JC Halcyon

Banyak hal yang Arsha sering dengar dan yang paling dirinya ingat adalah...

“Waktu pasti akan menyembuhkan semua luka.”

Tapi yang Arsha yakini, itu tidak sepenuhnya benar. Baginya, waktu tidak benar benar menyelesaikan luka dengan sendirinya. Yang sebenarnya adalah, Arsha hanya akan menanggung luka itu sendirian sampai waktu akhirnya berlalu tanpa ia sadari. Karena yang Arsha ingat adalah, lukanya memang akan sembuh tapi bekas nya tidak akan hilang.

Kepergian Kinara memang menjadi pukulan telak pada hidup Arsha. Bagaikan perahu tanpa nahkoda, hidup Arsha dalam sekejap berlayar tanpa arah tujuan.

Kinara terlalu istimewa untuk Arsha ceritakan secara sederhana. Dan bodohnya, ia baru menyadari hal itu setelah kepergian Kinara menyapanya.

! [](https://i.imgur.com/CcRU9vq.jpg)

Gina keluar dari mobil mengikuti kakaknya Farhan, yang sudah lebih dulu keluar. Mereka berhenti di pom bensin untuk beristirahat sejenak. Baru empat jam perjalanan, dirinya yang berangkat dari Tulungagung baru sampai di Malang.

Farhan memang cenderung diam, dan Gina tahu hal itu dengan jelas. Dalam setahun pun ia hanya bisa melihat Farhan berbicara banyak hanya saat lebaran tiba. Itupun Gina simpulkan kalau Farhan terpaksa melakukannya.

“Bang Farhan, kalo aku mandi dulu gimana?” tanya Gina kemudian, menyamakan langkah nya dengan Farhan.

Farhan menoleh sekilas, kemudian menganggukan kepalanya. “Jangan lama-lama, takutnya makin malem tol macet.” pesan Farhan kemudian sebelum berlalu dari sana.

Giselle Naomi atau yang lebih akrab di panggil Gina. Gina adalah bungsu dari dua bersaudara. Walaupun jarak umurnya dengan Farhan hanya berbeda dua tahun saja, tapi tidak menjadikan Farhan terbuka pada Gina. Ralat, tidak terbuka pada siapapun.

Ya pada awalnya memang jadi masalah sih, apalagi bagi manusia, komunikasi menjadi hal yang penting di lakukan. Tapi Farhan selalu enggan melakukannya. Kemudian pada akhirnya Gina tahu, kalau itu merupakan sifat bawaan Farhan yang memang sulit untuk di ubah. Dan Gina mulai tidak keberatan karena hal itu.

Hari ini keduanya memang sengaja berkemudi ke Lumajang atas suruhan kedua orang tuanya. Kalau Gina ga salah ingat sih kedatangan mereka ke Lumajang untuk menengok kakek nenek mereka yang sudah lama tidak di jumpai.

Padahal mah Gina paham, kalau ada makna tersembunyi di balik hal itu. Satu hari sebelum keberangkatan mereka, Gina mendengar perdebatan kedua orang tuanya kalau mereka mengira ia dan Farhan tengah bertengkar. Karena Gina dan Farhan tidak pernah berbicara satu sama lain dalam jangka waktu yang panjang. Padahal mereka ga ngomong bukan karena berantem, tapi karena emang males aja.

“Bang, kalo lo cape ngomong aja. Gue bisa kok gantiin lo nyopir.” ujar Gina kemudian, setelah selesai dari urusannya di kamar mandi.

Farhan mengangkat satu alisnya bingung, “Kenapa lo duduk di depan? Di belakang aja biar enak kalau mau rebahan.”

Gina menggeleng, “Enggak gue di depan aja deh, sekalian nemenin lo.” jawab Gina kemudian.

“Yaudah, kalo lo bosen putar aja lagu. Itu pake ponsel gue. Spotify nya udah terhubung kok ke mobil.” ujar Farhan lagi.

Gina sempet bengong beberapa detik sebelum kembali sadar. Dirinya tidak tahu kalau perlakuan Farhan akan sangat berbeda saat tidak bersama kedua orang tuanya. Akhirnya tak banyak bicara lagi, keduanya melanjutkan perjalanan yang tadi sempat tertunda.

#Giselle Naomi

Gina keluar dari mobil mengikuti kakaknya Farhan, yang sudah lebih dulu keluar. Mereka berhenti di pom bensin untuk beristirahat sejenak. Baru empat jam perjalanan, dirinya yang berangkat dari Tulungagung baru sampai di Malang.

Farhan memang cenderung diam, dan Gina tahu hal itu dengan jelas. Dalam setahun pun ia hanya bisa melihat Farhan berbicara banyak hanya saat lebaran tiba. Itupun Gina simpulkan kalau Farhan terpaksa melakukannya.

“Bang Farhan, kalo aku mandi dulu gimana?” tanya Gina kemudian, menyamakan langkah nya dengan Farhan.

