JC Halcyon

Keira makin pening waktu di tinggal Adit buat masuk ke dalam kelas rapatnya lagi. Jadi Adit ini mahasiswa jurusan Sistem Informasi, siapa yang sangka kalau pada akhirnya Keira ketemu lagi sama golongan Anan, Haikal, dan Hermas disini.

Gatau cuma perasaan Keira doang, atau gimana. Tapi setelah dia ketemu Anan dan kawan-kawan kenapa rasanya dunia Keira terus terusan berpusat sama mereka sih?

Pusing banget, mau kesana kesini ketemu mereka mulu. Ini ga di sengaja kan? Kok semangat bener bikin hari Keira rusak.

“Kak Adit itu kakak lo?” tanya Hermas membuka pembicaraan, karena suasana sudah mulai canggung.

Keira menganggukkan kepalanya tanpa ada niatan untuk menjawab pertanyaan Hermas. “Kalian ngapain disini?” tanya Keira kemudian, ga enak juga dia karena atmosfer di sekitar mereka jadi kaku.

KEIRA PALING GA TAHAN KALAU DIA GA LELUASA BUAT BERGERAK. Makanya sebisa mungkin, walaupun masih kesel karena insiden kemarin si Keira berusaha untuk memperbaiki suasana.

“Gue jemput Hermas, karena dia saudara gue.” jelas Haikal, “ternyata Hermas sama kakak lo satu fakultas. Kebetulan banget ya ternyata.”

Keira kembali mengangguk, KENAPA KIKUK BANGET SIH WOY?? RASANYA DIA MAU NYERET ADIT BUAT CEPETAN BALIK DARI SINI.

Pada akhirnya Keira memilih berdiri dan berencana untuk pergi dari sana sebelum suasana tambah ga enak.

“Mau kemana Kei?” tanya Haikal menyadari.

“Gue mau ke kantin aja, laper nungguin kakak gue.” jelas Keira.

“Gue ikut.”

“Hah?”

“Lo gatau kan kantinnya sebelah mana?”

“Kesini kali.”

“Bukan sebelah situ tapi di sini, pintunya salah.” ujar Haikal sembari menunjuk pintu keluar satunya.

“Halah, kaya lo pernah ngelakuin hal yang bener aja.”

Keira diem sebentar, sadar apa yang barusan dia ucapin. Haikal ikut diem,

Hermas dan Anan yang dari tadi dengerin perdebatan mereka berdua juga ikut diem.

LAGIAN KENAPA ASAL NYEPLOS KAGA LIAT SIKON SIH KEI?? KESEL BENER GUE NULISNYA.

“Maaf.” ucap Keira kemudian. “Ayo Kal kalau mau ke kantin bareng.” sambungnya kemudian dan berjalan lebih dulu ke pintu yang sudah di tunjuk Haikal tadi. MALU BANGET BUSET.


“Kalian udah temenan dari kapan?” tanya Keira pada Haikal. Gatau sejak kapan, tiba-tiba udah akrab aja ni anak berdua.

“Gue sama anak-anak yang lain udah satu angkatan dari SMA sih. Syukurnya, semua anak yang ada di circle gue memilih buat masuk ke kampus ini juga. Kalau lo sama Hansa, Jisel, temenan sejak kapan? Bukannya Jisel anak perantauan ya?”

Keira mengerutkan keningnya bingung, ini Haikal kok bisa tau Jisel anak perantauan dari siapa buset?

“Kita baru kenal karena kuliah ini. Gue ga ada temen waktu SMP dan SMA, karena kata keluarga gue yang lain, gue memilih buat home schooling.”

Introvert?”

“Lo ngeliat gue gimana?”

“Gatau, kan ini baru pertama kali kita ngomong sampe panjang lebar gini. Tapi dari pandangan gue, lo bukan introvert sih.”

Keira mengangguk paham, banyak yang mengira Keira introvert karena ia jarang berbaur dengan yang lain. Padahal di kenyataannya kaga sama sekali anjir, dia tuh temennya banyak, bertebaran di mana-mana. Cuma di mana-mana nya nggak kelihatan, ada yang temen di Jakarta, ada yang di Lampung, ada yang di Korea, ada yang di Amerika.Kaya nya temennya Keira tuh kalau di kumpulin bakalan bisa buat negara baru.

“Eh tapi bentar Kei,” kata Haikal kemudian menyadari sesuatu. “Maksud kalimat lo kata keluarga gue tadi gimana? Kok ambigu gitu sih?”

“Hah?”

“Lo tadi bilang, kata keluarga gue, gue emang lebih memilih home schooling. Kenapa harus kata keluarga gue? Kenapa ga bilang aja, karena gue lebih memilih home schooling?”

“Ohh, itu soalnya gue kehilangan ingatan gue dari umur enam belas tahun sampe kebawah. Jadi selama ini gue cuma bertahan di ingatan gue umur enam belas tahun sampai sekarang.”

“LO PERNAH HILANG INGATAN? FOR REAL??!

Keira mengedip takut, kenapa Haikal yang di depannya ini berubah jadi agresif setelah mendengar kalau ia pernah hilang ingatan. “Ya iya.... Emang kenapa sih?”

“IH ANJING, INI BARU PERTAMA KALINYA GUE LIAT SECARA LANGSUNG ORANG YANG PERNAH HILANG INGATAN!!!”

Keira tertawa melihat respon Haikal yang menggebu-gebu. “Apaan sih Kal, random banget lu jadi orang.” ucapnya di sela tawa.

“Tapi serius, ini kali pertama gue ngelihat orang yang hilang ingatan. Kalau boleh tau, lo hilang ingatan karena apa??” tanya Haikal lebih lanjut.

“Keira, ayo pulang.” sela Adit yang ternyata sedari tadi diam-diam mendengarkan percakapan antara Keira dan Haikal tak jauh dari tempat keduanya berbincang.

“Eh Kak Adit, ayokk!” ucap Keira senang. “Gue balik duluan ya Kal, chat disini aja kalau mau ngobrol.” sambungnya sembari memberikan secarik kertas berisikan nomor ponselnya dan berlalu dari sana dengan Adit.

“Kinda sus....”

Haikal dan Hermas memasuki rumah dengan langkah gontai. Gatau gimana jadinya ni dua anak kalau ga di anterin pulang sama Aldeo.

“Woi kembar,” sapa Jerome dari dapur sembari membawa air minum. “Kenapa dah? Kok muka lu berdua kusut bener.” sambungnya lagi.

Keduanya memilih untuk tidak menjawab ucapan Jerome, dan terduduk di sofa depan televisi.

Merasa ada yang aneh dengan kedua adiknya, Jerome menghampiri Hermas dan Haikal. “Kenapa sih?” tanya nya lagi belum puas.

Di samping itu, Jeffery yang baru saja pulang dari kampus ikut duduk dan bersandar pada sofa bergabung dengan Hermas dan Haikal.

“Cape banget gue hari ini buset, mana bentar lagi ada acara ulang tahun kampus lagi.” keluh Jeffrey, dan meminta gelas air yang sedari tadi tengah di pegang Jerome.

Jerome menyerahkan gelas air nya, dan kemudian ikut bergabung duduk di samping Haikal.

“Ini si kembar bontot kenapa lagi?” tanya Jeffery ikut bingung, karena ga biasanya Haikal yang selalu jadi reog jadi ikut diem kaya Hermas yang ada di sampingnya.

“Gue udah tanyain tadi, tapi gamau jawab ni dua anak.” ujar Jerome mengadu.

“Masalah cewe?” tanya Jeffery langsung, “bukan ya? Apa dong terus?? Cape sama tugas kuliah?” sambung Jeffery lagi masih terus memeberikan beragam pertanyaan.

“Nada ya?” tanya Jerome tiba-tiba, membuat Jeffery kembali mengatupkan mulutnya.

Haikal dan Hermas menoleh dengan sekilas ke arah Jerome, dan kembali berfokus pada layar hitam televisi.

