JC Halcyon

Kinara selalu di panggil oleh Arsha sebagai “The unwanted daughter” dari dulu ketika tahu kalau kedua orang tua mereka cukup dengan empat anak laki-laki dan kemudian Kinara datang.

Tapi tentunya Kinara sendiri tidak menyadari hal itu, karena panggilan tercela itu hanya di ketahui oleh kelimanya bersama dengan Bachtiar yang selalu menasehati Arsha agar tidak berkata menyakiti perasaan adik bungsu nya seperti itu.

Kini keempatnya sudah berkumpul di kamar Raka setelah mereka membaca bubble terakhir Raka yang menyatakan kekecewaan dirinya terhadap Kinara tempo hari.

“Sha, lo selalu ngatain Kinara itu anak yang ga di inginkan. Gue gatau ketika lo ngomong kaya gitu, hal apa yang mempengaruhi lo. Tapi gue dulu walaupun begitu, gue sama sekali ga ada keinginan untuk menegur lo sama sekali dan justru kak Bachtiar yang maju.” ujar Raka menatap Arsha yang terdiam mendengarkan setiap bait yang keluar dari mulutnya.

“Walaupun sekarang lo udah ga gitu lagi, dan lo dulu ngomong gitu cuma sebagai bercandaan, tapi ketika gue bahas itu sekarang gue ngerasa sama marah nya dengan kak Bachtiar dulu.” sambung Raka lagi. “Karena gue tau, kalau Kinara tahu soal hal itu dia bakalan ngerasa relate dan mengerti perasaan itu.”

“Setelah Kinara udah mulai sekolah, dan mama papa mulai bekerja lagi, we forgot to give her the attention she wants and needs. Setelah gue liat dia sama Gale, Acel, dan Eja, gue mulai tahu seberapa mandirinya dia. Dan gue ga akan menyalahkan kalau ternyata dia lebih memilih berkumpul sama temen-temen nya di banding sama kita. Yang bahkan dia udah berusaha untuk hal itu, tapi semuanya sia-sia karena kita ga menghargai hal itu.”

“Cause how can a sixteen year old deal with a family like us when she didn't wish to be born.”

#The Unwanted Daughter

Kinara selalu di panggil oleh Arsha sebagai “The unwanted daughter” dari dulu ketika tahu kalau kedua orang tua mereka cukup dengan empat anak laki-laki dan kemudian Kinara datang.

Tapi tentunya Kinara sendiri tidak menyadari hal itu, karena panggilan tercela itu hanya di ketahui oleh kelimanya bersama dengan Bachtiar yang selalu menasehati Arsha agar tidak berkata menyakiti perasaan adik bungsu nya seperti itu.

Kini keempatnya sudah berkumpul di kamar Raka setelah mereka membaca bubble terakhir Raka yang menyatakan kekecewaan dirinya terhadap Kinara tempo hari.

“Sha, lo selalu ngatain Kinara itu anak yang ga di inginkan. Gue gatau ketika lo ngomong kaya gitu, hal apa yang mempengaruhi lo. Tapi gue dulu walaupun begitu, gue sama sekali ga ada keinginan untuk menegur lo sama sekali dan justru kak Bachtiar yang maju.” ujar Raka menatap Arsha yang terdiam mendengarkan setiap bait yang keluar dari mulutnya.

“Walaupun sekarang lo udah ga gitu lagi, dan lo dulu ngomong gitu cuma sebagai bercandaan, tapi ketika gue bahas itu sekarang gue ngerasa sama marah nya dengan kak Bachtiar dulu.” sambung Raka lagi. “Karena gue tau, kalau Kinara tahu soal hal itu dia bakalan ngerasa relate dan mengerti perasaan itu.”

“Setelah Kinara udah mulai sekolah, dan mama papa mulai bekerja lagi, we forgot to give her the attention she wants and needs. Setelah gue liat dia sama Gale, Acel, dan Eja, gue mulai tahu seberapa mandirinya dia. Dan gue ga akan menyalahkan kalau ternyata dia lebih memilih berkumpul sama temen-temen nya di banding sama kita. Yang bahkan dia udah berusaha untuk hal itu, tapi semuanya sia-sia karena kita ga menghargai hal itu.”

“Cause how can a sixteen year old deal with a family like us when she didn't wish to be born.”

Arzhan mengikuti Raka yang tengah mendorong kursi roda Kinara. Hari ini Raka memenuhi janji nya yang akan mengajak Kinara ke perpustakaan universitas setelah ujian semester selesai di laksanakan.

“Gue mau ikut, seriusan deh kak.” rengek Arzhan sedari tadi, masih belum selesai.

Kinara menahan tawa nya, karena dia tahu Raka tidak mengizinkan siapapun untuk ikut serta dalam agenda mereka.

“Enggak! Lo tuh gampang bosen, gue gamau denger rengekan lo lagi kalau gue udah di perpustakaan nanti.” jawab Raka cepat.

Arzhan menekuk wajah nya, dia merajuk.

Kinara berdiri dengan perlahan untuk berpindah duduk ke dalam mobil, di bantu oleh Arzhan. Sedangkan Raka dengan sigap melipat kursi roda Kinara untuk di masukkan dalam bagasi mobil.

“Gapapa kak, daripada lo bosen nanti di sana, mending lo pergi terus main sendiri di tempat yang lo suka.” hibur Kinara kemudian.

Arzhan melengos tidak percaya, bahkan Kinara juga menolak nya.

“Ya kan itu elo.” ucap Arzhan padat.

Kinara mengerutkan dahi nya bingung, “Gue apaan?”

“Tempat yang gue suka.”


Sesampainya di perpustakaan, Raka langsung mengajak Kinara untuk masuk melakukan pemeriksaan member. Ada tiga lantai untuk perpustakaan, dan untungnya lift di sediakan untuk hal itu.

Kalau boleh jujur, sebenarnya dari tadi Kinara tuh sedikit minder karena ga sedikit orang yang ngeliatin dia naik kursi roda dan di dorong oleh Raka. Dia beneran merasa ga nyaman akan hal itu.

Kalau di suruh jalan pun sebenernya Kinara bisa, bisa banget malah. Tapi Raka nggak mengizinkan hal itu, takut Kinara terlalu lelah karena harus berjalan lama.

“Gue mau periksa katalog, lo mau baca apa?” tanya Raka begitu sampai di lantai ke dua.

“Gue bisa kok kak cari bacaan sendiri. Dah lo periksa katalog dulu sana, biar gue juga jalan jalan sendiri.” jawab Kinara cepat, mengusir Raka.

Raka tertawa kecil. “Di usir nih gue ceritanya?”

Sepeninggalnya Raka, Kinara menjalankan kursi roda nya dengan perlahan. Kinara tadi udah di peringati oleh Raka buat ga berdiri atau bangun dari kursi roda, atau Raka bakalan marah.

Karena ga ada pilihan lain, akhirnya Kinara cuma bisa menuruti kemauan Raka. Beruntungnya di lantai dua ini ga banyak orang yang ada, sehingga membuat Kinara bisa bergerak lebih leluasa.

Kinara mengambil satu buku yang berada di rak bawah. Dirinya membaca judul buku itu dengan seksama.

MAP OF THE SOUL : PERSONA our many faces

Buku itu berisi tentang catatan lirik album BTS Map of the Soul : Persona yang di refleksikan oleh Dr. Murray Stein.

Diam diam Kinara tersenyum, Acel pasti akan senang sekali membaca buku ini karena Acel adalah fans dari BTS.

“Baca apa Ra?” tanya Raka dari depan, melihat Kinara tidak menyadari kedatangannya.

Kinara menunjukkan sampul buku yang ia pegang pada Raka. Raka sendiri sudah kembali dengan membawa beberapa buku di tangan kanan dan kiri nya. Kinara tidak heran lagi karena Raka memang gemar membaca sama seperti dirinya.

“Kok duduk di bawah kak?” tanya Kinara bingung, karena Raka mengambil tempat duduk di lantai menghadap ke arah nya. “Ayo ih ke tempat baca sana aja, duduk di kursi.” sambung Kinara lagi.

