JC Halcyon

FLASHBACK

Arsha menangis seperti bayi di tanah sebelah Kinara. Sudah begitu lama waktu terlewati, dan Arsha masih menangis keras hingga air matanya tidak berhenti terjatuh. Yang lainnya juga merasa hampa, kesepian, dan tertekan sepeninggal Kinara.

Hal yang paling besar terjadi pada Arsha, hatinya penuh kemarahan, kebencian, kesedihan, dan rasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi satu satunya adik perempuan yang ia cintai dan sayangi di dunia ini.

Arsha kehilangan orang yang baru saja ia sadari bahwa kehadirannya penting di hidupnya. Orang yang bisa mengerti dirinya jauh lebih baik bahkan di banding saudara kembarnya sendiri. Orang yang telah lama terluka karena selalu ia tekan dengan ego nya.

Arzhan sudah menunggu saudara kembarnya sedari tadi, tapi Arsha sendiri enggan untuk bangkit dari duduk nya dan pulang ke rumah bersama yang lain.

Arzhan bisa mengerti hal itu, tetapi dirinya juga memahami perasaan Arsha. Bukan dirinya tidak bersedih atas kepulangan Kinara, ia sedih, hatinya hancur, tetapi di bandingkan perasaannya, penyesalan Arsha karena tidak bisa bertemu Kinara hingga saat terakhir lebih besar.

“Sha bentar lagi hujan. Kinara suka hujan, tapi kini dia bahkan ga akan bisa lagi menari di bawah hujan. Gue harap, dia bahkan bahagia di atas sana tempatnya hujan berasal.” ujar Arzhan kemudian, menepuk pundak Arsha dengan tabah.

Kemudian Arzhan membujuk Arsha yang sebetulnya masih enggan untuk pergi dari sana. Arzhan terpaksa melakukannya, karena ia tahu jika di biarkan bahkan Arsha akan membiarkan hujan menerpa badannya.

Kehilangan adalah bagian yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan, dan Arzhan tahu betul akan hal itu. Dan kadang-kadang penyesalan lah yang akan menjadi bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.


“Penolakan bukan hanya sebuah sungai di Mesir; itu adalah benteng yang kita bangun untuk melindungi diri dari kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk ditanggung.”

** FLASHBACK **

Arsha menangis seperti bayi di tanah sebelah Kinara. Sudah begitu lama waktu terlewati, dan Arsha masih menangis keras hingga air matanya tidak berhenti terjatuh. Yang lainnya juga merasa hampa, kesepian, dan tertekan sepeninggal Kinara.

Hal yang paling besar terjadi pada Arsha, hatinya penuh kemarahan, kebencian, kesedihan, dan rasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi satu satunya adik perempuan yang ia cintai dan sayangi di dunia ini.

Arsha kehilangan orang yang baru saja ia sadari bahwa kehadirannya penting di hidupnya. Orang yang bisa mengerti dirinya jauh lebih baik bahkan di banding saudara kembarnya sendiri. Orang yang telah lama terluka karena selalu ia tekan dengan ego nya.

Arzhan sudah menunggu saudara kembarnya sedari tadi, tapi Arsha sendiri enggan untuk bangkit dari duduk nya dan pulang ke rumah bersama yang lain.

Arzhan bisa mengerti hal itu, tetapi dirinya juga memahami perasaan Arsha. Bukan dirinya tidak bersedih atas kepulangan Kinara, ia sedih, hatinya hancur, tetapi di bandingkan perasaannya, penyesalan Arsha karena tidak bisa bertemu Kinara hingga saat terakhir lebih besar.

“Sha bentar lagi hujan. Kinara suka hujan, tapi kini dia bahkan ga akan bisa lagi menari di bawah hujan. Gue harap, dia bahkan bahagia di atas sana tempatnya hujan berasal.” ujar Arzhan kemudian, menepuk pundak Arsha dengan tabah.