Jeffery menggelengkan kepalanya, “jadi beneran karena Nada?” ujarnya lagi bertanya. “Kenapa? Kalian kangen? Kan belom ada sebulan kita baru aja ke rumah Nada.” sambung Jeffery lebih pelan, dan mengacak rambut Hermas.

“Lo kangen sama Nada ga sih bang?” tanya Haikal membuka suara.

Jeffery melengos, ia tertawa kecil. “Kangen sih ya kangen aja Kal. Tapi gue fikir lagi, percuma gue kangen, itu juga ga bikin Nada hidup lagi.”

“Maksud lo ngomong gitu apaan Jeff?” sahut Yudha yang juga baru pulang dari kampus.

Jeffery menolehkan kepalanya, “ya bener kan? Lo kalau nanya gue kangen sama Nada ya gue jawab gue emang kangen. Tapi di lubuk hati gue, gue merasa kangen sama Nada itu sia-sia. Karena seberapapun besar rasa kangen gue ke Nada, dia juga ga bakalan hidup lagi.” Ungkap Jeffery langsung.

“Kenapa kesannya lo ngomong kaya gitu buat ngejek kita semua yang selalu kangen sama Nada?” ujar Yudha lagi dan membuang tas nya di atas sofa.

“Ya sebenernya niat awal gue ga mengejek sih, tapi kalo lu semua sadar dan merasa tersindir yaudah bagus deh.”

“Lo kenapa sih bangsat? Ngajakin gue ribut atau gimana?!”

“Bang santai bang,” lerai Jerome memegang lengan Yudha yang sudah siap untuk memukul Jeffery.

“Jeff, lo berubah banyak. Kalau menurut lo rasa rindu ke Nada adalah hal yang sia-sia dan ga bisa buat Nada hidup lagi, tolong simpan hal itu untuk diri lo sendiri. Lo gatau gimana struggle nya keluarga lo yang lain dalam melupakan dan mengikhlaskan Nada di ingatan mereka. Karena tahapan paling menyakitkan dalam hidup itu ketika lo kehilangan orang yang lo sayang.” ucap Yudha panjang lebar.

“Gue cape Jeff, banyak yang bilang dari kehilangan kita bisa belajar tentang cara mengikhlaskan dan menjadi lebih tegar kedepannya. Tapi di mata gue, lo bahkan ga perlu repot untuk merasakan dua hal tersebut.”

Jeffery bergerak mencekal kerah Yudha dengan kasar.

“LO SELALU GA PERNAH BERUSAHA PAHAM SAMA GUE, DAN SELALU KECEWA SAMA GUE ANJING!! Asal lo tau, dengan gue menghindari dan berusaha melupakan Nada, gue baru bisa menjalani hidup bang. Tolong jangan menilai usaha gue untuk hal itu dengan sebelah mata. Karena itu adalah cara gue buat bertahan hidup.”

Jeffery mendorong Yudha kebelakang dengan kasar, dan berlalu menuju kamarnya.


“Lo ga mau ceritain hal ini ke yang lainnya?” tanya Haikal pada Hermas yang tidur di sampingnya.

Gatau gimana ceritanya, tapi pada akhirnya Haikal ngikutin Hermas sampai ke kamarnya dan ikut tidur disana. Emang ni anak dua kalau ada masalah ga bisa di pisahkan.

Hermas membuka matanya perlahan, “gue gatau, banyak hal yang terjadi hari ini. Gue cuma ga mau membebani fikiran yang lain.” ujar Hermas menjawab pertanyaan Haikal.

“Lo kaget ga sih Her? Jujur aja, gue merasa Keira yang di depan gue tadi itu ya Nada.”

“Gue juga, cuma gue gatau dan lidah gue beneran kelu buat sekedar sebut nama Nada saat itu.”

“Kalau beneran kesebut, kira-kira si Keira ini bakalan tersinggung gak ya?”

“Gatau, bukan urusan gue.”

Haikal memutar bola matanya malas mendengar penuturan Hermas. Ingatannya kembali melayang pada sore tadi, ketika ia bertemu Keira untuk pertama kali.

“Kal, lo percaya ga sih kalau sebenernya Nada itu masih ada?” tanya Hermas tiba-tiba.

Haikal menolehkan kepalanya tidak mengerti, “gue udah bilang berkali kali, jangan nonton The Penthouse sama Dinan. Otak lo jadi penuh teori konspirasi kaya gini kan.” keluh Haikal kemudian.

Hermas menggeleng, “Gue masih ingat jasad Nada saat itu. Jasadnya jadi hijau, karena udah lewat sepuluh hari baru di temukan. Walaupun jasad ga bisa di identifikasi, karena beberapa luka yang ada di area atas badan, gimana bisa nyokapnya Nada bilang kalau itu emang jasad Nada tanpa harus repot otopsi dulu buat memperjelas informasi?” tanya Hermas balik, bingung.

“Bukannya udah jelas? Karena itu Nada, anak dia. Ga mungkin orang tua kandung kita sendiri, ga mengenali kita. Bahkan gue 100% yakin, mama nyentuh tangan kita tanpa repot ngelihat siapa yang nyentuh juga bakalan tau kalo itu siapa.” jelas Haikal memotong rasa ragu pada hati Hermas.

“Udahlah, tidur aja ayo. Besok lo ada kelas pagi kan?” putus Haikal kemudian, dan berjalan mematikan lampu kamar.

Kali ini mereka tidak jadi untuk kembali bertemu di cafe milik Hardin. Lah si Hardin anaknya malah ikutan ke apartemennya Adelio yang saat ini menjadi markas mereka. Padahal Hardin itu yang paling sibuk di antara semuanya, tapi dia menyempatkan diri buat ikutan gabung ke pertemuan teman-temannya yang lain setelah pertemuan Keira.

Untung aja apartemen Adelio itu cukup besar, dan masih muat lah kalau nampung geng mereka semua disini.

Ren dan Kayla baru saja tiba di apartemen Adelio juga. Baru kali ini Haikal tidak mengambil langkah seribu ketika melihat pasangan kekasih itu berada di satu tempat yang sama dengannya.

“Anan mana?” tanya Kayla khawatir, dan menghampiri si pemilik apartemen, Adelio.

“Di kamar gue, tadi anaknya cuma diem doang di sepanjang perjalanan. Akhirnya gue langsung suruh masuk kamar gue, buat nenangin diri.” jawab Adelio panjang lebar.

Kayla menganggukkan kepala mengerti, dan berjalan meninggalkan kumpulan manusia itu untuk pergi ke kamar Adelio.

“Cok, aku kaget tenan loh. Sumpah Demi Allah, semirip iku??” kata Binbin membuka pembicaraan setelah semuanya berkumpul.

Hermas dan Haikal hanya terdiam mendengarkan perdebatan teman temannya. Mereka berdua belum memberitahukan hal ini kepada saudaranya yang lain.

“Hermas, Haikal.... Lo berdua ga mau kasih tau hal ini ke Bang Candra atau yang lainnya gitu?” Ujar Hardin menimpali percakapan mereka. “Dan lo Del, lo ga mau kasih tau hal ini ke nyokap nya Nada?” sambungnya lagi melirik Adelio yang sedari tadi juga ikut terdiam.

Semua shock, semua kaget, semua bingung. YA GIMANA GA BINGUNG ANJIR?? Nada, orang yang sudah lebih dari tiga tahun pergi meninggalkan mereka semua, punya kembaran yang rupa nya mirip banget sama Nada.

“Aduh, kita beneran harus bahas ini secara mendetail sih.” sahut Hengky membuka suara. “Kita ga pernah ketemu si Keira kan selama tiga tahun ini? Dan ketika udah mulai kuliah offline, si Keira ini out of nowhere tiba-tiba aja muncul. Harusnya kalau memang dari awal dia tinggal di Malang, besar kemungkinan kita pernah ketemu dia.” lanjut Hengky.

“Terus maksud dari perkataan lo itu apa?” tanya Dinan tidak mengerti.

“Kita gatau, karena bukan ga mungkin manusia di dunia ini punya kembaran identik walaupun mereka tidak punya hubungan apapun.” ungkap nya, “Gue gamau kita ambil keputusan gegabah hanya karena paras Keira mirip dengan Nada. Bisa aja mereka memang mirip.” sambungnya lagi.

