JC Halcyon

“Lo mah ga bisa di andalin kak.” keluh Nada pada Jeffery yang sedari tadi mengutak-atik leptop Nada untuk sekedar membetulkan margir yang ada.

“Ya maaf dek, gue kan bukan jurusan komputer.” jawab Jeffery tak kalah sewot.

Kesal menunggu Jeffery, akhirnya Nada beralih pada Haikal yang duduk tak jauh dari dirinya. Makin Nada liat, makin memburuk mood Haikal dari waktu ke waktu.

“Kal, lo kok tumben jam segini ga kemana mana?” Tanya Nada kemudian. Masalahnya nih ya, Haikal tuh sibuk banget kalau masalah keluar kemanapun. Bahkan kalau di rumah, Nada jauh lebih jarang ngeliat Haikal di banding Delvin.

“Males.” jawab Haikal singkat, dan masih berfokus pada ponsel di tangannya.

“Kenapa sih? Gadapet degem? Di tolak cewe?”

“Cewe mana yang bakal nolak cowok paripurna kaya gue gini.”

“YA TERUS??? LO BILANG KARENA KAYLA GUE TABOK KEPALA LO.”

Haikal menghela nafas sedih, “Iya.”

Suara pukulan yang nyaring terdengar, bahkan Jeffery hingga menolehkan kepalanya untuk mencari tahu.

“KOK DI PUKUL BENERAN ANJRIT?!!” tanya Haikal tidak terima.

“Karena gue pantang mengingkari kata-kata gue sendiri.”

Mood Haikal bertambah buruk, apalagi setelah Nada memukul kepalanya sekuat tenaga. Jeffery sendiri sudah beranjak pergi meninggalkan keduanya sembari membawa leptop Nada pada Arwena. Walaupun Arwena bukan jurusan komputer, tapi bagi Jeffery lebih baik berpusing berdua dengan Arwena daripada duduk bersama Haikal dan Nada yang kadar emosi mereka masih meluap-luap.

“Udahlah Kal, lo tuh masih main character. But not in the same book. Dan buku yang sama dengan Kayla itu punya Ren.” hibur Nada kemudian, setelah kekesalan reda. Kalau di pikir pikir dari awal dirinya ga perlu sampai merasa sekesal itu sama Haikal. Nada jadi menyesal. “Ibarat nya kalau Kayla sama Ren di buku Twilight, kalo lo di buku Cinta Brontosaurus.”

“ANAK ANJING!!” ganti Haikal yang gemas ingin memukul kepala Nada. Tapi itu ia urungkan, dan berakhir mengelus lembut rambut Nada. Karena Haikal tau, Nada hanya ingin menghibur nya. “Tapi ini bukan sekedar buku kita ga sama Nad, gue cuma ngerasa kalau gue sama Kayla tuh dua insan yang tepat tapi di waktu yang salah.” jelas Haikal lagi.

Nada melepas tangan Haikal yang berada di tangannya, dan menariknya untuk ia pegang dengan kedua tangannya.

“Dengerin gue ya Kal, orang yang kita temui di waktu yang salah itu sebenernya orang yang salah. Dan lo tuh ga akan pernah bertemu orang yang tepat di waktu yang salah. Because the right people are timeless.

Arzhan mendengar suara ketukan pintu ketika ia tengah sibuk menumpuk beberapa buku pelajaran yang telah ia selesai kerjakan. Matanya melihat ke arah jam dinding kamarnya yang menujukkan pukul dua belas malam. Terlalu malam untuk bertamu. Dengan langkah gontai, Arzhan melangkah mendekati pintu dan membuka pintu itu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.

Kinara berdiri di depan kamarnya sembari membawa guling kamar berwarna kuning kesayangannya. “Kak, udah tidur kah?” tanyanya polos.

Arzhan menggaruk telinganya tidak gatal, “Enggak sih Ra, kenapa?” tanya Arzhan kemudian.

“Temenin gue nonton The Medium dong, tadi gue ke kamar kak Arsha lampunya udah mati.” ujar Kinara lagi.

Arzhan tersenyum simpul, “Emang ga ngantuk?” tanya Arzhan memastikan.

Kinara langsung menggeleng, “Sama sekali enggak. Ayo kak ih, buruan.” ajak Kinara lagi, dan kali ini menarik lengan Arzhan untuk berjalan bersama menuju kamarnya.

Arzhan tersenyum geli, Kinara memaksakan dirinya untuk menemani ia menonton film horror. Bahkan Kinara sendiri tidak bisa membuka matanya sendiri sepanjang film karena terlalu takut untuk melihatnya.

“Kalau gini mah jadi laptopnya Ra, yang nonton elo.” goda Arzhan.

“Ihh, diem kak Arzhan!!”


“ARZHAAANN!! ARZHAAAAN!!”

Arzhan membuka matanya perlahan ketika suara Arsha menyapa gendang telinganya. Arzhan menatap kosong kasur sampingnya, tempat Kinara tidur semalam.

“Anjir bangun bego, bisa bisanya lo ketiduran lagi di kamar Kinara.” ujar Arsha mengomel. “Sampe kapan lo gabisa merelakan kepergian Kinara Zhan?” tanya Arsha kemudian dengan nada sendu.

Arzhan terduduk, tangannya mengusap wajahnya dengan kasar.

“Ini udah dua tahun sejak kepergian Kinara, Zhan. Kemudian setiap malam lo selalu pergi ke kamar dia dan berakhir ketiduran disini. You have to accept that she's not here anymore.” Arsha masih menasehati.

“Lo ga pernah percaya ketika gue selalu bilang, tiap malam Kinara ke kamar gue dan bawa guling. Dia selalu membujuk gue buat temenin dia nonton film.” jawab Arzhan kemudian. “Dan juga bagi gue, Kinara masih ada Sha. Gue masih belum bisa menganggap dia sebagai kenangan.” sambungnya lagi.

Arsha terdiam, Arzhan pun sama.

Kemudian Arzhan kembali melihat Arsha yang ada di depannya dengan mata berkaca. “Dan lo mungkin juga bakalan inget, a year after her death you give up on life because of the pain losing Kinara!!” Teriak Arzhan kemudian.

