, mungkin karate emang bukan passion gue.” Jawab Aldeo kemudian. “Karena gue ikut karate senang doang waktu di puji, actually gue ga benar benar menikmati progressnya kaya gimana, beda sama Yohan.” jelas Aldeo panjang lebar.

“Terus apa menurut lo, sekarang lo menikmati ketika mengajar anak anak latihan karate?” tanya Anan lagi, ia tau kalau sekarang Aldeo telah menjadi senpai di salah satu dojo terbesar di kota Malang.

Aldeo menganggukkan kepalanya dengan semangat, “gue bahagia waktu liat anak anak kecil antusias belajar karate Nan, gue merasa lubang di hati gue setelah gue memutuskan keluar dari aksi lapangan karate mulai tertutupi satu persatu ketika gue ngajar mereka.” sahut Aldeo mantab.

Anan memandang Aldeo iri, Aldeo dengan mudah menentukan apa hal yang menjadi bahagianya dalam hidup.

Seolah mengerti, Aldeo menepuk pundak Anan pelan. “Semua ada waktunya Anan. Gue juga butuh waktu lama buat melepaskan kenyataan bahwa gue emang ga cocok lagi di dunia karate sama seperti Yohan.” ucap Aldeo mencoba membaca raut wajah Anan. “Gue ngerti, selama ini lo juga sedang dalam proses melupakan Nada kan? Gue tau, lo juga ga benar benar berusaha buat ngelupain Nada. Lo sahabat gue, dan gue menghormati apapun hal yang menjadi keputusan lo selama ini. Gue ga akan ikut campur lebih dalam soal urusan hati lo, dan mendiang Nada. Tapi ada satu hal yang perlu lo ingat Anan, mencintai orang yang sudah tiada itu adalah jalan melukai diri sendiri yang paling pahit.

Delvin kembali ke kamarnya, setelah dirinya pergi meninggalkan Haikal yang tertegun bersama dengan dokumen pasien yang ia tinggalkan di meja ruang tamu.

Serah dah, siapa aja yang mau beresin nanti. Pastinya saat ini dia butuh untuk sendiri dulu, karena setelah membahas soal dunia dan isinya mood nya kembali memburuk. Emang ni cowo satu, perasaan moody an banget jadi orang.

Delvin berjalan ke arah kasurnya, tidak lupa dirinya juga membawa photo album yang sudah di serahkan Yudha tadi sore.

Membahas tentang dunianya, Delvin tidak berbohong kalau dunianya sudah hancur. Nggak, ini bukan majas hiperbola dimana dirinya melebih lebihkan tentang hal yang telah terjadi.

Tetapi setelah kepergian Nada, banyak hal berubah dan hati Delvin adalah salah satunya. Hati Delvin berubah menjadi sekeras batu, dan membuat orang-orang di sekitarnya bingung untuk mengatasinya.

“Tiga tahun.” ucap Delvin sembari menyentuh potret Nada lembut, “Tiga tahun ternyata selama itu ya Nad?” sambungnya lagi.

Dirinya mengenang awal mula ia bertemu dengan Nada. Dimana Nada yang saat itu datang bersama Papa, tidak henti hentinya menatap kagum mereka semua.

Mungkin awal dulu, Delvin sedikit risih dengan adanya Nada. Karena dirinya menjadi tidak sebebas dulu saat di rumah.

Dulu sebelum kehadiran Nada, dirinya bebas untuk tidak memakai baju hanya sekedar berjalan kesana kemari mengelilingi rumah. Tetapi setelah Nada datang, Candra kerap menegurnya agar dirinya memakai setelan lengkap walau hanya ke dapur untuk menjaga kewarasan Nada tetap ada.

Cukup menyusahkan, karena Delvin sendiri bukan tipe orang yang menikmati perubahan. Tetapi seiring berjalannya waktu, justru kini Delvin adalah orang yang paling nyaman untuk selalu memakai bajunya atau keluar kamar menggunakan setelan lengkap. Tidak seperti saudaranya yang lain, dimana mereka semena mena menggunakan celana boxer untuk berjalan kesana kemari.