Farhan menoleh sekilas, kemudian menganggukan kepalanya. “Jangan lama-lama, takutnya makin malem tol macet.” pesan Farhan kemudian sebelum berlalu dari sana.

Giselle Naomi atau yang lebih akrab di panggil Gina. Gina adalah bungsu dari dua bersaudara. Walaupun jarak umurnya dengan Farhan hanya berbeda dua tahun saja, tapi tidak menjadikan Farhan terbuka pada Gina. Ralat, tidak terbuka pada siapapun.

Ya pada awalnya memang jadi masalah sih, apalagi bagi manusia, komunikasi menjadi hal yang penting di lakukan. Tapi Farhan selalu enggan melakukannya. Kemudian pada akhirnya Gina tahu, kalau itu merupakan sifat bawaan Farhan yang memang sulit untuk di ubah. Dan Gina mulai tidak keberatan karena hal itu.

Hari ini keduanya memang sengaja berkemudi ke Lumajang atas suruhan kedua orang tuanya. Kalau Gina ga salah ingat sih kedatangan mereka ke Lumajang untuk menengok kakek nenek mereka yang sudah lama tidak di jumpai.

Padahal mah Gina paham, kalau ada makna tersembunyi di balik hal itu. Satu hari sebelum keberangkatan mereka, Gina mendengar perdebatan kedua orang tuanya kalau mereka mengira ia dan Farhan tengah bertengkar. Karena Gina dan Farhan tidak pernah berbicara satu sama lain dalam jangka waktu yang panjang. Padahal mereka ga ngomong bukan karena berantem, tapi karena emang males aja.

“Bang, kalo lo cape ngomong aja. Gue bisa kok gantiin lo nyopir.” ujar Gina kemudian, setelah selesai dari urusannya di kamar mandi.

Farhan mengangkat satu alisnya bingung, “Kenapa lo duduk di depan? Di belakang aja biar enak kalau mau rebahan.”

Gina menggeleng, “Enggak gue di depan aja deh, sekalian nemenin lo.” jawab Gina kemudian.

“Yaudah, kalo lo bosen putar aja lagu. Itu pake ponsel gue. Spotify nya udah terhubung kok ke mobil.” ujar Farhan lagi.

Gina sempet bengong beberapa detik sebelum kembali sadar. Dirinya tidak tahu kalau perlakuan Farhan akan sangat berbeda saat tidak bersama kedua orang tuanya. Akhirnya tak banyak bicara lagi, keduanya melanjutkan perjalanan yang tadi sempat tertunda.

“Lo mah ga bisa di andalin kak.” keluh Nada pada Jeffery yang sedari tadi mengutak-atik leptop Nada untuk sekedar membetulkan margir yang ada.

“Ya maaf dek, gue kan bukan jurusan komputer.” jawab Jeffery tak kalah sewot.

Kesal menunggu Jeffery, akhirnya Nada beralih pada Haikal yang duduk tak jauh dari dirinya. Makin Nada liat, makin memburuk mood Haikal dari waktu ke waktu.

“Kal, lo kok tumben jam segini ga kemana mana?” Tanya Nada kemudian. Masalahnya nih ya, Haikal tuh sibuk banget kalau masalah keluar kemanapun. Bahkan kalau di rumah, Nada jauh lebih jarang ngeliat Haikal di banding Delvin.

“Males.” jawab Haikal singkat, dan masih berfokus pada ponsel di tangannya.

“Kenapa sih? Gadapet degem? Di tolak cewe?”

“Cewe mana yang bakal nolak cowok paripurna kaya gue gini.”

“YA TERUS??? LO BILANG KARENA KAYLA GUE TABOK KEPALA LO.”

Haikal menghela nafas sedih, “Iya.”

Suara pukulan yang nyaring terdengar, bahkan Jeffery hingga menolehkan kepalanya untuk mencari tahu.

“KOK DI PUKUL BENERAN ANJRIT?!!” tanya Haikal tidak terima.

“Karena gue pantang mengingkari kata-kata gue sendiri.”

Mood Haikal bertambah buruk, apalagi setelah Nada memukul kepalanya sekuat tenaga. Jeffery sendiri sudah beranjak pergi meninggalkan keduanya sembari membawa leptop Nada pada Arwena. Walaupun Arwena bukan jurusan komputer, tapi bagi Jeffery lebih baik berpusing berdua dengan Arwena daripada duduk bersama Haikal dan Nada yang kadar emosi mereka masih meluap-luap.

“Udahlah Kal, lo tuh masih main character. But not in the same book. Dan buku yang sama dengan Kayla itu punya Ren.” hibur Nada kemudian, setelah kekesalan reda. Kalau di pikir pikir dari awal dirinya ga perlu sampai merasa sekesal itu sama Haikal. Nada jadi menyesal. “Ibarat nya kalau Kayla sama Ren di buku Twilight, kalo lo di buku Cinta Brontosaurus.”