Kemudian Arzhan membujuk Arsha yang sebetulnya masih enggan untuk pergi dari sana. Arzhan terpaksa melakukannya, karena ia tahu jika di biarkan bahkan Arsha akan membiarkan hujan menerpa badannya.

Kehilangan adalah bagian yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan, dan Arzhan tahu betul akan hal itu. Dan kadang-kadang penyesalan lah yang akan menjadi bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.


FLASHBACK

Arsha menangis seperti bayi di tanah sebelah Kinara. Sudah begitu lama waktu terlewati, dan Arsha masih menangis keras hingga air matanya tidak berhenti terjatuh. Yang lainnya juga merasa hampa, kesepian, dan tertekan sepeninggal Kinara.

Hal yang paling besar terjadi pada Arsha, hatinya penuh kemarahan, kebencian, kesedihan, dan rasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi satu satunya adik perempuan yang ia cintai dan sayangi di dunia ini.

Arsha kehilangan orang yang baru saja ia sadari bahwa kehadirannya penting di hidupnya. Orang yang bisa mengerti dirinya jauh lebih baik bahkan di banding saudara kembarnya sendiri. Orang yang telah lama terluka karena selalu ia tekan dengan ego nya.

Arzhan sudah menunggu saudara kembarnya sedari tadi, tapi Arsha sendiri enggan untuk bangkit dari duduk nya dan pulang ke rumah bersama yang lain.

Arzhan bisa mengerti hal itu, tetapi dirinya juga memahami perasaan Arsha. Bukan dirinya tidak bersedih atas kepulangan Kinara, ia sedih, hatinya hancur, tetapi di bandingkan perasaannya, penyesalan Arsha karena tidak bisa bertemu Kinara hingga saat terakhir lebih besar.

“Sha bentar lagi hujan. Kinara suka hujan, tapi kini dia bahkan ga akan bisa lagi menari di bawah hujan. Gue harap, dia bahkan bahagia di atas sana tempatnya hujan berasal.” ujar Arzhan kemudian, menepuk pundak Arsha dengan tabah.

Kemudian Arzhan membujuk Arsha yang sebetulnya masih enggan untuk pergi dari sana. Arzhan terpaksa melakukannya, karena ia tahu jika di biarkan bahkan Arsha akan membiarkan hujan menerpa badannya.

Kehilangan adalah bagian yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan, dan Arzhan tahu betul akan hal itu. Dan kadang-kadang penyesalan lah yang akan menjadi bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.

FLASHBACK

Arsha menangis seperti bayi di tanah sebelah Kinara. Sudah begitu lama waktu terlewati, dan Arsha masih menangis keras hingga air matanya tidak berhenti terjatuh. Yang lainnya juga merasa hampa, kesepian, dan tertekan sepeninggal Kinara.

Hal yang paling besar terjadi pada Arsha, hatinya penuh kemarahan, kebencian, kesedihan, dan rasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi satu satunya adik perempuan yang ia cintai dan sayangi di dunia ini.

Arsha kehilangan orang yang baru saja ia sadari bahwa kehadirannya penting di hidupnya. Orang yang bisa mengerti dirinya jauh lebih baik bahkan di banding saudara kembarnya sendiri. Orang yang telah lama terluka karena selalu ia tekan dengan ego nya.

Arzhan sudah menunggu saudara kembarnya sedari tadi, tapi Arsha sendiri enggan untuk bangkit dari duduk nya dan pulang ke rumah bersama yang lain.

Arzhan bisa mengerti hal itu, tetapi dirinya juga memahami perasaan Arsha. Bukan dirinya tidak bersedih atas kepulangan Kinara, ia sedih, hatinya hancur, tetapi di bandingkan perasaannya, penyesalan Arsha karena tidak bisa bertemu Kinara hingga saat terakhir lebih besar.