Dirinya teringat ketika memergoki Nada menangis keras sehabis bertengkar dengan Hermas. Ia yang merasa kebingungan untuk menenangkan seorang gadis menangis, dan juga ucapan bercanda Nada yang aneh meminta untuk menciumnya. Dia ingat semua itu, dan tidak akan pernah melupakan nya.

Delvin ingat ketika ia kebingungan mencari Nada, sewaktu Jeffery dengan tidak sengaja meninggalkan nya di mall. Dimana ia menjadi orang pertama yang langsung tancap gas mencari keberadaan Nada.

Jika di ingat lagi, sewaktu itu mungkin dirinya masih naif dan berfikir bahwa ia mencari Nada adalah sebuah kewajiban supaya Mama dan Papa tidak marah. Tetapi teryata ia sadar, kekhawatiran nya adalah hal yang nyata dimana ia sudah menerima Nada sebagai adiknya juga.

Delvin memotret kembali foto Nada, untuk ia jadikan wallpaper baru pada layar ponselnya.

Dirinya tersenyum, melihat jajaran benda langit antara bintang Sirius dan Venus. Bintangnya dan juga Nada.

Banyak teman kuliahnya yang mengira jikalau wanita yang selalu menjadi wallpaper di ponselnya itu adalah kekasihnya. Bukannya Delvin tidak tahu, hanya dirinya juga tidak ingin menyangkal nya dan menjelaskan pada orang lain siapa Nada sebenarnya.

Maka dari itu, se populernya Delvin di mata orang orang, tidak ada satupun wanita yang berani mendekatinya hanya sekedar untuk berkenalan. Seperti itu lah citra Delvin di mata orang lain, tidak tersentuh.

Delvin menutup photo album Nada, dan memasukkannya ke dalam laci dengan hati-hati. Sudah cukup untuk hari ini, mebebankan banyak hal untuk sekedar mengulik masa lalu.

Terlalu banyak kata andai yang ia sematkan bila berurusan dengan Nada. Andai ia menunjukkan semua kasih sayangnya dengan lebih terang terangan seperti yang Jerome lakukan. Andai ia lebih berani dan selalu mengajak Nada untuk keluar dan bermain seperti Jeffery. Andai ia selalu menjadi kakak yang bisa di andalkan seperti Jonathan.

Andai Delvin menjadi seseorang yang selalu ada untuk menampung keluh kesah Nada seperti yang di lakukan Tiyo. Andai Delvin bisa menjadi seperti Yudha, sosok yang selalu Nada kagumi segala tingkahnya yang menghangatkan hati. Andai Delvin seberani Arwena yang selalu di jadikan Nada sebagai tempat sandaran. Atau andai saja Delvin menjadi seseorang yang selalu mendukung dan menenangkan Nada di saat sulit seperti yang Candra sering lakukan.

Atau mungkin, andai saja Delvin bisa menjadi sahabat yang seru seperti hubungan Haikal dan Nada. Atau bahkan guru privat yang bisa di andalkan seperti Hermas yang sering mengajari Nada diam diam.

Banyak hal yang sudah terlewati, tetapi bagi Delvin hanya penyesalan lah yang paling utama. Entah sampai kapan, Delvin merasa rasa bersalah nya itu tak akan lekang oleh waktu.

Haikal akhirnya sampai di apartemen Adelio. Gatau ni anak naik mobil dalam kecepatan berapa, perasaan belum ada setengah jam udah nyampe aja.

“Gila, tadi gue berasa pake jalan pribadi anjir.” ucapnya tergesa, dan berjalan menuju dapur untuk mengambil minum.

“Kenapa?” tanya Adelio menanggapi.

“Sepi bener.”

Kemudian Hermas beranjak dari tempat duduknya, untuk mengambil tas nya yang ada di dalam kamar Adelio. Mungkin ini adalah waktu yang tepat untuk dirinya menyerahkan photo album Nada pada Anan.

“Lo tadi langsung cabut dari cafe kesini?” tanya Anan berbasa-basi.

“Abis gue selesai makan, gue langsung cabut dari sana.” ucap Haikal jujur, dan duduk di bawah kaki Adelio.