“Tapi Heng, lo masih inget kan kasus jasad Nada yang di temukan tanpa busana? Tim SAR memang bilang, ada kemungkinan itu sengaja di lakukan Nada, karena dia udah berhalusinasi akibat efek hipotermia nya yang lumayan parah dan mengira kalau suhu saat itu panas, dan bikin dia lepas semua busana yang sedang dia pakai. Tapi balik lagi, kita juga udah dengar ujaran Bang Delvin yang bilang kalau jarak dia meninggalkan Nada itu gak lebih dari setengah jam sampai dia nyampe di pos Paltuding alias itu alibi waktu yang sedikit banget. Kalau memang dalam jangka waktu sedekat itu Nada udah merasakan hipotermia yang parah, harusnya gejala untuk hal itu udah kelihatan sejak mereka masih di atas. Sedangkan yang lain bilang, kalau Nada beneran sehat banget waktu di atas.” jelas Dinan panjang lebar, membuat Hengky mengatupkan bibirnya rapat-rapat.

“Kita gatau, karena banyak hal janggal di kematian Nada. Tim SAR mungkin emang menemukan jasad Nada tanpa busana, tapi busana Nada dimana? Sampai saat ini masih belum ketemu kan baju yang di pakai Nada saat itu hilang dimana? Sedangkan di penjelasan Tim SAR ada kemungkinan jasad Nada bisa jatuh karena dia menginjak tanah yang rapuh. Belum lagi terkait hal ini, mamanya Nada yang melarang melakukan otopsi, dan bikin kejelasan informasi soal Nada jadi abu-abu apa benar itu jasad Nada atau bukan.” sambung Dinan lagi dalam satu tarikan nafas.

“Dan lo, Haikal, Hermas. Lo berdua selalu bilang ke gue kan, kalau lo berdua ga suka hal yang ga pasti, tapi kalau itu tentang Nada, lo bakalan ambil ketidakpastian itu tanpa ragu. Sekarang gue tanya, terkait Keira apa lo ada keraguan?” cecar Dinan memberi pertanyaan.

“Keraguan, maksud lo?” sahut Felix tidak mengerti.

“Keraguan kalau Keira itu sebenarnya emang Nada.” jawab Dinan mantab.

“Lo kalau ngomong yang ngotak dikit dong?” tukas Dino cepat. “Lo kira ini The Penthouse dimana tokoh yang di season pertama itu meninggal, kemudian di season selanjutnya dia muncul lagi dengan keadaan sehat wal afiat?!” sambungnya kesal.

“Padahal gue udah jelasin teori gue tadi? Makanya gue mau tanya soal ketidakpastian itu. Lo tau, ini aneh banget karena kita kebetulan nya ketemu Keira juga disini, di Malang. I mean, gue mungkin masih bisa menerima kalau memang ketemu Keira di Papua kek, atau di Korea. Tapi ini di Malang? Like, wtf is wrong with this world. Emang dunia beneran sekecil daun kelor apa?” jawab Dinan lagi masih berpegang teguh pada pendiriannya.

“Lo jangan ngasih harapan kaya gitu Nan, kita ga tau kebenarannya kaya gimana. Bisa aja sebenarnya Keira udah ada di sekitar kita dan Nada dulu, cuma kita belum menyadari nya.” sanggah Ren yang sedari tadi terdiam mendengarkan perdebatan temannya. “Sekarang itu ga penting, soal Keira yang mirip Nada atau apapun itu. Yang terpenting, lo fikirin perasaan Hermas, Haikal, Adelio, dan pastinya Anan gimana saat ini. Jangan memperdebatkan hal yang bikin mereka berempat tambah terbebani. Gue yang cuma teman Nada dalam kurun waktu sekian aja udah cukup kaget dengan keadaan saat ini, apalagi mereka berempat yang emang punya hubungan khusus sama Nada?” lanjut Ren lagi.


“Anan?” panggil Kayla setelah memasuki kamar Adelio. Tak perlu mengetuk pintu, karena sudah pasti Anan tidak mau repot mengunci pintu kamar Adelio.

Anan tak menjawab panggilan Kayla, dan dirinya masih terus duduk termenung di atas kasur Adelio yang berwarna putih itu.

“Hei, ayo kita pulang dulu.” ajak Kayla lagi, masih belum menyerah.

Kayla menghela nafasnya pelan, ia familiar dengan kondisi sepupunya saat ini. Jujur saja, ketika mengetahui hal itu dari Ren, dirinya memang terkejut, tapi hal yang paling menyita pikirannya saat itu adalah kondisi Anan.

“Mirip banget Kay.” gumam Anan pelan.

“Gimana??”

“Semirip itu....”

“Anan stop!! Nada udah ga ada, dan dia Keira bukan Nada.” tampik Kayla cepat.

Anan menolehkan kepalanya perlahan menghadap Kayla.

Tetes air matanya jatuh begitu saja. Kayla bergerak mendekati Anan dan mengusap air mata sepupunya itu, ia ikut menangis bersama Anan. Serapuh itu Anan jika hal itu menyangkut soal ibundanya dan Nada.

“Anan, lo harus berfikir lebih rasional. Nada udah ga ada Anan, dan Keira yang hari ini lo temuin itu bukan Nada. Mereka hanya mirip. Tolong, jangan beri harapan lebih pada diri lo sendiri kaya gini. Gue gamau lo terluka lebih dalam lagi daripada masa lalu kita dulu.” imbuh Kayla kemudian.

Keduanya terdiam cukup lama, untuk menenangkan hati masing-masing.

“Kay, gatau kenapa setelah kepergian Nada, perjalanan jadi lebih melelahkan.”

“Soalnya lo hanya menganggap kalau lo mulai berjalan sendiri setelah Nada tiada. Padahal lo masih punya gue, punya anak-anak yang lain. Anan, gue cuman mau lo sembuh, sembuh atas apapun yang udah buat hati lo patah sepatah patahnya. Gue mau lo normal, gue mau lo bahagia, please gue takut lo makin cape dengan hal ini. Ayo Anan, coba mengerti kalau setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan.”

Jisel menyusul Hansa dan Keira yang sudah tiba lebih dahulu di kantin fakultas. Kurang ajar ni sahabatnya, tega beneran ninggalin dia cuma karena udah laper duluan.

Mereka memang baru saja menyelesaikan praktek mata kuliah, tapi karena untuk mata kuliah ini memerlukan dua anggota kelompok, maka Jisel terpental ke kelompok lain dan tidak berbarengan dengan Hansa dan Keira saat menyelesaikan tugas.

“Lo berdua cuma demi makanan tega banget ninggalin gue yang masih praktek??” keluh Jisel begitu dirinya mendatangi tempat duduk kedua sahabatnya.

“Lahh, gue kira lu masih lama. Tadi perut gue beneran keroncongan Sel, jadi gue ngajakin Hansa buat ke kantin duluan.” sahut Keira cepat, tidak lupa memberikan pembelaan untuk Hansa.

Jisel tidak memperdulikan ucapan Keira, dan mulai mengambil tempat duduk persis di sebelah Keira. “Cape banget, belom lagi di waktu terdekat kita ada ujian semester.” keluh Jisel lagi, sembari memakan timun nya.

Keira hanya bisa menepuk punggung Jisel dengan lembut, karena ia juga merasakan keresahan yang sama.

“Nikmatin aja, kita yang dari awal udah sepakat buat memilih ini kan?” kata Hansa bijak, berusaha menghibur Jisel.

Belum selesai tepukan tangan Keira pada punggung Jisel, Keira merasakan tangannya di tarik dengan keras dan kemudian ia sudah tenggelam dalam pelukan seseorang.

'INI SIAPA ANJING MELUK GUE?!'

Tersadar akan posisinya saat ini, Keira mendorong orang yang memeluknya tadi dengan kasar.

“LO SIAPA BANGSAT, MELUK GUE SEENAKNYA?!” teriak Keira frustasi.