Raka menggeleng, “Disini jauh lebih damai tau Ra. Kalau di tempat baca sana, bau buku nya udah ga kerasa.” jawab Raka kemudian.

Posisi mereka yang saat ini berada di tengah lorong rak buku. Beruntung nya tidak banyak orang yang berada di perpustakaan sehingga tak ada orang yang terganggu karena Raka duduk di lantai.

“Kadang suka lucu ya Ra, ngeliat hidup kita tiba-tiba bisa berbalik 180° kaya gini. Padahal di depan biasa aja, tapi begitu setengah jalan ada aja hal yang datang dan pergi dan buat kita bingung.” ucap Raka kemudian membuka percakapan.

“Kalau gue ga sakit, kira-kira berapa persen kemungkinan lo buat ajak gue ke perpustakaan ini?” kata Kinara balik bertanya.

“Maksudnya?” Raka tidak mengerti.

“Semuanya juga udah tau kak, lo ajak gue kesini tuh semata-mata buat ngehibur gue karena gue sakit.” Ujar Kinara. “Makanya gue nanya, kalau gua ga sakit apa masih mungkin lo bakalan ajak gue seneng seneng kaya gini? Kenapa gue jadi merasa punya privilege ya karena sakit.” sambung nya lagi.

Raka terdiam, ucapan Kinara barusan memenuhi otak nya. Apa benar yang ia lakukan sekarang semata-mata hanya untuk menghibur Kinara karena ia sakit?

“Lo tadi bilang kan, lucu karena hidup kita bisa tiba-tiba berubah 180° kaya gini. Karena hidup manusia itu sama seperti buku kak. Selalu ada cerita suka di satu halaman. Tapi juga ada kisah duka di halaman yang lain.”

Raka berusaha semampu nya untuk menolak ucapan Kinara barusan. Logika nya tidak bisa ia pakai untuk menerima hal itu. Raka tahu betul, kemana arah pembicaraan mereka akan berlangsung sehabis ini.

“Kenapa harus ada suka dan duka, di saat kita bisa memilih untuk mengisi setiap lembar nya dengan suka cita Ra.” ujar Raka kemudian. “Jangan bicarakan soal duka sama gue, gue ga suka.”

Kinara menghela nafas nya pelan, dirinya tidak punya pilihan untuk hal ini.

“Kak if I die, how long will it take you to recover?”

Pada akhirnya Kinara menanyakan hal yang selama ini selalu Raka hindari dalam setiap kesempatan. Dirinya tidak siap untuk di hadapi dengan pertanyaan seperti itu.

“Ngomong apasih? Gausah bawa bawa kematian lah, gue ga suka.” jawab Raka padat. “Lo tuh masih punya banyak kesempatan Ra. Dengan lo nanyain hal itu, sama kaya lo meragukan kesempatan yang ada.” Sambung nya lagi sedikit keras.

“Semua orang pada akhirnya akan mati juga, dan itu ga akan bisa terelakkan kak.” ujar Kinara setelah menyusun kalimat dengan hati-hati. “Lo juga setuju kan, kalau hidup itu bagaikan sebuah buku. Dan karena hal itu, artinya lo juga tau kalau setiap orang suatu saat pasti juga akan tiba pada halaman terakhirnya.”

Arzhan hanya dapat menyaksikan saudara kembarnya memoles kuku adik bungsu nya dengan hati-hati. Baru kali ini Arzhan mengetahui bahwa saudara kembarnya itu memiliki keahlian seperti itu.

“Masih kurang rapi nggak Ra?” tanya Arsha kemudian, setelah memoles jari terakhir.

Kinara tersenyum kecil, dirinya menghargai apa yang Arsha usahakan walaupun hasil nya belum maksimal.

“Malah senyum, jelek ya??” tanya Arsha lagi.

Kinara menggeleng, “Ini udah bagus banget kak di percobaan pertama. Makasih kak Arsha, makasih kak Arzhan udah beliin juga.” ucap Kinara tulus.

Arsha mendadak salah tingkah setelah mendengar ucapan Terima kasih dari Kinara.

“Tolong ambilin sketchbook gue dong kak di meja samping lo.” pinta Kinara kepada Arzhan.

Segera setelah Arzhan menyerahkan sketchbook nya, dengan hati-hati Kinara membalik halaman sketchbook itu.

“Gue balik dulu ya.” Pamit Arsha. “Kalau nanti ada dokter check up kondisi udah oke, lo kabarin mama aja. Berarti besok Kinara pulang.” Sambungnya kemudian.

“Eh kak Arsha, tunggu dulu.” cegah Kinara. Dengan segera Kinara langsung memberikan sketchbook yang Arsha kenali adalah gambar dirinya. “Sobek dong kak, ini bayaran karena udah kutekin kuku gue.” ucap Kinara lagi.

Arsha terdiam membeku, ia tidak tahu harus merespon seperti apa.

“Kenapa? Jelek ya kak?” tanya Kinara begitu menyadari Arsha sudah terdiam begitu lama.

Arsha meletakkan sketchbook Kinara keatas meja nakas yang berada di samping ranjang, dan langsung memeluk Kinara yang terasa lebih kurus dari sebelumnya.

“Nggak ada hal jelek yang lo buat, Ra. Gue tuh udah bilang, lo disini istirahat aja, jangan ngapa ngapain. Ternyata lo bosen juga pada akhirnya. Makasih ya Ra, makasih udah jadi adik gue.”


“Kok cuma Arsha doang yang di gambarin?? Kan gue juga udah beliin kutek, masa ga di gambarin sih?” gerutu Arzhan sembari mendorong kursi roda Kinara.

Kok di kursi roda? Jadi ceritanya gini, tadi setelah Arsha pulang Arzhan berinisiatif untuk bawa Kinara keliling rumah sakit menggunakan kursi roda. Arzhan tahu betul, dia yang sehat dan bisa jalan kesana kemari aja bosen di rumah sakit, apalagi Kinara yang sakit dan cuma bisa duduk atau rebahan doang di kamar inap?

“Hahaha, nanti deh gue gambarin ya kak. Tapi gambaran gue ga sebagus itu, yakin gapapa?” tanya Kinara balik.

Arzhan menghentikan dorongan kursi roda nya tepat di depan taman rumah sakit. “Lo udah denger yang di bilang Arsha kan? Dan gue juga sependapat sama dia, ga ada hal jelek yang lo buat Ra. Apapun yang lo kasih ke kita, itu semua berharga se unik apapun bentuk nya.”

Kinara tersenyum lebar, dirinya sesenang itu hari ini. Kesenangannya makin bertambah begitu menyadari bahwa hujan mulai turun menemani sesi jalan jalan nya kali ini.

“Wah, gue kira udah kemarau. Ternyata masih hujan ya??” tanya Kinara antusias.

“Tau sendiri Ra, musim di Indonesia tuh ga menentu.”

Kinara menatap jauh air hujan yang turun dari atas. Sedekat apapun hubungan mereka, tentu saja Arzhan yang paling tahu sesuka apa Kinara pada hujan.

“Bukan tentang menunggu pelangi setelah hujan, tapi menari di tengah deras nya hujan kak.”

Seklebat ingatan Arzhan berputar ketika Kinara mengucapkan rentetan kalimat itu. Arzhan melirik Kinara yang hanya mampu menatap sendu hujan di depannya.

“Lo tunggu sini ya Ra. Gue ke kamar bentar.” ujar Arzhan kemudian, menarik rem pada kursi roda untuk menghindari Kinara tidak pergi kemanapun.

“Eh ngapain kak??” tanya Kinara bingung begitu Arzhan tergesa-gesa berlari menjauh.

Tiada berapa lama kemudian, Arzhan sudah kembali dengan membawa jaket tebal milik Kinara lengkap dengan payung warna kuning kesayangan Kinara yang memang selalu ada di dalam mobil Arzhan.

Dengan perlahan Arzhan memakaikan jaket Kinara, memastikan bahwa adiknya cukup hangat untuk ia bawa bersenang-senang di bawah guyuran hujan.