“Lo ga pulang dulu?” tanya Hermas keluar membawa photo album di tangannya, “berarti lo belom tau soal ini ya? Nih Nan, dari Bang Jo buat lo.” sambungnya dan menyerahkan photo album di tangan Anan.

Anan melihat Hermas dengan heran. “Photo album siapa?” tanyanya.

Hermas mengedikkan bahu tidak peduli, seolah menyuruh Anan untuk membuka dan melihatnya sendiri.

Haikal sudah tau, kalau mungkin itu adalah photo album Nada. Sedangkan Adelio yang berada di samping Anan ikut penasaran.

Anan membuka halaman pertama, terlihat dengan jelas foto Nada yang sudah di cetak ada di sana.

Adelio menolehkan kepalanya dengan terkejut, berusaha mengetahui apa yang kini Anan rasakan setelah melihat photo Nada disana.

Dengan sedikit gemetar, Anan membalik halaman seterusnya dan mulai melihat semua foto yang telah di cetak di album dengan seksama.

Hermas hanya memandangi Anan dalam diam, dirinya sudah cukup lelah bila berurusan dengan masa lalu dan Nada. Sudah banyak hal menyakitkan terjadi hanya karena mengenang sosok Nada.

“Anan, are you okay?” Kata Adelio khawatir, karena Anan hanya terdiam sedari tadi.

Langkah Adelio untuk bertanya ternyata salah, karena tak lama dari itu air mata mulai turun dan menetes ke arah album.

Bahkan Haikal yang selalu berfikir hal positif pun tidak menyangka, bahwa seorang Anan bisa meneteskan air matanya hanya karena melihat photo album yang penuh potret Nada.

Haikal berdiri dengan tergopoh, dan mulai memeluk tubuh Anan yang rapuh. “Aduh jangan nangis dong Nan, gue ga punya permen.” ucapnya sedikit melucu, mencoba meredakan kesedihan yang ada di hati sahabatnya itu.

Adelio menatap Anan prihatin, dan ikut memeluk tubuh Anan dari samping. Baru kali ini dirinya melihat sosok Anan menangis, dan rasanya itu jauh lebih menyakitkan daripada ketika dirinya sendiri menangis.

“Sakit ya Nan?” kata Adelio bertanya, “I'm sorry, such stupid question. Pasti sangking banyaknya, lo sampe gatau yang mana yang paling menyakitkan.” sambungnya lagi dengan suara parau.

Kehilangan Nada benar benar membuat hidup semua orang yang mengenalnya ikut berubah. Adelio merasa kehilangan, jujur saja rasa kehilangan itu ada dan besar. Tetapi setelah dirinya melihat keadaan Anan, rasa kehilangannya itu tidak ada bandingnya daripada yang di miliki oleh Anan.


Hermas dan Haikal sampai di rumah dengan bersama. Kenapa? Ternyata mobilnya Haikal di tinggalin di apartement nya Adelio. Hari ini dia cape banget, dan lebih memilih untuk balik bareng Hermas aja.

Delvin berada di ruang tamu dengan tangan yang sibuk memegang dokumen pasien. Dirinya tidak sadar bahwa kedua adik kembarnya itu telah pulang.

“Serius banget Bang?” tanya Haikal menginterupsi fokus Delvin.

“Dari mana?” tanya Delvin balik bertanya, tanpa ingin menjawab pertanyaan Haikal tadi.

Haikal mengambil tempat duduk di samping Delvin. “Dari apartment nya Adelio.” jawabnya singkat, dan mulai menonton kegiatan Delvin.

“Ngapain?” tanyanya lagi, tanpa menoleh ke arah Haikal. Buset, dari gayanya udah kaya dokter beneran dah ni Delvin.

“Ga ada, main doang.” jawab Haikal lagi, “lo tuh perasaan kerja mulu, tanggal merah juga lo terobos. Baru magang aja kaya gini, apalagi kalo udah jadi dokter beneran Bang?” protes Haikal setelah melihat warna yang cukup gelap di bawah kantung mata Delvin.

