JC Halcyon

“Lo yakin mau disini aja?” tanya Keira karena setelah menjemput Jisel tadi, anaknya cuma berkeinginan untuk pergi ke Pujasera.

“Ya yakin lah, disini banyak makanan.” kata Jisel singkat, sembari mengoperasikan ponselnya.

“Ngechat siapa sih? Serius bener.” sela Hansa melihat Jisel hanya terpaku pada layar ponselnya sedari tadi.

“Ini, si Hermas chat gue katanya juga di pujasera.”

“HAH?! LO SENGAJA YA ANJING NGAJAKIN KITA KESINI KARENA MAU NONGKRONG SAMA MEREKA LAGI?!” ucap Keira histeris, karena dirinya masih teringat kejadian semalam.

“Yaelah, lagian bertiga doang sepi njir. Udahlah, paling enak emang gabung aja.”

“JISEL BANGSAT!!”


“Akhire teko juga cah telu.” sambut Binbin dan menggeser kakinya yang sedari tadi di kursi lain agar bisa di duduki oleh ketiganya. (Akhirnya sampe juga anak tiga)

Keira mau nangis aja, karena kondisi perkumpulan mereka saat ini udah lebih mirip kalau di sebut sebagai konfrensi. Rame banget woyy!!

“Aduh neng Jisel, sini duduk sama kang Haikal.” seloroh Haikal, karena Jisel kebingungan ingin mengambil tempat duduk yang mana.

Keira menyipitkan matanya, dia sudah tau kalau Haikal sungguh hobi dalam menggoda wanita.

“Kal, emang sungai lagi kering ya?” tanya Keira kemudian.

Haikal membeo tidak mengerti, “hah?”

“Kok lo ke darat?”

“GUE BUKAN BUAYA ASTAGA!! INI KAN MENAWARKAN JISEL BUAT DUDUK DOANG, KAGA GODAIN.” Teriak Haikal melakukan pembelaan.

Disisi lain, Hansa yang duduk di samping Adelio memulai percakapan. “Gimana pendakian terakhir Del?” tanyanya langsung, karena Hansa sudah mengetahui bahwa Adelio sempat melakukan pendakian ke Semeru seminggu sebelum UTS.

Adelio tersenyum,

“Lancar kok, buktinya gue ada di sini lagi ngobrol sama lo.” jawabnya kemudian.

“Pengen deh gue juga ikut pendakian, tapi kuliah gue beneran ga bisa di tinggalin.” keluh Hansa.

Adelio menepuk pundaknya, dirinya mengerti beban seperti apa yang harus di pukul oleh mahasiswa fakultas kedokteran.

“Eh gue ada pertanyaan nih,” Kata Dino bersemangat. “Misal nih ya, misal cewe lo Heng, dia makan bareng sama kita. Terus ada menu udang goreng, nah kalau cewe lo misahin kulit udang goreng nya buat gue makan gimana?” sambungnya lagi.

Hengky yang menjadi objek pertanyaan hanya bisa menoleh kaget, “ya maksud lo anjing?! Emang lo ga ada tangan buat misahin kulit udang sendiri??” ujarnya marah.

“Kalau gue pribadi sih gapapa.” Sahut Haikal, “toh Dino temen gue dari lama, gue anggap cewe gue menghargai Dino.” lanjutnya lagi.

“Weh, materinya udah dapet Kal. Lo nya aja tinggal nyari cewek.” ucap Javin mengejek.

“Asu.”

“Kalo menurut lo, Kei.” lempar Dinan pada Keira yang tengah mendengarkan perdebatan mereka. “Misal nih, Anan cowo lo, terus dia ngelupasin kulit udang buat Jisel, kira-kira reaksi lo gimana?” sambung Dinan, dan memberikan gambaran lagi.

“Gue juga ga masalah si, kan cuma ngelupasin kulit udang doang, ngelupasin kulit udang ga akan bikin Anan sama Jisel jadian. Anan tetep jadi pacar gue.” jawab Keira mantab.

“Kalau gue tau ada udang di menu, dari awal gue kelupasin semua kulitnya anjing.” sahut Hermas menoleh pada Keira, jutek.


Kini hanya ada Haikal, Keira, Dinan, dan Anan di meja. Sedangkan yang lainnya kembali berkeliling untuk mencari amunisi tambahan sebelum mereka lanjut ngobrol lagi.

“Tumben cewe lo ga ikut, Nan.” kata Keira, membuka pembicaraan.

Anan yang sedari tadi hanya terfokus pada ponselnya, menolehkan kepala pada Keira.

“Siapa?”

“Cewe lo.”

“Emang siapa cewe gue?”

“Lah?! Emang Sylvia bukan cewe lo anjir?” tanya Keira terkejut.

Anan menggeleng, dan kembali berfokus pada ponselnya. Ni anak ngeliatin apa sih, maen hape mulu dari tadi.

“Lo dapet informasi darimana sih Kei, bisa-bisanya ngira Anan sama Sylvia pacaran.” ucap Haikal menanggapi.

“Lah, gue mah liat yang terjadi aja di depan gue anjir. Biasanya mereka berdua nempel mulu, jadi gue kira emang pacaran.” kata Keira melakukan pembelaan.

“Hahahaha, kocak. Baru kali ini, ada yang ngira Anan pacaran sama orang lain, selain dia.” Dinan tertawa puas.

“Dia siapa?” tanya Keira langsung, mau di bilang kepo tapi Dinan yang mancing mancing.

“Lo ga perlu tau.” kata Anan padat.

“Ya sebenernya ga mau tau juga sih, tapi diksinya si Dinan nih kurang ajar banget bikin seolah-olah gue kepo.” nyinyir Keira setelah mendengarkan penuturan Anan.

'Kaga ada yang mau tau, gue mah mancing doang anying.'

“Anan tuh emang udah punya pacar tau Kei.” gantian Haikal yang menanggapi. “Tapi ya gitu, hubungan mereka lagi ada ujiannya.”

Keira mengangguk mengerti, “Ohh, jadi kalian berdua lagi back street atau semacamnya gitu ya?” ucap Keira menyimpulkan. “Emang yah, kadang dunia tu kaya ga adil banget sumpah, ya mau gimana lagi orang kita makhluk nya pasti di uji juga, semangat kita.”

Dinan dan Haikal hanya tertawa kecil, “iya Kei, semangat kita.”

Keira dan yang lainnya sudah sampai kembali ke Universitas. Gak lupa, mostly dari mereka juga datang berpasang-pasangan. Dinan dengan cewenya, Haikal dengan gebetannya yang gatau dari fakultas yang mana, Anan dengan Sylvia, gatau juga kenapa ni anak bisa nempel lagi ke Anan, Hermas dengan Jisel, dan Keira dengan Keenan. KASIAN BANGET GANDENGAN SAMA ADEKNYA DOANG.

“Rame ya Kak.” ucap Keenan menggumam.

Keira menoleh ke arah Keenan dan tersenyum, “SMA lo ada perayaan gini nggak ulang tahunnya nanti?” kata Keira balik bertanya.

Keenan menggelengkan kepalanya tidak tahu, kan dia bukan anggota salah satu organisasi di sekolah. Dia masuk sekolah, mau tidur doang juga gapapa. Ga akan ada yang mau negur, soalnya dia anak kesayangan sekolah sebagai seorang atlit.

“Ya semoga aja ada deh, biar rame juga.” sambungnya lagi berharap.