Bayangan Arsha yang ada di depan Arzhan langsung mengabur begitu kalimat terakhir terselesaikan. Hati Arzhan kembali di penuhi oleh duka.

Dirinya menangis dengan keras hingga Arzhan tersadar ada Nabil dan Raka yang masuk dengan paksa ke dalam kamarnya untuk membangunkan dirinya yang masih belum bisa lepas dari dunia mimpi.

“ARZHAN??? BANGUN ARZHAN!!” teriak Raka panik, menepuk-nepuk pipi Arzhan. Berusaha untuk menyadarkan nya dari mimpi buruk.

Nabil yang berada di samping Raka hanya bisa memegang tangan Arzhan yang di penuhi oleh keringat dingin. Segera setelah Arzhan terbangun, keduanya memeluk Arzhan dengan erat.

Bulan bulan terakhir setelah kepergian Kinara, semua berjalan menuju kehancuran. Arsha yang tidak bisa melepas bayang kepergian Kinara, lebih menyerah pada kehidupan.

Arsha lelah. Jiwanya sudah penat menanggung setiap duka yang tertinggal karena kepergian Kinara. Arsha terbangun setiap hari untuk kembali bertarung dengan hal yang sama. Dia kehilangan motivasi untuk terus melanjutkan hidup, hingga akhirnya sekali lagi rumah di penuhi oleh duka.

Karena yang paling sedih itu bukan tentang kepergiannya, tapi tentang kisah selanjutnya dari orang-orang yang dia tinggalkan.

Arzhan mendengar suara ketukan pintu ketika ia tengah sibuk menumpuk beberapa buku pelajaran yang telah ia selesai kerjakan. Matanya melihat ke arah jam dinding kamarnya yang menujukkan pukul dua belas malam. Terlalu malam untuk bertamu. Dengan langkah gontai, Arzhan melangkah mendekati pintu dan membuka pintu itu untuk melihat siapa yang mengetuk pintu.

Kinara berdiri di depan kamarnya sembari membawa guling kamar berwarna kuning kesayangannya. “Kak, udah tidur kah?” tanyanya polos.

Arzhan menggaruk telinganya tidak gatal, “Enggak sih Ra, kenapa?” tanya Arzhan kemudian.

“Temenin gue nonton The Medium dong, tadi gue ke kamar kak Arsha lampunya udah mati.” ujar Kinara lagi.

Arzhan tersenyum simpul, “Emang ga ngantuk?” tanya Arzhan memastikan.

Kinara langsung menggeleng, “Sama sekali enggak. Ayo kak ih, buruan.” ajak Kinara lagi, dan kali ini menarik lengan Arzhan untuk berjalan bersama menuju kamarnya.

Arzhan tersenyum geli, Kinara memaksakan dirinya untuk menemani ia menonton film horror. Bahkan Kinara sendiri tidak bisa membuka matanya sendiri sepanjang film karena terlalu takut untuk melihatnya.

“Kalau gini mah jadi laptopnya Ra, yang nonton elo.” goda Arzhan.

“Ihh, diem kak Arzhan!!”


“ARZHAAANN!! ARZHAAAAN!!”

Arzhan membuka matanya perlahan ketika suara Arsha menyapa gendang telinganya. Arzhan menatap kosong kasur sampingnya, tempat Kinara tidur semalam.

“Anjir bangun bego, bisa bisanya lo ketiduran lagi di kamar Kinara.” ujar Arsha mengomel. “Sampe kapan lo gabisa merelakan kepergian Kinara Zhan?” tanya Arsha kemudian dengan nada sendu.

Arzhan terduduk, tangannya mengusap wajahnya dengan kasar.

“Ini udah dua tahun sejak kepergian Kinara, Zhan. Kemudian setiap malam lo selalu pergi ke kamar dia dan berakhir ketiduran disini. You have to accept that she's not here anymore.” Arsha masih menasehati.

“Lo ga pernah percaya ketika gue selalu bilang, tiap malam Kinara ke kamar gue dan bawa guling. Dia selalu membujuk gue buat temenin dia nonton film.” jawab Arzhan kemudian. “Dan juga bagi gue, Kinara masih ada Sha. Gue masih belum bisa menganggap dia sebagai kenangan.” sambungnya lagi.

Arsha terdiam, Arzhan pun sama.

Kemudian Arzhan kembali melihat Arsha yang ada di depannya dengan mata berkaca. “Dan lo mungkin juga bakalan inget, a year after her death you give up on life because of the pain losing Kinara!!” Teriak Arzhan kemudian.

Bayangan Arsha yang ada di depan Arzhan langsung mengabur begitu kalimat terakhir terselesaikan. Hati Arzhan kembali di penuhi oleh duka.

Dirinya menangis dengan keras hingga Arzhan tersadar ada Nabil dan Raka yang masuk dengan paksa ke dalam kamarnya untuk membangunkan dirinya yang masih belum bisa lepas dari dunia mimpi.

“ARZHAN??? BANGUN ARZHAN!!” teriak Raka panik, menepuk-nepuk pipi Arzhan. Berusaha untuk menyadarkan nya dari mimpi buruk.

Nabil yang berada di samping Raka hanya bisa memegang tangan Arzhan yang di penuhi oleh keringat dingin. Segera setelah Arzhan terbangun, keduanya memeluk Arzhan dengan erat.

Tahun tahun terakhir setelah kepergian Kinara, semua berjalan menuju kehancuran. Arsha yang tidak bisa melepas bayang kepergian Kinara, lebih menyerah pada kehidupan.

Arsha lelah. Jiwanya sudah penat menanggung setiap duka yang tertinggal karena kepergian Kinara. Arsha terbangun setiap hari untuk kembali bertarung dengan hal yang sama. Dia kehilangan motivasi untuk terus melanjutkan hidup, hingga akhirnya sekali lagi rumah di penuhi oleh duka.

Karena yang paling sedih itu bukan tentang kepergiannya, tapi tentang kisah selanjutnya dari orang-orang yang dia tinggalkan.

Raka tidak pernah menyangka bahwa hari seperti ini akan di hadapinya dalam kurun waktu yang tidak bisa ia perkirakan. Emosinya meledak-ledak, banyak hal yang ia sesali hingga saat ini. Hingga pada suatu titik, pada akhirnya Raka paham akan sesuatu.