“Sha bentar lagi hujan. Kinara suka hujan, tapi kini dia bahkan ga akan bisa lagi menari di bawah hujan. Gue harap, dia bahkan bahagia di atas sana tempatnya hujan berasal.” ujar Arzhan kemudian, menepuk pundak Arsha dengan tabah.

Kemudian Arzhan membujuk Arsha yang sebetulnya masih enggan untuk pergi dari sana. Arzhan terpaksa melakukannya, karena ia tahu jika di biarkan bahkan Arsha akan membiarkan hujan menerpa badannya.

Kehilangan adalah bagian yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan, dan Arzhan tahu betul akan hal itu. Dan kadang-kadang penyesalan lah yang akan menjadi bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.

! [](https://i.imgur.com/QXy5U8C.jpg)

Banyak hal yang Arsha sering dengar dan yang paling dirinya ingat adalah...

“Waktu pasti akan menyembuhkan semua luka.”

Tapi yang Arsha yakini, itu tidak sepenuhnya benar. Baginya, waktu tidak benar benar menyelesaikan luka dengan sendirinya. Yang sebenarnya adalah, Arsha hanya akan menanggung luka itu sendirian sampai waktu akhirnya berlalu tanpa ia sadari. Karena yang Arsha ingat adalah, lukanya memang akan sembuh tapi bekas nya tidak akan hilang.

Kepergian Kinara memang menjadi pukulan telak pada hidup Arsha. Bagaikan perahu tanpa nahkoda, hidup Arsha dalam sekejap berlayar tanpa arah tujuan.

Kinara terlalu istimewa untuk Arsha ceritakan secara sederhana. Dan bodohnya, ia baru menyadari hal itu setelah kepergian Kinara menyapanya.

Banyak hal yang Arsha sering dengar dan yang paling dirinya ingat adalah...

“Waktu pasti akan menyembuhkan semua luka.”

Tapi yang Arsha yakini, itu tidak sepenuhnya benar. Baginya, waktu tidak benar benar menyelesaikan luka dengan sendirinya. Yang sebenarnya adalah, Arsha hanya akan menanggung luka itu sendirian sampai waktu akhirnya berlalu tanpa ia sadari. Karena yang Arsha ingat adalah, lukanya memang akan sembuh tapi bekas nya tidak akan hilang.

Kepergian Kinara memang menjadi pukulan telak pada hidup Arsha. Bagaikan perahu tanpa nahkoda, hidup Arsha dalam sekejap berlayar tanpa arah tujuan.

Kinara terlalu istimewa untuk Arsha ceritakan secara sederhana. Dan bodohnya, ia baru menyadari hal itu setelah kepergian Kinara menyapanya.

! [](https://i.imgur.com/CcRU9vq.jpg)

Gina keluar dari mobil mengikuti kakaknya Farhan, yang sudah lebih dulu keluar. Mereka berhenti di pom bensin untuk beristirahat sejenak. Baru empat jam perjalanan, dirinya yang berangkat dari Tulungagung baru sampai di Malang.

Farhan memang cenderung diam, dan Gina tahu hal itu dengan jelas. Dalam setahun pun ia hanya bisa melihat Farhan berbicara banyak hanya saat lebaran tiba. Itupun Gina simpulkan kalau Farhan terpaksa melakukannya.

“Bang Farhan, kalo aku mandi dulu gimana?” tanya Gina kemudian, menyamakan langkah nya dengan Farhan.

Farhan menoleh sekilas, kemudian menganggukan kepalanya. “Jangan lama-lama, takutnya makin malem tol macet.” pesan Farhan kemudian sebelum berlalu dari sana.

Giselle Naomi atau yang lebih akrab di panggil Gina. Gina adalah bungsu dari dua bersaudara. Walaupun jarak umurnya dengan Farhan hanya berbeda dua tahun saja, tapi tidak menjadikan Farhan terbuka pada Gina. Ralat, tidak terbuka pada siapapun.