Keira cape banget dari tadi gandengin Keenan, belum lagi tangan yang satunya di seret Haikal untuk berjalan kesana kemari. Lah, gebetan nya yang tadi kemana? Jawabannya di kasih Binbin. ORANG GILA EMANG SI HAIKAL.

“Sumpah, ini enak banget. Kei, Ken, ayo kesini cepet!!” ucap Haikal bersemangat sembari menarik lengan Keira untuk berjalan menuju kedai corn dog. “Mau yang rasa apa?? Gue taro, lo apa Kei? Ken?”

“Gue tiramisu, si Keenan beliin green tea aja deh.”

Kemudian Keenan mengajak Keira untuk duduk pada bangku yang tak jauh dari sana, meninggalkan Haikal yang masih terus memesan.

“Pacar lo kak?”

Keira mendelik tidak percaya, “ngawur lo. Gue ngikutin dia yang heboh banget kaya baru pertama kali di perayaan kaya emak gini, bisa bisanya elo nanya pacar gue atau bukan.”

“Ya kan nanya, gue cuma butuh jawaban iya atau enggak. Kenapa belibet banget dah ngomong gitu doang.”

Keira menoleh, melihat suasana di sekitar mereka yang kian ramai. Sampai dirinya berhenti pada dua orang yang kini tengah mengantri untuk membeli gulali. Itu Anan dan Sylvia, yang terlihat sangat mencolok diantara yang lainnya.

Bayangannya kembali ketika tadi sore dirinya masih bersama Anan. Nggak tau, ini untung atau buntung karena Sylvia pulang tadi. Karena kalau Sylvia ga pulang, udah pasti yang ngisi tempat duduk penumpang di motornya Anan adalah Sylvia.

“Gitu banget ngeliatin cowo orang, lo suka sama dia ya?”

Keira reflek memukul kepala Keenan pelan, “lo dari tadi cuma nanyain gue sesuatu ke orang orang yang ga perlu. Udah tau cowo orang, bisa bisanya nuduh gue suka sama dia.” ceriwis Keira tidak terima.

“Gue cuma mastiin aja, lo ga jatuh di cowo yang salah.”

Ada jeda panjang sebelum Keenan melanjutkan ucapannya dan terus berfokus pada ponsel yang ada di tangannya.

“Lo tau kan, lo kakak cewe yang gue milikin satu-satunya.”

Dangdut banget, tapi jujur Keira terharu dengan perkataan Keenan tadi. “Apaan banget dah.”

Biarpun mereka sering bertengkar, dan kadang mudah untuk tidak akrab. Tapi kembali lagi, Keira dan Keenan ada karena untuk saling melengkapi.


Capek, kayanya cuma itu doang yang bisa mendeskripsikan keadaan Keira saat ini. Gimana ga cape, setelah Keenan kenalan sama Haikal, sekarang Keira harus super perhatian karena tingkah Keenan berubah persis seperti Haikal tadi.

Keira mau nangis aja liat Keenan dan Haikal berlari kedepan kebelakang terus muter muter ga jelas. Sedangkan yang lainnya? Mereka udah pada anteng duduk di deket panggung.

“Heh ayok udah, bentar lagi udah mau tampil tuh.” kata Keira kemudian, dan menunjuk teman-teman mereka yang lainnya, yang sudah mencari tempat untuk menonton.

Sedikit yang Keira tahu dari Adit, untuk tahun ini kampus mereka mengundang beberapa artis papan atas untuk tampil dan menghibur malam perayaan kampus.

Iya, namanya juga sedikit, jadi Keira gatau yang di maksud artis papan atas tuh siapa aja. Aneh ya, padahal di pamflet yang udah di sebar, mostly yang dateng kesini udah pada tau siapa tamu undangannya.

Akhirnya setelah perjuangan keras, Keira berhasil menyeret keduanya untuk ikut berbaur bersama yang lainnya. Keira berhasil untuk mencari tempat duduk yang strategis, kemudian dirinya duduk di samping Jisel yang memang sudah anteng dari tadi. Sialan ni anak, ga bantuin Keira sama sekali malah pacaran terus sama Hermas.

“Nah, kalian pasti udah ga sabar kan dengan penampilan bintang tamu hari ini?”

Gemuruh suara penonton memenuhi tempat itu, menjawab pertanyaan dari host.

“Sama nih, tapi sebelum itu kita juga ada host spesial yang malam hari ini akan datang untuk bersama menemani kita. Ada yang tahu siapa??”

Keira hanya menopang dagunya bosan, tidak bisa ikut heboh bersama yang lainnya karena tenaga dia sudah terkuras habis untuk mengasuh Keenan dan Haikal tadi.

“Kita panggil, ini dia putra mahkota kita dari Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, JEFFREY!!”

Sorakan ramai penonton membuat Keira penasaran, karena situasinya saat ini lebih heboh daripada menyambut tamu undangan tadi. Keira jadi bingung, yang artis tuh yang mana.

Kemudian justru kini dirinya yang tidak bisa sekedar memalingkan mata dari atas panggung, begitu Jeffrey muncul dari sana.

“Weh, ganteng tenan rek bang Jeffrey. Nggumon aku, mangan opo wong iku.” celoteh Binbin tak jauh dari tempat Keira. (Weh, ganteng bener geng bang Jeffrey. Bingung gue, makan apa orang itu.)

“Eh, Kei lo tau nggak.” bisik Jisel dari samping, “itu abangnya Hermas sama Haikal njir.”

Mata Keira melotot terkejut, kemudian dirinya cepat menoleh pada Haikal yang sibuk berbicara dengan Keenan, dan kembali menolehkan kepalanya ke arah panggung membandingkan. “For real?? Beda banget anjing adek kakak.”

Jisel mengendikkan bahu nya, “ya lo liat aja lah, Haikal sama Hermas aja kembar tapi gada tuh mirip miripnya.”

Keira mengangguk, dan kembali melihat ke sisi panggung yang masih terus di isi dengan percakapan antara host dan Jeffrey.

Tapi setelah Keira fikir lagi, di tengah kilauan yang memantul dari arah Jeffrey. Entah kenapa Keira merasa tidak asing dengan sosok itu.

“Gue pernah ketemu apa yak sama dia? Kok kaya pernah liat.” gumam Keira pelan.

Tanpa sadar, ternyata Anan yang berada di belakangnya mendengarkan semua itu dengan seksama.

Keira duduk di samping Jisel yang sudah sampai lebih dulu. Naik pake buroq kali ya anjir, cepet banget sampenya ni anak anak lainnya juga.

“Mau makan apa Kei?” tanya Jisel sembari memberikan buku menu pada Keira.

“Lo pesen apaan?”

“Ayam mentega.”

“Yaudah gue ayam geprek aja.”

Keira menutup kembali buku menu, dan beranjak menuju peti es yang berada di sudut ruangan. Dengan cekatan dirinya mengambil satu botol air mineral dingin,

“Ambilin gue juga.” kata lelaki di sampingnya dengan suara berat.

Keira menoleh dengan kaget karena Anan sudah berada di belakangnya. Dengan segera dirinya membuka kembali peti es itu, dan mengambil botol air mineral lain untuk di berikan kepada Anan.

Tanpa mengucapkan kata terima kasih, Anan berlalu dari sana dan kembali duduk di samping Binbin yang tengah sibuk mengipasi dirinya dengan kertas karton yang sudah ia bawa dari kampus tadi.

“Opo'o yo kok dadi Malang panas ngene?? Opo sakjane Neroko bocor po?” keluh Binbin masih terus mengipasi wajahnya yang sedari tadi terus mengucurkan keringat. (Kenapa ya kok Malang jadi panas begini?? Apa sebenernya neraka bocor?)

