JC Halcyon

Arsha menenteng dua paper bag milik Rila dengan malas. Benar Arsha mengorbankan dirinya untuk menjadi teman Rila berbelanja sekaligus menjemputnya.

“Jam berapa La? Ayok pulang.” ujar Arsha kemudian, merasakan kaki dan tangannya kebas.

Kenapa Arsha bertanya pada Rila? Karena segera setelah sampai ditempat Rila berada, ponsel Arsha langsung di kantongi oleh Rila dengan alasan karena outfit yang di pakai Arsha saat ini tidak memiliki kantong.

“Paling masih jam empat kak.” jawab Rila seadanya, dan melihat kiri kanan kemana tempat yang akan segera ia tuju setelah ini.

Arsha menghela nafas lelah, “Berhenti dulu La, gue cape.” kata Arsha kemudian. “Siniin hape gue, gue mau pake.” sambungnya kemudian.

Rila tidak memiliki pilihan lain, selain memberikan ponsel Arsha yang memang sengaja ia matikan kepada Arsha.

Arsha mengerenyit bingung, “Hape gue emang mati waktu gue kasih lo? Perasaan baterai nya banyak deh.” tanya Arsha sembari berusaha menghidupkan ponselnya.

Rila tak bergeming, takut kalau Arsha akan marah kepadanya sehabis ini. Dirinya memang sengaja mematikan ponsel Arsha supaya tidak menganggu kegiatan nya dengan Arsha.

Begitu Rila melihat ada pesan masuk dari Kinara, dengan segera ia mematikan ponsel Arsha karena takut Arsha akan goyah dan kembali mengajak nya untuk langsung pulang.

Entah kenapa, Rila merasa bahwa perhatian Arsha berubah kepada Kinara saat ini. Dan Arsha yang tidak antusias dengan kedatangannya seperti biasanya. Itu membuatnya cemburu buta tanpa sadar.

“Udah jam setengah enam gini?? Lo bilang masih jam empat anjir?” ujar Arsha kalap, begitu ponselnya menyala dan menunjukkan jam yang melewati janjinya dengan Kinara.

“Eh, gue gatau kak kalau udah lebih dari jam empat.” kata Rila membela diri. “Gue ngerasanya masih bentar banget tadi.”

Arsha mengacak rambutnya pusing, sungguh dirinya tidak ingin membuat Kinara salah paham lagi kali ini. Segera dirinya mengesampingkan ego nya dan menelepon Kinara sesegera mungkin setelah melihat kontak nya.

Setelah dering ketiga, baru lah panggilan Arsha di angkat.

“Halo Kinara??”

”...”

“Maafin gue ya, abis ini gue langsung balik sama Rila. Tadi hape gue mati, dan ini baru di hidupin makanya baru liat jam berapa sekarang. Gue tau gue salah karena ga kabarin apapun, jadi gue minta maaf. Lo mau apa? Gue beliin pulang nya langsung.”

“Ga usah beliin apa-apa kak, pulang nya aja hati hati ya.”

Arsha bernafas lega begitu mendengar jawaban dari seberang telpon.

Setelah telpon di matikan, pandangan Arsha beralih pada Rila yang kini berusaha menghindari dirinya.

“Gue harap sehabis ini, lo ga akan pegang ataupun aplikasikan ponsel gue lagi tanpa seizin gue ya La.” Ujar Arsha kemudian, memberikan ultimatum.

Rila mendengus kesal, “Gue kesini juga nggak sesering itu kak, kak Kinara juga yang tiap hari sama lo. Apa gue harus ngalah sama dia ketika gue cuma butuh satu hari aja buat temenin kaya gini?” jawab Rila langsung, merajuk.

“La, lo ga merasa bersalah?” tanya Arsha tidak habis pikir. “Disini gue yang ada janji lebih dulu sama Kinara. Kita kan bisa jalan setelah janji gue sama Kinara selesai. Ga bisa nunggu sampai segitu?” sambungnya lagi makin membuat Rila dongkol.

Arsha kini menyadari, bahwa ketika ia memanjakan lebih daripada yang bisa Rila terima, maka Rila juga akan membalasnya dengan kecemburuan yang berlebih.