Hal yang paling jahat adalah waktu.

Raka melihat Arsha yang masih terdiam dengan tatapan kosong nya. Hari sudah berlalu sejak Kinara di makamkan. Tapi luka pada hati adiknya yang bahkan tidak memiliki perpisahan terakhir dengan baik itu masih menganga dengan lebar.

Raka tidak akan mengusiknya dengan hal itu, karena ia tahu seberapa penyesalan yang kini tengah Arsha tanggung. Kata andaikan bahkan tidak akan bisa menutupi semua hal itu.

Setelah Arsha pergi hari itu untuk membeli barang yang Kinara inginkan, tiada berapa lama kondisi Kinara kembali menurun. Tidak ada yang tahu hingga Rila melihat banyak nya bulir keringat yang keluar di dahi Kinara saat AC menyala dengan penuh.

Semua terjadi dengan cepat saat dokter Hanan menerjang masuk begitu mendengar laporan dari Nabil yang berlari menuju ruang perawat. Kritisnya kondisi Kinara bahkan tidak di duga oleh siapapun, bahkan mama sendiri yang selalu mengawasi setiap perkembangan kesehatan Kinara.

Segera setelah Kinara di bawa untuk mendapatkan perawatan intensif, semua baru tersadar bahwa ada satu orang yang kurang disini. Dan orang itu adalah Arsha.

Arsha yang sudah pergi setengah jam lamanya membuat Arzhan geram karena ia selalu mengaktifkan mode hening pada ponselnya hingga dirinya tidak tahu notifikasi apa saja yang masuk.

Empat puluh lima menit kemudian, Arsha sudah datang dengan tergesa-gesa. Bulir keringat mengalir dari dahi nya, dan siapapun yang melihat pasti sudah tahu kalau Arsha berlari dengan kencang menuju ke rumah sakit.

“Adek... Kinara kenapa Zhan?” tanya Arsha dengan napas pendek.

Arzhan hanya menatap pintu perawatan intensif yang tertutup rapat. Kemudian Arsha berjalan dengan gontai menuju Nabil yang duduk dengan lemas di kursi rumah sakit. Dalam diamnya, Nabil tahu betul Arsha tengah menangis.

“Gak akan kenapa-napa Sha, lo tau Kinara sekuat apa.” ujarnya menenangkan.

Tapi nyatanya kalimat Nabil tidak terealisasikan dengan sempurna begitu empat jam penungguan mereka berakhir dengan kalimat penuh kecewa dari dokter Hanan.

Sekonyong-konyong nya Arsha menangis dengan keras memeluk Nabil yang sama hancurnya. Raka memegang Arzhan dengan tangannya yang bergetar, memeluk mama yang juga sudah di ambang kesadaran.

Dalam satu waktu mereka berbahagia karena bisa merayakan hari lahir nya, satu waktu mereka juga berduka mengantarkan kepergiannya.

Bachtiar memeluk erat Rila yang juga menangis kencang, karena pada dasarnya hati Rila sudah melunak di hari-hari terakhir. Tapi pada akhirnya Rila sendiri juga sama sama kehilangan kesempatan untuk langsung mengungkapkan nya.


Nabil duduk di samping Arsha yang masih terdiam dengan tatapan kosong di kamar Kinara. Nabil juga banyak menangis sedari kemarin, dirinya tidak mau berpura-pura kuat dengan suatu kehilangan yang pasti.

“Sha, mama nyuruh makan dulu. Ayo makan.” ajak Nabil kemudian. “Udah dia hari Sha, lo nggak makan apapun.” sambungnya lagi. Arsha hanya diam, tidak menghiraukan ucapan Nabil.

Dalam tangan Arsha, Nabil dapat melihat benda berwarna merah yang Arsha genggam dengan kuat. Itu kutek merah kemarin yang sempat Kinara pinta, walaupun pada akhirnya tidak akan pernah bisa Kinara pakai lagi.

Seolah menyatukan puzzle, akhirnya Nabil teringat akan sesuatu.

“Kalau dari yang urut ya kak, bintang biru itu bintang muda. Bintang warna kuning artinya setengah umur, bintang warna merah adalah bintang yang sekarat, katai putih artinya bintang yang sudah kehabisan cahaya nya.”

Mencocokkan dengan segala hal yang selalu Kinara ingatkan, dari ia yang menyukai warna biru hingga kemudian beralih pada warna kuning. Dan berakhir pada merah yang tidak sampai. Nabil tertawa sedih, bahkan hingga kepergiannya Kinara masih meninggalkan cerita yang indah.

Nabil memeluk Arsha dengan erat, pundaknya terasa jauh lebih ringan karena menyadari hal itu.

“Sekarang kita ga perlu khawatir lagi Sha, Kinara pasti sekarang bahagia disana. Karena dia pergi sebagai bintang berkatai putih.”


Arzhan termenung di dalam kamarnya sendiri. Hari-hari nya yang dahulu penuh, sekarang menjadi kosong. Dua hari terakhir sejak kepergian Kinara hanya ia habiskan untuk melamun.

Ingatan Arzhan berputar pada saat dirinya menemani Kinara untuk bermain hujan. Karena Kinara, dia tahu seberapa berartinya hujan dan juga kenangan di dalamnya. Kegelapan yang membawa keindahan di ujungnya, itu yang selalu Kinara tegasnya.

Tapi bukan kegelapan yang Arzhan takuti setelah ini. Tapi fakta bahwa Arzhan tahu, apapun hal indah yang menunggu di ujung hujan itu akan tetap Arzhan benci setelah ini.

Karena Arzhan tahu betul, hal yang paling menyiksa itu bukan tentang perginya, tapi tentang kisah selanjutnya dari orang yang Kinara tinggalkan.

Semua berkumpul di ruang rawat inap milik Kinara. Termasuk Bachtiar dan juga Rila yang ada disini. Kinara bahagia, karena mau bagaimanapun kebersamaan adalah hal ya menyenangkan.

“Kak Bachtiar sama Rila udah makan siang?” tanya Kinara kemudian membuka obrolan.