“ANAK ANJING!!” ganti Haikal yang gemas ingin memukul kepala Nada. Tapi itu ia urungkan, dan berakhir mengelus lembut rambut Nada. Karena Haikal tau, Nada hanya ingin menghibur nya. “Tapi ini bukan sekedar buku kita ga sama Nad, gue cuma ngerasa kalau gue sama Kayla tuh dua insan yang tepat tapi di waktu yang salah.” jelas Haikal lagi.

Nada melepas tangan Haikal yang berada di atas kepalanya, dan menariknya untuk ia pegang dengan kedua tangannya.

“Dengerin gue ya Kal, orang yang kita temui di waktu yang salah itu sebenernya orang yang salah. Dan lo tuh ga akan pernah bertemu orang yang tepat di waktu yang salah. Because the right people are timeless.

“Lo mah ga bisa di andalin kak.” keluh Nada pada Jeffery yang sedari tadi mengutak-atik leptop Nada untuk sekedar membetulkan margir yang ada.

“Ya maaf dek, gue kan bukan jurusan komputer.” jawab Jeffery tak kalah sewot.

Kesal menunggu Jeffery, akhirnya Nada beralih pada Haikal yang duduk tak jauh dari dirinya. Makin Nada liat, makin memburuk mood Haikal dari waktu ke waktu.

“Kal, lo kok tumben jam segini ga kemana mana?” Tanya Nada kemudian. Masalahnya nih ya, Haikal tuh sibuk banget kalau masalah keluar kemanapun. Bahkan kalau di rumah, Nada jauh lebih jarang ngeliat Haikal di banding Delvin.

“Males.” jawab Haikal singkat, dan masih berfokus pada ponsel di tangannya.

“Kenapa sih? Gadapet degem? Di tolak cewe?”

“Cewe mana yang bakal nolak cowok paripurna kaya gue gini.”

“YA TERUS??? LO BILANG KARENA KAYLA GUE TABOK KEPALA LO.”

Haikal menghela nafas sedih, “Iya.”

Suara pukulan yang nyaring terdengar, bahkan Jeffery hingga menolehkan kepalanya untuk mencari tahu.

“KOK DI PUKUL BENERAN ANJRIT?!!” tanya Haikal tidak terima.

“Karena gue pantang mengingkari kata-kata gue sendiri.”

Mood Haikal bertambah buruk, apalagi setelah Nada memukul kepalanya sekuat tenaga. Jeffery sendiri sudah beranjak pergi meninggalkan keduanya sembari membawa leptop Nada pada Arwena. Walaupun Arwena bukan jurusan komputer, tapi bagi Jeffery lebih baik berpusing berdua dengan Arwena daripada duduk bersama Haikal dan Nada yang kadar emosi mereka masih meluap-luap.

“Udahlah Kal, lo tuh masih main character. But not in the same book. Dan buku yang sama dengan Kayla itu punya Ren.” hibur Nada kemudian, setelah kekesalan reda. Kalau di pikir pikir dari awal dirinya ga perlu sampai merasa sekesal itu sama Haikal. Nada jadi menyesal. “Ibarat nya kalau Kayla sama Ren di buku Twilight, kalo lo di buku Cinta Brontosaurus.”

“ANAK ANJING!!” ganti Haikal yang gemas ingin memukul kepala Nada. Tapi itu ia urungkan, dan berakhir mengelus lembut rambut Nada. Karena Haikal tau, Nada hanya ingin menghibur nya. “Tapi ini bukan sekedar buku kita ga sama Nad, gue cuma ngerasa kalau gue sama Kayla tuh dua insan yang tepat tapi di waktu yang salah.” jelas Haikal lagi.

Nada melepas tangan Haikal yang berada di tangannya, dan menariknya untuk ia pegang dengan kedua tangannya.

“Dengerin gue ya Kal, orang yang kita temui di waktu yang salah itu sebenernya orang yang salah. Dan lo tuh ga akan pernah bertemu orang yang tepat di waktu yang salah. Because the right people are timeless.

“Lo mah ga bisa di andalin kak.” keluh Nada pada Jeffery yang sedari tadi mengutak-atik leptop Nada untuk sekedar membetulkan margir yang ada.

“Ya maaf dek, gue kan bukan jurusan komputer.” jawab Jeffery tak kalah sewot.

Kesal menunggu Jeffery, akhirnya Nada beralih pada Haikal yang duduk tak jauh dari dirinya. Makin Nada liat, makin memburuk mood Haikal dari waktu ke waktu.

“Kal, lo kok tumben jam segini ga kemana mana?” Tanya Nada kemudian. Masalahnya nih ya, Haikal tuh sibuk banget kalau masalah keluar kemanapun. Bahkan kalau di rumah, Nada jauh lebih jarang ngeliat Haikal di banding Delvin.

“Males.” jawab Haikal singkat, dan masih berfokus pada ponsel di tangannya.

“Kenapa sih? Gadapet degem? Di tolak cewe?”

