JC Halcyon

Orang kesepian adalah orang paling baik, orang yang bersedih senyumnya paling cerah. Karena mereka tidak mau orang lain merasakan sakit yang sama.

Banyak hal yang Kinara pelajari akhir-akhir ini, dan membuatnya makin menyadari bahwa hidup terus memberikan pelajaran baru pada dirinya.

“Kok ngelamun Ra?” tanya Raka menghampiri kursi roda Kinara yang berada tepat di depan dapur.

Kesibukan tercipta sedari pagi, mama dan tantenya sudah berada di dapur untuk waktu yang lama. Dan tidak dari satu keadaan ia lihat keduanya merasa penat.

“Ga ada kak, gue cuma pengen bantuin tapi kayanya ga akan bisa terealisasikan ya?” jawab Kinara sekaligus bertanya kembali.

Raka tersenyum, dirinya memahami perasaan Kinara. “Kalau mama butuh bantuan, dia juga pasti bakalan bilang kok Ra. Dengan lo liat mama menghandle segitu banyaknya pekerjaan, dan dia ga mengeluh berarti memang mama menikmati hal itu.” nasehat Raka kemudian.

Setelah itu Raka mendorong kursi roda Kinara untuk di bawa ke ruang tamu. Tempat dimana semuanya berkumpul. Arsha dan Arzhan yang sibuk bermain game dengan ponsel mereka. Bachtiar dan Nabil yang berbincang di dengarkan oleh ketiga teman Kinara, Gale, Acel, dan Eja. Dan yang terakhir Rila yang hanya duduk diam di samping Bachtiar tanpa melakukan apapun.

Itu aneh menurut Kinara, karena tidak biasanya Rila hanya berdiam diri seperti itu. Tapi kemudian Kinara tersadar, kalau Rila mungkin masih membutuhkan waktu lebih untuk menenangkan dirinya pasca pertengkaran hebat tempo hari.

Arzhan dan Arsha sudah mengambil cake ulang tahun milik Kinara yang memang sudah di pesan oleh mama beberapa hari yang lalu. Dan juga papa sudah menyiapkan lilin yang akan di gunakan acara akan segera dimulai.

Kinara cukup bahagia akan hal itu, karena jujur saja dirinya jarang merayakan ulang tahun. Bukan dirinya saja sebenarnya, tapi juga saudaranya yang lain. Karena mereka tak merayakan ulang tahun dengan alasan yang semestinya. Mereka hanya berfikir kalau ulang tahun hanya menyambut tahun tahun baru untuk lebih dekat pada kematian.

Tapi kali ini berbeda, karena Kinara sendiri yang meminta maka tidak ada jalan lain selain menurutinya. Kecuali satu hal yang membuat Kinara bersedih hati, bahwa dirinya harus memotong rambut panjangnya bahkan sebelum ulang tahunnya di laksanakan.

Hanya Bachtiar yang mengerti akan hal itu, dan tentunya Bachtiar tidak menceritakannya pada siapapun atas janji yang sudah dirinya ambil dari Kinara. Jadi ketika Bachtiar melihat Kinara keluar kamar dengan potongan rambut pendek, ia hanya bisa tersenyum sedih karena ia tak bisa melakukan apapun.

“Nabil, coba panggil mama sama tante ke depan. Ayo kita mulai acaranya sekarang aja.” ujar papa kemudian.

Nabil menurut, dan beranjak untuk berjalan menuju dapur memanggil mama dan tantenya. Yang lain sudah berkumpul, dan Kinara jauh lebih siap dari siapapun.

Usai nyanyian ulang tahun di kumandangkan, juga Arsha yang siap sedia membantu Kinara untuk memotong kue nya, semua acara berjalan dengan lancar. Senyum tidak pernah luntur dari wajah Kinara sedari tadi, dan itu juga tak luput dari perhatian keempat kakaknya yang lain.

Di saat semua keadaan beralih pada makanan jamuan yang sedari tadi sudah di siapkan oleh mama dan tantenya. Gale beringsut mendekati Kinara yang masih duduk dengan tenang di kursi roda mengawasi semua dari jauh.

“Happy birthday to my special person.” ucap Gale berbisik.

Bachtiar membantu Kinara untuk turun dari mobil ke atas kursi roda yang telah di siapkan oleh Nabil. Dari ruang tengah terdengar keributan yang memancing perhatian Kinara.

“Tapi aku ga maksud kaya gitu pa, aku cuma menyampaikan apa yang kak Arsha bilang ke aku dulu!!” teriak Rila sembari menunjuk Arsha yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Dapat Kinara lihat, paman dan tante nya terlihat pusing dengan hal yang terjadi.

Mama menghampiri Arsha dan menanyakan apa yang tengah terjadi diantara mereka semua.

“Ma, asal mama tau Rila udah provokasi aku sama Kinara dengan bilang kalau Kinara itu anak yang enggak kita inginkan di keluarga ini.” jelas Arsha kemudian. “Iya Arsha tau, Arsha salah karena Arsha memang bilang gitu dulu. Tapi bukan berarti Rila bisa ungkit semuanya di depan Kinara, padahal Kinara sendiri ga tau akan hal itu.”

Kinara terkejut, dirinya tidak menyangka kalau pada akhirnya Arsha benar benar akan jujur seperti itu di depan semuanya.

Wajah Rila merah padam, dan ia berjalan menuju Kinara yang masih terdiam mendengarkan perdebatan keduanya. “Selamanya aja lo kak, diem dan ga ngomong buat menyelesaikan semuanya.”

“Apa yang perlu gue omongin La? Emang itu kewajiban gue menilik yang berbuat salah itu lo.”

“Selalu aja gitu, lo selalu sok suci dan menganggap semuanya bakalan bisa di selesaikan kalau lo diam.”

“Gue ga selalu diam, berapa kali gue selalu bicara tentang apa kesalahan gue di lo. Dan berakhir lo selalu ngatain kalo gue itu caper, sok suci, dan yang lainnya. Sekarang gue tanya deh bener-bener sama lo Rila, dimana salah gue dan apa yang perlu gue benahi buat lo?”