Bachtiar hanya tersenyum tipis, dan beranjak dari tempatnya duduk menuju ranjang pasien. “It was fully charged before it got here, birdie. Kinara kakinya gimana?” tanya Bachtiar kembali.

Kinara mengangguk, “Ga ada rasanya kak, cuma kebas doang.” jawabnya menenangkan.

Kemudian Kinara mengangkat kedua tangannya ke atas, membuat Bachtiar dan Arzhan yang ada di sampingnya kebingungan.

“Kenapa dek?” tanya Arzhan langsung.

“Kuku gue keliatan kucel ga sih kak?” tanya Kinara polos.

Arsha yang seolah menyadari hal itu, langsung menutup ponselnya dan berjalan mendekati Kinara. “Mau kakak kutekin Ra? Kakak bawa kuteknya loh sekarang.” ujar Arsha kemudian, dan mengambil sebotol kutek berwarna kuning yang memang ia simpan di saku celana.

Kinara tertawa kecil, “Boleh dong. Kutekin dong kak.” pinta Kinara.

Arsha tersenyum dan kemudian mengambil alih kursi Arzhan untuk ia duduki dan mulai mengambil tangan Kinara untuk ia pakaikan kutek.

“Gue pernah cerita ke kak Nabil, soal bintang Vega. Kalian tau nggak kalau gue tuh suka banget sama bintang Vega.” cerita Kinara sembari menunggu Arsha sembari memoles kutek.

“Bintang Vega di rasi Lyra?” tanya Raka langsung, karena ia juga lumayan suka dengan hal-hal yang berbau benda langit.

“Iya kak.”

“Kenapa lo suka bintang Vega, Ra?” tanya Arzhan kemudian.

“Karena selain rasi nya indah, bintang nya terang, ada kisah di baliknya yang juga menarik.”

“Lo ga cerita tentang kisah di balik nya Ra, sama gue.” protes Nabil.

“Ya soalnya waktu itu masih belum waktu yang tepat kak.”

“Terus emang sekarang waktu yang tepat?” tanya Arsha ikut menimpali.

“Iya, sekarang waktu yang tepat. Karena kalian semua kumpul disini.”

“Emang ada alasan kenapa kita semua harus kumpul disini ketika lo ceritain hal itu?” tanya Rila setelah terdiam sedari tadi. Semua mata tertuju pada Rila yang akhirnya berbicara juga.

“Ya iya dong. Gue capek kalau harus ceritain bolak balik. Mending sekalian kaya gini kan?” tanya Kinara balik. Rila hanya mengangguk kecil, dan kembali diam dalam duduknya.

“Jadi ceritanya gimana dek?” tanya Nabil kemudian.


Dikisahkan Vega adalah putri Raja Langit yang pandai menenun bernama Orihime yang jatuh cinta dengan Altair seorang penggembala sapi bernama Hikoboshi. Karena Hikoboshi merupakan penggembala yang rajin, sehingga Tentei sang Raja Langit memperbolehkan Hikoboshi untuk mempersunting putrinya. Selama mengarungi bahtera pernikahan Orihime dan Hikoboshi hidup bahagia, namun mereka menjadi lalai dengan pekerjaannya masing-masing, Orihime tidak lagi rajin menenun dan Hikoboshi tidak lagi rajin menggembala sapi.

Melihat kondisi ini Tentei menjadi murka dan memisahkan keduanya dengan sungai Amanogawa (bentangan galaksi Bimasakti/ Milky Way), dan keduanya menjadi sangat sedih. Raja langit hanya memperbolehkan keduanya bertemu setelah keduanya melaksanakan pekerjaannya masing-masing selama satu tahun. Mereka hanya boleh bertemu pada tanggal 7 di bulan ke-7 di setiap tahunnya, dengan bantuan burung-burung Kasasagi. Namun jika hujan turun pada tanggal tersebut sungai akan meluap dan dua sejoli ini tidak bisa bertemu.


“Ceritanya mirip Nawang Mulan ga sih?” tanya Arsha selesai Kinara bercerita tentang bintang Vega.

Kinara tertawa terpingkal, dalam. Beberapa hal dirinya harus mengakui bahwa analogi Arsha dalam mencocokkan segala sesuatu itu memang luar biasa.

“Iya kak, emang mirip sama Nawang Mulan. Tapi tau nggak apa bedanya Vega dan Altair dengan Nawang Mulan dan Jaka Tarub?” Ujar Kinara kemudian.

“Apa dek?” tanya Arzhan penasaran.

“Kalau Nawang Mulan dan Jaka Tarub mengajarkan sebuah kejujuran dalam setiap hubungan, sedangkan Vega dan Altair mengajarkan sebuah keikhlasan untuk tetap hidup berdampingan.” jelas Kinara kemudian. “Dan yang paling penting, orang yg pergi dengan amarah dia akan kembali kak, sedangkan orang yg pergi dengan senyum dia pasti tidak akan pernah kembali.”

“Nah udah selesai Ra!” sahut Arsha bersemangat, dan memperlihatkan kedua jari-jari tangan Kinara yang sudah ia kutek dengan rapi atas hasil kerja kerasnya.

“Gila keren bener lu bro!” ujar Arzhan tak kalah bersemangat, bangga melihat hasil kutek Arsha di tangan Kinara.

“Kok diem aja Ra? Gasuka?” tanya Nabil kemudian, menyadari kalau Kinara hanya terdiam menatap hasil kutek yang ada di jarinya.

Kinara menggeleng, “Bukannya ga suka sih kak, cuma gue merasa kalau warna kutek kuning udah ga cocok buat gue lagi.” ujar Kinara.

“What color do you want, birdie?”tanya Bachtiar kemudian, menengahi.

“Merah lucu ga sih kak? Gue pengen ganti kutek warna merah ih.” pinta Kinara, sedikit membujuk Arsha, membayar nya dengan senyuman manis.

“Lah terus mau di timpa warna kuning nya nih?” tanya Arsha tak habis pikir.

“Sekalian beli nail polish kak, kalau mau ganti warna.” ujar Rila memberi solusi. “Nail polish buat hapus kutek nya.”