“Lambemu, seng nggenah lek omong. Arek lanang kebiasaan ngomong ceplas ceplos.” sahut Hengky cepat, padahal dia juga tengah kepanasan. (Mulutmu, yang bener kalau ngomong. Anak cowo kebiasaan ngomong ceplas ceplos.)

“Abis ini kan masih ada acara, enaknya balik dulu ke kosan atau gas langsung ke kampus lagi?” tanya Aldeo meminta saran pada yang lainnya.

“Gas aja lah, kalo balik dulu ke kosan takut ga dapet bagian depan panggung ntar.” kata Baejin dengan bersemangat.

“Lo ga butuh mandi emang? Lu mau nonton sambil bau ketek?” tanya Dino dengan sarkas.

Tf, what did you just say? Kita mau makan kalau lo lupa anjing, malah bahas ketek, jorok banget dah.” protes Felix karena terkadang teman mereka selalu di luar batas untuk membicarakan hal hal sepele.

“Mandi di apartemen gue aja, kan deket sama kampus. Biar ga lama di perjalanan juga.” kata Adelio memberikan jalan tengah.

“Bajunya gimana? Percuma mandi kalo bajunya tetep sama, tetep bau keringet bau ketek.” sahut Javin juga bingung.

“NGOMONGIN KETEK LAGI?! DAHLAH GUE MAKAN BARENG ORANG SEBELAH AJA!!”

Kali ini adalah hari yang di tunggu-tunggu oleh sejumlah besar penduduk kampus. Ya gimana enggak, hari ini adalah hari ulang tahun universitas mereka yang ke 27 tahun.

Keira terharu, kampus mereka udah tua banget ya ternyata. Dia masih dua puluh dua tahun, sedangkan universitas mereka sudah lima tahun lebih tua.

Ga banyak yang bisa Keira ceritakan akhir-akhir ini, selain dirinya berusaha keras untuk menghindari Hansa di segala situasi. Setelah ia mencoba meditasi dan meresapi semua yang ada, dia sadar kalau dirinya dan Hansa itu ga cocok untuk hubungan lebih dari teman. Dan sesuai saran dari Jisel, dirinya akan memberikan batas yang jelas antara hubungannya dengan Hansa supaya Hansa sendiri berhenti untuk terus menggantungkan harapan pada Keira.

Kasian banget Hansa, belum berjuang udah di tolak duluan ternyata.

Balik lagi, antusias para mahasiswa tak kunjung reda bahkan ketika hari sudah menjelang siang. Sekedar info, tadi pagi ada perlombaan jalan sehat. Tau sendiri lah ya, agendanya ngapain.

Ada sedikit kejutan juga, ternyata nomor Jisel menjadi pemenang kedua pada perlombaan jalan sehat pagi itu. Juara dua dapet apa sih? Dapet rice cooker ternyata, nangis banget. Mana si Jisel mau nempeleng kepalanya Keira soalnya dia heboh banget waktu nomor urut milik Jisel di panggil. Serius dah, malu maluin banget.

Setelah tadi sempat istirahat di apartemen Jisel, kemudian Adelio mengajak Jisel dan Keira untuk berangkat bersama dirinya saja menuju kampus. Biar lebih cepet, gausah nungguin Hansa mulu.

Adelio keliatan biasa aja waktu satu mobil sama Keira. Padahal di dalam hati dia, rasanya udah porak poranda karena dia terus terusan keinget Nada di saat bersamaan. Sssttt... Adelio kan emang belom sepenuhnya move on dari Nada.

Sesampainya di tempat berkumpul mereka, Dinan yang melihat wajah lemas Adelio langsung mengejeknya. “Lemes banget pak, kaya abis di kejar bencong?”

Seolah mengerti apa yang Dinan isyaratkan, Hengky ikut mengerling nakal ke arah Adelio, “Wajahmu mengingatkan ku, dengan kekasih ku dulu~” nyanyinya membuat Adelio melotot dengan galak.

“Diem.”

Jisel dan Keira yang baru saja tiba bersama Adelio mengerutkan kening bingung, mereka ga tau hal apa yang sedang di bicarakan oleh yang lainnya.

“Eh non Jisel, non Keira. Gimana ujiannya? Lancar?” tanya Baejin berusaha mengalihkan perhatian. Di biarin malah makin gajetot temen temennya.

Jisel menganggukkan kepalanya dan memberikan jempol kalau dirinya puas dengan hasil uts kali ini.

“Aman sih kalau gue.” jawab Keira juga.

Dapat Keira lihat, disini sudah berkumpul banyak anak dari kelompok Haikal. Ga lupa juga, Keira juga merasa kalau saat ini mereka sedang menjadi pusat perhatian. Gila, pesona geng Haikal ga bisa di tolak ternyata.

“Ayo nang cedek panggung, nyapo lo awak dewe ngumpul neng kene koyo lagi antri dadi penerima bansos.” celetuk Binbin dan berjalan mendahului mereka. (Ayo ke deket panggung, ngapain lo kita ngumpul disini kaya lagi antri jadi penerima bansos.)

Keira tertawa mendengar penuturan Binbin, sedangkan Jisel yang berada di samping nya tidak mengerti. “Ngomong apaan sih anjir?”

Hermas yang berada di belakang Jisel kemudian menjelaskan, maksud dari perkataan Binbin tadi apa. Abis itu, baru deh Jisel ikutan ketawa. PADAHAL MAH UDAH TELAT BANGET!

Keira menyipitkan matanya curiga, gerakan bawah tanah apa lagi ini kawan?? kenapa Hermas sama Jisel tiba-tiba jadi deket gini dah? Perasaan terakhir kali Keira tau, mereka berdua cuma saling bicara dalam hal bahas SDM yang ada di Indonesia. Alias, GILA BERBOBOT BANGET ANJING BAHASANNYA.

Haikal datang terlambat bersama Anan yang berada di belakangnya. Ngeliat Anan, mood Keira jadi ga menentu. Mau marah tapi anaknya udah minta maaf. Anaknya udah minta maaf, tapi bawaannya Keira tetep pengen marah. Pokoknya gajelasssss.

“Sorry gue telat, ini nih jemput si curut duluan gue.” kata Haikal dan melirik Anan yang ada di sampingnya sedang memainkan ponsel dengan tangan kirinya dengan acuh. “Oiya, si Anan bawa kamera. Nanti kita foto foto ya geng.”

“Gapapa, santai aja. Acaranya juga belum mulai lama kok.” ucap Hardin menenangkan.

“Band kalian urutan ke berapa?” tanya Dinan kemudian, dan mengecek kembali anggota yang akan tampil nanti.

“Ini masih urutan berapa emang?” tanya Javin balik, karena dia nanti adalah salah satu yang akan naik panggung dan memainkan gitar.

“Berapa ya Din?” tanya Dinan pada Hardin yang sibuk menelusuri area sekitar panggung.

“Lah, gue mah bagian keamanan doang Nan. Mana gue tau ini sekarang performance ke berapa.” jawabnya singkat. “Coba lu sana tanya Hermas.”

“Gue humas, ga ada urusan.” sahut Hermas cepat sebelum menunggu mulut Dinan membuka untuk bertanya.

Bisa di bilang, Dinan itu managernya mereka. Tapi karena konsep buat tampil di panggung itu bebas, jadinya dia ga gitu prepare untuk urutan ke berapa yang bakalan tampil abis ini. Dia kira yang bakalan tampil tuh random, terserah siapa yang mau maju ke panggung, yaudah maju sono.