“Cewe mana yang bakal nolak cowok paripurna kaya gue gini.”

“YA TERUS??? LO BILANG KARENA KAYLA GUE TABOK KEPALA LO.”

Haikal menghela nafas sedih, “Iya.”

Suara pukulan yang nyaring terdengar, bahkan Jeffery hingga menolehkan kepalanya untuk mencari tahu.

“KOK DI PUKUL BENERAN ANJRIT?!!” tanya Haikal tidak terima.

“Karena gue pantang mengingkari kata-kata gue sendiri.”

Mood Haikal bertambah buruk, apalagi setelah Nada memukul kepalanya sekuat tenaga. Jeffery sendiri sudah beranjak pergi meninggalkan keduanya sembari membawa leptop Nada pada Arwena. Walaupun Arwena bukan jurusan komputer, tapi bagi Jeffery lebih baik berpusing berdua dengan Arwena daripada duduk bersama Haikal dan Nada yang kadar emosi mereka masih meluap-luap.

“Udahlah Kal, lo tuh masih main character. But not in the same book. Dan buku yang sama dengan Kayla itu punya Ren.” hibur Nada kemudian, setelah kekesalan reda. Kalau di pikir pikir dari awal dirinya ga perlu sampai merasa sekesal itu sama Haikal. Nada jadi menyesal. “Ibarat nya kalau Kayla sama Ren di buku Twilight, kalo lo di buku Cinta Brontosaurus.”

“ANAK ANJING!!” ganti Haikal yang gemas ingin memukul kepala Nada. Tapi itu ia urungkan, dan berakhir mengelus lembut rambut Nada. Karena Haikal tau, Nada hanya ingin menghibur nya. “Tapi ini bukan sekedar buku kita ga sama Nad, gue cuma ngerasa kalau gue sama Kayla tuh dua insan yang tepat tapi di waktu yang salah.” jelas Haikal lagi.

Nada melepas tangan Haikal yang berada di tangannya, dan menariknya untuk ia pegang dengan kedua tangannya.

“Dengerin gue ya Kal, orang yang kita temui di waktu yang salah itu sebenernya orang yang salah. Dan lo tuh ga akan pernah bertemu orang yang tepat di waktu yang salah. Because the right people are timeless.

Arzhan mendengar suara ketukan pintu ketika ia tengah sibuk menumpuk beberapa buku pelajaran yang telah ia selesai kerjakan. Matanya melihat ke arah jam dinding kamarnya yang menujukkan pukul dua belas malam. Terlalu malam untuk bertamu. Dengan langkah gontai, Arzhan melangkah mendekati pintu dan membuka pintu itu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.

Kinara berdiri di depan kamarnya sembari membawa guling kamar berwarna kuning kesayangannya. “Kak, udah tidur kah?” tanyanya polos.

Arzhan menggaruk telinganya tidak gatal, “Enggak sih Ra, kenapa?” tanya Arzhan kemudian.

“Temenin gue nonton The Medium dong, tadi gue ke kamar kak Arsha lampunya udah mati.” ujar Kinara lagi.

Arzhan tersenyum simpul, “Emang ga ngantuk?” tanya Arzhan memastikan.

Kinara langsung menggeleng, “Sama sekali enggak. Ayo kak ih, buruan.” ajak Kinara lagi, dan kali ini menarik lengan Arzhan untuk berjalan bersama menuju kamarnya.

Arzhan tersenyum geli, Kinara memaksakan dirinya untuk menemani ia menonton film horror. Bahkan Kinara sendiri tidak bisa membuka matanya sendiri sepanjang film karena terlalu takut untuk melihatnya.

“Kalau gini mah jadi laptopnya Ra, yang nonton elo.” goda Arzhan.

“Ihh, diem kak Arzhan!!”


“ARZHAAANN!! ARZHAAAAN!!”

Arzhan membuka matanya perlahan ketika suara Arsha menyapa gendang telinganya. Arzhan menatap kosong kasur sampingnya, tempat Kinara tidur semalam.

“Anjir bangun bego, bisa bisanya lo ketiduran lagi di kamar Kinara.” ujar Arsha mengomel. “Sampe kapan lo gabisa merelakan kepergian Kinara Zhan?” tanya Arsha kemudian dengan nada sendu.

Arzhan terduduk, tangannya mengusap wajahnya dengan kasar.

“Ini udah dua tahun sejak kepergian Kinara, Zhan. Kemudian setiap malam lo selalu pergi ke kamar dia dan berakhir ketiduran disini. You have to accept that she's not here anymore.” Arsha masih menasehati.

“Lo ga pernah percaya ketika gue selalu bilang, tiap malam Kinara ke kamar gue dan bawa guling. Dia selalu membujuk gue buat temenin dia nonton film.” jawab Arzhan kemudian. “Dan juga bagi gue, Kinara masih ada Sha. Gue masih belum bisa menganggap dia sebagai kenangan.” sambungnya lagi.