Semua mata tertuju pada Arsha, pada akhirnya Arsha mengalah dan berdiri. “Yaudah iya, gue yang pergi keluar beli kutek. Ini ada yang mau nitip gak?” tanya Arsha kemudian, sebelum pergi. Karena tidak ada jawaban, pada akhirnya Nabil menyuruh Arsha untuk segera pergi karena mama dan papa akan segera datang setelah ini.

Walaupun terlihat tidak menyimak perbincangan seru antara saudaranya yang lain, tetapi dalam diam Arsha mendengarkan tiap bait terakhir kalimat yang Kinara ucapkan. Dan itu membuat Arsha sedikit gamang, karena ia merasa ada maksud tertentu dalam hal itu.

“Dan yang paling penting, orang yg pergi dengan amarah dia akan kembali kak, sedangkan orang yg pergi dengan senyum dia pasti tidak akan pernah kembali.”

Orang kesepian adalah orang paling baik, orang yang bersedih senyumnya paling cerah. Karena mereka tidak mau orang lain merasakan sakit yang sama.

Banyak hal yang Kinara pelajari akhir-akhir ini, dan membuatnya makin menyadari bahwa hidup terus memberikan pelajaran baru pada dirinya.

“Kok ngelamun Ra?” tanya Raka menghampiri kursi roda Kinara yang berada tepat di depan dapur.

Kesibukan tercipta sedari pagi, mama dan tantenya sudah berada di dapur untuk waktu yang lama. Dan tidak dari satu keadaan ia lihat keduanya merasa penat.

“Ga ada kak, gue cuma pengen bantuin tapi kayanya ga akan bisa terealisasikan ya?” jawab Kinara sekaligus bertanya kembali.

Raka tersenyum, dirinya memahami perasaan Kinara. “Kalau mama butuh bantuan, dia juga pasti bakalan bilang kok Ra. Dengan lo liat mama menghandle segitu banyaknya pekerjaan, dan dia ga mengeluh berarti memang mama menikmati hal itu.” nasehat Raka kemudian.

Setelah itu Raka mendorong kursi roda Kinara untuk di bawa ke ruang tamu. Tempat dimana semuanya berkumpul. Arsha dan Arzhan yang sibuk bermain game dengan ponsel mereka. Bachtiar dan Nabil yang berbincang di dengarkan oleh ketiga teman Kinara, Gale, Acel, dan Eja. Dan yang terakhir Rila yang hanya duduk diam di samping Bachtiar tanpa melakukan apapun.

Itu aneh menurut Kinara, karena tidak biasanya Rila hanya berdiam diri seperti itu. Tapi kemudian Kinara tersadar, kalau Rila mungkin masih membutuhkan waktu lebih untuk menenangkan dirinya pasca pertengkaran hebat tempo hari.

Arzhan dan Arsha sudah mengambil cake ulang tahun milik Kinara yang memang sudah di pesan oleh mama beberapa hari yang lalu. Dan juga papa sudah menyiapkan lilin yang akan di gunakan acara akan segera dimulai.

Kinara cukup bahagia akan hal itu, karena jujur saja dirinya jarang merayakan ulang tahun. Bukan dirinya saja sebenarnya, tapi juga saudaranya yang lain. Karena mereka tak merayakan ulang tahun dengan alasan yang semestinya. Mereka hanya berfikir kalau ulang tahun hanya menyambut tahun tahun baru untuk lebih dekat pada kematian.

Tapi kali ini berbeda, karena Kinara sendiri yang meminta maka tidak ada jalan lain selain menurutinya. Kecuali satu hal yang membuat Kinara bersedih hati, bahwa dirinya harus memotong rambut panjangnya bahkan sebelum ulang tahunnya di laksanakan.

Hanya Bachtiar yang mengerti akan hal itu, dan tentunya Bachtiar tidak menceritakannya pada siapapun atas janji yang sudah dirinya ambil dari Kinara. Jadi ketika Bachtiar melihat Kinara keluar kamar dengan potongan rambut pendek, ia hanya bisa tersenyum sedih karena ia tak bisa melakukan apapun.

“Nabil, coba panggil mama sama tante ke depan. Ayo kita mulai acaranya sekarang aja.” ujar papa kemudian.

Nabil menurut, dan beranjak untuk berjalan menuju dapur memanggil mama dan tantenya. Yang lain sudah berkumpul, dan Kinara jauh lebih siap dari siapapun.

Usai nyanyian ulang tahun di kumandangkan, juga Arsha yang siap sedia membantu Kinara untuk memotong kue nya, semua acara berjalan dengan lancar. Senyum tidak pernah luntur dari wajah Kinara sedari tadi, dan itu juga tak luput dari perhatian keempat kakaknya yang lain.

Di saat semua keadaan beralih pada makanan jamuan yang sedari tadi sudah di siapkan oleh mama dan tantenya. Gale beringsut mendekati Kinara yang masih duduk dengan tenang di kursi roda mengawasi semua dari jauh.

“Happy birthday to my special person.” ucap Gale berbisik.

Bachtiar membantu Kinara untuk turun dari mobil ke atas kursi roda yang telah di siapkan oleh Nabil. Dari ruang tengah terdengar keributan yang memancing perhatian Kinara.

“Tapi aku ga maksud kaya gitu pa, aku cuma menyampaikan apa yang kak Arsha bilang ke aku dulu!!” teriak Rila sembari menunjuk Arsha yang tengah duduk di sofa ruang tamu. Dapat Kinara lihat, paman dan tante nya terlihat pusing dengan hal yang terjadi.

Mama menghampiri Arsha dan menanyakan apa yang tengah terjadi diantara mereka semua.

“Ma, asal mama tau Rila udah provokasi aku sama Kinara dengan bilang kalau Kinara itu anak yang enggak kita inginkan di keluarga ini.” jelas Arsha kemudian. “Iya Arsha tau, Arsha salah karena Arsha memang bilang gitu dulu. Tapi bukan berarti Rila bisa ungkit semuanya di depan Kinara, padahal Kinara sendiri ga tau akan hal itu.”

Kinara terkejut, dirinya tidak menyangka kalau pada akhirnya Arsha benar benar akan jujur seperti itu di depan semuanya.