Ternyata setelah dia sampai ke lapangan langsung, tadi ada panitia yang ngehampirin dia dan ngasih nomor urut buat antri nanti perform. Kacau lah dia, makanya dari tadi ribet sendiri. Mana si vokalis belom dateng lagi.

“Itu yang perform urutan ke delapan Din.” sahut Sylvia yang baru saja datang dengan kawan kawannya. “Kalian nomor berapa?” tanya nya lagi.

“Mampus gue, kita nomer sepuluh lagi bangsat!!” keluhnya, “woy Kayla, cowo lo mana anjir??” tanya Dinan panik pada Kayla yang juga baru datang bersama kekasih Hengky.

“Hah?? Ya gue gatau lah. Gue aja baru sampe kampus sama si Mita.” jawabnya bingung, karena baru dateng udah di todong pertanyaan tentang keberadaan Ren.

“Coba telpon dulu, gue cari ke luar.” kata Haikal kemudian dan berlari meninggalkan yang lainnya.

Dino mengerjap pelan, “baikan nih mereka?”

“I hope so.” jawab Felix pendek.

“Maaf jbjb, emang Haikal sama Ren lagi berantem ya?”

“APASIH TOLOL SI KEIRA, NANYA LO SELALU GA LIAT KONDISI GOBLOK!” amuk Jisel.

Haikal terduduk pasrah di sofa ruang tamu, dengan Hermas yang ada di sampingnya. Sebenernya ga sampe harus di bawa rapat kaya gini sih, tapi si Jeffery sama Jerome dari tadi mereka berdua pulang rewel mulu. Dan juga, Delvin yang justru melebarkan hal ini pada Candra sehingga mereka semua harus berkumpul untuk membahas hal yang ga penting kaya gini.

“Keira, serius dia siapa?” tanya Jerome mengawali pembicaraan.

Haikal mengerutkan keningnya, “Keira ya Keira lah, lo emang berharapnya dia siapa anjing?” ucapnya kesal.

Candra yang melihat raut wajah Haikal menjadi tidak enak, padahal semua orang rumah tau betul kalau Haikal mungkin adalah orang terakhir yang bakal marah beneran soal hal apapun, mencoba untuk menengahi keduanya.

“Sebenarnya abang ga maksud apapun dari perdebatan kalian berdua. Abang kesini karena Delvin bilang, abang di suruh dengerin ini. Jadi ada baiknya, sebelum menjelaskan sesuatu ayo di ceritakan dari awal kaya gimana.” kata Candra bijak.

Haikal menghela nafas lelah, percuma juga dirinya menengok pada Hermas karena anak itu jelas tidak akan membantu apapun dalam kondisi ini.

Dengan setengah hati, Haikal kemudian mengeluarkan ponselnya dan menunjukkan akun instagram Keira pada seluruh saudaranya.

Jonathan yang sedari tadi terdiam di samping Tiyo, melihat foto yang di publish di akun Keira dengan tidak percaya.

“Nada??”

“Baca lah anjir, orang uname nya Keira gitu. Gimana bisa lo bilang itu Nada.” sahut Haikal kesal.

“Tadi semua orang pada bondong-bondong chat gue karena liat postingan Keira lewat di laman twitternya kalian kan? Awal mulanya itu karena Anan salah mengira kalau Keira itu Nada, makanya keadaan jadi chaos kaya gitu. Keira sempet klarifikasi, karena banyak orang yang ga di kenal nyenggol dia lewat base kampus, makanya sama base kampus kemudian di reetwet supaya pada bisa baca.” jelas Haikal panjang lebar, rasanya dia kaya lagi presentasi.

“Tapi Keira mirip-”

“Perihal hal itu, bang Wen.” potong Haikal cepat, “orang punya banyak kembaran yang menyebar di muka bumi ini. Lo aja kadang-kadang juga mirip bang Jeffery. Walau pada kenyataannya lo emang kembarannya.”

Delvin hanya terdiam mengawasi gerak gerik Haikal yang sedari tadi terus terusan menekan pendapatnya di antara yang lain, soal Keira yang bukan Nada.

Walaupun pada kenyataannya, hal itu memang masuk akal karena Delvin yakin Haikal tidak ingin membuat saudaranya yang lain berharap lebih tentang persoalan Nada.

“Lo ga shock liat Keira pertama kali?” tanya Delvin kemudian.

Hermas melirik Haikal yang hanya terdiam. Oke, jadi ini giliran dia untuk mulai menjawab.

“Jujur, gue merinding sekujur tubuh waktu itu. Bahkan pulangnya gue sempet meriang.”

“OHH JADI LO DEMAM WAKTU ITU GARA-GARA KETEMU KEIRA KEIRA INI PERTAMA KALI??” potong Tiyo.

Hermas mengangguk, “Haikal akhirnya tidur di kamar gue karena takut gue butuh apa-apa tapi ga bisa ngambil, sedangkan saat itu keadaan gue lagi ga fit.” jelasnya lagi.

Candra menyilangkan kedua tangannya di depan dada. Dirinya perlu berfikir cukup keras untuk saat ini. Sejauh yang ia dengar tentang penuturan kedua adiknya, apa yang mereka berdua bilang memang cukup masuk akal. Tidak ada alasan lebih lanjut untuk mereka menyelidiki lebih dalam tentang siapa itu Keira, ya karena Keira adalah Keira. Ia bukan Nada.

Keira makin pening waktu di tinggal Adit buat masuk ke dalam kelas rapatnya lagi. Jadi Adit ini mahasiswa jurusan Sistem Informasi, siapa yang sangka kalau pada akhirnya Keira ketemu lagi sama golongan Anan, Haikal, dan Hermas disini.

Gatau cuma perasaan Keira doang, atau gimana. Tapi setelah dia ketemu Anan dan kawan-kawan kenapa rasanya dunia Keira terus terusan berpusat sama mereka sih?

Pusing banget, mau kesana kesini ketemu mereka mulu. Ini ga di sengaja kan? Kok semangat bener bikin hari Keira rusak.

“Kak Adit itu kakak lo?” tanya Hermas membuka pembicaraan, karena suasana sudah mulai canggung.

Keira menganggukkan kepalanya tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaan Hermas. “Kalian ngapain disini?” tanya Keira kemudian, ga enak juga dia karena atmosfer di sekitar mereka jadi kaku.

KEIRA PALING GA TAHAN KALAU DIA GA LELUASA BUAT BERGERAK. Makanya sebisa mungkin, walaupun masih kesel karena insiden kemarin si Keira berusaha untuk memperbaiki suasana.

“Gue jemput Hermas, karena dia saudara gue.” jelas Haikal, “ternyata Hermas sama kakak lo satu fakultas. Kebetulan banget ya ternyata.”

Keira kembali mengangguk, KENAPA KIKUK BANGET SIH WOY?? RASANYA DIA MAU NYERET ADIT BUAT CEPETAN BALIK DARI SINI.

Pada akhirnya Keira memilih berdiri dan berencana untuk pergi dari sana sebelum suasana tambah ga enak.

“Mau kemana Kei?” tanya Haikal menyadari.

“Gue mau ke kantin aja, laper nungguin kakak gue.” jelas Keira.

“Gue ikut.”

“Hah?”

“Lo gatau kan kantinnya sebelah mana?”

“Kesini kali.”