Arsha terdiam, Arzhan pun sama.

Kemudian Arzhan kembali melihat Arsha yang ada di depannya dengan mata berkaca. “Dan lo mungkin juga bakalan inget, a year after her death you give up on life because of the pain losing Kinara!!” Teriak Arzhan kemudian.

Bayangan Arsha yang ada di depan Arzhan langsung mengabur begitu kalimat terakhir terselesaikan. Hati Arzhan kembali di penuhi oleh duka.

Dirinya menangis dengan keras hingga Arzhan tersadar ada Nabil dan Raka yang masuk dengan paksa ke dalam kamarnya untuk membangunkan dirinya yang masih belum bisa lepas dari dunia mimpi.

“ARZHAN??? BANGUN ARZHAN!!” teriak Raka panik, menepuk-nepuk pipi Arzhan. Berusaha untuk menyadarkan nya dari mimpi buruk.

Nabil yang berada di samping Raka hanya bisa memegang tangan Arzhan yang di penuhi oleh keringat dingin. Segera setelah Arzhan terbangun, keduanya memeluk Arzhan dengan erat.

Bulan bulan terakhir setelah kepergian Kinara, semua berjalan menuju kehancuran. Arsha yang tidak bisa melepas bayang kepergian Kinara, lebih menyerah pada kehidupan.

Arsha lelah. Jiwanya sudah penat menanggung setiap duka yang tertinggal karena kepergian Kinara. Arsha terbangun setiap hari untuk kembali bertarung dengan hal yang sama. Dia kehilangan motivasi untuk terus melanjutkan hidup, hingga akhirnya sekali lagi rumah di penuhi oleh duka.

Karena yang paling sedih itu bukan tentang kepergiannya, tapi tentang kisah selanjutnya dari orang-orang yang dia tinggalkan.

Arzhan mendengar suara ketukan pintu ketika ia tengah sibuk menumpuk beberapa buku pelajaran yang telah ia selesai kerjakan. Matanya melihat ke arah jam dinding kamarnya yang menujukkan pukul dua belas malam. Terlalu malam untuk bertamu. Dengan langkah gontai, Arzhan melangkah mendekati pintu dan membuka pintu itu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.

Kinara berdiri di depan kamarnya sembari membawa guling kamar berwarna kuning kesayangannya. “Kak, udah tidur kah?” tanyanya polos.

Arzhan menggaruk telinganya tidak gatal, “Enggak sih Ra, kenapa?” tanya Arzhan kemudian.

“Temenin gue nonton The Medium dong, tadi gue ke kamar kak Arsha lampunya udah mati.” ujar Kinara lagi.

Arzhan tersenyum simpul, “Emang ga ngantuk?” tanya Arzhan memastikan.

Kinara langsung menggeleng, “Sama sekali enggak. Ayo kak ih, buruan.” ajak Kinara lagi, dan kali ini menarik lengan Arzhan untuk berjalan bersama menuju kamarnya.

Arzhan tersenyum geli, Kinara memaksakan dirinya untuk menemani ia menonton film horror. Bahkan Kinara sendiri tidak bisa membuka matanya sendiri sepanjang film karena terlalu takut untuk melihatnya.

“Kalau gini mah jadi laptopnya Ra, yang nonton elo.” goda Arzhan.

“Ihh, diem kak Arzhan!!”


“ARZHAAANN!! ARZHAAAAN!!”

Arzhan membuka matanya perlahan ketika suara Arsha menyapa gendang telinganya. Arzhan menatap kosong kasur sampingnya, tempat Kinara tidur semalam.

“Anjir bangun bego, bisa bisanya lo ketiduran lagi di kamar Kinara.” ujar Arsha mengomel. “Sampe kapan lo gabisa merelakan kepergian Kinara Zhan?” tanya Arsha kemudian dengan nada sendu.

Arzhan terduduk, tangannya mengusap wajahnya dengan kasar.

“Ini udah dua tahun sejak kepergian Kinara, Zhan. Kemudian setiap malam lo selalu pergi ke kamar dia dan berakhir ketiduran disini. You have to accept that she's not here anymore.” Arsha masih menasehati.

“Lo ga pernah percaya ketika gue selalu bilang, tiap malam Kinara ke kamar gue dan bawa guling. Dia selalu membujuk gue buat temenin dia nonton film.” jawab Arzhan kemudian. “Dan juga bagi gue, Kinara masih ada Sha. Gue masih belum bisa menganggap dia sebagai kenangan.” sambungnya lagi.

Arsha terdiam, Arzhan pun sama.

Kemudian Arzhan kembali melihat Arsha yang ada di depannya dengan mata berkaca. “Dan lo mungkin juga bakalan inget, a year after her death you give up on life because of the pain losing Kinara!!” Teriak Arzhan kemudian.

Bayangan Arsha yang ada di depan Arzhan langsung mengabur begitu kalimat terakhir terselesaikan. Hati Arzhan kembali di penuhi oleh duka.