“Jadi dokter ga ada libur nya Kal, soalnya orang kalau udah sakit juga ga ada jadwal tentu nya.” jawab Delvin se rasional mungkin, supaya jawabannya bisa di terima oleh Haikal yang emang cerewet banget.

Haikal menganggukkan kepalanya setuju, “tapi lo keren banget sih Bang, gue denger denger dari Bang Satria, katanya lo sering menangani pasien yang punya kasus complicated. Padahal lo masih magang.” Sahut Haikal lagi, memuji Delvin.

Delvin menolehkan kepalanya ke arah Haikal, mencoba melihat apa yang di inginkan oleh adiknya satu ini. Ga biasanya dia membicarakan hal ga penting, cuma untuk sekedar menyanjung hati orang lain.

“Kebetulan doang.” jawab Delvin singkat.

Haikal geregetan, kenapa dah ni kakaknya satu lempeng bener. “Appreciate diri lo sendiri dikit kek, padahal lo tuh udah jadi salah satu penyelamat dunia. Kenapa ga semangat banget jadi orang.” Cibirnya kesal.

Delvin melepas kacamatanya dengan asal, dan melempar dokumen pasien ke meja. Badannya cukup kaku karena sedari tadi fokusnya hanya tersita untuk memeriksa dokumen.

“Lo sebenernya mau ngomong apa sih?” tanya Delvin to the point, karena Haikal hanya berbicara berputar putar sedari tadi.

“Ya ga ada?? Gue serius yang bilang lo itu udah jadi salah satu orang yang menyelamatkan dunia dengan jadi dokter. Masa memuji lo kaya gitu, di kira mau ada apanya sih? Gue ga se pamrih itu kali.” ucap Haikal panjang lebar, menjelaskan maksud perkataannya tadi.

Delvin tersenyum kecil, dan mulai menyilangkan kedua tangannya di atas meja.

Sekarang coba gue tanya, apa gunanya kalo gue berhasil menyelamatkan dunia?” Kata Delvin penuh penekanan. “Sedangkan gue gagal buat menyelamatkan dunia gue sendiri.”

Jeje berdiri di depan pintu kamar kos Cindy cukup lama. Gatau nih anak, perasaan tadi udah mikir panjang di kamar, sampe disini kicep lagi.

“Je, ngapain?” tanya Jordan dari atas, abis selesai jemur baju.

Jeje yang ketahuan lagi bengong di depan pintu kamarnya Cindy cuma bisa ngeringis malu. “Gue mau kenalan sama Cindy, Bang.” jelas Jeje kemudian.

Jordan menganggukkan kepala mengerti, dan berjalan melewati Jeje untuk masuk menuju ke kamarnya.

“Cindy, halo... ” ucap Jeje selesai mengetuk pintu kamar Cindy tiga kali.

Di liat dari muka nya Jeje sekarang, seakan dunia mau runtuh karena Cindy langsung buka pintu kamarnya segera setelah ketukan tadi.

“Haloo, eh ini Jeje ya?” tanya Cindy berbasa-basi dan memegang tangan Jeje untuk mengajaknya duduk di dalam kamar kos.

“Hehe, iya..”

“Tadi udah di ceritain sama Hafizar, katanya lo mau kenalan soalnya kita satu jurusan.”

“Iya.”

“Iya iya mulu Je, gue emang nakutin ya?”

“Enggak kok, gue emang agak kikuk aja sama orang baru. Maaf ya Cin, itu bikin lo ga nyaman.”

“Gapapa, santai aja dah.”

Dan setelah itu, pembicaraan antara Cindy dan Jeje mengalir begitu saja. Bener kata Juni, apa guna nya takut kalau kita belom mencoba?

Adelio membawa seluruh belanjaannya turun dari mobil. Ada tiga kantong belanjaan, dan dia mutusin buat bawa dua dulu naik ke atas. Yakali tiga tiganya di bawa, kalian kira Adelio ni Hercules pa gmn?

Dengan langkah terburu-buru, Adelio mengejar lift yang sudah mau tertutup. “Eh maaf, tolong talangin bentar dong.” ucapnya keras pada dua orang yang tengah berada di dalam lift.