“Bukan sebelah situ tapi di sini, pintunya salah.” ujar Haikal sembari menunjuk pintu keluar satunya.

“Halah, kaya lo pernah ngelakuin hal yang bener aja.”

Keira diem sebentar, sadar apa yang barusan dia ucapin. Haikal ikut diem,

Hermas dan Anan yang dari tadi dengerin perdebatan mereka berdua juga ikut diem.

LAGIAN KENAPA ASAL NYEPLOS KAGA LIAT SIKON SIH KEI?? KESEL BENER GUE NULISNYA.

“Maaf.” ucap Keira kemudian. “Ayo Kal kalau mau ke kantin bareng.” sambungnya kemudian dan berjalan lebih dulu ke pintu yang sudah di tunjuk Haikal tadi. MALU BANGET BUSET.


“Kalian udah temenan dari kapan?” tanya Keira pada Haikal. Gatau sejak kapan, tiba-tiba udah akrab aja ni anak berdua.

“Gue sama anak-anak yang lain udah satu angkatan dari SMA sih. Syukurnya, semua anak yang ada di circle gue memilih buat masuk ke kampus ini juga. Kalau lo sama Hansa, Jisel, temenan sejak kapan? Bukannya Jisel anak perantauan ya?”

Keira mengerutkan keningnya bingung, ini Haikal kok bisa tau Jisel anak perantauan dari siapa buset?

“Kita baru kenal karena kuliah ini. Gue ga ada temen waktu SMP dan SMA, karena kata keluarga gue yang lain, gue memilih buat home schooling.”

Introvert?”

“Lo ngeliat gue gimana?”

“Gatau, kan ini baru pertama kali kita ngomong sampe panjang lebar gini. Tapi dari pandangan gue, lo bukan introvert sih.”

Keira mengangguk paham, banyak yang mengira Keira introvert karena ia jarang berbaur dengan yang lain. Padahal di kenyataannya kaga sama sekali anjir, dia tuh temennya banyak, bertebaran di mana-mana. Cuma di mana-mana nya nggak kelihatan, ada yang temen di Jakarta, ada yang di Lampung, ada yang di Korea, ada yang di Amerika.Kaya nya temennya Keira tuh kalau di kumpulin bakalan bisa buat negara baru.

“Eh tapi bentar Kei,” kata Haikal kemudian menyadari sesuatu. “Maksud kalimat lo kata keluarga gue tadi gimana? Kok ambigu gitu sih?”

“Hah?”

“Lo tadi bilang, kata keluarga gue, gue emang lebih memilih home schooling. Kenapa harus kata keluarga gue? Kenapa ga bilang aja, karena gue lebih memilih home schooling?”

“Ohh, itu soalnya gue kehilangan ingatan gue dari umur enam belas tahun sampe kebawah. Jadi selama ini gue cuma bertahan di ingatan gue umur enam belas tahun sampai sekarang.”

“LO PERNAH HILANG INGATAN? FOR REAL??!

Keira mengedip takut, kenapa Haikal yang di depannya ini berubah jadi agresif setelah mendengar kalau ia pernah hilang ingatan. “Ya iya.... Emang kenapa sih?”

“IH ANJING, INI BARU PERTAMA KALINYA GUE LIAT SECARA LANGSUNG ORANG YANG PERNAH HILANG INGATAN!!!”

Keira tertawa melihat respon Haikal yang menggebu-gebu. “Apaan sih Kal, random banget lu jadi orang.” ucapnya di sela tawa.

“Tapi serius, ini kali pertama gue ngelihat orang yang hilang ingatan. Kalau boleh tau, lo hilang ingatan karena apa??” tanya Haikal lebih lanjut.

“Keira, ayo pulang.” sela Adit yang ternyata sedari tadi diam-diam mendengarkan percakapan antara Keira dan Haikal tak jauh dari tempat keduanya berbincang.

“Eh Kak Adit, ayokk!” ucap Keira senang. “Gue balik duluan ya Kal, chat disini aja kalau mau ngobrol.” sambungnya sembari memberikan secarik kertas berisikan nomor ponselnya dan berlalu dari sana dengan Adit.

“Kinda sus....”

Haikal dan Hermas memasuki rumah dengan langkah gontai. Gatau gimana jadinya ni dua anak kalau ga di anterin pulang sama Aldeo.

“Woi kembar,” sapa Jerome dari dapur sembari membawa air minum. “Kenapa dah? Kok muka lu berdua kusut bener.” sambungnya lagi.

Keduanya memilih untuk tidak menjawab ucapan Jerome, dan terduduk di sofa depan televisi.

Merasa ada yang aneh dengan kedua adiknya, Jerome menghampiri Hermas dan Haikal. “Kenapa sih?” tanya nya lagi belum puas.

Di samping itu, Jeffery yang baru saja pulang dari kampus ikut duduk dan bersandar pada sofa bergabung dengan Hermas dan Haikal.

“Cape banget gue hari ini buset, mana bentar lagi ada acara ulang tahun kampus lagi.” keluh Jeffrey, dan meminta gelas air yang sedari tadi tengah di pegang Jerome.

Jerome menyerahkan gelas air nya, dan kemudian ikut bergabung duduk di samping Haikal.

“Ini si kembar bontot kenapa lagi?” tanya Jeffery ikut bingung, karena ga biasanya Haikal yang selalu jadi reog jadi ikut diem kaya Hermas yang ada di sampingnya.

“Gue udah tanyain tadi, tapi gamau jawab ni dua anak.” ujar Jerome mengadu.

“Masalah cewe?” tanya Jeffery langsung, “bukan ya? Apa dong terus?? Cape sama tugas kuliah?” sambung Jeffery lagi masih terus memeberikan beragam pertanyaan.

“Nada ya?” tanya Jerome tiba-tiba, membuat Jeffery kembali mengatupkan mulutnya.

Haikal dan Hermas menoleh dengan sekilas ke arah Jerome, dan kembali berfokus pada layar hitam televisi.

Jeffery menggelengkan kepalanya, “jadi beneran karena Nada?” ujarnya lagi bertanya. “Kenapa? Kalian kangen? Kan belom ada sebulan kita baru aja ke rumah Nada.” sambung Jeffery lebih pelan, dan mengacak rambut Hermas.

“Lo kangen sama Nada ga sih bang?” tanya Haikal membuka suara.

Jeffery melengos, ia tertawa kecil. “Kangen sih ya kangen aja Kal. Tapi gue fikir lagi, percuma gue kangen, itu juga ga bikin Nada hidup lagi.”

“Maksud lo ngomong gitu apaan Jeff?” sahut Yudha yang juga baru pulang dari kampus.

Jeffery menolehkan kepalanya, “ya bener kan? Lo kalau nanya gue kangen sama Nada ya gue jawab gue emang kangen. Tapi di lubuk hati gue, gue merasa kangen sama Nada itu sia-sia. Karena seberapapun besar rasa kangen gue ke Nada, dia juga ga bakalan hidup lagi.” Ungkap Jeffery langsung.

“Kenapa kesannya lo ngomong kaya gitu buat ngejek kita semua yang selalu kangen sama Nada?” ujar Yudha lagi dan membuang tas nya di atas sofa.

“Ya sebenernya niat awal gue ga mengejek sih, tapi kalo lu semua sadar dan merasa tersindir yaudah bagus deh.”

“Lo kenapa sih bangsat? Ngajakin gue ribut atau gimana?!”

“Bang santai bang,” lerai Jerome memegang lengan Yudha yang sudah siap untuk memukul Jeffery.