Keira tertegun, dirinya terdiam begitu melihat sorot mata lelaki di hadapannya menatapnya dengan pandangan yang tidak dapat di jelaskan.

“Anan? Lo ngapain peluk Keira? Lo kenal sama Keira?” tanya Jisel yang sama terkejutnya bertubi-tubi.

Haikal, Hermas, dan Adelio baru saja sampai di tempat itu setelah berusaha keras membuntuti Anan yang sudah berlari seperti orang kesetanan.

Emang ganteng doang, tapi di waktu tertentu otaknya jadi dongo. Bukannya nyusul pake mobil, malah pada pekok semua ngikutin Anan lari.

Hansa reflek menarik tangan Keira untuk menjauh dari atensi Anan. “Maksud lo apaan peluk sahabat gue? Lo kenal sama dia? Perasaan belom sempet gue kenalin ke lo dan yang lainnya kemarin.” sela Hansa sedikit marah, dia tidak suka seseorang menyentuh Keira lebih dengan alasan yang tidak jelas.

Pada akhirnya keberadaan Anan dan Hansa yang tengah bersitegang membuat seluruh perhatian mengarah pada mereka. Bibi yang biasanya melayani mahasiswa yang mau makan pun sampe ikutan diem, dengerin ributnya Anan dan Hansa gimana.

“Sa udah, mending kita pergi aja dulu dari sini. Ga enak jadi bahan tontonan.” ujar Jisel menyadari situasi.

Setelah Jisel, Hansa, dan Keira telah menjauh dari sana, Adelio mulai mendekati Anan yang masih terdiam membisu. “Mending kita balik dulu ke apartemen gue.” ucap Adelio menenangkan Anan, sok banget padahal hati dia saat ini masih gonjang ganjing.

Hermas menarik lengan Haikal, dan mulai mengikuti langkah Adelio dan Anan yang sudah berjalan jauh di depan.

Pada akhirnya Adelio dan anak anak yang lain pada gerombolan buat ke gedung Fakultas Kedokteran.

Asli ini mah, kaya rombongan orang nganterin kawin, ramai betul dah. Yang ikut dalam rombongan ini pastinya ada Adelio, Haikal, Binbin, Aldeo, Hermas, Dinan, Hengky, Dino, dan juga Anan.

Yang lainnya kemana? yang lainnya masih ada mata kuliah lain yang harus di ambil, dan Yohan sendiri mereka ga tau anaknya ada di mana karena di chat ga bales.

Dan Hermas sendiri kenapa ikut? gatau juga karena tiba-tiba aja anaknya udah jalan di samping Anan. Mau Dinan kecengin, tapi nyali dia ga segede itu.

Hansa melambaikan tangannya pada Adelio yang bingung ngeliatin kanan kiri jalan dari tadi. Hansa udah bilang dengan gamblang padahal, langsung masuk aja ke gedungnya, tapi namanya Adelio dia juga tetep merasa ga enak apalagi dia bawa pasukan segini banyaknya.

“Gerimis Del, kenapa ga langsung masuk aja sih?” tanya Jisel langsung, melihat Adelio mengibas ngibaskan air hujan dari jaketnya.

“Ga enak gue asli, liat gedungnya dari luar aja udah kena pressure gue.” jawab Adelio sembari berkelakar.

“Halo, gue Hansa.” ucap Hansa kemudian, sembari menjabat tangan mereka satu persatu.

“Ananta, panggil aja Anan.”

“Hansa.”

“Kata lo temen lo yang satunya mau ikut kenalan juga? Mana Sa?” tanya Adelio lagi, melihat hanya ada Jisel dan Hansa disini.

“Anaknya tadi buru-buru pamitan, karena ada urusan lain.” jawab Hansa jujur. “Gapapa dah, lain kali juga bisa gue kenalin kok. Ayo langsung ke kantin aja, lo semua pasti pada laper.” ajak Hansa kemudian, dan menuntun mereka semua menuju kantin Fakultas Kedokteran.


Dan kini meja kantin sudah penuh dengan rombongan Hansa dan juga Adelio. Ketambahan juga, ada cewenya Dinan dan Hengky ikut bergabung di meja itu.

Gak lupa juga, Anan ternyata yang tadi udah janjian sama Sylvia buat makan bareng, pada akhirnya di alihkan ke situ. KASIAN BENER, PADAHAL DIKIRA MAU MAKAN BERDUA MALAH RAME RAME GINI KAYA ORANG HAJATAN.

“Jadi Anan sama Sylvia ini jurusan psikologi?” tanya Jisel membuka pembicaraan. Anan dan Sylvia yang memang duduk bersebelahan langsung menoleh.

“Iya.” jawab Anan singkat.

“Sekelas?” sahut Hansa ikut bertanya.

“Tadinya awal pengajaran kan masih full online, jadi di pisah gitu dua kelas. Abis itu, karena sekarang udah mulai pengajaran tatap muka, mungkin kedepannya bakalan di gabung lagi.” jelas Sylvia panjang lebar.

“Padahal tinggal jawab iya doang, ngapain pake ngomong panjang banget sih.” cibir Jisel pelan, minimalisir orang orang yang bisa mendengar nya.

“Iya, emang anaknya bacot.” jawab Hermas yang duduk di sebelah Jisel keras, membuat Jisel melotot terkejut karena ia tidak menyangka Hermas akan menanggapi cibiran Jisel dengan surat keras seperti itu.

Jisel menepuk lengan Hermas dua kali, mengisyaratkan untuk diam. Hermas hanya menolehkan kepalanya sekilas, dan kembali melanjutkan makannya.

Suasana menjadi sedikit agak canggung, karena Sylvia menyadari bahwa perkataan Hermas barusan adalah untuknya.

“Eh kayanya anak kedokteran tuh cakep cakep ya?? Kenalin dong Sel.” celetuk Haikal mencoba mencairkan suasana.

“Banyak kalau yang cakep mah, tapi yang mau di ajak buat pacaran ceng cengan kayanya hampir ga ada.” jawab Jisel langsung.

Haikal mengerinyitkan dahinya tidak mengerti, pacaran ceng cengan? Emang muka Haikal tuh tipe orang yang ngajakin pacaran ceng cengan apa gimana? PADAHAL MAH IYA, BENER!!

“Lah kok gitu?” kata Haikal kemudian.

“Lo tau, kebanyakan anak sini tuh beneran berfokus pada akademik nya. Bukannya ga menikmati masa muda, tapi beberapa anak emang mungkin mindsetnya udah tertanam kalau mereka mulai belajar di sini, artinya dari awal mereka siap buat berfokus ngejar cita cita.” Jelas Hansa panjang lebar, membuat Haikal menganggukkan kepalanya mengerti.

“Tapi Keira beda kali ya Sa?” cetus Jisel melirik reaksi Hansa, ingin tahu.

“Hah? Keira mah mana tertarik sih Sel soal cowo kaya gitu.” tukas Hansa cepat.

“Ohh, temen lu berdua yang hari ini ga jadi ikatan meet up tuh Keira ya namanya?” sahut Haikal excited, “Liat dong fotonya? Cakep nggak?” sambungnya lagi.

“Rausah nggae gawe to lah.” ucap Binbin menanggapi Haikal. “Mosok iyo kon perkoro arek wadon sampe koyok ngene?” sambungnya lagi mengundang gelak tawa dari Hansa dan Haikal. (Gausah aneh aneh lah. Masa iya perkara anak cewe sampe kaya gini lo?)

“Artinya emang apaan?” tanya Jisel tak mengerti.

“Ya intinya gausah aneh-aneh gitu.” jawab Anan yang sedari tadi mendengarkan perdebatan kawan kawannya.

“Ohh, hahahaha gue kira apaan.”

“Lagian kita juga bakalan sering ketemu kan habis ini? Kita juga bisa hang out bareng. Nanti gue kenalin deh sama Keira, kalau lo semua anaknya asik asik.” Ujar Hansa pada akhirnya.