Dirinya menangis dengan keras hingga Arzhan tersadar ada Nabil dan Raka yang masuk dengan paksa ke dalam kamarnya untuk membangunkan dirinya yang masih belum bisa lepas dari dunia mimpi.

“ARZHAN??? BANGUN ARZHAN!!” teriak Raka panik, menepuk-nepuk pipi Arzhan. Berusaha untuk menyadarkan nya dari mimpi buruk.

Nabil yang berada di samping Raka hanya bisa memegang tangan Arzhan yang di penuhi oleh keringat dingin. Segera setelah Arzhan terbangun, keduanya memeluk Arzhan dengan erat.

Tahun tahun terakhir setelah kepergian Kinara, semua berjalan menuju kehancuran. Arsha yang tidak bisa melepas bayang kepergian Kinara, lebih menyerah pada kehidupan.

Arsha lelah. Jiwanya sudah penat menanggung setiap duka yang tertinggal karena kepergian Kinara. Arsha terbangun setiap hari untuk kembali bertarung dengan hal yang sama. Dia kehilangan motivasi untuk terus melanjutkan hidup, hingga akhirnya sekali lagi rumah di penuhi oleh duka.

Karena yang paling sedih itu bukan tentang kepergiannya, tapi tentang kisah selanjutnya dari orang-orang yang dia tinggalkan.

Raka tidak pernah menyangka bahwa hari seperti ini akan di hadapinya dalam kurun waktu yang tidak bisa ia perkirakan. Emosinya meledak-ledak, banyak hal yang ia sesali hingga saat ini. Hingga pada suatu titik, pada akhirnya Raka paham akan sesuatu.

Hal yang paling jahat adalah waktu.

Raka melihat Arsha yang masih terdiam dengan tatapan kosong nya. Hari sudah berlalu sejak Kinara di makamkan. Tapi luka pada hati adiknya yang bahkan tidak memiliki perpisahan terakhir dengan baik itu masih menganga dengan lebar.

Raka tidak akan mengusiknya dengan hal itu, karena ia tahu seberapa penyesalan yang kini tengah Arsha tanggung. Kata andaikan bahkan tidak akan bisa menutupi semua hal itu.

Setelah Arsha pergi hari itu untuk membeli barang yang Kinara inginkan, tiada berapa lama kondisi Kinara kembali menurun. Tidak ada yang tahu hingga Rila melihat banyak nya bulir keringat yang keluar di dahi Kinara saat AC menyala dengan penuh.

Semua terjadi dengan cepat saat dokter Hanan menerjang masuk begitu mendengar laporan dari Nabil yang berlari menuju ruang perawat. Kritisnya kondisi Kinara bahkan tidak di duga oleh siapapun, bahkan mama sendiri yang selalu mengawasi setiap perkembangan kesehatan Kinara.

Segera setelah Kinara di bawa untuk mendapatkan perawatan intensif, semua baru tersadar bahwa ada satu orang yang kurang disini. Dan orang itu adalah Arsha.

Arsha yang sudah pergi setengah jam lamanya membuat Arzhan geram karena ia selalu mengaktifkan mode hening pada ponselnya hingga dirinya tidak tahu notifikasi apa saja yang masuk.

Empat puluh lima menit kemudian, Arsha sudah datang dengan tergesa-gesa. Bulir keringat mengalir dari dahi nya, dan siapapun yang melihat pasti sudah tahu kalau Arsha berlari dengan kencang menuju ke rumah sakit.

“Adek... Kinara kenapa Zhan?” tanya Arsha dengan napas pendek.

Arzhan hanya menatap pintu perawatan intensif yang tertutup rapat. Kemudian Arsha berjalan dengan gontai menuju Nabil yang duduk dengan lemas di kursi rumah sakit. Dalam diamnya, Nabil tahu betul Arsha tengah menangis.

“Gak akan kenapa-napa Sha, lo tau Kinara sekuat apa.” ujarnya menenangkan.

Tapi nyatanya kalimat Nabil tidak terealisasikan dengan sempurna begitu empat jam penungguan mereka berakhir dengan kalimat penuh kecewa dari dokter Hanan.

Sekonyong-konyong nya Arsha menangis dengan keras memeluk Nabil yang sama hancurnya. Raka memegang Arzhan dengan tangannya yang bergetar, memeluk mama yang juga sudah di ambang kesadaran.

Dalam satu waktu mereka berbahagia karena bisa merayakan hari lahir nya, satu waktu mereka juga berduka mengantarkan kepergiannya.

Bachtiar memeluk erat Rila yang juga menangis kencang, karena pada dasarnya hati Rila sudah melunak di hari-hari terakhir. Tapi pada akhirnya Rila sendiri juga sama sama kehilangan kesempatan untuk langsung mengungkapkan nya.