“Jeff, lo berubah banyak. Kalau menurut lo rasa rindu ke Nada adalah hal yang sia-sia dan ga bisa buat Nada hidup lagi, tolong simpan hal itu untuk diri lo sendiri. Lo gatau gimana struggle nya keluarga lo yang lain dalam melupakan dan mengikhlaskan Nada di ingatan mereka. Karena tahapan paling menyakitkan dalam hidup itu ketika lo kehilangan orang yang lo sayang.” ucap Yudha panjang lebar.

“Gue cape Jeff, banyak yang bilang dari kehilangan kita bisa belajar tentang cara mengikhlaskan dan menjadi lebih tegar kedepannya. Tapi di mata gue, lo bahkan ga perlu repot untuk merasakan dua hal tersebut.”

Jeffery bergerak mencekal kerah Yudha dengan kasar.

“LO SELALU GA PERNAH BERUSAHA PAHAM SAMA GUE, DAN SELALU KECEWA SAMA GUE ANJING!! Asal lo tau, dengan gue menghindari dan berusaha melupakan Nada, gue baru bisa menjalani hidup bang. Tolong jangan menilai usaha gue untuk hal itu dengan sebelah mata. Karena itu adalah cara gue buat bertahan hidup.”

Jeffery mendorong Yudha kebelakang dengan kasar, dan berlalu menuju kamarnya.


“Lo ga mau ceritain hal ini ke yang lainnya?” tanya Haikal pada Hermas yang tidur di sampingnya.

Gatau gimana ceritanya, tapi pada akhirnya Haikal ngikutin Hermas sampai ke kamarnya dan ikut tidur disana. Emang ni anak dua kalau ada masalah ga bisa di pisahkan.

Hermas membuka matanya perlahan, “gue gatau, banyak hal yang terjadi hari ini. Gue cuma ga mau membebani fikiran yang lain.” ujar Hermas menjawab pertanyaan Haikal.

“Lo kaget ga sih Her? Jujur aja, gue merasa Keira yang di depan gue tadi itu ya Nada.”

“Gue juga, cuma gue gatau dan lidah gue beneran kelu buat sekedar sebut nama Nada saat itu.”

“Kalau beneran kesebut, kira-kira si Keira ini bakalan tersinggung gak ya?”

“Gatau, bukan urusan gue.”

Haikal memutar bola matanya malas mendengar penuturan Hermas. Ingatannya kembali melayang pada sore tadi, ketika ia bertemu Keira untuk pertama kali.

“Kal, lo percaya ga sih kalau sebenernya Nada itu masih ada?” tanya Hermas tiba-tiba.

Haikal menolehkan kepalanya tidak mengerti, “gue udah bilang berkali kali, jangan nonton The Penthouse sama Dinan. Otak lo jadi penuh teori konspirasi kaya gini kan.” keluh Haikal kemudian.

Hermas menggeleng, “Gue masih ingat jasad Nada saat itu. Jasadnya jadi hijau, karena udah lewat sepuluh hari baru di temukan. Walaupun jasad ga bisa di identifikasi, karena beberapa luka yang ada di area atas badan, gimana bisa nyokapnya Nada bilang kalau itu emang jasad Nada tanpa harus repot otopsi dulu buat memperjelas informasi?” tanya Hermas balik, bingung.

“Bukannya udah jelas? Karena itu Nada, anak dia. Ga mungkin orang tua kandung kita sendiri, ga mengenali kita. Bahkan gue 100% yakin, mama nyentuh tangan kita tanpa repot ngelihat siapa yang nyentuh juga bakalan tau kalo itu siapa.” jelas Haikal memotong rasa ragu pada hati Hermas.

“Udahlah, tidur aja ayo. Besok lo ada kelas pagi kan?” putus Haikal kemudian, dan berjalan mematikan lampu kamar.

Kali ini mereka tidak jadi untuk kembali bertemu di cafe milik Hardin. Lah si Hardin anaknya malah ikutan ke apartemennya Adelio yang saat ini menjadi markas mereka. Padahal Hardin itu yang paling sibuk di antara semuanya, tapi dia menyempatkan diri buat ikutan gabung ke pertemuan teman-temannya yang lain setelah pertemuan Keira.

Untung aja apartemen Adelio itu cukup besar, dan masih muat lah kalau nampung geng mereka semua disini.

Ren dan Kayla baru saja tiba di apartemen Adelio juga. Baru kali ini Haikal tidak mengambil langkah seribu ketika melihat pasangan kekasih itu berada di satu tempat yang sama dengannya.

“Anan mana?” tanya Kayla khawatir, dan menghampiri si pemilik apartemen, Adelio.

“Di kamar gue, tadi anaknya cuma diem doang di sepanjang perjalanan. Akhirnya gue langsung suruh masuk kamar gue, buat nenangin diri.” jawab Adelio panjang lebar.

Kayla menganggukkan kepala mengerti, dan berjalan meninggalkan kumpulan manusia itu untuk pergi ke kamar Adelio.

“Cok, aku kaget tenan loh. Sumpah Demi Allah, semirip iku??” kata Binbin membuka pembicaraan setelah semuanya berkumpul.

Hermas dan Haikal hanya terdiam mendengarkan perdebatan teman temannya. Mereka berdua belum memberitahukan hal ini kepada saudaranya yang lain.

“Hermas, Haikal.... Lo berdua ga mau kasih tau hal ini ke Bang Candra atau yang lainnya gitu?” Ujar Hardin menimpali percakapan mereka. “Dan lo Del, lo ga mau kasih tau hal ini ke nyokap nya Nada?” sambungnya lagi melirik Adelio yang sedari tadi juga ikut terdiam.

Semua shock, semua kaget, semua bingung. YA GIMANA GA BINGUNG ANJIR?? Nada, orang yang sudah lebih dari tiga tahun pergi meninggalkan mereka semua, punya kembaran yang rupa nya mirip banget sama Nada.

“Aduh, kita beneran harus bahas ini secara mendetail sih.” sahut Hengky membuka suara. “Kita ga pernah ketemu si Keira kan selama tiga tahun ini? Dan ketika udah mulai kuliah offline, si Keira ini out of nowhere tiba-tiba aja muncul. Harusnya kalau memang dari awal dia tinggal di Malang, besar kemungkinan kita pernah ketemu dia.” lanjut Hengky.

“Terus maksud dari perkataan lo itu apa?” tanya Dinan tidak mengerti.

“Kita gatau, karena bukan ga mungkin manusia di dunia ini punya kembaran identik walaupun mereka tidak punya hubungan apapun.” ungkap nya, “Gue gamau kita ambil keputusan gegabah hanya karena paras Keira mirip dengan Nada. Bisa aja mereka memang mirip.” sambungnya lagi.