Anan menyalakan lagu di spotify nya. Ia menolehkan kepalanya pada Haikal yang masih berpamitan pada Hermas yang mengendarai kendaraan berbeda.

Sedikit yang ia dengar, Haikal menyuruh Hermas untuk berhati-hati saat mengendarai mobil. Ia juga menitip pesan pada Hermas untuk di sampaikan ke bang Candra karena ia akan pulang terlambat sebab harus mengantar Anan terlebih dahulu.

“Lama banget, kaya ngasih wasiat.” keluh Anan, begitu Haikal memasuki mobilnya.

Haikal hanya tertawa kecil, “rutinitas Nan. Lo gatau aja, si Hermas kalo ga gue pamitin waktu balik sendiri pasti bawaannya bakalan gelisah.” jawab Haikal menjelaskan.

Anan mengangkat satu alisnya penasaran, “tau dari mana lu anaknya bakalan gelisah?” tanyanya kemudian.

Feeling lah bro, kita aja udah berbagi di dalam rahim yang sama dengan waktu yang sama juga. Kadang gue suka bingung, gue bisa ngerasain apa yang Hermas rasain tanpa harus di ucapkan di kalimat.” ujar Haikal jujur.

Anan menatap jalanan yang mulai sepi karena sudah menunjukkan pukul tengah malam.

“Tapi lo ga selalu klop sama Hermas.” gumam Anan, membuat Haikal yang mendengar nya ikut bingung.

“Maksud lo?”

“Ya ga semua sih, cuma menurut gue lo dan Hermas ga selalu cocok di segala situasi.”

“Hmmmm, mungkin karena emang ada beberapa hal di gue dan dia ga bisa di satuin juga sih.”

Indeed.”

Haikal dan Anan kembali terdiam, mereka hanya menikmati suasana kali ini dalam sepi.

“Nan, apa sih yang bikin lo masih belom bisa lupain Nada?” tanya Haikal tiba-tiba.

Anan menolehkan kepalanya, dirinya tersenyum kecil sebelum menjawab pertanyaan Haikal. “Nada itu yang melukis langit biru di hidup gue Kal, tapi dia juga yang mengubahnya jadi hujan.”

Haikal melihat raut wajah Anan melalui kaca dashboard. “Kalau di fikir lagi, lucu juga ya Nan. Nada itu harapan, yang harus lo ikhlaskan.” ucap Haikal mengejek.

Haikal belajar banyak hal sejak kepergian Nada. Mereka yang mengenal Nada, akan merindui sosok Nada jika mereka gagal mencari penggantinya. Sesingkat apa pun cerita nya, prihal melupakan bukan lah hal yang mudah.

Kemudian Haikal teringat dengan wanita yang ia temui tempo hari di Pujasera. Ia sudah menceritakan nya pada Hermas dan Delvin, tapi ia juga berniat untuk menceritakan hal ini pada Anan, karena ia ingin mengetahui bagaimana pendapat Anan.

Haikal mengetuk kemudi stir dengan ragu, apakah ia harus melakukannya atau tidak. “Nan, sebenernya gue mau cerita sesuatu sih. Tapi gue masih ragu.”

“Yaudah, gausah cerita kalo gitu.” potong Anan enteng. Haikal mendengus kesal, ia sudah menduga kalau jawaban Anan akan acuh seperti itu.

“Lo tau, gue sempet kaget karena ketemu orang yang suaranya mirip banget sama Nada.” ujar Haikal pada akhirnya.

Anan menolehkan kepalanya dengan cepat pada Haikal, “apa lo bilang?”

Haikal menundukkan pandangannya, tidak berani menatap Anan yang kini meminta penjelasan lebih lanjut padanya. Lagian Haikal sih, ngapain coba mancing mancing kaya gitu. Blunder sendiri kan jadinya.

“Gatau, gue merasa kalau itu bukan halu. Tapi Nan, gue tau betul gimana suara Nada. Gue sempet shock juga, dan gue kira kalau sangking rindunya sama Nada, mungkin gue berhalusinasi kalau orang itu punya suara kaya Nada. Tapi kemudian gue tersadar, kalau orang yang gue temui hari itu punya proposi tubuh dan tinggi yang mirip sama Nada.” jelas Haikal panjang lebar.

Anan mengeratkan kedua tangannya.

“Gue mungkin bilang lo harus lupain Nada dan yang lainnya, tapi lo tau betul Nan pemikiran gue jauh lebih rasional kalau berfikir soal Nada.” Sambungnya lagi, makin membuat Anan terdiam.

“Menurut lo, apa itu kemungkinan Nada?” tanya Anan pada akhirnya, setelah ia lebih memilih untuk terdiam sedikit lebih lama.

Haikal menggelengkan kepalanya, “Gue bilang, gue gue ga halu soal suara yang mirip Nada. Tapi di antara banyaknya manusia di bumi ini, banyak orang yang memiliki warna suara yang sama bukan?”

“Maksud ucapan lo saat ini apa?”

“Gue gatau juga, otak gue terbelah jadi dua saat ini. Gue yang mencoba untuk berfikir lebih faktual kalau Nada udah ga ada, dan gue liat dengan mata kepala gue sendiri kalau dia udah di makamin di dalam tanah. Tapi di otak gue yang lain, gue berfikir kalau beberapa soal kematian Nada itu penuh kejanggalan. Apalagi sebelum Nada hilang, dia pake hoodie lo yang warna tosca. Tapi ketika jasad di temukan, dia ga pake hoodie itu. Walaupun gue tau, beberapa pihak udah menjelaskan kalau Nada mungkin sempat kena hipotermia dan membuat dia berhalusinasi kalau dia merasakan panas, kemudian lepas semua bajunya. Tapi tetep aja Anan, gue ga bisa menerima point yang itu. Sama sekali.”

Untungnya Keenan ngasih tahu lebih dulu, dimana backstage perlombaan karate berada. Keira baru tau, kalau di gedung olahraga hari ini yang ngadain perlombaan bukan cabang karate doang.

Ada banyak cabang perlombaan, kaya badminton, terus futsal, dan satunya tenis meja. Pantesan aja, kenapa Keira ga nemu tempat sepi sama sekali, alias di mana-mana penuh sama banyaknya manusia yang terus berdatangan.

Keira menghampiri Keenan yang tengah duduk di kursi yang telah di sediakan untuk para atlet.

“Keenan,” sapa Keira, dan langsung memegang wajah Keenan yang sedikit bengkak di bagian hidung. “Mimisan nya udah berhenti?” tanyanya lagi, khawatir.

Keenan yang tadinya lagi asik merem, langsung melotot terkejut begitu merasa ada seseorang memegang wajahnya.

“Kak? Gue kira lo kesasar dulu.” sapa Keenan balik, dan membiarkan Keira menyentuh wajahnya dengan lembut.

Keira memberikan tas slempang nya pada Keenan, dan berlalu dari sana. Keenan mengernyitkan dahinya bingung, ni anak mau kemana lagi dah.

Ternyata Keira menghampiri panitia penyelenggara untuk meminta ice bag compress untuk Keenan. Keenan mah tadi udah di obatin, tapi dia tetep biarin Keira melakukan effort untuknya tanpa berniat untuk mencegahnya. Dia cuma ga mau menghalangi kekhawatiran Keira, dan biarin Keira periksa keadaan dia sendiri.

“Aduh, idung lo ga sakit kan bagian sini?” tanya Keira sembari memencet batang hidung Keenan selembut mungkin.

Keenan menggelengkan kepalanya, “ga ada yang sakit, tadi kayanya cuma kena gores dikit.” jelas Keenan, dan memegang tangan Keira yang telaten mengompres pipi kirinya.

“Keen, gue takut idung lo bengkok.” ucap Keira polos, karena dia tahu betul sekeras apa tonjokan musuh nya tadi.

“Gue tau, tapi gue ga apa-apa kan buktinya.” ujar Keenan kemudian, menenangkan.

Keira melepas topi dan maskernya, kemudian ia memakaikan topi ke Keenan. “Mau makan di luar dulu abis ini?” tanya Keira lagi.