“Kak? Lo ga bermaksud buat hujan hujanan kan habis ini?” tanya Kinara cepat, begitu Arzhan menarik rem pada kursi roda dan mendorong kursi roda untuk turun dari paviliun rumah sakit.

“Kenapa? Ga suka nih??”

“Suka sih, tapi kan payungnya cuma satu emang cukup?”

“Cukup lah kalau buat lo doang kaya gini.” ujar Arzhan kemudian memayungi seluruh tubuh Kinara dan membiarkan tubuhnya sendiri terguyur hujan.

“Kak?? Kok jadi lo yang hujan hujanan??” tanya Kinara terkejut.

“Lo pernah bilang kan, suka lo akan hujan itu bukan menunggu pelangi yang datang, tapi menari ditengah hujan. Lo sekarang gabisa nari di tengah hujan karena keadaan yang ga memungkinkan, jadi biar gue aja yang menari di tengah hujan.” ujar Arzhan kemudian, dan menyerahkan seluruh payung kepada Kinara.

Arzhan berlari ke tengah hujan dan menari dengan acak, membuat Kinara tertawa terpingkal.

Kinara selalu menegaskan pada diri nya sendiri, kalau ia iri dengan gelembung, balon, pesawat kertas, dan bunga dandelion.

Kenapa?

Karena mereka bisa terbang dengan bebas, sedangkan Kinara punya beberapa aturan yang tidak bisa ia lompati untuk mencapai hal itu. Tapi melihat Arzhan yang bahkan rela mengorbankan dirinya sendiri untuk terbang dengan bebas, kehangatan dalam hati Kinara kembali secara perlahan.

Yang mencintaimu akan melakukan apapun untuk menjaga mu, dan yang mengerti dirimu akan melakukan semua yang dia bisa agar bisa membahagiakanmu.

Mama dan Papa sudah datang dengan membawa berbagai pesanan dari anak anaknya. Coba tebak siapa yang paling bahagia. Tentu saja Arsha.

“Akhirnya dateng juga GO-JEK kita.” ucapnya berkelakar.

Kinara tertawa kecil dan melihat yang lain berpindah ke kursi dan meja yang tentunya di sediakan di sana.

“Ini emang boleh makan di dalam sini Ma?” tanya Nabil bingung.

Memang sih kamar inap Kinara bukan ruang perawatan intensif, tapi tetap saja itu tidak terasa benar bagi Nabil.

“Makan aja gapapa Bil, masa mau makan di lorong rumah sakit kamu? Lagian ini kamar pribadi, bukan tempat perawatan intensif.” jelas mamanya.

Nabil mengangguk dan membuka hamburger nya dengan senang hati.

Arsha yang memesan bakso juga tak kalah semangat. Beruntungnya mama juga membawa mangkok untuk di pakai oleh Arsha dan Arzhan yang tengah memakan soto.

“Kinara udah makan sayang?” tanya papa menghampiri Kinara yang terduduk di kasur rumah sakit.

Kinara mengangguk. “Papa sendiri udah makan?” tanya nya kembali.

“Gausah pikirin papa sama mama, yang penting Kinara dulu.” ujar papa kemudian.

“Kinara susah banget tau pa makan nya tadi.” Kata Arzhan mengadu. “Akhirnya di suap sama kak Nabil. Tapi tetep aja habis nya dikit, sampai akhirnya piringnya di ambil.” lanjutnya lagi.

“Kenapa ga di habisin Kin? Ga enak ya? Besok mama bawa masakan dari rumah ya, masakan bi Anjar.” kata mama menenangkan.

Bau makanan menjadi satu ruangan, dan jauh dari perkiraan Kinara ternyata itu sangat amat mengganggunya. Perut Kinara merasa teraduk begitu hidungnya membau wangi bakso dari Arsha bercampur wangi soto yang tengah Arzhan makan.

Kinara mencoba menahannya hingga air keluar dari bola matanya. Raka yang sudah selesai memakan hamburger nya sedari tadi berjalan menghampiri Kinara dengan tergesa.

“Kenapa Kin? Ada yang sakit?” tanya nya panik melihat wajah Kinara yang kini tambah pucat.

Seluruh atensi kini menatap Kinara ikut kebingungan. Tanpa di duga Kinara menarik lengan Raka untuk bersembunyi di balik sana.

Benar saja, pada akhirnya Kinara menyerah dan memuntahkan seluruh isi perutnya pada jaket bagian belakang Raka.

“Gue mual kak bau bakso sama soto. Maafin gue udah bikin kalian jijik, maafin gue...” ucap Kinara setelah seluruh isi perutnya keluar. Kinara lanjut menangis karena merasakan hal yang sangat amat tidak nyaman terjadi pada tubuhnya.

“Arzhan sama Arsha ayo ikut papa di depan. Makan nya lanjut di depan aja ya, papa temenin.” ucap Papa berusaha menstabilkan kondisi yang kini tengah kacau.

Mama mengelus punggung Kinara dengan lembut, tanpa ia sadari air matanya juga ikut keluar melihat penderitaan dari putrinya.

Nabil mengambil beberapa tisu yang memang sengaja mamanya belikan. Dengan telaten dirinya menyeka bekas muntahan Kinara yang memang terjatuh ke lantai.

Bau asam dari perut Kinara, kini memenuhi satu ruangan. Kinara masih memeluk erat lengan Raka, dan menangis tersedu karena perutnya masih merasa tidak enak.

Diam diam Raka juga menangis, serta mengelus lengan Kinara yang masih memeluknya dengan lembut. Beribu kata penyesalan memenuhi benak nya tentang apa yang sudah ia lakukan di masa lalu hingga adiknya harus menanggung beban seberat ini.


Arsha dan Arzhan yang kini sudah terduduk di bangku depan kamar kembali diam. Mereka berdua masih bisa mendengar suara tangisan Kinara di dalam sana.

Mendadak keduanya menyesal kenapa harus memesan makanan yang memiliki bau kuat seperti bakso dan soto. Mereka menyesal kenapa tidak menahan rasa laparnya saja daripada harus membuat adik perempuan nya tersiksa karena mereka makan.

“Ayo Arzhan, Arsha, makannya di habisin.” ujar papa yang ternyata benar menemani keduanya untuk makan. “Atau kalian udah hilang selera ya karena adik nya muntah tadi? Yaudah sini papa buang aja. Kalian langsung cuci tangan sama muka ya, biar ga kebau lagi sama adiknya.” lanjut papa begitu tidak mendapat jawaban dari keduanya.

Sebelum papa sempat mengambil sisa makanannya, dengan segera keduanya menghabiskan makanan yang tersisa. Papa yang melihat hal itu hanya bisa tersenyum sendu. Hal seperti ini mungkin adalah hal yang baru bagi anak anaknya, jadi ia bisa mengerti hal itu.

Arzhan menghapus air matanya yang menetes ketika ia dengan paksa menelan makanan ke dalam mulut nya. Tangisan Kinara sudah tidak terdengar lagi, mungkin Kinara sudah jauh lebih tenang sekarang.

“Mulai sekarang kita kalau makan di luar aja ya pa. Kasian Kinara kalau harus muntah tiap liat kita makan.” ujar Arsha sebelum menyuapkan suapan terakhir.

Papa mengangguk dan tersenyum lega. Lega karena anaknya sudah mulai menyesuaikan kondisi yang telah terjadi walaupun dengan terpaksa.

“Maafin adiknya ya kak. Hal seperti itu bukan sesuatu yang bisa adik mu kontrol.” ujar papa kemudian menasehati.

“Ga apa kok pa. Kita bisa ngerti. Karena mau bagaimanapun kita juga tahu, kalau Kinara yang paling menderita disini.”

Arzhan mengambil tempat duduk tepat di samping kanan Raka. Arsha dan Nabil yang baru datang langsung mengikuti dalam diam dan duduk di area paling sudut.

“Sekarang mama tanya kak, kenapa kamu biarin hujan hujanan adik nya? Udah tau kalau adik nya lagi sakit.” ujar mama kemudian.