Semuanya terdiam, menunggu Rila menjawab pertanyaan dari Kinara. Bachtiar sendiri sudah berpindah ke sisi Rila, berusaha melerai kemungkinan apa saja yang akan terjadi.

“Dulu gue fikir punya kak Bachtiar di hidup gue itu udah cukup, sampai akhirnya gue tau kalau kecukupan gue ternyata bikin Los iri ya kak.” ujar Rila kemudian, setelah menimbang kalimat apa yang harus ia ucapkan. “Setelah lo punya segalanya disini, lo juga rebut kak Bachtiar dari sisi gue. Emang lo masih kurang dengan keempat saudara lo yang lain? Oh iya, mungkin karena mereka ga peduli sama lo ya makanya lo gatel ke kakak gue.”

Kinara mendadak pening, permasalahan antara dirinya dan Rila menjadi lebar kemana-mana. Bachtiar sendiri sudah berusaha menarik Rila untuk pergi keluar, meninggalkan Kinara yang masih termangu dengan ucapan Rila barusan.

Dengan segera Arzhan mengambil alih dan membawa Kinara untuk kembali ke dalam kamarnya. Arzhan menutup pintu kamar Kinara sebelum dirinya juga membantu Kinara untuk naik ke atas ranjang.

“Kak, sebenernya apa sih yang salah dari gue?” tanya Kinara kemudian.

Arzhan mengacak surai nya bingung. Dirinya bingung dengan hal apa saja yang harus ia jelaskan pada Kinara supaya ia tidak berburuk sangka pada dirinya sendiri.

“Ga ada yang salah dengan tingkah lo Ra. Gue berani jamin akan hal itu. Rila juga masih anak kecil, lo tau kan kalau emosi dia juga belum stabil.” ujar Arzhan kemudian. “Jadi apa yang Rila bilang tadi, gausah lo masukin ke dalam hati. Ga ada siapapun yang di rebut dari sini.” sambungnya lagi.

Kinara mengangguk, dirinya mengelus pelan lutut kaki sebelah kanannya.

Mengerti akan hal itu, Arzhan langsung mengambil tempat duduk di samping Kinara. “Kenapa? Ada yang sakit? Sakitnya gimana? Perlu gue panggil mama?” tanyanya bertubi-tubi, khawatir.

Kinara menggeleng, “Ga begitu sakit kok kak, gue gapapa.”

“Ga begitu sakit, artinya tetap sakit Ra. Aduh pasti lo juga kaget karena pulang rumah ga langsung istirahat malah di suguhi drama kaya tadi. Bentar gue tanya ke mama dulu, ada obat buat pereda nyeri nya nggak.” sahut Arzhan kemudian, dan hendak beranjak dari tempat tidur Kinara.

Dengan cepat Kinara mencekal lengan Arzhan, “Ngapain sih kak, gausah. Mama juga pasti lagi pusing karena liat drama barusan. Mending lo diem disini, dan jagain gue aja.” kata Kinara menenangkan.

Pada akhirnya Arzhan menurut, dan ia kembali duduk. Tangannya ikut mengelus kaki sebelah kanan Kinara dengan lembut.

“Kak, menurut lo harapan tuh kaya gimana?” tanya Kinara kemudian.

“Harapan?” tanya Arzhan balik.

“Iya.”

“Gue percaya kalau harapan tuh ibarat satu lebah yang membuat madu tanpa bunga.”

“Robert Green?”

“Haha, iya. Kalau menurut lo gimana Ra?”

“Kalau menurut gue, harapan itu rumit. Mungkin iya, itu bisa buat lo bertahan untuk sementara. Tapi kalau sesuatu yang lo harapkan nggak pernah terwujud, itu cuma bakal menahan lo untuk menikmati hidup kak.” jawab Kinara kemudian, mengeluarkan isi pikirannya.

Seolah mengerti dengan arah pembicaraan Kinara, Arzhan takut dan mulai memeluk Kinara dari samping. Mungkin ini yang di rasakan oleh Raka kala itu, ketika Kinara sudah tidak percaya lagi pada harapan.

“Tapi Ra, masalahnya sulit buat kita untuk tau kan? Apakah kita sudah terlalu lama berharap, atau terlalu cepat menyerah.”

“Panas ga sih kak? Pengen keluar ih.” ujar Kinara di atas ranjang rumah sakit sembari mengipas-ngipasi bagian atas tubuhnya seolah kepanasan.

Nabil menoleh ke arah AC yang masih menyala, dan kemudian menoleh lagi ke arah Kinara untuk memastikan apakah adiknya itu memang tengah kepanasan.

“Mau gue kecilin lagi AC nya?” tanya Nabil kemudian.

Setelah usai rangkaian pengobatan Kinara di lakukan, mama dan papa memutuskan supaya Kinara beristirahat lebih lama dulu di rumah sakit alih-alih pulang ke rumah. Nabil dan Bachtiar juga setuju, meninjau ada Rila di rumah yang mungkin akan membuat fase istirahat Kinara menjadi terganggu.

Setelah selesai perdebatan tentang Kinara yang harus rawat inap atau tidak, pada akhirnya Kinara mengalah dan menurut. Kini hanya tinggal Nabil saja yang menunggunya di dalam kamar inap, karena ketiganya tengah pergi keluar mencari makan malam.

“Enggak akan ngaruh kak, gue kepanasan juga bukan karena AC nya ga dingin.” ujar Kinara lagi.

Nabil mengerti, dirinya tersenyum kecil. Kinara merasa bosan berada di dalam kamar, dan ia ingin pergi berjalan-jalan keluar saat ini.

Kemudian Nabil berjalan menghampiri kursi roda yang memang telah di siapkan di dalam ruangan guna Kinara naiki. “Dah ayo, katanya kepanasan. Mending sekarang jalan-jalan ke atap aja. Gimana mau nggak?” tanya Nabil kemudian.