“Terserah kak Adit, gue nurut aja mau di bawa kemana.” jawab Keenan singkat.

Ponsel Keira berbunyi, menunjukkan profil Adit tengah menelponnya. “Eh bentar, gue angkat telpon dari kak Adit dulu. Lo beres beres, kayanya dia udah nyampe di depan Gedung Olahraga deh.” ucap Keira, dan berlalu dari sana untuk mengangkat panggilan dari Adit.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?”

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan, seniornya di dojo karate nya yang baru saja selesai bertanding pada babak pertama.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung juniornya ini dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya kemudian.

Keenan mengangguk-angguk mendengarkan saran Yohan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” ajak Keira sekembalinya bercakap dengan Adit di ponselnya tadi.

Keira menolehkan kepalanya pada lelaki yang kini juga tengah menatapnya dengan intens.

Seolah meminta bantuan pada Keenan, Keira mengisyaratkan dengan tatapan mata seolah bertanya siapa pria itu.

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

“Oh, hai Yohan. Gue Keira, kakaknya Keenan.” kata Keira memperkenalkan diri, dan mengulurkan tangannya pada Yohan yang masih terdiam menatapnya.

'Ini seriusan kaga mau salaman sama gue apa gimana sih anjing? Sengaja banget lama lamain buat jabat tangan doang.'

Dengan perlahan, setelah agak lama, Yohan menyambut uluran tangan dari Keira.

'Kenapa tangannya dingin banget anjrot?!'

“Yohan.” ujar Yohan singkat memperkenalkan diri. Keira menganggukkan kepalanya dan tersenyum, kemudian melepas jabatan tangannya dari Yohan.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.


Yohan berjalan keluar dari panggung pertandingan dengan sumringah, karena ia bisa meraih poin penuh pada pertandingan pertamanya.

Setelah wasit mengarahkan mereka untuk beristirahat di stage, atensi Yohan teralihkan oleh juniornya yang ada di dojo yang sama dengan dirinya tengah memegang ice bag, dan menempelkan pada pipi kirinya.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?” Sapa nya langsung, dan menghampiri juniornya itu.

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan.

Yohan mengenal Keenan dengan baik, karena di Dojo dirinya selalu memperhatikan perkembangan anggota yang lain. Dan Keenan adalah salah satu anggota di Dojo yang memiliki perkembangan pesat, maka dari ia menaruh perhatian lebih pada Keenan.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung Keenan dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya lagi, dan menempelkan kembali ice bag yang sudah di pegang Keenan sedari tadi di tangan kanan nya ke pipi kiri Keenan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” Ucap seorang wanita, dan mengalihkan atensi Yohan ke sumber suara itu juga.

Yohan terdiam mematung, melihat wanita di depannya saat ini.

'Nada?'

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

Yohan masih menatap tak percaya pada wanita di depannya ini. Tangannya mendingin, ia benar benar merasa terkejut dengan situasi saat ini.

'Kakak nya Keenan?'

Seolah tersadar dengan tatapan tak nyaman yang datang dari Keenan dan wanita di depannya ini, Yohan mengusap kedua telapak tangannya di baju karate nya sebelum menyambut uluran tangan wanita itu.

“Yohan.” jawabnya singkat.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.

Seperginya Keenan dan Keira dari sana, Yohan langsung terduduk lemas di lantai. “Demi Tuhan, gue ga pernah merasa se kaget ini dalam hidup.” racau nya tidak jelas.

Yohan memandang kedua tangannya yang gemetar, ia masih mencoba untuk mempercayai apa yang baru saja ia lihat.

Yohan bahkan berfikir kalau matanya baru aja berbohong, dan yang ia barusan lihat hanyalah halusinasi semata. Nada yang sudah tiada, bagaimana bisa ada di depannya dan memiliki identitas lain sebagai Keira adik dari juniornya sendiri di karate.

Paras Nada dan Keira benar benar mengecoh nya. Yohan memegang rambutnya dengan frustasi, dirinya berusaha meredakan degup jantung yang menggila sedari tadi.

Doppelganger itu ga mungkin semirip itu kan...”

# Yohan dan prasangka

Untungnya Keenan ngasih tahu lebih dulu, dimana backstage perlombaan karate berada. Keira baru tau, kalau di gedung olahraga hari ini yang ngadain perlombaan bukan cabang karate doang.

Ada banyak cabang perlombaan, kaya badminton, terus futsal, dan satunya tenis meja. Pantesan aja, kenapa Keira ga nemu tempat sepi sama sekali, alias di mana-mana penuh sama banyaknya manusia yang terus berdatangan.

Keira menghampiri Keenan yang tengah duduk di kursi yang telah di sediakan untuk para atlet.

“Keenan,” sapa Keira, dan langsung memegang wajah Keenan yang sedikit bengkak di bagian hidung. “Mimisan nya udah berhenti?” tanyanya lagi, khawatir.

Keenan yang tadinya lagi asik merem, langsung melotot terkejut begitu merasa ada seseorang memegang wajahnya.

“Kak? Gue kira lo kesasar dulu.” sapa Keenan balik, dan membiarkan Keira menyentuh wajahnya dengan lembut.

Keira memberikan tas slempang nya pada Keenan, dan berlalu dari sana. Keenan mengernyitkan dahinya bingung, ni anak mau kemana lagi dah.

Ternyata Keira menghampiri panitia penyelenggara untuk meminta ice bag compress untuk Keenan. Keenan mah tadi udah di obatin, tapi dia tetep biarin Keira melakukan effort untuknya tanpa berniat untuk mencegahnya. Dia cuma ga mau menghalangi kekhawatiran Keira, dan biarin Keira periksa keadaan dia sendiri.

“Aduh, idung lo ga sakit kan bagian sini?” tanya Keira sembari memencet batang hidung Keenan selembut mungkin.

Keenan menggelengkan kepalanya, “ga ada yang sakit, tadi kayanya cuma kena gores dikit.” jelas Keenan, dan memegang tangan Keira yang telaten mengompres pipi kirinya.

“Keen, gue takut idung lo bengkok.” ucap Keira polos, karena dia tahu betul sekeras apa tonjokan musuh nya tadi.

“Gue tau, tapi gue ga apa-apa kan buktinya.” ujar Keenan kemudian, menenangkan.

Keira melepas topi dan maskernya, kemudian ia memakaikan topi ke Keenan. “Mau makan di luar dulu abis ini?” tanya Keira lagi.

“Terserah kak Adit, gue nurut aja mau di bawa kemana.” jawab Keenan singkat.

Ponsel Keira berbunyi, menunjukkan profil Adit tengah menelponnya. “Eh bentar, gue angkat telpon dari kak Adit dulu. Lo beres beres, kayanya dia udah nyampe di depan Gedung Olahraga deh.” ucap Keira, dan berlalu dari sana untuk mengangkat panggilan dari Adit.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?”

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan, seniornya di dojo karate nya yang baru saja selesai bertanding pada babak pertama.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung juniornya ini dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya kemudian.

Keenan mengangguk-angguk mendengarkan saran Yohan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” ajak Keira sekembalinya bercakap dengan Adit di ponselnya tadi.

Keira menolehkan kepalanya pada lelaki yang kini juga tengah menatapnya dengan intens.

Seolah meminta bantuan pada Keenan, Keira mengisyaratkan dengan tatapan mata seolah bertanya siapa pria itu.

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

“Oh, hai Yohan. Gue Keira, kakaknya Keenan.” kata Keira memperkenalkan diri, dan mengulurkan tangannya pada Yohan yang masih terdiam menatapnya.

'Ini seriusan kaga mau salaman sama gue apa gimana sih anjing? Sengaja banget lama lamain buat jabat tangan doang.'

Dengan perlahan, setelah agak lama, Yohan menyambut uluran tangan dari Keira.

'Kenapa tangannya dingin banget anjrot?!'

“Yohan.” ujar Yohan singkat memperkenalkan diri. Keira menganggukkan kepalanya dan tersenyum, kemudian melepas jabatan tangannya dari Yohan.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.