“Kinara ngomong gitu ma?” tanya Raka balik, berusaha melindungi Arzhan yang memang tidak bersalah.

Mama menggeleng, “Kinara justru bilang kalau itu emang mau dia. Arzhan sama sekali nggak tahu menahu kalau Kinara hujan hujanan. Tapi tetep aja Raka, kenapa Arzhan nggak tanggap dan segera suruh Kinara buat berteduh si?”

Nabil melirik Arzhan yang hanya menundukkan kepala nya. Arzhan enggan menatap mama nya yang berbicara, atau menoleh pada Raka yang membela nya. Nabil tahu betul, Arzhan melakukan hal itu untuk meredam amarah nya yang sewaktu-waktu bisa meledak.

“Ma emang harus banget ya marahin Arzhan sekarang? Kan yang terpenting Kinara dulu.” ucap Arsha ikut menengahi.

“Ya dua duanya penting. Kinara sembuh penting, kalian peka terhadap Kinara juga penting.” Sahut mama cepat. “Asal kalian tahu, Kinara pernah menghalangi mama buat terus terusan menyuruh kalian buat bantu Kinara. Kenapa kira-kira Kinara kaya gitu? Ya karena kalian selalu melabeli Kinara dengan kata beban dan itu yang membuat dia minder buat minta tolong. Mama kira, oh ga mungkin lah mereka kaya gitu. Karena mereka saudara, dan saudara itu terikat dengan darah. Tapi nyata nya bi Anjar sendiri juga bilang, kalau kalian sering melempar Kinara untuk berangkat dengan siapa, dan pulang dengan siapa. Jadi sebenarnya, Kinara itu adik kalian atau bukan?” Sambung mama lagi panjang lebar. Mengeluarkan semua beban yang ada di hatinya.

Nabil menghela nafas pelan, dirinya sudah lelah dengan pembahasan yang selalu tidak memiliki ujung seperti ini. “Ma, sekarang mama mau dengerin alasan dari kita nggak?” ujar Nabil kemudian.

Raka menggelengkan kepala dari samping, “Nabil, gausah bikin masalah baru.” menghentikan upaya Nabil untuk berbicara.

“Alasan apa? Mama mau dengar.” potong mama cepat, tidak menghiraukan ucapan Raka.

“Mama mau tau nggak kenapa Arsha selalu berbohong kalau dia jemput Kinara padahal kenyataannya pulang bareng Arzhan?” tanya Nabil kemudian.

Mama menggeleng.

“Karena mama selalu bersikap berlebihan saat Arsha salah. Maka dari itu Arsha ga pernah mau jujur kalau dia memang tidak bisa menjemput Kinara untuk alasan tertentu. Arsha memilih berbohong karena dia tau, kalau dia jujur mama bakalan bersikap berlebihan.” tutur Nabil menjelaskan.

Arsha memejamkan matanya, apa yang di ucapan Nabil cukup mewakili perasaannya saat ini.

“Dan kenapa Arzhan selalu menyimpan rahasia? Itu juga sama kaya Arsha ma. Karena mama selalu membesar-besarkan setiap permasalahan. Kaya hari ini, Kinara main hujan karena keputusan dia sendiri. Bahkan Arzhan datang di saat kondisi Kinara udah basah kuyup. Tapi dia memilih buat merahasiakan kalau hari ini Kinara hujan hujanan karena dia takut. Takut kalau mama akan membesar besarkan masalahnya. Nah kan ternyata bener, ini aja mama udah besar besarin masalah nya.”

Air mata Arzhan menetes mendengar penuturan dari Nabil.

“Dan juga aku ma. Mama tau kenapa aku selalu iri? Bahkan buat antar jemput Kinara aja aku selalu iri. Karena ketika aku antar jemput Kinara, mama bakalan selalu membanding bandingkan perlakuan aku ke Kinara, dengan yang lain.” kata Nabil lagi masih belum selesai.

“Kak Raka juga. Mama bingung kan kenapa kak Raka selalu marah dan tempramen? Karena mama selalu mengandalkan kak Raka, tapi mama ga pernah kasih pujian atau apresiasi yang sepadan sebagai balasannya.” Ujar Nabil kemudian. “Semua hal itu yang bikin kita jadi memandang miring Kinara, dan melabeli dia dengan kata beban persis dengan yang mama pikirkan. Karena hal itu juga, Kinara jadi anak yang pengecut. Dia selalu mengalah ke orang lain, dan ga pernah berkeinginan melawan bahkan sekali pun. Karena mama selalu terburu-buru membantu dia di saat ada masalah.”

Kinara berjalan dengan tertatih menuju tempat duduk yang tersedia di taman rumah sakit.

Iya, Kinara jalan tanpa arah sampai akhirnya kaki nya menuntun ke taman yang ada di rumah sakit.

Kaki nya nyeri luar biasa karena ia paksa berjalan sedari tadi. Nyeri seusai pergi dengan Nabil tadi masih belum sembuh, dan kemudian di tambah dengan keras kepalanya yang memaksa berjalan sejauh itu dari bangsal ke taman rumah sakit.

“Apaan sih anjing.” keluhnya dengan pelan. “Dulu aja gue pake lari sejauh apapun ga pernah senyeri ini. Sekarang gue pake jalan bentar udah kaya mau copot aja tulang nya.” sambungnya lagi dengan getir.

Kinara mengadahkan pandangannya ke atas, melihat deretan awan yang berjalan tertiup angin. Kini di atasnya tergantikan dengan awan mendung yang sudah siap mengeluarkan air hujan.

Benar saja, tak berapa lama gerimis sudah mulai turun dan membasahi Kinara sedikit demi sedikit. Kinara masih tak bergeming dari tempat nya duduk, dan membiarkan hujan menerpa nya.

“Diantara banyaknya hal yang harus gue lewati, kenapa ga ada satupun jalan yang mudah untuk bahagia?” tanya Kinara bermonolog. “Banyak hal yang udah gue korbankan untuk hidup, tapi kok rasanya hidup yang gue jalani ga seimbang antara sedih dan bahagia nya ya? Apa sebenernya gue itu emang di kutuk buat ga dapatin kebahagiaan satu pun?”

Di bawah hujan, akhirnya Kinara bisa melepaskan air mata yang sudah ia tahan sedari tadi. Dirinya menangisi banyak hal dalam hidup nya yang silih berganti dengan cepat.


Kinara menghiraukan ponselnya yang sedari tadi berkedip, menandakan notifikasi tengah masuk. Dirinya masih menikmati hujan yang makin deras menerjang dirinya.

Tidak ada yang dia risaukan saat ini. Ia tidak merisaukan ponselnya yang mungkin akan rusak terkena hujan. Atau merisaukan dirinya yang terkena hujan dan memungkinkan akan lebih sakit setelah ini.

“Anjir ya lo! Nyuruh jemput tuh harusnya nunggu di dalem, di tempat yang teduh. Bukannya hujan hujanan kaya gini.” omel Arzhan mengagetkan Kinara yang tadinya masih tenang menikmati hujan.

“Loh, kakak kok udah dateng aja?” tanya Kinara gemetar karena dingin. Dinginnya makin terasa karena Arzhan memayungi dirinya, dan ia tidak terkena air hujan lagi.

“Lo udah berapa lama disini anjing??” Marah Arzhan masih belum selesai. “Astaga Kinara, bibir lo sampe biru kaya gini.” sambungnya menyeka bibir Kinara yang memang membiru dan pucat.

Akhirnya Arzhan berjongkok, memberikan gesture pada Kinara agar menaiki punggungnya.

“Gue bisa jalan kok kak ke mobil. Lagian nanti baju lo basah.” cicit Kinara menolak punggung Arzhan untuk ia naiki.

“Naik.” ujar Arzhan tegas.

Akhirnya dengan takut takut, Kinara menaiki punggung Arzhan. Tidak lupa tangan kanan nya mengambil alih payung berwarna kuning kesayangan, untuk ia bawa memayungi mereka berdua.