Ya pada awalnya memang jadi masalah sih, apalagi bagi manusia, komunikasi menjadi hal yang penting di lakukan. Tapi Farhan selalu enggan melakukannya. Kemudian pada akhirnya Gina tahu, kalau itu merupakan sifat bawaan Farhan yang memang sulit untuk di ubah. Dan Gina mulai tidak keberatan karena hal itu.

Hari ini keduanya memang sengaja berkemudi ke Lumajang atas suruhan kedua orang tuanya. Kalau Gina ga salah ingat sih kedatangan mereka ke Lumajang untuk menengok kakek nenek mereka yang sudah lama tidak di jumpai.

Padahal mah Gina paham, kalau ada makna tersembunyi di balik hal itu. Satu hari sebelum keberangkatan mereka, Gina mendengar perdebatan kedua orang tuanya kalau mereka mengira ia dan Farhan tengah bertengkar. Karena Gina dan Farhan tidak pernah berbicara satu sama lain dalam jangka waktu yang panjang. Padahal mereka ga ngomong bukan karena berantem, tapi karena emang males aja.

“Bang, kalo lo cape ngomong aja. Gue bisa kok gantiin lo nyopir.” ujar Gina kemudian, setelah selesai dari urusannya di kamar mandi.

Farhan mengangkat satu alisnya bingung, “Kenapa lo duduk di depan? Di belakang aja biar enak kalau mau rebahan.”

Gina menggeleng, “Enggak gue di depan aja deh, sekalian nemenin lo.” jawab Gina kemudian.

“Yaudah, kalo lo bosen putar aja lagu. Itu pake ponsel gue. Spotify nya udah terhubung kok ke mobil.” ujar Farhan lagi.

Gina sempet bengong beberapa detik sebelum kembali sadar. Dirinya tidak tahu kalau perlakuan Farhan akan sangat berbeda saat tidak bersama kedua orang tuanya. Akhirnya tak banyak bicara lagi, keduanya melanjutkan perjalanan yang tadi sempat tertunda.

#Giselle Naomi

Gina keluar dari mobil mengikuti kakaknya Farhan, yang sudah lebih dulu keluar. Mereka berhenti di pom bensin untuk beristirahat sejenak. Baru empat jam perjalanan, dirinya yang berangkat dari Tulungagung baru sampai di Malang.

Farhan memang cenderung diam, dan Gina tahu hal itu dengan jelas. Dalam setahun pun ia hanya bisa melihat Farhan berbicara banyak hanya saat lebaran tiba. Itupun Gina simpulkan kalau Farhan terpaksa melakukannya.

“Bang Farhan, kalo aku mandi dulu gimana?” tanya Gina kemudian, menyamakan langkah nya dengan Farhan.

Farhan menoleh sekilas, kemudian menganggukan kepalanya. “Jangan lama-lama, takutnya makin malem tol macet.” pesan Farhan kemudian sebelum berlalu dari sana.

Giselle Naomi atau yang lebih akrab di panggil Gina. Gina adalah bungsu dari dua bersaudara. Walaupun jarak umurnya dengan Farhan hanya berbeda dua tahun saja, tapi tidak menjadikan Farhan terbuka pada Gina. Ralat, tidak terbuka pada siapapun.

Ya pada awalnya memang jadi masalah sih, apalagi bagi manusia, komunikasi menjadi hal yang penting di lakukan. Tapi Farhan selalu enggan melakukannya. Kemudian pada akhirnya Gina tahu, kalau itu merupakan sifat bawaan Farhan yang memang sulit untuk di ubah. Dan Gina mulai tidak keberatan karena hal itu.

Hari ini keduanya memang sengaja berkemudi ke Lumajang atas suruhan kedua orang tuanya. Kalau Gina ga salah ingat sih kedatangan mereka ke Lumajang untuk menengok kakek nenek mereka yang sudah lama tidak di jumpai.