Nabil duduk di samping Arsha yang masih terdiam dengan tatapan kosong di kamar Kinara. Nabil juga banyak menangis sedari kemarin, dirinya tidak mau berpura-pura kuat dengan suatu kehilangan yang pasti.

“Sha, mama nyuruh makan dulu. Ayo makan.” ajak Nabil kemudian. “Udah dia hari Sha, lo nggak makan apapun.” sambungnya lagi. Arsha hanya diam, tidak menghiraukan ucapan Nabil.

Dalam tangan Arsha, Nabil dapat melihat benda berwarna merah yang Arsha genggam dengan kuat. Itu kutek merah kemarin yang sempat Kinara pinta, walaupun pada akhirnya tidak akan pernah bisa Kinara pakai lagi.

Seolah menyatukan puzzle, akhirnya Nabil teringat akan sesuatu.

“Kalau dari yang urut ya kak, bintang biru itu bintang muda. Bintang warna kuning artinya setengah umur, bintang warna merah adalah bintang yang sekarat, katai putih artinya bintang yang sudah kehabisan cahaya nya.”

Mencocokkan dengan segala hal yang selalu Kinara ingatkan, dari ia yang menyukai warna biru hingga kemudian beralih pada warna kuning. Dan berakhir pada merah yang tidak sampai. Nabil tertawa sedih, bahkan hingga kepergiannya Kinara masih meninggalkan cerita yang indah.

Nabil memeluk Arsha dengan erat, pundaknya terasa jauh lebih ringan karena menyadari hal itu.

“Sekarang kita ga perlu khawatir lagi Sha, Kinara pasti sekarang bahagia disana. Karena dia pergi sebagai bintang berkatai putih.”


Arzhan termenung di dalam kamarnya sendiri. Hari-hari nya yang dahulu penuh, sekarang menjadi kosong. Dua hari terakhir sejak kepergian Kinara hanya ia habiskan untuk melamun.

Ingatan Arzhan berputar pada saat dirinya menemani Kinara untuk bermain hujan. Karena Kinara, dia tahu seberapa berartinya hujan dan juga kenangan di dalamnya. Kegelapan yang membawa keindahan di ujungnya, itu yang selalu Kinara tegasnya.

Tapi bukan kegelapan yang Arzhan takuti setelah ini. Tapi fakta bahwa Arzhan tahu, apapun hal indah yang menunggu di ujung hujan itu akan tetap Arzhan benci setelah ini.

Karena Arzhan tahu betul, hal yang paling menyiksa itu bukan tentang perginya, tapi tentang kisah selanjutnya dari orang yang Kinara tinggalkan.

Semua berkumpul di ruang rawat inap milik Kinara. Termasuk Bachtiar dan juga Rila yang ada disini. Kinara bahagia, karena mau bagaimanapun kebersamaan adalah hal ya menyenangkan.

“Kak Bachtiar sama Rila udah makan siang?” tanya Kinara kemudian membuka obrolan.

Bachtiar hanya tersenyum tipis, dan beranjak dari tempatnya duduk menuju ranjang pasien. “It was fully charged before it got here, birdie. Kinara kakinya gimana?” tanya Bachtiar kembali.

Kinara mengangguk, “Ga ada rasanya kak, cuma kebas doang.” jawabnya menenangkan.

Kemudian Kinara mengangkat kedua tangannya ke atas, membuat Bachtiar dan Arzhan yang ada di sampingnya kebingungan.

“Kenapa dek?” tanya Arzhan langsung.

“Kuku gue keliatan kucel ga sih kak?” tanya Kinara polos.

Arsha yang seolah menyadari hal itu, langsung menutup ponselnya dan berjalan mendekati Kinara. “Mau kakak kutekin Ra? Kakak bawa kuteknya loh sekarang.” ujar Arsha kemudian, dan mengambil sebotol kutek berwarna kuning yang memang ia simpan di saku celana.

Kinara tertawa kecil, “Boleh dong. Kutekin dong kak.” pinta Kinara.

Arsha tersenyum dan kemudian mengambil alih kursi Arzhan untuk ia duduki dan mulai mengambil tangan Kinara untuk ia pakaikan kutek.

“Gue pernah cerita ke kak Nabil, soal bintang Vega. Kalian tau nggak kalau gue tuh suka banget sama bintang Vega.” cerita Kinara sembari menunggu Arsha sembari memoles kutek.

“Bintang Vega di rasi Lyra?” tanya Raka langsung, karena ia juga lumayan suka dengan hal-hal yang berbau benda langit.

“Iya kak.”

“Kenapa lo suka bintang Vega, Ra?” tanya Arzhan kemudian.

“Karena selain rasi nya indah, bintang nya terang, ada kisah di baliknya yang juga menarik.”

“Lo ga cerita tentang kisah di balik nya Ra, sama gue.” protes Nabil.

“Ya soalnya waktu itu masih belum waktu yang tepat kak.”

“Terus emang sekarang waktu yang tepat?” tanya Arsha ikut menimpali.

“Iya, sekarang waktu yang tepat. Karena kalian semua kumpul disini.”