Arzhan hanya diam sepanjang berjalanan ke parkiran mobil. Banyak hal yang ia ingin tanyakan pada Kinara. Kenapa Kinara meminta untuk di jemput, kenapa juga dirinya hujan hujanan seperti ini. Dan masih banyak yang lainnya.

Tapi Arzhan hanya bisa menguburnya dalam diam karena ia tahu, saat ini ia tengah kesal dengan Kinara karena hujan hujanan. Jadi ia meminimalisir ucapan menyakitkan yang mungkin akan keluar dengan berdiam diri.

“Masuk ke mobil, ganti baju lo pake baju olahraga gue.” ujar Arzhan sesampainya di mobil. “Gue tunggu di luar.” sambungnya lagi.

Kinara tanpa banyak bertanya dirinya menuruti apa kata Arzhan. Segera setelah tubuhnya yang basah memasuki mobil, dengan berhati-hati ia berganti pakaiannya yang basah.

Kinara tidak khawatir akan ada yang melihatnya, karena ia tahu betul kaca mobil Arzhan di desain dengan gelap hingga tidak ada yang bisa melihatnya dari luar.

Setelah itu, Kinara mengetukkan tangannya dia kali di jendela mobil tempat Arzhan masih menunggu nya tadi. Mengerti, segera Arzhan berlari untuk masuk ke kursi kemudi.

Arzhan menoleh ke belakang melihat Kinara yang tentu nya masih kedinginan. Apalagi kaos olahraga nya yang pendek makin membuat kulit Kinara bagian atas yang kedinginan terekspos dan tidak terselimuti benar dengan kain.

“Pake jaket gue deh ini. Lagian kenapa banyak banget tingkah lo segala hujan hujanan.” omel Arzhan yang sedari tadi di tahan akhirnya keluar juga.

Arzhan bimbang hendak menghidupkan atau mematikan AC mobil. Kalau ia menghidupkan, maka Kinara akan makin kedinginan. Sedangkan kalau ia mematikan AC nya, maka seluruh permukaan kaca mobil akan berembun dan itu mengganggunya untuk menyetir.

“Nyalain AC nya aja gapapa kak. Dingin nya masih bisa gue tahan kok.” kata Kinara mengerti kebimbangan Arzhan.

“Kalo ga kuat bilang ya, biar gue matiin nanti.” ucap Arzhan akhirnya.

Dari spion tengah, Arzhan terus terusan mengamati Kinara yang masih menggosok tangannya yang kedinginan. Ia sudah berusaha secepat mungkin mengendarai mobilnya agar segera sampai ke rumah.

“Santai aja kali kak. Gue gapapa kok.” ujar Kinara menenangkan kegundahan kakak nya.

Padahal Kinara berbohong, karena pada kenyataannya kaki nya sangat amat nyeri sedari tadi, belum lagi terkena paparan AC yang dingin. Tapi Kinara menahannya dan bertingkah seolah semuanya baik baik saja.

“Lo pucet banget Ra. Gue matiin aja ya AC nya. Pasti lo kedinginan banget.” Kata Arzhan khawatir. “Bentar lagi sampe kok. Pokoknya tahan bentar lagi ya. Lo sambil baring aja kalau kaki nya mulai sakit.” sambung Arzhan sembari berusaha memecah fokusnya pada Kinara dan jalan.

Kinara tersenyum tipis, “Lucu banget lo kak khawatir gini. Padahal dulu lo sering banget bersikap ga adil sama gue.” ujar Kinara pelan, memecah atensi Arzhan.

Dari spion tengah Arzhan berusaha melihat ekspresi dan maksud Kinara mengatakan hal itu. “Dan iya, gue menyesal.” jawab Arzhan setelah terdiam lama. “Kalau ada orang yang tau gue dulu ke lo kaya gimana, pasti mereka bakalan ngatain gue kalau setiap penyesalan selalu datang terakhir. Karena kenyataannya gitu Ra. Penyesalan gue yang selalu sia siakan lo, dan sikap gue yang sering ga adil. Itu buat gue merasa kalau kata penyesalan aja ga cukup untuk mendefinisikannya.” sambungnya panjang lebar.

“Iya kok, tenang aja. Acel udah puas ngatain lo kayanya soal penyesalan.” sahut Kinara terkekeh.

“Terus lo gimana? Emang lo ga sedih waktu gue dan yang lainnya perlakuin lo ga adil kaya gitu?” tanya Arzhan memberanikan diri.

“Sedih ya? Gue rasa enggak.” jawab Kinara langsung. “Ya karena kalau gue merasa sedih ketika di perlakukan ga adil, itu bakal buat suasana hati gue buruk. Maka dari itu, gue mencoba untuk terbiasa sama kaya gue lagi ngehirup udara.” sambungnya lagi.

Mendadak dada Arzhan sesak seolah semua perasaannya akan tumpah ruah saat itu juga. Satu air mata mengalir ke pipi kanan nya segera ia usap tanpa di ketahui oleh Kinara.

“Dan ya pada suatu waktu, gue kaya mulai terbiasa akan hal itu. Dan temen temen gue, menurut lo kenapa mereka selalu care sama gue kak?” tanya Kinara balik. “Kira-kira apa yang bakalan mereka pikirin soal gue ya kak? Apa gue kelihatan menyedihkan karena gak di cintai?”

“Serius deh, gue bingung banget sama saudara lo.” Ujar Eja membuka suara. “Dulu ga perduli, sekarang sampe ngikutin lo kaya gini?? Hah kaya apaan anjir.” sambungnya lagi tidak percaya, melihat Nabil berada di bangku cafe tempat tujuan mereka yang kedua.

Kinara hanya bisa tersenyum tipis. Perubahan mendadak saudara Kinara saja bisa di rasakan oleh orang luar. Apalagi Kinara sendiri?

“Gamau pesen yang enakan dikit kah Ra?” tanya Gale menyela, melihat Kinara dua kali berturut-turut meminum air mineral.

“Air mineral juga enak kok Le. Jangan salah paham.” Jawab Kinara membela diri.

“Sebenernya lo mau ngasih tau apa sih? Dari tadi loh gue nungguin kaga cerita cerita.” potong Acel, tidak sabar.

Kinara menghela nafas nya pelan, dirinya bingung dari mana ia harus memulainya.

“If I die, how long will it take you to recover guys?” tanya Kinara kemudian setelah terdiam lama.

“Anjing?? Tiba-tiba banget Ra?” tanya Eja balik, tidak mengerti.

“Bangsat, sampe tua anjing. It'll be my traumatic thoo!!” jawab Acel tak kalah serius.

Kinara tersenyum, “Kalo lo Le? Eja?” tanya nya lagi.

“Untuk pulih itu gabisa dibayangin berapa lamanya. Karena tiap kenangan itu gabisa diukur seberapa lama bisa kita hilangkan. Karena kenangan itu akan tetap ada meskipun orang itu masih ada atau enggak.” jawab Gale kemudian, setelah terdiam untuk berfikir jawaban apa yang tepat ia ucapkan. “Jadi kalo lo nanya seberapa lama, jawaban gue gatau. Bisa aja sebentar, atau take a life time.”

“Lagian kenapa bahas mati sih Ra? Menurut lo, bagi gue berapa lama? Fakta nyokap gue meninggal aja masih belom bisa gue terima. Berapa tahun? Hampir lima dan gue masih merasa di titik yang sama sejak dia baru meninggal kemarin.” Akhirnya Eja ikut menjawab pertanyaan absurd Kinara.

Kinara memainkan tutup botol air mineral nya. Menimbang kalimat selanjutnya apa yang harus ia ucapkan, menilik berbagai reaksi sahabatnya.

“Gue sakit, Osteosarcoma.” ucap Kinara langsung.

Nabil yang berada tak jauh dari meja mereka ikut mendengarkan percakapan yang terjadi. Pada akhirnya Kinara berani jujur dengan orang-orang sekitar nya.

Osteos, ostos, coma? hah? Sakit apaan itu jir. Sakit maag?” Sahut Eja cepat.