“Lah ya mau banget dong!!”


Nabil salah mengerti, ia kira liftmembawa mereka hingga ke atap nyatanya tidak. Ternyata lift berhenti di satu lantai sebelum atap, sehingga untuk mencapai atap maka Nabil dan Kinara perlu untuk menaiki tangga.

Masalahnya tidak memungkinkan bagi Kinara untuk naik tangga dengan kondisi kaki nya yang seperti ini. Terbersit rasa bersalah muncul di hati Nabil.

“Ga mungkin nyeret kursi roda ke atap kak, yaudah lah balik aja ke kamar ayo.” ajak Kinara kemudian setelah mengamati keadaan sekitarnya.

“Udah nyampe sini Ra, sayang banget kalo balik lagi.”

“Ya terus mau gimana? Kan ga mungkin kalau kita paksain ke sana. Udah gue gak papa kok kak, kapan kapan juga bisa.”

Nabil menggelengkan kepala nya kukuh, “Gak bisa gini. Ayo naik punggung gue, gue gendong aja ke atap.” Ujar Nabil kemudian, mendapatkan sebuah ide.

Kinara melotot dan memukul lengan Nabil pelan, “Yakali mau gendong gue naik tangga. Lo kira berat gue cuma lima kilo kaya beras?” Protes Kinara.

Nabil terkekeh, “Enggak Ra, lo ga berat sama sekali kok. Ayo buruan naik sini. Atau jangan-jangan lo ga percaya kalau gue bisa?” Sahut Nabil cepat.

Pada akhirnya Kinara menurut, dan kemudian beringsut untuk memposisikan diri senyaman mungkin pada punggung Nabil. Juga Nabil yang meminimalisir gerakannya supaya tidak terkena oleh kaki bagian kanan Kinara yang lumayan sensitif itu.

Selangkah demi selangkah Nabil menaiki tangga sembari memastikan bahwa Kinara berpegangan erat pada pundaknya. Tidak lupa pula Nabil menepuk-nepuk betis kiri Kinara untuk menenangkan seolah berkata semuanya akan baik-baik saja hingga di atas. Sampai pada akhirnya mereka berdua sampai di atap. Kinara bernafas lega, begitu pula Nabil.

“Turunin ih kak, lo pasti capek gendong gue.” Ucap Kinara begitu Nabil terus terusan menggendong dirinya tanpa ada niatan untuk menurunkannya.

“Kotor.”

“Ya namanya atap kak?? Lo berharap apa? Kinclong kaya kamar inap gue?”

“Udah Ra, diem disini aja. Gausah turun segala.”

Pada akhirnya Kinara berakhir diam di atas gendongan Nabil. Dirinya juga tidak ingin membantah Nabil lebih jauh, karena Nabil sendiri yang menginginkan hal itu.

“Gale bilang ke gue, lo suka sama hal-hal berbau benda langit gitu ya?” tanya Nabil kemudian, setelah terdiam begitu lama. “Eja bilang juga, lo pengen jadi Astronom.” lanjutnya lagi.

Kinara mengigit bibir bagian bawahnya, ia malu. “Udah ih kak, gausah di bahas.” jawab Kinara pelan, dan kemudian memeluk leher Nabil dengan erat.

Nabil sedikit terkejut dengan tindakan Kinara yang tiba-tiba tadi, tapi kemudian dia tersenyum kecil. Ia mengerti karena Kinara saat ini tengah malu. “Lihat deh Ra, kok bisa ya bintang yang itu warna merah, terus yang itu warnanya kuning?” tanya Nabil kemudian menunjuk bintang, mengalihkan pembicaraan.

“Oh itu karena setiap warna pada bintang mempresentasikan tentang umur mereka.” kata Kinara menjelaskan dengan semangat.

“Oh ya? Jadi apa aja dong artinya?”

“Kalau dari yang urut ya kak, bintang biru itu bintang muda. Bintang warna kuning artinya setengah umur, bintang warna merah adalah bintang yang sekarat, katai putih artinya bintang yang sudah kehabisan cahaya nya.”

“Penjelasannya singkat, tapi overall gue ngerti maknanya.” Puji Nabil kemudian, “Kayanya lo beneran sesuka itu ya.”

Kinara akhirnya mengerti, kalau Nabil hanya ingin membuat dirinya nyaman dengan apa yang ia sukai tanpa harus merasa malu akan hal itu.

“Tapi terlepas dari warnanya, ada bintang yang paling gue suka.”

“Oh ya, apa tuh?”

“Bintang Vega.”

“Gue kira Sirius, soalnya yang gue tahu itu bintang paling terang.”

“Ya ga salah sih, tapi bintang Vega juga bintang yang paling terang loh kak di jajaran rasi nya.”

“Emang rasi nya bintang Vega apa?”

“Rasi Lyra.”

“Lyra yang mana sih?”

“Yang bentuknya cantik kak, bentuk nya harpa.”

“Sekarang gue tau, kenapa lo suka sama rasi itu. Bentuknya emang indah banget sih dari deskripsi lo.”

Kinara tertawa senang, tanpa aba-aba dirinya mengecup pipi sebelah kanan Nabil membuat Nabil terdiam seketika, sebelum akhirnya ikut tertawa lepas bersama Kinara. Baru kali ini Kinara bisa tertawa bebas tanpa harus memikirkan reaksi apa yang akan Nabil berikan nantinya.

Kinara mendengar suara pintu kamarnya di ketuk dengan brutal sebelum kemudian di buka dengan paksa oleh Arsha. Tanpa aba-aba, Arsha sudah terbang ke Kinara, dan memeluk tubuh Kinara dengan erat.

“Kak??” tanya Kinara bingung dan menepuk punggung Arsha pelan.

Arsha masih enggan melepaskan pelukannya pada Kinara. Dan pada akhirnya Kinara membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Sejujurnya Kinara juga menikmati pelukan dari Arsha yang sangat amat ia jarang dapatkan.