Karena Arsha selalu membela apapun yang Rila lakukan walaupun itu adalah hal yang salah, Rila tumbuh menjadi anak yang angkuh dan arogan ketika berada di dekatnya. Sial nya Arsha baru menyadari hal itu, ketika karakter Rila sudah terbentuk dengan sempurna.

Pada akhirnya Raka mengalah, dan membiarkan Nabil untuk pergi me rumah sakit menjemput Kinara dan mama nya. Masih menggunakan seragam, seusai pulang sekolah Nabil langsung bergegas menuju rumah sakit.

Arsha dan Arzhan? Keduanya sepakat untuk menunggu saja di rumah, sembari menemani Bachtiar dan Rila yang ada di rumah.

“Mama tinggal ke administrasi bentar, kamu langsung ajak Kinara buat ke mobil aja ya Nabil.” Pesan mama sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

Nabil melihat Kinara tengah sibuk mengoperasikan ponselnya. Akhirnya Nabil memutuskan untuk duduk terlebih dahulu, dan menunggu perawat datang membawa kursi roda yang akan di naiki Kinara nanti.

“Kaki nya masih sakit Kin?” tanya Nabil kemudian, tidak tahan dengan keheningan.

Kinara mematikan layar ponselnya, dan tersenyum ke arah Nabil. “Aman kok kak, kalau jam jam sekarang tuh ga ada masalah.” jawab Kinara dengan senang hati.

Hubungan Kinara dan Nabil sudah sepenuhnya membaik. Setidaknya itu yang Kinara pikirkan.

Dengan Nabil yang sudah terang terangan bertanya tentang keadaannya, dan juga perhatian yang Nabil berikan sejak Kinara bangun tadi pagi. Kinara makin yakin, kalau sehabis ini ia bisa membangun hubungan baik dengan saudaranya yang lain lagi.

Tiada berapa lama, perawat datang dengan membawa sebuah kursi roda. Mengerti akan hal itu, dengan cekatan Nabil langsung berdiri dari duduk nya untuk menggendong Kinara supaya bisa berpindah tempat dan duduk di kursi roda.

“Padahal adik mas nya bisa loh di suruh berdiri sebentar, dan duduk di kursi roda. Tapi mas nya sigap banget, langsung gendong.” puji perawat sebelum pergi dari sana.

Kinara tertawa kecil melihat telinga Nabil memerah karena pujian itu. “Gue ga berat kan kak?” tanya Kinara kemudian.

Nabil menggeleng, dan langsung bergerak mendorong kursi roda Kinara untuk segera meninggalkan ruang rawat inap yang berbau obat obatan itu.

“Dua hari kemaren hujan terus, jadi rasa rasanya udara hari ini segar banget ya kak.” ucap Kinara mengajak Nabil berbicara.

Nabil mengangguk, “Iya segar, cuma agak annoying dikit buat area depan gapura perumahan. Soalnya di sana selalu banjir.” jawab Nabil langsung.

Kinara tertawa, “Pantesan lo tiap pulang sekolah selalu basah celana bagian bawah nya. Ternyata gara-gara kobangan air di deket gapura perumahan?” tanya Kinara lagi, setelah tawa nya reda.

“Ga ada jalan lain buat ke rumah selain lewat sana Ra. Gapapa, lagian juga gue langsung ganti baju begitu sampe rumah.” jelas Nabil.

Nabil terus mendorong kursi roda hingga ke pintu keluar rumah sakit. Ada peraturan di rumah sakit dimana kursi roda hanya dapat di gunakan hingga batas pintu keluar.

Mama belum juga kembali dari administrasi, dan juga barang-barang yang lain sudah lebih dulu di angkut ke dalam mobil.

Nabil melirik Kinara yang masih terdiam memainkan ponselnya. Entah apa yang tengah di lakukan gadis itu.

“Ayok Ra, ponsel nya di simpen dulu. Gue mau gendong lo ke mobil.” ucap Nabil kemudian, membuat Kinara terkejut.

“Hah? Kenapa di gendong kak? Gue bisa jalan kok, lo bantuin gue jalan aja.” tolak Kinara langsung.

Nabil spontan menggeleng, “Jalan masih licin bekas hujan Ra, gue gamau ambil resiko dan bikin lo jatuh. Udah gapapa, ayo gue gendong aja.” jelas Nabil kemudian. “Ayo Kinara, kalau mama nanti keburu selesai di administrasi, dan liat lo belum naik mobil dia bisa marah lo.” ancam Nabil lagi.