Kinara tertawa kecil, di susul oleh tawa dari Acel juga yang merasa kalau hal itu adalah hal yang lucu.

“Bukan sakit maag bego. Osteosarcoma itu kanker tulang.”

Tawa Acel seketika lenyap, di gantikan hening. Ketiganya menatap Kinara intens, meminta penjelasan.

“Gue di vonis dokter kalau kaki sebelah kanan gue bagian lutut ada tumor nya. Tadinya ga ada penjelasan langsung kalau tumor itu adalah kanker sampai pemeriksaan kedua ternyata tumor nya tumor ganas.” ucap Kinara perlahan, mencoba menjelaskan dengan detail. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun kali ini. “Dan sampai saat ini, gue belom dapat keputusan untuk menempuh pengobatan yang mana. Soalnya hasil pemeriksaan untuk pengobatan juga baru keluar nanti sore.” sambung nya lagi.

Kinara menatap ketiga sahabatnya yang masih diam, enggan menanggapi ucapannya.

“Ngomong dong. Berasa lagi dongeng gue.” ucap Kinara, masih mencoba untuk melucu.

Tiba-tiba Acel berdiri dari tempat duduknya, dan mengambil tas punggung nya. Eja dan Gale menatap dengan penuh kebingungan.

“Acel? Lo mau kemana?” tanya Kinara ikut bingung, dan sontak langsung berdiri yang mengakibatkan lututnya nyeri seketika. “Acel? Gue minta maaf kalau ga cerita lebih awal.”

Acel tidak mendengarkan perkataan Kinara, dan langsung berlalu dengan cepat dari sana.

“Gue aja yang susul Acel.” ujar Eja kemudian, dan segera berlari menyusul Acel.

Kinara menatap pemandangan di depannya dengan pias. Ia tidak menyangka kalau Acel akan meninggalkan nya tanpa sepatah kalimat apapun begitu ia menceritakan kejujurannya.

“Duduk Ra.” ucap Gale memegang pundak Kinara. “Lo keringet dingin, pasti lo lagi nahan sakit.” sambung nya lagi.

Nabil yang melihat pemandangan itu langsung bergegas berpindah tempat ke meja Kinara dan Gale berada.

“Ada yang sakit Ra? Ayo pulang sekarang.” ujar nya kemudian, setelah melihat dengan seksama keadaan Kinara kali ini.

Kinara menggeleng kuat, “Gue gamau pulang kak. Gue masih ada yang mau di bicarain sama Gale.”

Gale menghela nafas nya pelan. “Pulang dulu Ra, kondisi lo ga baik baik aja untuk bisa diskusi saat ini. Masalah Acel, biarin Eja sama gue yang tangani. Lo istirahat biar nanti waktu ambil hasil pemeriksaan bisa maksimal.” nasehat Gale panjang lebar.

Nabil menyentuh tangan Kinara yang kini sudah basah dengan keringat dingin. Dirinya tidak tega melihat kondisi Kinara dan keadaan yang mengelilingi nya saat ini.

“Gue balik dulu ya Le, sama Kinara.” pamit Nabil kemudian, dan membawa tas Kinara serta menuntun Kinara untuk berjalan keluar.


Nabil melihat adiknya yang sepanjang perjalanan hanya diam menatap pemandangan yang ada. Setelah insiden yang terjadi di cafe tadi, Nabil sendiri juga bingung hendak menghibur Kinara seperti apa.

“Gausah sedih, Acel pasti juga kaget makanya dia kaya gitu.” hibur Nabil pelan.

Kinara tersenyum kecil, “Ga sedih kok kak. Gue udah nyiapin skenario terburuk karena udah ambil jalan untuk jujur.” jawabnya kemudian.

“Abis ini langsung istirahat aja, gausah terlalu di pikirin apa yang udah terjadi.” Nasehat Nabil lagi. “Ra, jangan pernah berfikiran yang lain akan ninggalin lo, karena lo berbeda. Mereka cuma butuh waktu untuk menerima lo, dan keadaan lo sebenarnya.”

Ucapan Nabil barusan hanya bisa Kinara bawa diam. Dibilang kecewa, sebenarnya ia juga tidak pantas untuk bilang kecewa. Mengenai reaksi Acel dan yang lainnya setelah dirinya mengumpulkan keberanian untuk berkata jujur.

Persis seperti ucapan Nabil, mereka hanya butuh waktu untuk mengerti. Dan tentunya Kinara bisa menunggu hal itu.

Mobil memasuki area rumah, yang gerbang nya sudah di bukakan oleh pak Bedjo. Dari yang Kinara tahu, papa nya juga pasti sudah berada di rumah melihat adanya mobil yang selalu di bawa oleh papanya dinas terparkir di depan pintu garasi mobil yang tertutup.

“Makasih kak buat hari ini. Maaf kalo gue ngerepotin.” ucap Kinara tulus, sembari melepas seatbelt nya.

Nabil tersenyum tipis, enggan terlihat oleh Kinara. “Ga ngerepotin karena gue yang emang mau nganterin lo kemanapun itu.”

“Oh iya, ini buat lo.” ujar Kinara masih belum selesai, dan memberikan selembar kertas pada Nabil.

Nabil melihat gambaran dirinya yang tentunya di gambar oleh Kinara dengan terkejut. Nabil tidak tahu, kapan Kinara menggambar potret dirinya ini.

“Ga bagus sih—”

“Ini bagus banget.” sela Nabil cepat. “Masih ya dek, bakalan gue simpen.” sambung nya lagi.

Hati Kinara senang bukan main, pipinya berseri seri mendengar ucapan terimakasih dari Nabil setelah sekian lama.

Akhirnya Kinara bisa melihat Nabil tersenyum dengan tulus kepadanya. Tidak ada hal yang bisa membuatnya lebih bahagia dari ini.

Akhirnya dengan riang, Kinara turun dari mobil dengan perlahan dan berjalan pelan menuju ke dalam rumah. Meninggalkan Nabil yang masih betah berada di kursi kemudi melihat gambaran dari Kinara tadi.

“Makasih Kinara. Makasih buat semuanya. Lo terlalu istimewa buat di ceritakan secara sederhana bagi gue.”

“Serius deh, gue bingung banget sama saudara lo.” Ujar Eja membuka suara. “Dulu ga perduli, sekarang sampe ngikutin lo kaya gini?? Hah kaya apaan anjir.” sambungnya lagi tidak percaya, melihat Nabil berada di bangku cafe tempat tujuan mereka yang kedua.

Kinara hanya bisa tersenyum tipis. Perubahan mendadak saudara Kinara saja bisa di rasakan oleh orang luar. Apalagi Kinara sendiri?

“Gamau pesen yang enakan dikit kah Ra?” tanya Gale menyela, melihat Kinara dua kali berturut-turut meminum air mineral.

“Air mineral juga enak kok Le. Jangan salah paham.” Jawab Kinara membela diri.

“Sebenernya lo mau ngasih tau apa sih? Dari tadi loh gue nungguin kaga cerita cerita.” potong Acel, tidak sabar.

Kinara menghela nafas nya pelan, dirinya bingung dari mana ia harus memulainya.

“If I die, how long will it take you to recover guys?” tanya Kinara kemudian setelah terdiam lama.

“Anjing?? Tiba-tiba banget Ra?” tanya Eja balik, tidak mengerti.

“Bangsat, sampe tua anjing. It'll be my traumatic thoo!!” jawab Acel tak kalah serius.

Kinara tersenyum, “Kalo lo Le? Eja?” tanya nya lagi.

“Untuk pulih itu gabisa dibayangin berapa lamanya. Karena tiap kenangan itu gabisa diukur seberapa lama bisa kita hilangkan. Karena kenangan itu akan tetap ada meskipun orang itu masih ada atau enggak.” jawab Gale kemudian, setelah terdiam untuk berfikir jawaban apa yang tepat ia ucapkan. “Jadi kalo lo nanya seberapa lama, jawaban gue gatau. Bisa aja sebentar, atau take a life time.”