“Ra, maafin gue ya. Maafin segala hal yang udah gue perbuat selama ini. Itu bukan salah siapa, dan karena apa. Itu murni tingkah laku gue yang selalu haus akan validasi dari orang-orang di sekitar gue. Dan bodohnya gue baru menyadari itu sekarang, saat gue udah buat lo sehancur hancurnya.” ucap Arsha kemudian, setelah memeluk Kinara cukup lama.

Kinara menyadari sorot mata Arsha yang tulus, juga bekas sembab yang tersisa di sana.

“Banyak hal buruk yang gue lakuin ke lo, dan penyesalan adalah hukuman terbesarnya. Bahkan ketika lo bilang kalau lo udah memaafkan, rasa penyesalan itu ga berkurang dan justru meluap-luap. Sekarang gue ngerti, just because plants are quite doesn't mean you can forget to take care of them.” lanjut Arsha lagi.

Kinara tersenyum, senyum tertulus yang pada akhirnya ikhlas dia berikan pada Arsha. “Nangisin apasih, sampe matanya sembab gini.” goda Kinara kemudian.

Arsha tertawa kecil, “Nangisin kebodohan gue yang udah di luar nalar lagi.”

“Ini kalo cewe lo liat lo nangis kaya gini, pasti dia ngira nya macem macem dah.”

Arsha menggeleng, “Nggak ada cewe Ra, gue ga punya cewe.”

Kinara terkejut, dengan spontan tangan kanannya terangkat dan mencubit pinggang Arsha yang berada di jangkauannya.

“Aduh, anjing!! Apasih cubit-cubit!” teriak Arsha mengaduh.

“Bisa bisanya bilang gapunya pacar, sedangkan lo selalu bawa topik itu ketika disuruh mama buat anter atau jemput gue.” ucap Kinara tidak percaya.

Arsha menggaruk lehernya pelan, “Itu ga salah sih, tapi ga bener juga.” Kemudian Arsha menarik lengan Kinara lagi, dan memeluknya erat seperti semula. “Nanti deh, gue ceritain lengkapnya gimana.” Lanjutnya kemudian.

Nabil mengetuk pintu kamar Kinara yang memang sudah terbuka, dan Arsha sedikit terkejut dengan hal itu.

“Ayo Ra, berangkat.” ajak Nabil dan mengambil kursi roda Kinara yang berada di pojok ruangan. Nabil kemudian menendang bokong Arsha yang masih berjongkok memaksa memeluk Kinara dengan erat. “Lepas anjing, lu liat Kinara sampe bengap gitu mukanya.” ujar Nabil kesal.

“Enggak, apasih kak nendanh bokong gitu. Gue masih mau peluk Kinara lama, ini sesi quality time gue sama dia.” kata Arsha tak kalah galak.

Kinara tertawa kecil dan menepuk pundak Arsha, “Kak, gue ga bakalan pergi untuk selamanya kok. Ini ke rumah sakit bentar, abis itu pulang.” ujarnya menenangkan.

Tapi di luar dugaan, bukannya menenangkan Arsha, justru itu menambah rasa gundah pada hati Nabil yang mendengar ucapan Kinara barusan.

Arsha melepas pelukannya, “Kin, pergi ya pergi. Mau itu selamanya atau enggak, sebentar atau lama, nama nya tetap pergi.” ucapnya tidak terima.

“Iya iya, maaf deh.”

Pada akhirnya Arsha mengalah, dan menuntun Kinara untuk duduk di kursi roda yang telah Nabil sediakan. Nabil tersenyum melihat keduanya, pada akhirnya Kinara dan Arsha sudah berdamai dengan masa lalu mereka.

Atau mungkin keduanya akan menjadi jauh lebih rekat dari sekarang? Nabil sendiri juga menantikan hal itu.

Kinara selalu di panggil oleh Arsha sebagai “The unwanted daughter” dari dulu ketika tahu kalau kedua orang tua mereka cukup dengan empat anak laki-laki dan kemudian Kinara datang.

Tapi tentunya Kinara sendiri tidak menyadari hal itu, karena panggilan tercela itu hanya di ketahui oleh kelimanya bersama dengan Bachtiar yang selalu menasehati Arsha agar tidak berkata menyakiti perasaan adik bungsu nya seperti itu.

Kini keempatnya sudah berkumpul di kamar Raka setelah mereka membaca bubble terakhir Kinara yang mengatakan kalau dia adalah “The unwanted daughter”.

“Sha, lo selalu ngatain Kinara itu anak yang ga di inginkan. Gue gatau ketika lo ngomong kaya gitu, hal apa yang mempengaruhi lo. Tapi gue dulu walaupun begitu, gue sama sekali ga ada keinginan untuk menegur lo sama sekali dan justru kak Bachtiar yang maju.” ujar Raka menatap Arsha yang terdiam mendengarkan setiap bait yang keluar dari mulutnya.

“Walaupun sekarang lo udah ga gitu lagi, dan lo dulu ngomong gitu cuma sebagai bercandaan, tapi ketika gue bahas itu sekarang gue ngerasa sama marah nya dengan kak Bachtiar dulu.” sambung Raka lagi. “Karena gue tau, kalau Kinara tahu soal hal itu dia bakalan ngerasa relate dan mengerti perasaan itu.”

“Setelah Kinara udah mulai sekolah, dan mama papa mulai bekerja lagi, we forgot to give her the attention she wants and needs. Setelah gue liat dia sama Gale, Acel, dan Eja, gue mulai tahu seberapa mandirinya dia. Dan gue ga akan menyalahkan kalau ternyata dia lebih memilih berkumpul sama temen-temen nya di banding sama kita. Yang bahkan dia udah berusaha untuk hal itu, tapi semuanya sia-sia karena kita ga menghargai hal itu.”

“Cause how can a sixteen year old deal with a family like us when she didn't wish to be born.”