Yohan berjalan keluar dari panggung pertandingan dengan sumringah, karena ia bisa meraih poin penuh pada pertandingan pertamanya.

Setelah wasit mengarahkan mereka untuk beristirahat di stage, atensi Yohan teralihkan oleh juniornya yang ada di dojo yang sama dengan dirinya tengah memegang ice bag, dan menempelkan pada pipi kirinya.

“Loh Keenan, gimana tadi? Kok kayanya ga fokus?” Sapa nya langsung, dan menghampiri juniornya itu.

“Kak Yohan, maaf ga sempet lihat pertandingan kakak barusan.” jawab Keenan cepat dan berdiri menghampiri Yohan.

Yohan mengenal Keenan dengan baik, karena di Dojo dirinya selalu memperhatikan perkembangan anggota yang lain. Dan Keenan adalah salah satu anggota di Dojo yang memiliki perkembangan pesat, maka dari ia menaruh perhatian lebih pada Keenan.

“Gapapa, santai aja. Coba angkat dagunya dikit.” ucap Yohan kemudian, mencoba memastikan bahwa hidung Keenan dalam keadaan baik-baik saja. “Lecet doang ya ternyata, yaudah di kompres pake ice bag dua kali juga bakalan sembuh.” sambungnya lagi, dan menempelkan kembali ice bag yang sudah di pegang Keenan sedari tadi di tangan kanan nya ke pipi kiri Keenan.

“Keenan, ayo kedepan kak Adit udah nungguin.” Ucap seorang wanita, dan mengalihkan atensi Yohan ke sumber suara itu juga.

Yohan terdiam mematung, melihat wanita di depannya saat ini.

'Nada?'

“Oh, ini senior gue kak di dojo karate. Kak Yohan, ini kakak gue ke tiga, namanya Keira.” ucap Keenan memperkenalkan mereka berdua.

Yohan masih menatap tak percaya pada wanita di depannya ini. Tangannya mendingin, ia benar benar merasa terkejut dengan situasi saat ini.

'Kakak nya Keenan?'

Seolah tersadar dengan tatapan tak nyaman yang datang dari Keenan dan wanita di depannya ini, Yohan mengusap kedua telapak tangannya di baju karate nya sebelum menyambut uluran tangan wanita itu.

“Yohan.” jawabnya singkat.

“Kak Yohan, gue balik duluan ya. Semangat buat pertandingannya di babak selanjutnya. Maaf kalau gue ga bisa nonton sampe akhir.” pamit Keenan dan menggandeng Keira untuk pergi dari sana.

Seperginya Keenan dan Keira dari sana, Yohan langsung terduduk lemas di lantai. “Demi Tuhan, gue ga pernah merasa se kaget ini dalam hidup.” racau nya tidak jelas.

Yohan memandang kedua tangannya yang gemetar, ia masih mencoba untuk mempercayai apa yang baru saja ia lihat.

Yohan bahkan berfikir kalau matanya baru aja berbohong, dan yang ia barusan lihat hanyalah halusinasi semata. Nada yang sudah tiada, bagaimana bisa ada di depannya dan memiliki identitas lain sebagai Keira adik dari juniornya sendiri di karate.

Paras Nada dan Keira benar benar mengecoh nya. Yohan memegang rambutnya dengan frustasi, dirinya berusaha meredakan degup jantung yang menggila sedari tadi.

Doppelganger itu ga mungkin semirip itu kan...”

Anan menghampiri Hermas yang tengah menikmati pemandangan sore hari itu. Buset dah, kaya bocah indie beneran ni anak.

“Kenapa ikutan keluar?” sambut Hermas, begitu Anan sudah mengambil tempat duduk di sampingnya.

“Berisik.” jawab Anan singkat, dan mulai mengikuti kegiatan yang saat ini tengah di lakukan Hermas. Menikmati fase matahari terbenam.

“Hermas, gue boleh nanya sesuatu nggak?” tanya Anan tiba-tiba, memotong sesi mereka menjadi anak indie saat ini.

Hermas hanya menganggukkan kepalanya, mempersilahkan Anan untuk bertanya.

“Penyesalan terbesar apa yang sampai saat ini masih sering lo sesali?” ujar Anan lagi, setelah ia berfikir cukup lama.

Hermas menolehkan kepalanya dengan bingung, tidak mengerti kenapa Anan menanyakan hal seperti itu padanya.

Sejurus kemudian, Hermas kembali menatap langit yang kini sudah berubah warna menjadi gelap.

“Banyak, dan mungkin yang paling besar adalah Nada.” jawab Hermas kemudian.

Anan tersenyum kecil, ia sudah menduga kalau jawaban itu akan keluar dari mulut Hermas.

“Maksud lo apaan nanya kaya gini?” tanya Hermas lagi, setelah ia menyadari bahwa Anan sudah menjebaknya untuk pertanyaan yang menjerumus.

Anan menggelengkan kepalanya kecil, “Ga ada maksud apa-apa. Gue cuma penasaran aja.” kilahnya lebih lanjut.

“Gue gatau kalau dari kacamata kalian semua kaya gimana, atau bahkan kesannya gue kaya adu nasib gini.” ungkap Hermas setelah terdiam lama. “Di bandingkan bang Delvin yang udah ninggalin Nada di tengah track saat itu, dan buat Nada menghilang. Gue lebih merasa kalau perasaan bersalah di gue untuk Nada jauh lebih besar dari apa yang bang Delvin rasakan.” sambungnya lagi.

Anan hanya bisa mendengarkan ucapan Hermas dalam diam, tanpa ada niat untuk menyanggahnya.

“Gue jauh lebih merasa bersalah, karena lo tau, bahkan di malamnya gue baru aja baikan secara resmi sama Nada.” racau Hermas sesak. “Gue baru aja liat gimana binar mata Nada bisa buat hati gue jauh lebih nyaman. Banyak penyesalan yang gue rasakan saat itu, kaya kenapa gue ga mencoba untuk menerima Nada lebih awal dan lainnya. Setelah kepergian Nada, setiap malam gue susah tidur, dan sekalinya gue bisa tidur, alam bawah sadar gue bahkan ga mengizinkan gue buat beristirahat dengan nyenyak karena rasa bersalah itu bahkan tetap mengejar gue bahkan ke alam mimpi.”

“Gue mulai mengkonsumsi obat tidur tanpa resep dokter, dan di puncaknya gue sempet drop dan masuk rumah sakit karena itu. Lo tau, betapa hancurnya kita kan Nan? Karena lo juga ikut melewati hal itu.”

“Gue tau banyak tentang orang-orang di sekitar gue, walaupun di kenyataannya gue emang memilih untuk diam daripada mengatakan apa keresahan gue. Kenapa? Ya karena gue rasa itu adalah hal yang sia-sia. Sampai saat Nada datang, dan dia dengan terang terangan bisa menentang ucapan Oma. Lo tau, dari situ gue merasa kalau ada kalanya kita memang harus menyuarakan pendapat kita walaupun banyak orang yang menentangnya.”

“Gue juga tau, di keadaan ini banyak orang yang mendesak lo buat ngelupain Nada.” sambung Hermas lagi.

Anan menolehkan kepalanya pada Hermas dengan cepat.

“Selama ini gue diem, karena gue tau apa yang lo rasakan pasti ga jauh berbeda dari yang gue rasakan. Tapi pada kenyataannya, gue ga bener-bener merasa kehilangan Nada, karena memang sejak awal Nada selalu ada di dalam hati gue” tutur Hermas, dan menepuk pundak Anan dua kali dengan lembut.

“Banyak yang bilang, kalau fase paling tinggi dalam melepaskan seseorang itu dengan mengikhlaskannya. Dan itu memang benar adanya Nan. Tapi untuk saat ini, baik gue sama lo kayanya belom sampai di tahap itu deh.” ujar Hermas lagi membuat Anan tersadar, kalau ia dan Hermas tidak jauh berbeda.

“Her, gue ga salah kan kalau sampai saat ini belom bisa lupain Nada?” tanya Anan gamang.

Hermas tersenyum tipis, “nggak salah kok.”