“Lagian kenapa bahas mati sih Ra? Menurut lo, bagi gue berapa lama? Fakta nyokap gue meninggal aja masih belom bisa gue terima. Berapa tahun? Hampir lima dan gue masih merasa di titik yang sama sejak dia baru meninggal kemarin.” Akhirnya Eja ikut menjawab pertanyaan absurd Kinara.

Kinara memainkan tutup botol air mineral nya. Menimbang kalimat selanjutnya apa yang harus ia ucapkan, menilik berbagai reaksi sahabatnya.

“Gue sakit, Osteosarcoma.” ucap Kinara langsung.

Nabil yang berada tak jauh dari meja mereka ikut mendengarkan percakapan yang terjadi. Pada akhirnya Kinara berani jujur dengan orang-orang sekitar nya.

Osteos, ostos, coma? hah? Sakit apaan itu jir. Sakit maag?” Sahut Eja cepat.

Kinara tertawa kecil, di susul oleh tawa dari Acel juga yang merasa kalau hal itu adalah hal yang lucu.

“Bukan sakit maag bego. Osteosarcoma itu kanker tulang.”

Tawa Acel seketika lenyap, di gantikan hening. Ketiganya menatap Kinara intens, meminta penjelasan.

“Gue di vonis dokter kalau kaki sebelah kanan gue bagian lutut ada tumor nya. Tadinya ga ada penjelasan langsung kalau tumor itu adalah kanker sampai pemeriksaan kedua ternyata tumor nya tumor ganas.” ucap Kinara perlahan, mencoba menjelaskan dengan detail. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun kali ini. “Dan sampai saat ini, gue belom dapat keputusan untuk menempuh pengobatan yang mana. Soalnya hasil pemeriksaan untuk pengobatan juga baru keluar nanti sore.” sambung nya lagi.

Kinara menatap ketiga sahabatnya yang masih diam, enggan menanggapi ucapannya.

“Ngomong dong. Berasa lagi dongeng gue.” ucap Kinara, masih mencoba untuk melucu.

Tiba-tiba Acel berdiri dari tempat duduknya, dan mengambil tas punggung nya. Eja dan Gale menatap dengan penuh kebingungan.

“Acel? Lo mau kemana?” tanya Kinara ikut bingung, dan sontak langsung berdiri yang mengakibatkan lututnya nyeri seketika. “Acel? Gue minta maaf kalau ga cerita lebih awal.”

Acel tidak mendengarkan perkataan Kinara, dan langsung berlalu dengan cepat dari sana.

“Gue aja yang susul Acel.” ujar Eja kemudian, dan segera berlari menyusul Acel.

Kinara menatap pemandangan di depannya dengan pias. Ia tidak menyangka kalau Acel akan meninggalkan nya tanpa sepatah kalimat apapun begitu ia menceritakan kejujurannya.

“Duduk Ra.” ucap Gale memegang pundak Kinara. “Lo keringet dingin, pasti lo lagi nahan sakit.” sambung nya lagi.

Nabil yang melihat pemandangan itu langsung bergegas berpindah tempat ke meja Kinara dan Gale berada.

“Ada yang sakit Ra? Ayo pulang sekarang.” ujar nya kemudian, setelah melihat dengan seksama keadaan Kinara kali ini.

Kinara menggeleng kuat, “Gue gamau pulang kak. Gue masih ada yang mau di bicarain sama Gale.”

Gale menghela nafas nya pelan. “Pulang dulu Ra, kondisi lo ga baik baik aja untuk bisa diskusi saat ini. Masalah Acel, biarin Eja sama gue yang tangani. Lo istirahat biar nanti waktu ambil hasil pemeriksaan bisa maksimal.” nasehat Gale panjang lebar.

Nabil menyentuh tangan Kinara yang kini sudah basah dengan keringat dingin. Dirinya tidak tega melihat kondisi Kinara dan keadaan yang mengelilingi nya saat ini.

“Gue balik dulu ya Le, sama Kinara.” pamit Nabil kemudian, dan membawa tas Kinara serta menuntun Kinara untuk berjalan keluar.


Nabil melihat adiknya yang sepanjang perjalanan hanya diam menatap pemandangan yang ada. Setelah insiden yang terjadi di cafe tadi, Nabil sendiri juga bingung hendak menghibur Kinara seperti apa.

“Gausah sedih, Acel pasti juga kaget makanya dia kaya gitu.” hibur Nabil pelan.

Kinara tersenyum kecil, “Ga sedih kok kak. Gue udah nyiapin skenario terburuk karena udah ambil jalan untuk jujur.” jawabnya kemudian.

“Abis ini langsung istirahat aja, gausah terlalu di pikirin apa yang udah terjadi.” Nasehat Nabil lagi. “Ra, jangan pernah berfikiran yang lain akan ninggalin lo, karena lo berbeda. Mereka cuma butuh waktu untuk menerima lo, dan keadaan lo sebenarnya.”

Ucapan Nabil barusan hanya bisa Kinara bawa diam. Dibilang kecewa, sebenarnya ia juga tidak pantas untuk bilang kecewa. Mengenai reaksi Acel dan yang lainnya setelah dirinya mengumpulkan keberanian untuk berkata jujur.

Persis seperti ucapan Nabil, mereka hanya butuh waktu untuk mengerti. Dan tentunya Kinara bisa menunggu hal itu.

Mobil memasuki area rumah, yang gerbang nya sudah di bukakan oleh pak Bedjo. Dari yang Kinara tahu, papa nya juga pasti sudah berada di rumah melihat adanya mobil yang selalu di bawa oleh papanya dinas terparkir di depan pintu garasi mobil yang tertutup.

“Makasih kak buat hari ini. Maaf kalo gue ngerepotin.” ucap Kinara tulus, sembari melepas seatbelt nya.

Nabil tersenyum tipis, enggan terlihat oleh Kinara. “Ga ngerepotin karena gue yang emang mau nganterin lo kemanapun itu.”

“Oh iya, ini buat lo.” ujar Kinara masih belum selesai, dan memberikan selembar kertas pada Nabil.

Nabil melihat gambaran dirinya yang tentunya di gambar oleh Kinara dengan terkejut. Nabil tidak tahu, kapan Kinara menggambar potret dirinya ini.

“Ga bagus sih—”

“Ini bagus banget.” sela Nabil cepat. “Masih ya dek, bakalan gue simpen.” sambung nya lagi.

Hati Kinara senang bukan main, pipinya berseri seri mendengar ucapan terimakasih dari Nabil setelah sekian lama.

Akhirnya Kinara bisa melihat Nabil tersenyum dengan tulus kepadanya. Tidak ada hal yang bisa membuatnya lebih bahagia dari ini.

Akhirnya dengan riang, Kinara turun dari mobil dengan perlahan dan berjalan pelan menuju ke dalam rumah. Meninggalkan Nabil yang masih betah berada di kursi kemudi melihat gambaran dari Kinara tadi.

“Makasih Kinara. Makasih buat semuanya. Lo terlalu istimewa buat di ceritakan secara sederhana bagi gue.”

“Serius deh, gue bingung banget sama saudara lo.” Ujar Eja membuka suara. “Dulu ga perduli, sekarang sampe ngikutin lo kaya gini?? Hah kaya apaan anjir.” sambungnya lagi tidak percaya, melihat Nabil berada di bangku cafe tempat tujuan mereka yang kedua.

Kinara hanya bisa tersenyum tipis. Perubahan mendadak saudara Kinara saja bisa di rasakan oleh orang luar. Apalagi Kinara sendiri?

“Gamau pesen yang enakan dikit kah Ra?” tanya Gale menyela, melihat Kinara dua kali berturut-turut meminum air mineral.

“Air mineral juga enak kok Le. Jangan salah paham.” Jawab Kinara membela diri.

“Sebenernya lo mau ngasih tau apa sih? Dari tadi loh gue nungguin kaga cerita cerita.” potong Acel, tidak sabar.

Kinara menghela nafas nya pelan, dirinya bingung dari mana ia harus memulainya.