Kinara selalu di panggil oleh Arsha sebagai “The unwanted daughter” dari dulu ketika tahu kalau kedua orang tua mereka cukup dengan empat anak laki-laki dan kemudian Kinara datang.

Tapi tentunya Kinara sendiri tidak menyadari hal itu, karena panggilan tercela itu hanya di ketahui oleh kelimanya bersama dengan Bachtiar yang selalu menasehati Arsha agar tidak berkata menyakiti perasaan adik bungsu nya seperti itu.

Kini keempatnya sudah berkumpul di kamar Raka setelah mereka membaca bubble terakhir Raka yang menyatakan kekecewaan dirinya terhadap Kinara tempo hari.

“Sha, lo selalu ngatain Kinara itu anak yang ga di inginkan. Gue gatau ketika lo ngomong kaya gitu, hal apa yang mempengaruhi lo. Tapi gue dulu walaupun begitu, gue sama sekali ga ada keinginan untuk menegur lo sama sekali dan justru kak Bachtiar yang maju.” ujar Raka menatap Arsha yang terdiam mendengarkan setiap bait yang keluar dari mulutnya.

“Walaupun sekarang lo udah ga gitu lagi, dan lo dulu ngomong gitu cuma sebagai bercandaan, tapi ketika gue bahas itu sekarang gue ngerasa sama marah nya dengan kak Bachtiar dulu.” sambung Raka lagi. “Karena gue tau, kalau Kinara tahu soal hal itu dia bakalan ngerasa relate dan mengerti perasaan itu.”

“Setelah Kinara udah mulai sekolah, dan mama papa mulai bekerja lagi, we forgot to give her the attention she wants and needs. Setelah gue liat dia sama Gale, Acel, dan Eja, gue mulai tahu seberapa mandirinya dia. Dan gue ga akan menyalahkan kalau ternyata dia lebih memilih berkumpul sama temen-temen nya di banding sama kita. Yang bahkan dia udah berusaha untuk hal itu, tapi semuanya sia-sia karena kita ga menghargai hal itu.”

“Cause how can a sixteen year old deal with a family like us when she didn't wish to be born.”

#The Unwanted Daughter

Kinara selalu di panggil oleh Arsha sebagai “The unwanted daughter” dari dulu ketika tahu kalau kedua orang tua mereka cukup dengan empat anak laki-laki dan kemudian Kinara datang.

Tapi tentunya Kinara sendiri tidak menyadari hal itu, karena panggilan tercela itu hanya di ketahui oleh kelimanya bersama dengan Bachtiar yang selalu menasehati Arsha agar tidak berkata menyakiti perasaan adik bungsu nya seperti itu.

Kini keempatnya sudah berkumpul di kamar Raka setelah mereka membaca bubble terakhir Raka yang menyatakan kekecewaan dirinya terhadap Kinara tempo hari.

“Sha, lo selalu ngatain Kinara itu anak yang ga di inginkan. Gue gatau ketika lo ngomong kaya gitu, hal apa yang mempengaruhi lo. Tapi gue dulu walaupun begitu, gue sama sekali ga ada keinginan untuk menegur lo sama sekali dan justru kak Bachtiar yang maju.” ujar Raka menatap Arsha yang terdiam mendengarkan setiap bait yang keluar dari mulutnya.

“Walaupun sekarang lo udah ga gitu lagi, dan lo dulu ngomong gitu cuma sebagai bercandaan, tapi ketika gue bahas itu sekarang gue ngerasa sama marah nya dengan kak Bachtiar dulu.” sambung Raka lagi. “Karena gue tau, kalau Kinara tahu soal hal itu dia bakalan ngerasa relate dan mengerti perasaan itu.”

“Setelah Kinara udah mulai sekolah, dan mama papa mulai bekerja lagi, we forgot to give her the attention she wants and needs. Setelah gue liat dia sama Gale, Acel, dan Eja, gue mulai tahu seberapa mandirinya dia. Dan gue ga akan menyalahkan kalau ternyata dia lebih memilih berkumpul sama temen-temen nya di banding sama kita. Yang bahkan dia udah berusaha untuk hal itu, tapi semuanya sia-sia karena kita ga menghargai hal itu.”

“Cause how can a sixteen year old deal with a family like us when she didn't wish to be born.”

Arzhan mengikuti Raka yang tengah mendorong kursi roda Kinara. Hari ini Raka memenuhi janji nya yang akan mengajak Kinara ke perpustakaan universitas setelah ujian semester selesai di laksanakan.

“Gue mau ikut, seriusan deh kak.” rengek Arzhan sedari tadi, masih belum selesai.

Kinara menahan tawa nya, karena dia tahu Raka tidak mengizinkan siapapun untuk ikut serta dalam agenda mereka.

“Enggak! Lo tuh gampang bosen, gue gamau denger rengekan lo lagi kalau gue udah di perpustakaan nanti.” jawab Raka cepat.

Arzhan menekuk wajah nya, dia merajuk.

Kinara berdiri dengan perlahan untuk berpindah duduk ke dalam mobil, di bantu oleh Arzhan. Sedangkan Raka dengan sigap melipat kursi roda Kinara untuk di masukkan dalam bagasi mobil.

“Gapapa kak, daripada lo bosen nanti di sana, mending lo pergi terus main sendiri di tempat yang lo suka.” hibur Kinara kemudian.

Arzhan melengos tidak percaya, bahkan Kinara juga menolak nya.

“Ya kan itu elo.” ucap Arzhan padat.

Kinara mengerutkan dahi nya bingung, “Gue apaan?”

“Tempat yang gue suka.”


Sesampainya di perpustakaan, Raka langsung mengajak Kinara untuk masuk melakukan pemeriksaan member. Ada tiga lantai untuk perpustakaan, dan untungnya lift di sediakan untuk hal itu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya dari tadi Kinara tuh sedikit minder karena ga sedikit orang yang ngeliatin dia naik kursi roda dan di dorong oleh Raka. Dia beneran merasa ga nyaman akan hal itu.