Akhirnya Kinara menurut, dan mengalungkan kedua tangan nya untuk berpegangan di leher Nabil. “Kak, gue berat ya?” cicit Kinara pelan, karena jarak pintu keluar dengan tempat parkir kendaraan cukup jauh.

“Enggak sama sekali Ra. Arsha dua kali lebih berat dari pada lo.” jawab Nabil singkat.

Kinara menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Nabil. Kinara malu karena banyak pasang mata melihat keduanya.

“Kak, turunin ayoo. Gue malu ih.” bisik Kinara menepuk nepuk pundak Nabil tidak nyaman.

“Turunin apasih Kinara. Ini ambil kunci mobil di saku gue, buka mobil nya.” suruh Nabil mengabaikan permintaan Kinara.

Kinara menurut dan mengambil kunci mobil pada saku baju Nabil untuk membuka pintu otomatis.

Kemudian Nabil membuka pintu bagian penumpang untuk menaruh Kinara secara hati-hati.

“Selonjorin aja kaki nya, jangan di tekuk.” tegur Nabil melihat Kinara hendak menekuk kakinya.

“Tapi mama nanti duduk mana kak?” tanya Kinara bingung.

“Mama duduk sama gue di depan. Gue mau ke warung depan rumah sakit, lo mau nitip apa?” tanya Nabil kemudian.

Kinara menggeleng, “Gue di sini aja deh. Buruan ya kak, takut mama udah selesai di administrasi.” ingat Kinara lagi.

Nabil mengangguk dan segera bergegas pergi dari sana.

Hati Kinara menghangat, bibirnya tidak berhenti tersenyum sedari tadi karena perlakuan Nabil.

“Kalau ini cuma mimpi, gue berharap selamanya ga usah bangun.”

Seperti malam sebelumnya, Kinara merasakan rasa ngilu yang amat sangat pada kaki nya. Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap).

Kinara meringis kesakitan, belum ada setengah jam sejak dirinya memutuskan untuk tidur setelah berkomunikasi dengan Acel tadi tetapi kini harus terbangun lagi dengan keadaan yang sama sekali tidak mengenakkan.

“Kin, Kinara??” suara Nabil menyapa gendang telinga Kinara. Tidak lupa juga tangan Nabil yang hangat menepuk lembut pipi Kinara, berusaha untuk menyadarkan Kinara yang terlelap.

Kinara mengerjap perlahan, membuka matanya dengan berat. Menoleh ke arah Nabil yang berada di samping kanan nya.

“Mana yang sakit Kin?” tanya Nabil khawatir.

Kenapa ada Nabil di sini? Jadi begini ceritanya. Setelah mama kembali ke rumah sakit di antarkan oleh Nabil, Raka memutuskan untuk pulang dan bergantian dengan Nabil untuk menjaga Kinara karena besok ia memiliki kelas pagi. Itu alasannya kenapa ada Nabil di sini.

Mama sendiri juga tidak ada di kamar rawat karena harus keluar sebentar membeli makan malam untuk mereka.

Nabil berlari menuju ke samping kiri ranjang guna memencet bel pasien yang tersedia untuk memanggil pertolongan dari tim medis.

“Anjing lama banget sih bangsat!” keluh Nabil kepalang panik. Padahal jarak waktu Nabil memencet bel dan dirinya mengeluh belum ada lewat satu menit. “Kin lo disini dulu ya, gue ke ruang perawat buat manggil mereka.” sambung Nabil kemudian, berpamitan.

Kinara langsung menarik tangan Nabil sebelum benar-benar lari dari sana. “Kak, temenin gue aja.” katanya lemah.

Kinara tahu, Nabil pasti kalang kabut karena gejala Osteosarcoma yang di deritanya. Jadi sebelum Nabil benar-benar pergi dan membuat keributan di sana, Kinara memutuskan untuk menghentikan Nabil sebelum berbuat lebih jauh.

Nabil menurut, ia menekan rasa khawatir nya dan langsung duduk di kursi samping ranjang. “Lo mana yang sakit? Gue elus sini, siapa tau sakit nya kurang.” ujar Nabil kemudian.

Kinara mengulum senyumnya, ia suka perhatian hangat Nabil saat ini.