“Tapi Heng, lo masih inget kan kasus jasad Nada yang di temukan tanpa busana? Tim SAR memang bilang, ada kemungkinan itu sengaja di lakukan Nada, karena dia udah berhalusinasi akibat efek hipotermia nya yang lumayan parah dan mengira kalau suhu saat itu panas, dan bikin dia lepas semua busana yang sedang dia pakai. Tapi balik lagi, kita juga udah dengar ujaran Bang Delvin yang bilang kalau jarak dia meninggalkan Nada itu gak lebih dari setengah jam sampai dia nyampe di pos Paltuding alias itu alibi waktu yang sedikit banget. Kalau memang dalam jangka waktu sedekat itu Nada udah merasakan hipotermia yang parah, harusnya gejala untuk hal itu udah kelihatan sejak mereka masih di atas. Sedangkan yang lain bilang, kalau Nada beneran sehat banget waktu di atas.” jelas Dinan panjang lebar, membuat Hengky mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

“Kita gatau, karena banyak hal janggal di kematian Nada. Tim SAR mungkin emang menemukan jasad Nada tanpa busana, tapi busana Nada dimana? Sampai saat ini masih belum ketemu kan baju yang di pakai Nada saat itu hilang dimana? Sedangkan di penjelasan Tim SAR ada kemungkinan jasad Nada bisa jatuh karena dia menginjak tanah yang rapuh. Belum lagi terkait hal ini, mamanya Nada yang melarang melakukan otopsi, dan bikin kejelasan informasi soal Nada jadi abu-abu apa benar itu jasad Nada atau bukan.” sambung Dinan lagi dalam satu tarikan nafas.

“Dan lo, Haikal, Hermas. Lo berdua selalu bilang ke gue kan, kalau lo berdua ga suka hal yang ga pasti, tapi kalau itu tentang Nada, lo bakalan ambil ketidakpastian itu tanpa ragu. Sekarang gue tanya, terkait Keira apa lo ada keraguan?” cecar Dinan memberi pertanyaan.

“Keraguan, maksud lo?” sahut Felix tidak mengerti.

“Keraguan kalau Keira itu sebenarnya emang Nada.” jawab Dinan mantab.

“Lo kalau ngomong yang ngotak dikit dong?” tukas Dino cepat. “Lo kira ini The Penthouse dimana tokoh yang di season pertama itu meninggal, kemudian di season selanjutnya dia muncul lagi dengan keadaan sehat wal afiat?!” sambungnya kesal.

“Padahal gue udah jelasin teori gue tadi? Makanya gue mau tanya soal ketidakpastian itu. Lo tau, ini aneh banget karena kita kebetulan nya ketemu Keira juga disini, di Malang. I mean, gue mungkin masih bisa menerima kalau memang ketemu Keira di Papua kek, atau di Korea. Tapi ini di Malang? Like, wtf is wrong with this world. Emang dunia beneran sekecil daun kelor apa?” jawab Dinan lagi masih berpegang teguh pada pendiriannya.

“Lo jangan ngasih harapan kaya gitu Nan, kita ga tau kebenarannya kaya gimana. Bisa aja sebenarnya Keira udah ada di sekitar kita dan Nada dulu, cuma kita belum menyadari nya.” sanggah Ren yang sedari tadi terdiam mendengarkan perdebatan temannya. “Sekarang itu ga penting, soal Keira yang mirip Nada atau apapun itu. Yang terpenting, lo fikirin perasaan Hermas, Haikal, Adelio, dan pastinya Anan gimana saat ini. Jangan memperdebatkan hal yang bikin mereka berempat tambah terbebani. Gue yang cuma teman Nada dalam kurun waktu sekian aja udah cukup kaget dengan keadaan saat ini, apalagi mereka berempat yang emang punya hubungan khusus sama Nada?” lanjut Ren lagi.


“Anan?” panggil Kayla setelah memasuki kamar Adelio. Tak perlu mengetuk pintu, karena sudah pasti Anan tidak mau repot mengunci pintu kamar Adelio.

Anan tak menjawab panggilan Kayla, dan dirinya masih terus duduk termenung di atas kasur Adelio yang berwarna putih itu.

“Hei, ayo kita pulang dulu.” ajak Kayla lagi, masih belum menyerah.

Kayla menghela nafasnya pelan, ia familiar dengan kondisi sepupunya saat ini. Jujur saja, ketika mengetahui hal itu dari Ren, dirinya memang terkejut, tapi hal yang paling menyita pikirannya saat itu adalah kondisi Anan.

“Mirip banget Kay.” gumam Anan pelan.

“Gimana??”

“Semirip itu....”

“Anan stop!! Nada udah ga ada, dan dia Keira bukan Nada.” tampik Kayla cepat.

Anan menolehkan kepalanya perlahan menghadap Kayla.

Tetes air matanya jatuh begitu saja. Kayla bergerak mendekati Anan dan mengusap air mata sepupunya itu, ia ikut menangis bersama Anan. Serapuh itu Anan jika hal itu menyangkut soal ibundanya dan Nada.

“Anan, lo harus berfikir lebih rasional. Nada udah ga ada Anan, dan Keira yang hari ini lo temuin itu bukan Nada. Mereka hanya mirip. Tolong, jangan beri harapan lebih pada diri lo sendiri kaya gini. Gue gamau lo terluka lebih dalam lagi daripada masa lalu kita dulu.” imbuh Kayla kemudian.

Keduanya terdiam cukup lama, untuk menenangkan hati masing-masing.

“Kay, gatau kenapa setelah kepergian Nada, perjalanan jadi lebih melelahkan.”

“Soalnya lo hanya menganggap kalau lo mulai berjalan sendiri setelah Nada tiada. Padahal lo masih punya gue, punya anak-anak yang lain. Anan, gue cuman mau lo sembuh, sembuh atas apapun yang udah buat hati lo patah sepatah patahnya. Gue mau lo normal, gue mau lo bahagia, please gue takut lo makin cape dengan hal ini. Ayo Anan, coba mengerti kalau setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan.”

Jisel menyusul Hansa dan Keira yang sudah tiba lebih dahulu di kantin fakultas. Kurang ajar ni sahabatnya, tega beneran ninggalin dia cuma karena udah laper duluan.

Mereka memang baru saja menyelesaikan praktek mata kuliah, tapi karena untuk mata kuliah ini memerlukan dua anggota kelompok, maka Jisel terpental ke kelompok lain dan tidak berbarengan dengan Hansa dan Keira saat menyelesaikan tugas.

“Lo berdua cuma demi makanan tega banget ninggalin gue yang masih praktek??” keluh Jisel begitu dirinya mendatangi tempat duduk kedua sahabatnya.

“Lahh, gue kira lu masih lama. Tadi perut gue beneran keroncongan Sel, jadi gue ngajakin Hansa buat ke kantin duluan.” sahut Keira cepat, tidak lupa memberikan pembelaan untuk Hansa.

Jisel tidak memperdulikan ucapan Keira, dan mulai mengambil tempat duduk persis di sebelah Keira. “Cape banget, belom lagi di waktu terdekat kita ada ujian semester.” keluh Jisel lagi, sembari memakan timun nya.

Keira hanya bisa menepuk punggung Jisel dengan lembut, karena ia juga merasakan keresahan yang sama.

“Nikmatin aja, kita yang dari awal udah sepakat buat memilih ini kan?” kata Hansa bijak, berusaha menghibur Jisel.

Belum selesai tepukan tangan Keira pada punggung Jisel, Keira merasakan tangannya di tarik dengan keras dan kemudian ia sudah tenggelam dalam pelukan seseorang.

'INI SIAPA ANJING MELUK GUE?!'

Tersadar akan posisinya saat ini, Keira mendorong orang yang memeluknya tadi dengan kasar.

“LO SIAPA BANGSAT, MELUK GUE SEENAKNYA?!” teriak Keira frustasi.

Keira tertegun, dirinya terdiam begitu melihat sorot mata lelaki di hadapannya menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat di jelaskan.

“Anan? Lo ngapain peluk Keira? Lo kenal sama Keira?” tanya Jisel yang sama terkejutnya bertubi-tubi.

Haikal, Hermas, dan Adelio baru saja sampai di tempat itu setelah berusaha keras membuntuti Anan yang sudah berlari seperti orang kesetanan.