Kalau di suruh jalan pun sebenernya Kinara bisa, bisa banget malah. Tapi Raka nggak mengizinkan hal itu, takut Kinara terlalu lelah karena harus berjalan lama.

“Gue mau periksa katalog, lo mau baca apa?” tanya Raka begitu sampai di lantai ke dua.

“Gue bisa kok kak cari bacaan sendiri. Dah lo periksa katalog dulu sana, biar gue juga jalan jalan sendiri.” jawab Kinara cepat, mengusir Raka.

Raka tertawa kecil. “Di usir nih gue ceritanya?”

Sepeninggalnya Raka, Kinara menjalankan kursi roda nya dengan perlahan. Kinara tadi udah di peringati oleh Raka buat ga berdiri atau bangun dari kursi roda, atau Raka bakalan marah.

Karena ga ada pilihan lain, akhirnya Kinara cuma bisa menuruti kemauan Raka. Beruntungnya di lantai dua ini ga banyak orang yang ada, sehingga membuat Kinara bisa bergerak lebih leluasa.

Kinara mengambil satu buku yang berada di rak bawah. Dirinya membaca judul buku itu dengan seksama.

MAP OF THE SOUL : PERSONA our many faces

Buku itu berisi tentang catatan lirik album BTS Map of the Soul : Persona yang di refleksikan oleh Dr. Murray Stein.

Diam diam Kinara tersenyum, Acel pasti akan senang sekali membaca buku ini karena Acel adalah fans dari BTS.

“Baca apa Ra?” tanya Raka dari depan, melihat Kinara tidak menyadari kedatangannya.

Kinara menunjukkan sampul buku yang ia pegang pada Raka. Raka sendiri sudah kembali dengan membawa beberapa buku di tangan kanan dan kiri nya. Kinara tidak heran lagi karena Raka memang gemar membaca sama seperti dirinya.

“Kok duduk di bawah kak?” tanya Kinara bingung, karena Raka mengambil tempat duduk di lantai menghadap ke arah nya. “Ayo ih ke tempat baca sana aja, duduk di kursi.” sambung Kinara lagi.

Raka menggeleng, “Disini jauh lebih damai tau Ra. Kalau di tempat baca sana, bau buku nya udah ga kerasa.” jawab Raka kemudian.

Posisi mereka yang saat ini berada di tengah lorong rak buku. Beruntung nya tidak banyak orang yang berada di perpustakaan sehingga tak ada orang yang terganggu karena Raka duduk di lantai.

“Kadang suka lucu ya Ra, ngeliat hidup kita tiba-tiba bisa berbalik 180° kaya gini. Padahal di depan biasa aja, tapi begitu setengah jalan ada aja hal yang datang dan pergi dan buat kita bingung.” ucap Raka kemudian membuka percakapan.

“Kalau gue ga sakit, kira-kira berapa persen kemungkinan lo buat ajak gue ke perpustakaan ini?” kata Kinara balik bertanya.

“Maksudnya?” Raka tidak mengerti.

“Semuanya juga udah tau kak, lo ajak gue kesini tuh semata-mata buat ngehibur gue karena gue sakit.” Ujar Kinara. “Makanya gue nanya, kalau gua ga sakit apa masih mungkin lo bakalan ajak gue seneng seneng kaya gini? Kenapa gue jadi merasa punya privilege ya karena sakit.” sambung nya lagi.

Raka terdiam, ucapan Kinara barusan memenuhi otak nya. Apa benar yang ia lakukan sekarang semata-mata hanya untuk menghibur Kinara karena ia sakit?

“Lo tadi bilang kan, lucu karena hidup kita bisa tiba-tiba berubah 180° kaya gini. Karena hidup manusia itu sama seperti buku kak. Selalu ada cerita suka di satu halaman. Tapi juga ada kisah duka di halaman yang lain.”

Raka berusaha semampu nya untuk menolak ucapan Kinara barusan. Logika nya tidak bisa ia pakai untuk menerima hal itu. Raka tahu betul, kemana arah pembicaraan mereka akan berlangsung sehabis ini.

“Kenapa harus ada suka dan duka, di saat kita bisa memilih untuk mengisi setiap lembar nya dengan suka cita Ra.” ujar Raka kemudian. “Jangan bicarakan soal duka sama gue, gue ga suka.”

Kinara menghela nafas nya pelan, dirinya tidak punya pilihan untuk hal ini.

“Kak if I die, how long will it take you to recover?”

Pada akhirnya Kinara menanyakan hal yang selama ini selalu Raka hindari dalam setiap kesempatan. Dirinya tidak siap untuk di hadapi dengan pertanyaan seperti itu.

“Ngomong apasih? Gausah bawa bawa kematian lah, gue ga suka.” jawab Raka padat. “Lo tuh masih punya banyak kesempatan Ra. Dengan lo nanyain hal itu, sama kaya lo meragukan kesempatan yang ada.” Sambung nya lagi sedikit keras.

“Semua orang pada akhirnya akan mati juga, dan itu ga akan bisa terelakkan kak.” ujar Kinara setelah menyusun kalimat dengan hati-hati. “Lo juga setuju kan, kalau hidup itu bagaikan sebuah buku. Dan karena hal itu, artinya lo juga tau kalau setiap orang suatu saat pasti juga akan tiba pada halaman terakhirnya.”

Arzhan hanya dapat menyaksikan saudara kembarnya memoles kuku adik bungsu nya dengan hati-hati. Baru kali ini Arzhan mengetahui bahwa saudara kembarnya itu memiliki keahlian seperti itu.

“Masih kurang rapi nggak Ra?” tanya Arsha kemudian, setelah memoles jari terakhir.

Kinara tersenyum kecil, dirinya menghargai apa yang Arsha usahakan walaupun hasil nya belum maksimal.

“Malah senyum, jelek ya??” tanya Arsha lagi.