“Ga ada yang spesifik kak, semua bagian badan gue sakit.” ujar Kinara jujur. Kinara ingin egois kali ini, dia ingin merasakan kasih sayang dan mengeluh sepuasnya kepada Nabil. Hal yang mungkin tidak akan dirinya dapatkan ketika ia sehat nanti.

Nabil menatap Kinara sedih. Tangannya bergerak mengusap bulir keringat dingin yang mengalir di dahi Kinara. “Kalau gue bisa gantiin rasa sakit lo Ra, gue mau dan bakalan gue gantiin saat ini juga.”

Senyum Kinara tidak tertahankan lagi, ia tertawa kecil. “Ga perlu lo gantiin rasa sakit gue kak. Lo ada disini nemenin gue aja, gue udah seneng.”


Nabil menemani mama untuk berbicara dengan dokter Hanan di luar kamar. Menghindari jika Kinara akan terganggu tidurnya jika mereka membicarakan hal ini dalam.

Dokter Hanan baru saja memeriksa keadaan terbaru Kinara, setelah sebelumnya tadi beberapa perawat sudah memeriksa lebih dulu keadaan Kinara saat nyeri pada kaki nya kambuh.

“Jadi saya perlu jelaskan ulang ya bu Miya, pengobatan pada osteosarcoma dapat dilakukan melalui operasi dan kemoterapi. Pada beberapa kasus, kami juga dapat memutuskan melakukan prosedur radioterapi.” jelas dokter Hanan dengan perlahan. “Pengobatan bisa di lakukan ketika sudah melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemindaian dengan USG, foto Rontgen, CT scan, PET scan atau MRI, untuk melihat keberadaan kanker dan mendeteksi apakah kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Pemeriksaan lain yang bisa di lakukan berupa pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari bagian tubuh yang bengkak atau sakit, untuk diteliti apakah jaringan tersebut bersifat kanker atau tidak.” Sambungnya lagi panjang lebar.

Nabil memeluk mama dari samping, berusaha menyalurkan kekuatan setelah mendengar penjelasan yang cukup rinci dari dokter Hanan.

“Pada kondisi Kinara saat ini, kita hanya perlu menunggu untuk hasil pemeriksaan penunjang lanjutan supaya bisa segera melakukan pengobatan.” kata dokter Hanan lagi. “Untuk besok Kinara sudah boleh pulang, sembari menunggu satu infus terakhir yang terpasang habis terlebih dahulu ya ibu Miya.” ucap Dokter Hanan lagi, dan kemudian berpamitan untuk segera berlalu dari sana.

Nabil menuntun mama untuk kembali masuk ke dalam kamar inap Kinara. Menuntun mama untuk segera duduk, dan mengistirahatkan badan nya yang melemas setelah mendengar informasi dari dokter Hanan tadi.

“Pengobatan yang di maksud dokter tadi ma, yang operasi... Jadi Kinara bakalan di operasi ma?” tanya Nabil dengan gamang.

Mama tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan, menatap Kinara yang kini sudah masuk ke dalam tidur damai nya.

Tak lama dari itu, pandangan mama beralih pada Nabil. “Sebelumnya waktu dengan papa, mama sudah di beri informasi terkait operasi yang bakal Kinara jalankan nanti sayang.” ujar mama kemudian, menjelaskan. “Operasi yang di maksud bertujuan untuk mengangkat seluruh kanker. Tergantung ukuran tumor dan lokasi pada tubuh Kinara, dokter Hanan juga bisa melakukan operasi untuk mengangkat kankernya saja atau juga mengangkat otot dan jaringan lain yang terkena kanker.” sambung mama kemudian.

Nabil termenung mencoba mencerna segala informasi yang baru saja di terima oleh otak nya hari ini. Nabil ingin mengeluh, ini semua terlalu berlebihan bagi dirinya dan Kinara pada hari pertama.

“Jadi maksud mama, dalam beberapa kasus dokter Hanan juga bisa buat keputusan untuk angkat tulang dan sendi Kinara ya ma?” tanya Nabil kemudian, setelah menata hati.

Mama mengangguk, “Dokter Hanan juga bilang ke mama, prosedur yang di lakukan juga bisa melakukan amputasi.”

Jantung Nabil berdebar kencang. Dirinya belum siap untuk mendengar sampai sejauh ini.