Wajah Rila merah padam, dan ia berjalan menuju Kinara yang masih terdiam mendengarkan perdebatan keduanya. “Selamanya aja lo kak, diem dan ga ngomong buat menyelesaikan semuanya.”

“Apa yang perlu gue omongin La? Emang itu kewajiban gue menilik yang berbuat salah itu lo.”

“Selalu aja gitu, lo selalu sok suci dan menganggap semuanya bakalan bisa di selesaikan kalau lo diam.”

“Gue ga selalu diam, berapa kali gue selalu bicara tentang apa kesalahan gue di lo. Dan berakhir lo selalu ngatain kalo gue itu caper, sok suci, dan yang lainnya. Sekarang gue tanya deh bener-bener sama lo Rila, dimana salah gue dan apa yang perlu gue benahi buat lo?”

Semuanya terdiam, menunggu Rila menjawab pertanyaan dari Kinara. Bachtiar sendiri sudah berpindah ke sisi Rila, berusaha melerai kemungkinan apa saja yang akan terjadi.

“Dulu gue fikir punya kak Bachtiar di hidup gue itu udah cukup, sampai akhirnya gue tau kalau kecukupan gue ternyata bikin Los iri ya kak.” ujar Rila kemudian, setelah menimbang kalimat apa yang harus ia ucapkan. “Setelah lo punya segalanya disini, lo juga rebut kak Bachtiar dari sisi gue. Emang lo masih kurang dengan keempat saudara lo yang lain? Oh iya, mungkin karena mereka ga peduli sama lo ya makanya lo gatel ke kakak gue.”

Kinara mendadak pening, permasalahan antara dirinya dan Rila menjadi lebar kemana-mana. Bachtiar sendiri sudah berusaha menarik Rila untuk pergi keluar, meninggalkan Kinara yang masih termangu dengan ucapan Rila barusan.

Dengan segera Arzhan mengambil alih dan membawa Kinara untuk kembali ke dalam kamarnya. Arzhan menutup pintu kamar Kinara sebelum dirinya juga membantu Kinara untuk naik ke atas ranjang.

“Kak, sebenernya apa sih yang salah dari gue?” tanya Kinara kemudian.

Arzhan mengacak surai nya bingung. Dirinya bingung dengan hal apa saja yang harus ia jelaskan pada Kinara supaya ia tidak berburuk sangka pada dirinya sendiri.

“Ga ada yang salah dengan tingkah lo Ra. Gue berani jamin akan hal itu. Rila juga masih anak kecil, lo tau kan kalau emosi dia juga belum stabil.” ujar Arzhan kemudian. “Jadi apa yang Rila bilang tadi, gausah lo masukin ke dalam hati. Ga ada siapapun yang di rebut dari sini.” sambungnya lagi.

Kinara mengangguk, dirinya mengelus pelan lutut kaki sebelah kanannya.

Mengerti akan hal itu, Arzhan langsung mengambil tempat duduk di samping Kinara. “Kenapa? Ada yang sakit? Sakitnya gimana? Perlu gue panggil mama?” tanyanya bertubi-tubi, khawatir.

Kinara menggeleng, “Ga begitu sakit kok kak, gue gapapa.”

“Ga begitu sakit, artinya tetap sakit Ra. Aduh pasti lo juga kaget karena pulang rumah ga langsung istirahat malah di suguhi drama kaya tadi. Bentar gue tanya ke mama dulu, ada obat buat pereda nyeri nya nggak.” sahut Arzhan kemudian, dan hendak beranjak dari tempat tidur Kinara.

Dengan cepat Kinara mencekal lengan Arzhan, “Ngapain sih kak, gausah. Mama juga pasti lagi pusing karena liat drama barusan. Mending lo diem disini, dan jagain gue aja.” kata Kinara menenangkan.

Pada akhirnya Arzhan menurut, dan ia kembali duduk. Tangannya ikut mengelus kaki sebelah kanan Kinara dengan lembut.

“Kak, menurut lo harapan tuh kaya gimana?” tanya Kinara kemudian.

“Harapan?” tanya Arzhan balik.

“Iya.”

“Gue percaya kalau harapan tuh ibarat satu lebah yang membuat madu tanpa bunga.”

“Robert Green?”

“Haha, iya. Kalau menurut lo gimana Ra?”

“Kalau menurut gue, harapan itu rumit. Mungkin iya, itu bisa buat lo bertahan untuk sementara. Tapi kalau sesuatu yang lo harapkan nggak pernah terwujud, itu cuma bakal menahan lo untuk menikmati hidup kak.” jawab Kinara kemudian, mengeluarkan isi pikirannya.

Seolah mengerti dengan arah pembicaraan Kinara, Arzhan takut dan mulai memeluk Kinara dari samping. Mungkin ini yang di rasakan oleh Raka kala itu, ketika Kinara sudah tidak percaya lagi pada harapan.

“Tapi Ra, masalahnya sulit buat kita untuk tau kan? Apakah kita sudah terlalu lama berharap, atau terlalu cepat menyerah.”

“Panas ga sih kak? Pengen keluar ih.” ujar Kinara di atas ranjang rumah sakit sembari mengipas-ngipasi bagian atas tubuhnya seolah kepanasan.

Nabil menoleh ke arah AC yang masih menyala, dan kemudian menoleh lagi ke arah Kinara untuk memastikan apakah adiknya itu memang tengah kepanasan.

“Mau gue kecilin lagi AC nya?” tanya Nabil kemudian.

Setelah usai rangkaian pengobatan Kinara di lakukan, mama dan papa memutuskan supaya Kinara beristirahat lebih lama dulu di rumah sakit alih-alih pulang ke rumah. Nabil dan Bachtiar juga setuju, meninjau ada Rila di rumah yang mungkin akan membuat fase istirahat Kinara menjadi terganggu.

Setelah selesai perdebatan tentang Kinara yang harus rawat inap atau tidak, pada akhirnya Kinara mengalah dan menurut. Kini hanya tinggal Nabil saja yang menunggunya di dalam kamar inap, karena ketiganya tengah pergi keluar mencari makan malam.

“Enggak akan ngaruh kak, gue kepanasan juga bukan karena AC nya ga dingin.” ujar Kinara lagi.