Kinara menggeleng, “Ini udah bagus banget kak di percobaan pertama. Makasih kak Arsha, makasih kak Arzhan udah beliin juga.” ucap Kinara tulus.

Arsha mendadak salah tingkah setelah mendengar ucapan Terima kasih dari Kinara.

“Tolong ambilin sketchbook gue dong kak di meja samping lo.” pinta Kinara kepada Arzhan.

Segera setelah Arzhan menyerahkan sketchbook nya, dengan hati-hati Kinara membalik halaman sketchbook itu.

“Gue balik dulu ya.” Pamit Arsha. “Kalau nanti ada dokter check up kondisi udah oke, lo kabarin mama aja. Berarti besok Kinara pulang.” Sambungnya kemudian.

“Eh kak Arsha, tunggu dulu.” cegah Kinara. Dengan segera Kinara langsung memberikan sketchbook yang Arsha kenali adalah gambar dirinya. “Sobek dong kak, ini bayaran karena udah kutekin kuku gue.” ucap Kinara lagi.

Arsha terdiam membeku, ia tidak tahu harus merespon seperti apa.

“Kenapa? Jelek ya kak?” tanya Kinara begitu menyadari Arsha sudah terdiam begitu lama.

Arsha meletakkan sketchbook Kinara keatas meja nakas yang berada di samping ranjang, dan langsung memeluk Kinara yang terasa lebih kurus dari sebelumnya.

“Nggak ada hal jelek yang lo buat, Ra. Gue tuh udah bilang, lo disini istirahat aja, jangan ngapa ngapain. Ternyata lo bosen juga pada akhirnya. Makasih ya Ra, makasih udah jadi adik gue.”


“Kok cuma Arsha doang yang di gambarin?? Kan gue juga udah beliin kutek, masa ga di gambarin sih?” gerutu Arzhan sembari mendorong kursi roda Kinara.

Kok di kursi roda? Jadi ceritanya gini, tadi setelah Arsha pulang Arzhan berinisiatif untuk bawa Kinara keliling rumah sakit menggunakan kursi roda. Arzhan tahu betul, dia yang sehat dan bisa jalan kesana kemari aja bosen di rumah sakit, apalagi Kinara yang sakit dan cuma bisa duduk atau rebahan doang di kamar inap?

“Hahaha, nanti deh gue gambarin ya kak. Tapi gambaran gue ga sebagus itu, yakin gapapa?” tanya Kinara balik.

Arzhan menghentikan dorongan kursi roda nya tepat di depan taman rumah sakit. “Lo udah denger yang di bilang Arsha kan? Dan gue juga sependapat sama dia, ga ada hal jelek yang lo buat Ra. Apapun yang lo kasih ke kita, itu semua berharga se unik apapun bentuk nya.”

Kinara tersenyum lebar, dirinya sesenang itu hari ini. Kesenangannya makin bertambah begitu menyadari bahwa hujan mulai turun menemani sesi jalan jalan nya kali ini.

“Wah, gue kira udah kemarau. Ternyata masih hujan ya??” tanya Kinara antusias.

“Tau sendiri Ra, musim di Indonesia tuh ga menentu.”

Kinara menatap jauh air hujan yang turun dari atas. Sedekat apapun hubungan mereka, tentu saja Arzhan yang paling tahu sesuka apa Kinara pada hujan.

“Bukan tentang menunggu pelangi setelah hujan, tapi menari di tengah deras nya hujan kak.”

Seklebat ingatan Arzhan berputar ketika Kinara mengucapkan rentetan kalimat itu. Arzhan melirik Kinara yang hanya mampu menatap sendu hujan di depannya.

“Lo tunggu sini ya Ra. Gue ke kamar bentar.” ujar Arzhan kemudian, menarik rem pada kursi roda untuk menghindari Kinara tidak pergi kemanapun.

“Eh ngapain kak??” tanya Kinara bingung begitu Arzhan tergesa-gesa berlari menjauh.

Tiada berapa lama kemudian, Arzhan sudah kembali dengan membawa jaket tebal milik Kinara lengkap dengan payung warna kuning kesayangan Kinara yang memang selalu ada di dalam mobil Arzhan.

Dengan perlahan Arzhan memakaikan jaket Kinara, memastikan bahwa adiknya cukup hangat untuk ia bawa bersenang-senang di bawah guyuran hujan.

“Kak? Lo ga bermaksud buat hujan hujanan kan habis ini?” tanya Kinara cepat, begitu Arzhan menarik rem pada kursi roda dan mendorong kursi roda untuk turun dari paviliun rumah sakit.

“Kenapa? Ga suka nih??”

“Suka sih, tapi kan payungnya cuma satu emang cukup?”

“Cukup lah kalau buat lo doang kaya gini.” ujar Arzhan kemudian memayungi seluruh tubuh Kinara dan membiarkan tubuhnya sendiri terguyur hujan.

“Kak?? Kok jadi lo yang hujan hujanan??” tanya Kinara terkejut.

“Lo pernah bilang kan, suka lo akan hujan itu bukan menunggu pelangi yang datang, tapi menari ditengah hujan. Lo sekarang gabisa nari di tengah hujan karena keadaan yang ga memungkinkan, jadi biar gue aja yang menari di tengah hujan.” ujar Arzhan kemudian, dan menyerahkan seluruh payung kepada Kinara.

Arzhan berlari ke tengah hujan dan menari dengan acak, membuat Kinara tertawa terpingkal.

Kinara selalu menegaskan pada diri nya sendiri, kalau ia iri dengan gelembung, balon, pesawat kertas, dan bunga dandelion.

Kenapa?

Karena mereka bisa terbang dengan bebas, sedangkan Kinara punya beberapa aturan yang tidak bisa ia lompati untuk mencapai hal itu. Tapi melihat Arzhan yang bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk terbang dengan bebas, kehangatan dalam hati Kinara kembali secara perlahan.

Yang mencintaimu akan melakukan apapun untuk menjaga mu, dan yang mengerti dirimu akan melakukan semua yang dia bisa agar bisa membahagiakanmu.