Padahal mah Gina paham, kalau ada makna tersembunyi di balik hal itu. Satu hari sebelum keberangkatan mereka, Gina mendengar perdebatan kedua orang tuanya kalau mereka mengira ia dan Farhan tengah bertengkar. Karena Gina dan Farhan tidak pernah berbicara satu sama lain dalam jangka waktu yang panjang. Padahal mereka ga ngomong bukan karena berantem, tapi karena emang males aja.

“Bang, kalo lo cape ngomong aja. Gue bisa kok gantiin lo nyopir.” ujar Gina kemudian, setelah selesai dari urusannya di kamar mandi.

Farhan mengangkat satu alisnya bingung, “Kenapa lo duduk di depan? Di belakang aja biar enak kalau mau rebahan.”

Gina menggeleng, “Enggak gue di depan aja deh, sekalian nemenin lo.” jawab Gina kemudian.

“Yaudah, kalo lo bosen putar aja lagu. Itu pake ponsel gue. Spotify nya udah terhubung kok ke mobil.” ujar Farhan lagi.

Gina sempet bengong beberapa detik sebelum kembali sadar. Dirinya tidak tahu kalau perlakuan Farhan akan sangat berbeda saat tidak bersama kedua orang tuanya. Akhirnya tak banyak bicara lagi, keduanya melanjutkan perjalanan yang tadi sempat tertunda.

“Lo mah ga bisa di andalin kak.” keluh Nada pada Jeffery yang sedari tadi mengutak-atik leptop Nada untuk sekedar membetulkan margir yang ada.

“Ya maaf dek, gue kan bukan jurusan komputer.” jawab Jeffery tak kalah sewot.

Kesal menunggu Jeffery, akhirnya Nada beralih pada Haikal yang duduk tak jauh dari dirinya. Makin Nada liat, makin memburuk mood Haikal dari waktu ke waktu.

“Kal, lo kok tumben jam segini ga kemana mana?” Tanya Nada kemudian. Masalahnya nih ya, Haikal tuh sibuk banget kalau masalah keluar kemanapun. Bahkan kalau di rumah, Nada jauh lebih jarang ngeliat Haikal di banding Delvin.

“Males.” jawab Haikal singkat, dan masih berfokus pada ponsel di tangannya.

“Kenapa sih? Gadapet degem? Di tolak cewe?”

“Cewe mana yang bakal nolak cowok paripurna kaya gue gini.”

“YA TERUS??? LO BILANG KARENA KAYLA GUE TABOK KEPALA LO.”

Haikal menghela nafas sedih, “Iya.”

Suara pukulan yang nyaring terdengar, bahkan Jeffery hingga menolehkan kepalanya untuk mencari tahu.

“KOK DI PUKUL BENERAN ANJRIT?!!” tanya Haikal tidak terima.

“Karena gue pantang mengingkari kata-kata gue sendiri.”

Mood Haikal bertambah buruk, apalagi setelah Nada memukul kepalanya sekuat tenaga. Jeffery sendiri sudah beranjak pergi meninggalkan keduanya sembari membawa leptop Nada pada Arwena. Walaupun Arwena bukan jurusan komputer, tapi bagi Jeffery lebih baik berpusing berdua dengan Arwena daripada duduk bersama Haikal dan Nada yang kadar emosi mereka masih meluap-luap.

“Udahlah Kal, lo tuh masih main character. But not in the same book. Dan buku yang sama dengan Kayla itu punya Ren.” hibur Nada kemudian, setelah kekesalan reda. Kalau di pikir pikir dari awal dirinya ga perlu sampai merasa sekesal itu sama Haikal. Nada jadi menyesal. “Ibarat nya kalau Kayla sama Ren di buku Twilight, kalo lo di buku Cinta Brontosaurus.”