Nabil mengerti, dirinya tersenyum kecil. Kinara merasa bosan berada di dalam kamar, dan ia ingin pergi berjalan-jalan keluar saat ini.

Kemudian Nabil berjalan menghampiri kursi roda yang memang telah di siapkan di dalam ruangan guna Kinara naiki. “Dah ayo, katanya kepanasan. Mending sekarang jalan-jalan ke atap aja. Gimana mau nggak?” tanya Nabil kemudian.

“Lah ya mau banget dong!!”


Nabil salah mengerti, ia kira liftmembawa mereka hingga ke atap nyatanya tidak. Ternyata lift berhenti di satu lantai sebelum atap, sehingga untuk mencapai atap maka Nabil dan Kinara perlu untuk menaiki tangga.

Masalahnya tidak memungkinkan bagi Kinara untuk naik tangga dengan kondisi kaki nya yang seperti ini. Terbersit rasa bersalah muncul di hati Nabil.

“Ga mungkin nyeret kursi roda ke atap kak, yaudah lah balik aja ke kamar ayo.” ajak Kinara kemudian setelah mengamati keadaan sekitarnya.

“Udah nyampe sini Ra, sayang banget kalo balik lagi.”

“Ya terus mau gimana? Kan ga mungkin kalau kita paksain ke sana. Udah gue gak papa kok kak, kapan kapan juga bisa.”

Nabil menggelengkan kepala nya kukuh, “Gak bisa gini. Ayo naik punggung gue, gue gendong aja ke atap.” Ujar Nabil kemudian, mendapatkan sebuah ide.

Kinara melotot dan memukul lengan Nabil pelan, “Yakali mau gendong gue naik tangga. Lo kira berat gue cuma lima kilo kaya beras?” Protes Kinara.

Nabil terkekeh, “Enggak Ra, lo ga berat sama sekali kok. Ayo buruan naik sini. Atau jangan-jangan lo ga percaya kalau gue bisa?” Sahut Nabil cepat.

Pada akhirnya Kinara menurut, dan kemudian beringsut untuk memposisikan diri senyaman mungkin pada punggung Nabil. Juga Nabil yang meminimalisir gerakannya supaya tidak terkena oleh kaki bagian kanan Kinara yang lumayan sensitif itu.

Selangkah demi selangkah Nabil menaiki tangga sembari memastikan bahwa Kinara berpegangan erat pada pundaknya. Tidak lupa pula Nabil menepuk-nepuk betis kiri Kinara untuk menenangkan seolah berkata semuanya akan baik-baik saja hingga di atas. Sampai pada akhirnya mereka berdua sampai di atap. Kinara bernafas lega, begitu pula Nabil.

“Turunin ih kak, lo pasti capek gendong gue.” Ucap Kinara begitu Nabil terus terusan menggendong dirinya tanpa ada niatan untuk menurunkannya.

“Kotor.”

“Ya namanya atap kak?? Lo berharap apa? Kinclong kaya kamar inap gue?”

“Udah Ra, diem disini aja. Gausah turun segala.”

Pada akhirnya Kinara berakhir diam di atas gendongan Nabil. Dirinya juga tidak ingin membantah Nabil lebih jauh, karena Nabil sendiri yang menginginkan hal itu.

“Gale bilang ke gue, lo suka sama hal-hal berbau benda langit gitu ya?” tanya Nabil kemudian, setelah terdiam begitu lama. “Eja bilang juga, lo pengen jadi Astronom.” lanjutnya lagi.

Kinara mengigit bibir bagian bawahnya, ia malu. “Udah ih kak, gausah di bahas.” jawab Kinara pelan, dan kemudian memeluk leher Nabil dengan erat.

Nabil sedikit terkejut dengan tindakan Kinara yang tiba-tiba tadi, tapi kemudian dia tersenyum kecil. Ia mengerti karena Kinara saat ini tengah malu. “Lihat deh Ra, kok bisa ya bintang yang itu warna merah, terus yang itu warnanya kuning?” tanya Nabil kemudian menunjuk bintang, mengalihkan pembicaraan.

“Oh itu karena setiap warna pada bintang mempresentasikan tentang umur mereka.” kata Kinara menjelaskan dengan semangat.

“Oh ya? Jadi apa aja dong artinya?”

“Kalau dari yang urut ya kak, bintang biru itu bintang muda. Bintang warna kuning artinya setengah umur, bintang warna merah adalah bintang yang sekarat, katai putih artinya bintang yang sudah kehabisan cahaya nya.”

“Penjelasannya singkat, tapi overall gue ngerti maknanya.” Puji Nabil kemudian, “Kayanya lo beneran sesuka itu ya.”

Kinara akhirnya mengerti, kalau Nabil hanya ingin membuat dirinya nyaman dengan apa yang ia sukai tanpa harus merasa malu akan hal itu.

“Tapi terlepas dari warnanya, ada bintang yang paling gue suka.”

“Oh ya, apa tuh?”

“Bintang Vega.”

“Gue kira Sirius, soalnya yang gue tahu itu bintang paling terang.”

“Ya ga salah sih, tapi bintang Vega juga bintang yang paling terang loh kak di jajaran rasi nya.”

“Emang rasi nya bintang Vega apa?”

“Rasi Lyra.”

“Lyra yang mana sih?”

“Yang bentuknya cantik kak, bentuk nya harpa.”

“Sekarang gue tau, kenapa lo suka sama rasi itu. Bentuknya emang indah banget sih dari deskripsi lo.”

Kinara tertawa senang, tanpa aba-aba dirinya mengecup pipi sebelah kanan Nabil membuat Nabil terdiam seketika, sebelum akhirnya ikut tertawa lepas bersama Kinara. Baru kali ini Kinara bisa tertawa bebas tanpa harus memikirkan reaksi apa yang akan Nabil berikan nantinya.

Kinara mendengar suara pintu kamarnya di ketuk dengan brutal sebelum kemudian di buka dengan paksa oleh Arsha. Tanpa aba-aba, Arsha sudah terbang ke Kinara, dan memeluk tubuh Kinara dengan erat.