Mama dan Papa sudah datang dengan membawa berbagai pesanan dari anak anaknya. Coba tebak siapa yang paling bahagia. Tentu saja Arsha.

“Akhirnya dateng juga GO-JEK kita.” ucapnya berkelakar.

Kinara tertawa kecil dan melihat yang lain berpindah ke kursi dan meja yang tentunya di sediakan di sana.

“Ini emang boleh makan di dalam sini Ma?” tanya Nabil bingung.

Memang sih kamar inap Kinara bukan ruang perawatan intensif, tapi tetap saja itu tidak terasa benar bagi Nabil.

“Makan aja gapapa Bil, masa mau makan di lorong rumah sakit kamu? Lagian ini kamar pribadi, bukan tempat perawatan intensif.” jelas mamanya.

Nabil mengangguk dan membuka hamburger nya dengan senang hati.

Arsha yang memesan bakso juga tak kalah semangat. Beruntungnya mama juga membawa mangkok untuk di pakai oleh Arsha dan Arzhan yang tengah memakan soto.

“Kinara udah makan sayang?” tanya papa menghampiri Kinara yang terduduk di kasur rumah sakit.

Kinara mengangguk. “Papa sendiri udah makan?” tanya nya kembali.

“Gausah pikirin papa sama mama, yang penting Kinara dulu.” ujar papa kemudian.

“Kinara susah banget tau pa makan nya tadi.” Kata Arzhan mengadu. “Akhirnya di suap sama kak Nabil. Tapi tetep aja habis nya dikit, sampai akhirnya piringnya di ambil.” lanjutnya lagi.

“Kenapa ga di habisin Kin? Ga enak ya? Besok mama bawa masakan dari rumah ya, masakan bi Anjar.” kata mama menenangkan.

Bau makanan menjadi satu ruangan, dan jauh dari perkiraan Kinara ternyata itu sangat amat mengganggunya. Perut Kinara merasa teraduk begitu hidungnya membau wangi bakso dari Arsha bercampur wangi soto yang tengah Arzhan makan.

Kinara mencoba menahannya hingga air keluar dari bola matanya. Raka yang sudah selesai memakan hamburger nya sedari tadi berjalan menghampiri Kinara dengan tergesa.

“Kenapa Kin? Ada yang sakit?” tanya nya panik melihat wajah Kinara yang kini tambah pucat.

Seluruh atensi kini menatap Kinara ikut kebingungan. Tanpa di duga Kinara menarik lengan Raka untuk bersembunyi di balik sana.

Benar saja, pada akhirnya Kinara menyerah dan memuntahkan seluruh isi perutnya pada jaket bagian belakang Raka.

“Gue mual kak bau bakso sama soto. Maafin gue udah bikin kalian jijik, maafin gue...” ucap Kinara setelah seluruh isi perutnya keluar. Kinara lanjut menangis karena merasakan hal yang sangat amat tidak nyaman terjadi pada tubuhnya.

“Arzhan sama Arsha ayo ikut papa di depan. Makan nya lanjut di depan aja ya, papa temenin.” ucap Papa berusaha menstabilkan kondisi yang kini tengah kacau.

Mama mengelus punggung Kinara dengan lembut, tanpa ia sadari air matanya juga ikut keluar melihat penderitaan dari putrinya.

Nabil mengambil beberapa tisu yang memang sengaja mamanya belikan. Dengan telaten dirinya menyeka bekas muntahan Kinara yang memang terjatuh ke lantai.

Bau asam dari perut Kinara, kini memenuhi satu ruangan. Kinara masih memeluk erat lengan Raka, dan menangis tersedu karena perutnya masih merasa tidak enak.

Diam diam Raka juga menangis, serta mengelus lengan Kinara yang masih memeluknya dengan lembut. Beribu kata penyesalan memenuhi benak nya tentang apa yang sudah ia lakukan di masa lalu hingga adiknya harus menanggung beban seberat ini.


Arsha dan Arzhan yang kini sudah terduduk di bangku depan kamar kembali diam. Mereka berdua masih bisa mendengar suara tangisan Kinara di dalam sana.

Mendadak keduanya menyesal kenapa harus memesan makanan yang memiliki bau kuat seperti bakso dan soto. Mereka menyesal kenapa tidak menahan rasa laparnya saja daripada harus membuat adik perempuan nya tersiksa karena mereka makan.

“Ayo Arzhan, Arsha, makannya di habisin.” ujar papa yang ternyata benar menemani keduanya untuk makan. “Atau kalian udah hilang selera ya karena adik nya muntah tadi? Yaudah sini papa buang aja. Kalian langsung cuci tangan sama muka ya, biar ga kebau lagi sama adiknya.” lanjut papa begitu tidak mendapat jawaban dari keduanya.

Sebelum papa sempat mengambil sisa makanannya, dengan segera keduanya menghabiskan makanan yang tersisa. Papa yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum sendu. Hal seperti ini mungkin adalah hal yang baru bagi anak anaknya, jadi ia bisa mengerti hal itu.

Arzhan menghapus air matanya yang menetes ketika ia dengan paksa menelan makanan ke dalam mulut nya. Tangisan Kinara sudah tidak terdengar lagi, mungkin Kinara sudah jauh lebih tenang sekarang.

“Mulai sekarang kita kalau makan di luar aja ya pa. Kasian Kinara kalau harus muntah tiap liat kita makan.” ujar Arsha sebelum menyuapkan suapan terakhir.

Papa mengangguk dan tersenyum lega. Lega karena anaknya sudah mulai menyesuaikan kondisi yang telah terjadi walaupun dengan terpaksa.

“Maafin adiknya ya kak. Hal seperti itu bukan sesuatu yang bisa adik mu kontrol.” ujar papa kemudian menasehati.

“Ga apa kok pa. Kita bisa ngerti. Karena mau bagaimanapun kita juga tahu, kalau Kinara yang paling menderita disini.”