Adelio kembali melotot bingung, karena di dalam lift tersebut, dirinya bertemu Hansa lagi bersama seorang wanita. Ini dunia beneran selebar daun kelor, atau Hansa sama Adelio nih aslinya jodoh sih? Ketemu mulu perasaan.

“Adelio?”

“Hansa?”

Nah kan, sekarang jadi Jisel yang bingung melihat dua insan di depannya ini malah saling tegur sapa. “Misi om, jadi naik lift apa enggak ya?” tanya Jisel kesel, soalnya posisi Adelio tuh ada di tengah tengah pintu lift, makanya dia jadi penghalang sehingga pintu lift ga mau nutup.

“Dia seumuran kita anjir, Sel.” ucap Hansa membantah, membela Adelio yang kini tersenyum kikuk ke arah Jisel.

“Ya bodoamat anjir?”


“Mana si Adelio?” tanya Hermas melihat tumpukan bahan makanan yang telah di beli Adelio di atas meja pantry dapur.

Si Hermas tadi abis dari kamarnya Adelio, dia belom ngasih album nya. Masih di dalam tas dia, yang dia taroh di kamar Adelio. Gatau, kapan mau ngasih. Dia masih belum nemu momen yang tepat soalnya.

“Ambil barang lagi, masih ada sebungkus di mobil katanya.” ucap Anan menjelaskan, sembari memotong jamur enoki.

“Mau masak apa?” tanya Hermas mendekati Anan yang tengah sibuk itu.

“Bantuin gue nyuci lemon aja.” sahut Anan tanpa perlu repot menjawab pertanyaan Hermas.

“Gue ga bilang mau bantuin.” kata Hermas ketus.

“Lo udah nanya, artinya lo wajib bantuin.” ucap Anan tak kalah bodoamat.

Walaupun setengah hati, pada akhirnya Hermas tetap mencuci lemon yang berada di styrofoam.

“Udah, apa lagi?” kata Hermas menghampiri Anan dengan membawa lemon yang sudah bersih di tangannya.

“Ga ada, udah lo tungguin aja di sofa depan TV.” ucap Anan menyuruh Hermas untuk segera pergi. Soalnya gara-gara Hermas nimbrung di dapur, kerjaan dia agak terganggu.


“Ga punya ati bener si Hansa sama Jisel anjing.” umpat Keira begitu dirinya harus membawa box berisi bahan makanan yang sudah di beli Hansa dan Jisel tadi di minimarket.

Iya sih, dia yang nawarin buat jadi tukang angkut barang. Tapi ya mikir lah anjing, dia yang bentukannya kaya anak SD gini, disuruh angkat box yang isinya udah kaya TV 32inci.

Dia tadi masuk ga barengan sama si Hansa dan Jisel, karena tiba-tiba ayahnya telpon dan bilang kalo si Keira mau nginep gapapa. Di kasih izin sama Ayah katanya.

Nah, karena dia ga ikut bareng Jisel dan Hansa, sekarang anaknya sibuk nih nelponin dua sahabatnya yang ga punya perasaan buat nanyain di lantai dan nomor berapa apartemennya si Jisel.

“Iya, Kei?”

“WOY BANGSAT, YANG BENER LAH ANJING? Lo di kamar berapa, gue buang juga nih semua belanjaannya.”

“Lah anjir, gue kira udah tau.”

“UDAH TAU DARI MANA ANJIR?? LO KIRA GUE BISA BAHASA KALBU?”

“HAHAHA, MAAF. Lantai tiga, nomor 298. Dari lift tinggal belok kiri dikit.”

Akhirnya setelah Keira mengetahui lokasi tepat apartemen Jisel, Keira langsung bergegas memasuki lift untuk menuju kesana.

Gila ni kotak belanjaannya Jisel, tubuhnya Keira sampe ga keliatan gara-gara angkat kaya ginian. Karena ga mau ribet, dan Keira gamau juga cape angkat naroh beban box, Keira memutuskan buat meminta tolong pada seseorang yang berdiri di sampingnya.