“Kak??” tanya Kinara bingung dan menepuk punggung Arsha pelan.

Arsha masih enggan melepaskan pelukannya pada Kinara. Dan pada akhirnya Kinara membiarkan hal itu terjadi begitu saja. Sejujurnya Kinara juga menikmati pelukan dari Arsha yang sangat amat ia jarang dapatkan.

“Ra, maafin gue ya. Maafin segala hal yang udah gue perbuat selama ini. Itu bukan salah siapa, dan karena apa. Itu murni tingkah laku gue yang selalu haus akan validasi dari orang-orang di sekitar gue. Dan bodohnya gue baru menyadari itu sekarang, saat gue udah buat lo sehancur hancurnya.” ucap Arsha kemudian, setelah memeluk Kinara cukup lama.

Kinara menyadari sorot mata Arsha yang tulus, juga bekas sembab yang tersisa di sana.

“Banyak hal buruk yang gue lakuin ke lo, dan penyesalan adalah hukuman terbesarnya. Bahkan ketika lo bilang kalau lo udah memaafkan, rasa penyesalan itu ga berkurang dan justru meluap-luap. Sekarang gue ngerti, just because plants are quite doesn't mean you can forget to take care of them.” lanjut Arsha lagi.

Kinara tersenyum, senyum tertulus yang pada akhirnya ikhlas dia berikan pada Arsha. “Nangisin apasih, sampe matanya sembab gini.” goda Kinara kemudian.

Arsha tertawa kecil, “Nangisin kebodohan gue yang udah di luar nalar lagi.”

“Ini kalo cewe lo liat lo nangis kaya gini, pasti dia ngira nya macem macem dah.”

Arsha menggeleng, “Nggak ada cewe Ra, gue ga punya cewe.”

Kinara terkejut, dengan spontan tangan kanannya terangkat dan mencubit pinggang Arsha yang berada di jangkauannya.

“Aduh, anjing!! Apasih cubit-cubit!” teriak Arsha mengaduh.

“Bisa bisanya bilang gapunya pacar, sedangkan lo selalu bawa topik itu ketika disuruh mama buat anter atau jemput gue.” ucap Kinara tidak percaya.

Arsha menggaruk lehernya pelan, “Itu ga salah sih, tapi ga bener juga.” Kemudian Arsha menarik lengan Kinara lagi, dan memeluknya erat seperti semula. “Nanti deh, gue ceritain lengkapnya gimana.” Lanjutnya kemudian.

Nabil mengetuk pintu kamar Kinara yang memang sudah terbuka, dan Arsha sedikit terkejut dengan hal itu.

“Ayo Ra, berangkat.” ajak Nabil dan mengambil kursi roda Kinara yang berada di pojok ruangan. Nabil kemudian menendang bokong Arsha yang masih berjongkok memaksa memeluk Kinara dengan erat. “Lepas anjing, lu liat Kinara sampe bengap gitu mukanya.” ujar Nabil kesal.

“Enggak, apasih kak nendanh bokong gitu. Gue masih mau peluk Kinara lama, ini sesi quality time gue sama dia.” kata Arsha tak kalah galak.

Kinara tertawa kecil dan menepuk pundak Arsha, “Kak, gue ga bakalan pergi untuk selamanya kok. Ini ke rumah sakit bentar, abis itu pulang.” ujarnya menenangkan.

Tapi di luar dugaan, bukannya menenangkan Arsha, justru itu menambah rasa gundah pada hati Nabil yang mendengar ucapan Kinara barusan.

Arsha melepas pelukannya, “Kin, pergi ya pergi. Mau itu selamanya atau enggak, sebentar atau lama, nama nya tetap pergi.” ucapnya tidak terima.

“Iya iya, maaf deh.”

Pada akhirnya Arsha mengalah, dan menuntun Kinara untuk duduk di kursi roda yang telah Nabil sediakan. Nabil tersenyum melihat keduanya, pada akhirnya Kinara dan Arsha sudah berdamai dengan masa lalu mereka.

Atau mungkin keduanya akan menjadi jauh lebih rekat dari sekarang? Nabil sendiri juga menantikan hal itu.

Kinara selalu di panggil oleh Arsha sebagai “The unwanted daughter” dari dulu ketika tahu kalau kedua orang tua mereka cukup dengan empat anak laki-laki dan kemudian Kinara datang.

Tapi tentunya Kinara sendiri tidak menyadari hal itu, karena panggilan tercela itu hanya di ketahui oleh kelimanya bersama dengan Bachtiar yang selalu menasehati Arsha agar tidak berkata menyakiti perasaan adik bungsu nya seperti itu.

Kini keempatnya sudah berkumpul di kamar Raka setelah mereka membaca bubble terakhir Kinara yang mengatakan kalau dia adalah “The unwanted daughter”.

“Sha, lo selalu ngatain Kinara itu anak yang ga di inginkan. Gue gatau ketika lo ngomong kaya gitu, hal apa yang mempengaruhi lo. Tapi gue dulu walaupun begitu, gue sama sekali ga ada keinginan untuk menegur lo sama sekali dan justru kak Bachtiar yang maju.” ujar Raka menatap Arsha yang terdiam mendengarkan setiap bait yang keluar dari mulutnya.

“Walaupun sekarang lo udah ga gitu lagi, dan lo dulu ngomong gitu cuma sebagai bercandaan, tapi ketika gue bahas itu sekarang gue ngerasa sama marah nya dengan kak Bachtiar dulu.” sambung Raka lagi. “Karena gue tau, kalau Kinara tahu soal hal itu dia bakalan ngerasa relate dan mengerti perasaan itu.”

“Setelah Kinara udah mulai sekolah, dan mama papa mulai bekerja lagi, we forgot to give her the attention she wants and needs. Setelah gue liat dia sama Gale, Acel, dan Eja, gue mulai tahu seberapa mandirinya dia. Dan gue ga akan menyalahkan kalau ternyata dia lebih memilih berkumpul sama temen-temen nya di banding sama kita. Yang bahkan dia udah berusaha untuk hal itu, tapi semuanya sia-sia karena kita ga menghargai hal itu.”

“Cause how can a sixteen year old deal with a family like us when she didn't wish to be born.”