“Makasih, udah mau ngertiin gue. Gue kadang suka ketawa, kok bisa kita cocok di hal yang lumayan rumit ini.” kata Anan setelah mendapatkan validasi dari Hermas. “Even saudara kembar lo sendiri, Haikal, dia nyuruh gue buat ngelupain Nada.” sambungnya lagi sendu.

“Lo tau, bahkan sebelum waktu kita berpisah sama Nada, anaknya masih sempet sempetnya loh ngeanalogiin kita sama bintang.” sahut Hermas mengingat ketika Nada menjelaskan padanya, kalau dia adalah bintang yang indah tetapi cahayanya redup.

“Bintang?” tanya Anan tidak mengerti.

“Iya, dia bilang bintang gue itu yang paling redup diantara yang lainnya, tapi kalau di lihat lagi, bintang gue itu sebenernya yang paling indah.” jawab Hermas dengan bangga.

“Hahahahaha, at least lo punya kenangan dan perpisahan terakhir yang indah sama Nada.” ujar Anan iri setelah mendengarkan penuturan Hermas.

Hermas menggelengkan kepalanya tidak setuju, “Seindah apapun cara seseorang berpamitan, yang namanya perpisahan itu tetap menyakitkan.”

Keira mengajak Jisel untuk bergabung bersama keluarganya dalam rangka mendukung Keenan yang saat ini tengah mengikuti Olimpiade Olahraga cabang Karate.

Kak Adit sendiri yang jemput mereka berdua tadi, dan sekalian si Jisel bilang pengen kenalan sama keluarganya si Keira.

Keira juga dengan senang hati memperkenalkan keluarga dia sama Jisel. Mau gimanapun Jisel itu anak perantauan, dia ga mau kalau sampai sahabatnya itu kesepian saat menuntut ilmu sendirian di sini. Maka dari itu, sebisa mungkin Keira ingin membuat Jisel merasa nyaman dalam kondisi apapun.

“Rame banget buset.” keluh Jisel, begitu mereka sampai di gedung olahraga banyak orang yang juga berada di sana untuk menonton pertandingan hari ini.

“Gapapa Sel?” tanya Adit memperhatikan Jisel yang melirik sekitarnya dengan tidak nyaman.

“Ga masalah sih gue kak sebenernya, cuma ya gitu, pusing aja bisa seramai ini.” jelas Jisel tak ingin membuat adik dan kakak itu khawatir lebih lanjut.

“Ayah, mas Bima, sama mbak Tiara dimana sih kak?” tanya Keira begitu menyadari, mereka bertiga sedari tadi hanya melewati bangku penonton yang kosong.

“Di podium sebelah Ra, tadi kita salah masuk.” jelas Adit, dan memegang tangan Keira untuk terus membuntuti nya.

“Terus kita mau jalan muter ke sana?” tanya Keira bingung, sumpah kalau boleh dia ga akan mau untuk muter sampai ke podium sebelah. Karena dia udah cape banget dari tadi naik tangga buat ke kursi podium atas.

“Enggak kok, ini kakak ajak kalian berdua gabung di tempat temennya kakak. Biar ga jalan kelamaan juga, kalian pasti capek.” jelas Adit lagi sembari tersenyum menenangkan.

Kalau ga ada banyak orang, rasanya Keira udah mau lari dan memeluk punggung kakaknya itu dari belakang. So sweet banget dah jadi cowo!


Binbin udah berasa kaya guru taman kanak-kanak, karena saat ini dia sama Dinan lagi sibuk banget mengkondisikan teman temannya yang pada heboh mau dukung Yohan.

Sebenernya ini masih jam empat sore, sedangkan pertandingan Yohan sendiri baru di mulai jam enam nanti. Tapi atas usul Haikal, mereka berangkat lebih awal supaya mudah dalam mencari tempat nonton yang strategis.

“Heh, ayolah rek. Kok koyok bocah cilik kabeh. Mbok yo seng penak lek di atur!” keluh Binbin, karena sedari tadi teman teman nya ribut melulu soal posisi kursi. (Heh, ayolah guys. Kok kaya anak kecil semua. Ayo dong, yang enak kalau di atur.)

Pokoknya ribet banget, si Javin yang gamau ada di samping anak tangga. Gatau kenapa anaknya gamau, padahal si Dinan sengaja naroh dia disitu, karena badannya kekar dan berotot guna menutupi orang lain yang ingin masuk ke tempat duduk mereka.

Terus si Haikal yang ga mau duduk sampingan sama Ren, ini juga ulahnya si Kayla yang mohon ke Binbin tadi lewat chat supaya kedua anak itu di sandingkan.

Abis itu si Adelio yang ga mau di pisah buat duduk sama Anan, gatau kenapa ini anaknya nempel si Anan terus kaya pasangan homo.

Belum lagi si Hermas yang lebih memilih duduk menjauh dari kawanan temannya, karena ga mau ikutan sibuk ngeliatin temen temennya susah di atur.

Dinan sama Binbin udah mau nangis aja, karena si Hardin beneran ga bisa dateng buat nontonin pertandingan Yohan. Dan Hardin sendiri udah nitip pesan buat ngatur anak-anak di gedung olahraga supaya ga ricuh. Karena anaknya bilang hari ini ada rapat management, yang wajib dia datangi untuk membuka cabang cafe di daerah lain.

Akhirnya setelah perdebatan panjang, mereka semua bisa duduk rapi di bangku masing masing.

Ini urutan mereka duduk,

Anan hanya bisa tersenyum dan menepuk pundak Dinan lembut, dia tau kalau temannya ini udah berusaha keras dan memang wajib di berikan apresiasi.

Tatapan Anan kembali ke arah depan, dirinya kembali menonton pertandingan karate antar SMA itu dengan fokus.

“Masih sabuk hijau ya.” gumam Anan pelan.

“Iya, gue jadi keinget, dulu Nada juga masih sabuk hijau waktu dia cerita soal karate nya.” sahut Aldeo dari samping, ternyata ia mendengar ucapan Anan.

Anan menolehkan kepalanya, ia tersenyum karena Aldeo juga masih mengingat hal kecil tentang Nada, sama sepertinya.

“Kenapa lo ga ikut tanding kaya Yohan?” tanya Anan kemudian.

Aldeo menggelengkan kepalanya, “gue fikir lagi, mungkin karate emang bukan passion gue.” Jawab Aldeo kemudian. “Karena gue ikut karate senang doang waktu di puji, actually gue ga benar benar menikmati progressnya kaya gimana, beda sama Yohan.” jelas Aldeo panjang lebar.

“Terus apa menurut lo, sekarang lo menikmati ketika mengajar anak anak latihan karate?” tanya Anan lagi, ia tau kalau sekarang Aldeo telah menjadi senpai di salah satu dojo terbesar di kota Malang.

Aldeo menganggukkan kepalanya dengan semangat, “gue bahagia waktu liat anak anak kecil antusias belajar karate Nan, gue merasa lubang di hati gue setelah gue memutuskan keluar dari aksi lapangan karate mulai tertutupi satu persatu ketika gue ngajar mereka.” sahut Aldeo mantab.

Anan memandang Aldeo iri, Aldeo dengan mudah menentukan apa hal yang menjadi bahagianya dalam hidup.

Seolah mengerti, Aldeo menepuk pundak Anan pelan. “Semua ada waktunya Anan. Gue juga butuh waktu lama buat melepaskan kenyataan bahwa gue emang ga cocok lagi di dunia karate sama seperti Yohan.” ucap Aldeo mencoba membaca raut wajah Anan. “Gue ngerti, selama ini lo juga sedang dalam proses melupakan Nada kan? Gue tau, lo juga ga benar benar berusaha buat ngelupain Nada. Lo sahabat gue, dan gue menghormati apapun hal yang menjadi keputusan lo selama ini. Gue ga akan ikut campur lebih dalam soal urusan hati lo, dan mendiang Nada. Tapi ada satu hal yang perlu lo ingat Anan, mencintai orang yang sudah tiada itu adalah jalan melukai diri sendiri yang paling pahit.