“ANAK ANJING!!” ganti Haikal yang gemas ingin memukul kepala Nada. Tapi itu ia urungkan, dan berakhir mengelus lembut rambut Nada. Karena Haikal tau, Nada hanya ingin menghibur nya. “Tapi ini bukan sekedar buku kita ga sama Nad, gue cuma ngerasa kalau gue sama Kayla tuh dua insan yang tepat tapi di waktu yang salah.” jelas Haikal lagi.

Nada melepas tangan Haikal yang berada di atas kepalanya, dan menariknya untuk ia pegang dengan kedua tangannya.

“Dengerin gue ya Kal, orang yang kita temui di waktu yang salah itu sebenernya orang yang salah. Dan lo tuh ga akan pernah bertemu orang yang tepat di waktu yang salah. Because the right people are timeless.

“Lo mah ga bisa di andalin kak.” keluh Nada pada Jeffery yang sedari tadi mengutak-atik leptop Nada untuk sekedar membetulkan margir yang ada.

“Ya maaf dek, gue kan bukan jurusan komputer.” jawab Jeffery tak kalah sewot.

Kesal menunggu Jeffery, akhirnya Nada beralih pada Haikal yang duduk tak jauh dari dirinya. Makin Nada liat, makin memburuk mood Haikal dari waktu ke waktu.

“Kal, lo kok tumben jam segini ga kemana mana?” Tanya Nada kemudian. Masalahnya nih ya, Haikal tuh sibuk banget kalau masalah keluar kemanapun. Bahkan kalau di rumah, Nada jauh lebih jarang ngeliat Haikal di banding Delvin.

“Males.” jawab Haikal singkat, dan masih berfokus pada ponsel di tangannya.

“Kenapa sih? Gadapet degem? Di tolak cewe?”

“Cewe mana yang bakal nolak cowok paripurna kaya gue gini.”

“YA TERUS??? LO BILANG KARENA KAYLA GUE TABOK KEPALA LO.”

Haikal menghela nafas sedih, “Iya.”

Suara pukulan yang nyaring terdengar, bahkan Jeffery hingga menolehkan kepalanya untuk mencari tahu.

“KOK DI PUKUL BENERAN ANJRIT?!!” tanya Haikal tidak terima.

“Karena gue pantang mengingkari kata-kata gue sendiri.”

Mood Haikal bertambah buruk, apalagi setelah Nada memukul kepalanya sekuat tenaga. Jeffery sendiri sudah beranjak pergi meninggalkan keduanya sembari membawa leptop Nada pada Arwena. Walaupun Arwena bukan jurusan komputer, tapi bagi Jeffery lebih baik berpusing berdua dengan Arwena daripada duduk bersama Haikal dan Nada yang kadar emosi mereka masih meluap-luap.

“Udahlah Kal, lo tuh masih main character. But not in the same book. Dan buku yang sama dengan Kayla itu punya Ren.” hibur Nada kemudian, setelah kekesalan reda. Kalau di pikir pikir dari awal dirinya ga perlu sampai merasa sekesal itu sama Haikal. Nada jadi menyesal. “Ibarat nya kalau Kayla sama Ren di buku Twilight, kalo lo di buku Cinta Brontosaurus.”

“ANAK ANJING!!” ganti Haikal yang gemas ingin memukul kepala Nada. Tapi itu ia urungkan, dan berakhir mengelus lembut rambut Nada. Karena Haikal tau, Nada hanya ingin menghibur nya. “Tapi ini bukan sekedar buku kita ga sama Nad, gue cuma ngerasa kalau gue sama Kayla tuh dua insan yang tepat tapi di waktu yang salah.” jelas Haikal lagi.

Nada melepas tangan Haikal yang berada di tangannya, dan menariknya untuk ia pegang dengan kedua tangannya.

“Dengerin gue ya Kal, orang yang kita temui di waktu yang salah itu sebenernya orang yang salah. Dan lo tuh ga akan pernah bertemu orang yang tepat di waktu yang salah. Because the right people are timeless.