“Emang ada alasan kenapa kita semua harus kumpul disini ketika lo ceritain hal itu?” tanya Rila setelah terdiam sedari tadi. Semua mata tertuju pada Rila yang akhirnya berbicara juga.

“Ya iya dong. Gue capek kalau harus ceritain bolak balik. Mending sekalian kaya gini kan?” tanya Kinara balik. Rila hanya mengangguk kecil, dan kembali diam dalam duduknya.

“Jadi ceritanya gimana dek?” tanya Nabil kemudian.


Dikisahkan Vega adalah putri Raja Langit yang pandai menenun bernama Orihime yang jatuh cinta dengan Altair seorang penggembala sapi bernama Hikoboshi. Karena Hikoboshi merupakan penggembala yang rajin, sehingga Tentei sang Raja Langit memperbolehkan Hikoboshi untuk mempersunting putrinya. Selama mengarungi bahtera pernikahan Orihime dan Hikoboshi hidup bahagia, namun mereka menjadi lalai dengan pekerjaannya masing-masing, Orihime tidak lagi rajin menenun dan Hikoboshi tidak lagi rajin menggembala sapi.

Melihat kondisi ini Tentei menjadi murka dan memisahkan keduanya dengan sungai Amanogawa (bentangan galaksi Bimasakti/ Milky Way), dan keduanya menjadi sangat sedih. Raja langit hanya memperbolehkan keduanya bertemu setelah keduanya melaksanakan pekerjaannya masing-masing selama satu tahun. Mereka hanya boleh bertemu pada tanggal 7 di bulan ke-7 di setiap tahunnya, dengan bantuan burung-burung Kasasagi. Namun jika hujan turun pada tanggal tersebut sungai akan meluap dan dua sejoli ini tidak bisa bertemu.


“Ceritanya mirip Nawang Mulan ga sih?” tanya Arsha selesai Kinara bercerita tentang bintang Vega.

Kinara tertawa terpingkal, dalam. Beberapa hal dirinya harus mengakui bahwa analogi Arsha dalam mencocokkan segala sesuatu itu memang luar biasa.

“Iya kak, emang mirip sama Nawang Mulan. Tapi tau nggak apa bedanya Vega dan Altair dengan Nawang Mulan dan Jaka Tarub?” Ujar Kinara kemudian.

“Apa dek?” tanya Arzhan penasaran.

“Kalau Nawang Mulan dan Jaka Tarub mengajarkan sebuah kejujuran dalam setiap hubungan, sedangkan Vega dan Altair mengajarkan sebuah keikhlasan untuk tetap hidup berdampingan.” jelas Kinara kemudian. “Dan yang paling penting, orang yg pergi dengan amarah dia akan kembali kak, sedangkan orang yg pergi dengan senyum dia pasti tidak akan pernah kembali.”

“Nah udah selesai Ra!” sahut Arsha bersemangat, dan memperlihatkan kedua jari-jari tangan Kinara yang sudah ia kutek dengan rapi atas hasil kerja kerasnya.

“Gila keren bener lu bro!” ujar Arzhan tak kalah bersemangat, bangga melihat hasil kutek Arsha di tangan Kinara.

“Kok diem aja Ra? Gasuka?” tanya Nabil kemudian, menyadari kalau Kinara hanya terdiam menatap hasil kutek yang ada di jarinya.

Kinara menggeleng, “Bukannya ga suka sih kak, cuma gue merasa kalau warna kutek kuning udah ga cocok buat gue lagi.” ujar Kinara.

“What color do you want, birdie?”tanya Bachtiar kemudian, menengahi.

“Merah lucu ga sih kak? Gue pengen ganti kutek warna merah ih.” pinta Kinara, sedikit membujuk Arsha, membayar nya dengan senyuman manis.

“Lah terus mau di timpa warna kuning nya nih?” tanya Arsha tak habis pikir.

“Sekalian beli nail polish kak, kalau mau ganti warna.” ujar Rila memberi solusi. “Nail polish buat hapus kutek nya.”

Semua mata tertuju pada Arsha, pada akhirnya Arsha mengalah dan berdiri. “Yaudah iya, gue yang pergi keluar beli kutek. Ini ada yang mau nitip gak?” tanya Arsha kemudian, sebelum pergi. Karena tidak ada jawaban, pada akhirnya Nabil menyuruh Arsha untuk segera pergi karena mama dan papa akan segera datang setelah ini.

Walaupun terlihat tidak menyimak perbincangan seru antara saudaranya yang lain, tetapi dalam diam Arsha mendengarkan tiap bait terakhir kalimat yang Kinara ucapkan. Dan itu membuat Arsha sedikit gamang, karena ia merasa ada maksud tertentu dalam hal itu.

“Dan yang paling penting, orang yg pergi dengan amarah dia akan kembali kak, sedangkan orang yg pergi dengan senyum dia pasti tidak akan pernah kembali.”