Emang ganteng doang, tapi di waktu tertentu otaknya jadi dongo. Bukannya nyusul pake mobil, malah pada pekok semua ngikutin Anan lari.

Hansa reflek menarik tangan Keira untuk menjauh dari atensi Anan. “Maksud lo apaan peluk sahabat gue? Lo kenal sama dia? Perasaan belom sempet gue kenalin ke lo dan yang lainnya kemarin.” sela Hansa sedikit marah, dia tidak suka seseorang menyentuh Keira lebih dengan alasan yang tidak jelas.

Pada akhirnya keberadaan Anan dan Hansa yang tengah bersitegang membuat seluruh perhatian mengarah pada mereka. Bibi yang biasanya melayani mahasiswa yang mau makan pun sampe ikutan diem, dengerin ributnya Anan dan Hansa gimana.

“Sa udah, mending kita pergi aja dulu dari sini. Ga enak jadi bahan tontonan.” ujar Jisel menyadari situasi.

Setelah Jisel, Hansa, dan Keira telah menjauh dari sana, Adelio mulai mendekati Anan yang masih terdiam membisu. “Mending kita balik dulu ke apartemen gue.” ucap Adelio menenangkan Anan, sok banget padahal hati dia saat ini masih gonjang ganjing.

Hermas menarik lengan Haikal, dan mulai mengikuti langkah Adelio dan Anan yang sudah berjalan jauh di depan.

Pada akhirnya Adelio dan anak anak yang lain pada gerombolan buat ke gedung Fakultas Kedokteran.

Asli ini mah, kaya rombongan orang nganterin kawin, ramai betul dah. Yang ikut dalam rombongan ini pastinya ada Adelio, Haikal, Binbin, Aldeo, Hermas, Dinan, Hengky, Dino, dan juga Anan.

Yang lainnya kemana? yang lainnya masih ada mata kuliah lain yang harus di ambil, dan Yohan sendiri mereka ga tau anaknya ada di mana karena di chat ga bales.

Dan Hermas sendiri kenapa ikut? gatau juga karena tiba-tiba aja anaknya udah jalan di samping Anan. Mau Dinan kecengin, tapi nyali dia ga segede itu.

Hansa melambaikan tangannya pada Adelio yang bingung ngeliatin kanan kiri jalan dari tadi. Hansa udah bilang dengan gamblang padahal, langsung masuk aja ke gedungnya, tapi namanya Adelio dia juga tetep merasa ga enak apalagi dia bawa pasukan segini banyaknya.

“Gerimis Del, kenapa ga langsung masuk aja sih?” tanya Jisel langsung, melihat Adelio mengibas ngibaskan air hujan dari jaketnya.

“Ga enak gue asli, liat gedungnya dari luar aja udah kena pressure gue.” jawab Adelio sembari berkelakar.

“Halo, gue Hansa.” ucap Hansa kemudian, sembari menjabat tangan mereka satu persatu.

“Ananta, panggil aja Anan.”

“Hansa.”

“Kata lo temen lo yang satunya mau ikut kenalan juga? Mana Sa?” tanya Adelio lagi, melihat hanya ada Jisel dan Hansa disini.

“Anaknya tadi buru-buru pamitan, karena ada urusan lain.” jawab Hansa jujur. “Gapapa dah, lain kali juga bisa gue kenalin kok. Ayo langsung ke kantin aja, lo semua pasti pada laper.” ajak Hansa kemudian, dan menuntun mereka semua menuju kantin Fakultas Kedokteran.


Dan kini meja kantin sudah penuh dengan rombongan Hansa dan juga Adelio. Ketambahan juga, ada cewenya Dinan dan Hengky ikut bergabung di meja itu.

Gak lupa juga, Anan ternyata yang tadi udah janjian sama Sylvia buat makan bareng, pada akhirnya di alihkan ke situ. KASIAN BENER, PADAHAL DIKIRA MAU MAKAN BERDUA MALAH RAME RAME GINI KAYA ORANG HAJATAN.

“Jadi Anan sama Sylvia ini jurusan psikologi?” tanya Jisel membuka pembicaraan. Anan dan Sylvia yang memang duduk bersebelahan langsung menoleh.

“Iya.” jawab Anan singkat.

“Sekelas?” sahut Hansa ikut bertanya.

“Tadinya awal pengajaran kan masih full online, jadi di pisah gitu dua kelas. Abis itu, karena sekarang udah mulai pengajaran tatap muka, mungkin kedepannya bakalan di gabung lagi.” jelas Sylvia panjang lebar.

“Padahal tinggal jawab iya doang, ngapain pake ngomong panjang banget sih.” cibir Jisel pelan, minimalisir orang orang yang bisa mendengar nya.

“Iya, emang anaknya bacot.” jawab Hermas yang duduk di sebelah Jisel keras, membuat Jisel melotot terkejut karena ia tidak menyangka Hermas akan menanggapi cibiran Jisel dengan surat keras seperti itu.

Jisel menepuk lengan Hermas dua kali, mengisyaratkan untuk diam. Hermas hanya menolehkan kepalanya sekilas, dan kembali melanjutkan makannya.

Suasana menjadi sedikit agak canggung, karena Sylvia menyadari bahwa perkataan Hermas barusan adalah untuknya.

“Eh kayanya anak kedokteran tuh cakep cakep ya?? Kenalin dong Sel.” celetuk Haikal mencoba mencairkan suasana.

“Banyak kalau yang cakep mah, tapi yang mau di ajak buat pacaran ceng cengan kayanya hampir ga ada.” jawab Jisel langsung.

Haikal mengerinyitkan dahinya tidak mengerti, pacaran ceng cengan? Emang muka Haikal tuh tipe orang yang ngajakin pacaran ceng cengan apa gimana? PADAHAL MAH IYA, BENER!!

“Lah kok gitu?” kata Haikal kemudian.

“Lo tau, kebanyakan anak sini tuh beneran berfokus pada akademik nya. Bukannya ga menikmati masa muda, tapi beberapa anak emang mungkin mindsetnya udah tertanam kalau mereka mulai belajar di sini, artinya dari awal mereka siap buat berfokus ngejar cita cita.” Jelas Hansa panjang lebar, membuat Haikal menganggukkan kepalanya mengerti.

“Tapi Keira beda kali ya Sa?” cetus Jisel melirik reaksi Hansa, ingin tahu.

“Hah? Keira mah mana tertarik sih Sel soal cowo kaya gitu.” tukas Hansa cepat.

“Ohh, temen lu berdua yang hari ini ga jadi ikatan meet up tuh Keira ya namanya?” sahut Haikal excited, “Liat dong fotonya? Cakep nggak?” sambungnya lagi.

“Rausah nggae gawe to lah.” ucap Binbin menanggapi Haikal. “Mosok iyo kon perkoro arek wadon sampe koyok ngene?” sambungnya lagi mengundang gelak tawa dari Hansa dan Haikal. (Gausah aneh aneh lah. Masa iya perkara anak cewe sampe kaya gini lo?)

“Artinya emang apaan?” tanya Jisel tak mengerti.

“Ya intinya gausah aneh-aneh gitu.” jawab Anan yang sedari tadi mendengarkan perdebatan kawan kawannya.

“Ohh, hahahaha gue kira apaan.”

“Lagian kita juga bakalan sering ketemu kan habis ini? Kita juga bisa hang out bareng. Nanti gue kenalin deh sama Keira, kalau lo semua anaknya asik asik.” Ujar Hansa pada akhirnya.