“If I die, how long will it take you to recover guys?” tanya Kinara kemudian setelah terdiam lama.

“Anjing?? Tiba-tiba banget Ra?” tanya Eja balik, tidak mengerti.

“Bangsat, sampe tua anjing. It'll be my traumatic thoo!!” jawab Acel tak kalah serius.

Kinara tersenyum, “Kalo lo Le? Eja?” tanya nya lagi.

“Untuk pulih itu gabisa dibayangin berapa lamanya. Karena tiap kenangan itu gabisa diukur seberapa lama bisa kita hilangkan. Karena kenangan itu akan tetap ada meskipun orang itu masih ada atau enggak.” jawab Gale kemudian, setelah terdiam untuk berfikir jawaban apa yang tepat ia ucapkan. “Jadi kalo lo nanya seberapa lama, jawaban gue gatau. Bisa aja sebentar, atau take a life time.”

“Lagian kenapa bahas mati sih Ra? Menurut lo, bagi gue berapa lama? Fakta nyokap gue meninggal aja masih belom bisa gue terima. Berapa tahun? Hampir lima dan gue masih merasa di titik yang sama sejak dia baru meninggal kemarin.” Akhirnya Eja ikut menjawab pertanyaan absurd Kinara.

Kinara memainkan tutup botol air mineral nya. Menimbang kalimat selanjutnya apa yang harus ia ucapkan, menilik berbagai reaksi sahabatnya.

“Gue sakit, Osteosarcoma.” ucap Kinara langsung.

Nabil yang berada tak jauh dari meja mereka ikut mendengarkan percakapan yang terjadi. Pada akhirnya Kinara berani jujur dengan orang-orang sekitar nya.

Osteos, ostos, coma? hah? Sakit apaan itu jir. Sakit maag?” Sahut Eja cepat.

Kinara tertawa kecil, di susul oleh tawa dari Acel juga yang merasa kalau hal itu adalah hal yang lucu.

“Bukan sakit maag bego. Osteosarcoma itu kanker tulang.”

Tawa Acel seketika lenyap, di gantikan hening. Ketiganya menatap Kinara intens, meminta penjelasan.

“Gue di vonis dokter kalau kaki sebelah kanan gue bagian lutut ada tumor nya. Tadinya ga ada penjelasan langsung kalau tumor itu adalah kanker sampai pemeriksaan kedua ternyata tumor nya tumor ganas.” ucap Kinara perlahan, mencoba menjelaskan dengan detail. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun kali ini. “Dan sampai saat ini, gue belom dapat keputusan untuk menempuh pengobatan yang mana. Soalnya hasil pemeriksaan untuk pengobatan juga baru keluar nanti sore.” sambung nya lagi.

Kinara menatap ketiga sahabatnya yang masih diam, enggan menanggapi ucapannya.

“Ngomong dong. Berasa lagi dongeng gue.” ucap Kinara, masih mencoba untuk melucu.

Tiba-tiba Acel berdiri dari tempat duduknya, dan mengambil tas punggung nya. Eja dan Gale menatap dengan penuh kebingungan.

“Acel? Lo mau kemana?” tanya Kinara ikut bingung, dan sontak langsung berdiri yang mengakibatkan lututnya nyeri seketika. “Acel? Gue minta maaf kalau ga cerita lebih awal.”

Acel tidak mendengarkan perkataan Kinara, dan langsung berlalu dengan cepat dari sana.

“Gue aja yang susul Acel.” ujar Eja kemudian, dan segera berlari menyusul Acel.

Kinara menatap pemandangan di depannya dengan pias. Ia tidak menyangka kalau Acel akan meninggalkan nya tanpa sepatah kalimat apapun begitu ia menceritakan kejujurannya.

“Duduk Ra.” ucap Gale memegang pundak Kinara. “Lo keringet dingin, pasti lo lagi nahan sakit.” sambung nya lagi.

Nabil yang melihat pemandangan itu langsung bergegas berpindah tempat ke meja Kinara dan Gale berada.

“Ada yang sakit Ra? Ayo pulang sekarang.” ujar nya kemudian, setelah melihat dengan seksama keadaan Kinara kali ini.

Kinara menggeleng kuat, “Gue gamau pulang kak. Gue masih ada yang mau di bicarain sama Gale.”

Gale menghela nafas nya pelan. “Pulang dulu Ra, kondisi lo ga baik baik aja untuk bisa diskusi saat ini. Masalah Acel, biarin Eja sama gue yang tangani. Lo istirahat biar nanti waktu ambil hasil pemeriksaan bisa maksimal.” nasehat Gale panjang lebar.

Nabil menyentuh tangan Kinara yang kini sudah basah dengan keringat dingin. Dirinya tidak tega melihat kondisi Kinara dan keadaan yang mengelilingi nya saat ini.

“Gue balik dulu ya Le, sama Kinara.” pamit Nabil kemudian, dan membawa tas Kinara serta menuntun Kinara untuk berjalan keluar.


Nabil melihat adiknya yang sepanjang perjalanan hanya diam menatap pemandangan yang ada. Setelah insiden yang terjadi di cafe tadi, Nabil sendiri juga bingung hendak menghibur Kinara seperti apa.

“Gausah sedih, Acel pasti juga kaget makanya dia kaya gitu.” hibur Nabil pelan.

Kinara tersenyum kecil, “Ga sedih kok kak. Gue udah nyiapin skenario terburuk karena udah ambil jalan untuk jujur.” jawabnya kemudian.

“Abis ini langsung istirahat aja, gausah terlalu di pikirin apa yang udah terjadi.” Nasehat Nabil lagi. “Ra, jangan pernah berfikiran yang lain akan ninggalin lo, karena lo berbeda. Mereka cuma butuh waktu untuk menerima lo, dan keadaan lo sebenarnya.”

Ucapan Nabil barusan hanya bisa Kinara bawa diam. Dibilang kecewa, sebenarnya ia juga tidak pantas untuk bilang kecewa. Mengenai reaksi Acel dan yang lainnya setelah dirinya mengumpulkan keberanian untuk berkata jujur.

Persis seperti ucapan Nabil, mereka hanya butuh waktu untuk mengerti. Dan tentunya Kinara bisa menunggu hal itu.

Mobil memasuki area rumah, yang gerbang nya sudah di bukakan oleh pak Bedjo. Dari yang Kinara tahu, papa nya juga pasti sudah berada di rumah melihat adanya mobil yang selalu di bawa oleh papanya dinas terparkir di depan pintu garasi mobil yang tertutup.

“Makasih kak buat hari ini. Maaf kalo gue ngerepotin.” ucap Kinara tulus, sembari melepas seatbelt nya.

Nabil tersenyum tipis, enggan terlihat oleh Kinara. “Ga ngerepotin karena gue yang emang mau nganterin lo kemanapun itu.”

“Oh iya, ini buat lo.” ujar Kinara masih belum selesai, dan memberikan selembar kertas pada Nabil.

[]?(https://i.imgur.com/R9gR7tn.jpg)

Nabil melihat gambaran dirinya yang tentunya di gambar oleh Kinara dengan terkejut. Nabil tidak tahu, kapan Kinara menggambar potret dirinya ini.

“Ga bagus sih—”

“Ini bagus banget.” sela Nabil cepat. “Masih ya dek, bakalan gue simpen.” sambung nya lagi.

Hati Kinara senang bukan main, pipinya berseri seri mendengar ucapan terimakasih dari Nabil setelah sekian lama.

Akhirnya Kinara bisa melihat Nabil tersenyum dengan tulus kepadanya. Tidak ada hal yang bisa membuatnya lebih bahagia dari ini.

Akhirnya dengan riang, Kinara turun dari mobil dengan perlahan dan berjalan pelan menuju ke dalam rumah. Meninggalkan Nabil yang masih betah berada di kursi kemudi melihat gambaran dari Kinara tadi.

“Makasih Kinara. Makasih buat semuanya. Lo terlalu istimewa buat di ceritakan secara sederhana bagi gue.”

[]?(https://i.imgur.com/SIoQbL1.jpg)