“Mas, tolong pencetin lantai tiga ya.” Kata Keira memohon pada lelaki di sampingnya yang juga membawa kantong kresek belanjaan di sampingnya.

Tak berapa lama, lift telah sampai di lantai tiga. Dengan segera, Keira beranjak keluar dari sana. Tidak lupa juga, dirinya mengucapkan terimakasih pada lelaki yang sudah membantunya tadi.


Adelio sedikit menahan pintu lift demi menolong seorang wanita yang terburu-buru masuk ke dalam lift dengan membawa kotak belanjaan yang besarnya melebihi tubuhnya itu.

Lucu pikirnya, soalnya sangking gedenya kotak belanjaan itu, si cewe tadi sampe gabisa pencet nomor lift buat ke lantai berapa.

“Mas, tolong pencetin lantai tiga ya.” ucap wanita tadi pada akhirnya menyerah.

Tangan Adelio berhenti di udara, mendengar suara wanita yang ia rasa familiar itu.

“Makasih Mas.” kata wanita tadi, dan bergegas keluar lift sebelum tangannya makin kebas karena membawa kotak belanjaan yang berat.

Belum habis kekagetan Adelio, dirinya dengan terburu-buru langsung mengejar wanita yang baru saja keluar dari lift tadi.

Ga ada, wanita tadi udah hilang dari lorong apartemen. Kelamaan sih lo anjir bengong nya.

“Itu ga mungkin Nada kan? Gue pasti delusi doang.”

Hermas memarkirkan mobil dengan rapi di samping motor Beat modifikasi milik Jerome. Heran ni orang, cakep tapi motornya kaya jamet.

“Haikal mana, kok lo balik sendiri?” tanya Arwena di ujung tangga, sembari membawa lilin aroma therapy. Mendekati semester akhir, Arwena makin pusing dengan berbagai tugas yang dia hadapi, makanya dia lebih sering stok lilin aroma therapy supaya bisa lebih santai ketika di dalam kamar, dan tentu aja untuk tidur nyenyak.

“Masih di cafe, kumpulan sama anak-anak.” jawab Hermas singkat, dan mendudukkan pantatnya di atas sofa ruang tamu. Dengan sigap, Tiyo yang baru saja tiba dari dapur, duduk di samping Hermas, dan menyalakan televisi melalui remote.

“Kuliah lo gimana? Ada kendala ga?” tanya Tiyo sambil asik nyemilin kacang almond yang dia bawa dari dapur.

Hermas sekarang udah semester empat bareng Haikal. Bedanya Haikal memilih Hubungan Internasional, dan Hermas memilih Sistem Informasi.

Ni anak kembar, tapi kalo soal hal yang di minati beneran jauh berbeda. Kaya kutub utara sama selatan. Haikal juga anaknya terbuka banget, punya temen dimana-mana. Beda sama Hermas kembarannya, beneran orang yang tertutup dan menghormati privasi.

“Masih semester empat, belom susah banget.” kata Hermas menjawab pertanyaan Tiyo singkat. Tiyo beranjak dari duduknya, meninggalkan Hermas yang masih fokus menonton televisi.

Tiyo dan Yudha sekarang udah lulus dari manajemen bisnis, dan lagi trial di perusahaan di bawah pengawasan nya Jonathan. Dikira enak apa punya bos kakak sendiri? Kalo salah justru makiannya ga main main.

Tiyo kembali ke ruang tamu, sembari membawa buku binder di tangannya, dan kemudian melemparkannya ke arah Hermas yang sedari tadi masih saja terfokus menonton berita.

“Apaan sih anj-”

Hermas terdiam setelah satu lembar dari buku yang ternyata album itu terbuka. Jonathan ga main-main waktu dia bilang mau ngecetak semua fotonya Nada yang ada di ponsel.

“Tadi gue disuruh balik buat bawa album nya, di cetak ada sebelas biji buat kita semua simpen.” kata Tiyo menjelaskan.

Gerakan tangan Hermas yang sedari tadi tengah melihat lihat isi album terhenti, “Sebelas? Yang satu buat siapa?” tanya Hermas tak mengerti, karena jumlah mereka ada sepuluh bukan?

“Anan.”