“Jika prosedur ini yang dilakukan, dokter Hanan bilang Kinara akan diberikan prostesis (kaki atau tangan palsu) untuk menggantikan fungsi organ Kinara yang diamputasi.” jelas mama lagi, tersendat. “Mama bahkan ga bisa bayangkan Bil, kalau kedepannya Kinara akan hidup dengan satu kaki. Kinara masih terlalu muda untuk merasakan dan menjalani semua itu.” sambung mama kemudian, menangis di pelukan Nabil yang sama pedih nya.

Mata Nabil berkaca-kaca. Pandangannya bergeser kepada Kinara yang kini damai dalam tidur nya. “Mama ga perlu khawatir soal itu. Bahkan Nabil bersedia untuk jadi kaki Kinara kedepannya, kalau memang prosedur itu akan di laksanakan demi kebaikan Kinara. Nabil janji soal hal itu.”

Seperti malam sebelumnya, Kinara merasakan rasa ngilu yang amat sangat pada kaki nya. Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap).

Kinara meringis kesakitan, belum ada setengah jam sejak dirinya memutuskan untuk tidur setelah berkomunikasi dengan Acel taditadi tetapi kini harus terbangun lagi dengan keadaan yang sama sekali tidak mengenakkan.

“Kin, Kinara??” suara Nabil menyapa gendang telinga Kinara. Tidak lupa juga tangan Nabil yang hangat menepuk lembut pipi Kinara, berusaha untuk menyadarkan Kinara yang terlelap.

Kinara mengerjap perlahan, membuka matanya dengan berat. Menoleh ke arah Nabil yang berada di samping kanan nya.

“Mana yang sakit Kin?” tanya Nabil khawatir.

Kenapa ada Nabil di sini? Jadi begini ceritanya. Setelah mama kembali ke rumah sakit di antarkan oleh Nabil, Raka memutuskan untuk pulang dan bergantian dengan Nabil untuk menjaga Kinara karena besok ia memiliki kelas pagi. Itu alasannya kenapa ada Nabil di sini.

Mama sendiri juga tidak ada di kamar rawat karena harus keluar sebentar membeli makan malam untuk mereka.

Nabil berlari menuju ke samping kiri ranjang guna memencet bel pasien yang tersedia untuk memanggil pertolongan dari tim medis.

“Anjing lama banget sih bangsat!” keluh Nabil kepalang panik. Padahal jarak waktu Nabil memencet bel dan dirinya mengeluh belum ada lewat satu menit. “Kin lo disini dulu ya, gue ke ruang perawat buat manggil mereka.” sambung Nabil kemudian, berpamitan.

Kinara langsung menarik tangan Nabil sebelum benar-benar lari dari sana. “Kak, temenin gue aja.” katanya lemah.

Kinara tahu, Nabil pasti kalang kabut karena gejala Osteosarcoma yang di deritanya. Jadi sebelum Nabil benar-benar pergi dan membuat keributan di sana, Kinara memutuskan untuk menghentikan Nabil sebelum berbuat lebih jauh.

Nabil menurut, ia menekan rasa khawatir nya dan langsung duduk di kursi samping ranjang. “Lo mana yang sakit? Gue elus sini, siapa tau sakit nya kurang.” ujar Nabil kemudian.

Kinara mengulum senyumnya, ia suka perhatian hangat Nabil saat ini.

“Ga ada yang spesifik kak, semua bagian badan gue sakit.” ujar Kinara jujur. Kinara ingin egois kali ini, dia ingin merasakan kasih sayang dan mengeluh sepuasnya kepada Nabil. Hal yang mungkin tidak akan dirinya dapatkan ketika ia sehat nanti.

Nabil menatap Kinara sedih. Tangannya bergerak mengusap bulir keringat dingin yang mengalir di dahi Kinara. “Kalau gue bisa gantiin rasa sakit lo Ra, gue mau dan bakalan gue gantiin saat ini juga.”

Senyum Kinara tidak tertahankan lagi, ia tertawa kecil. “Ga perlu lo gantiin rasa sakit gue kak. Lo ada disini nemenin gue aja, gue udah seneng.”


Nabil menemani mama untuk berbicara dengan dokter Hanan di luar kamar. Menghindari jika Kinara akan terganggu tidurnya jika mereka membicarakan hal ini dalam.

Dokter Hanan baru saja memeriksa keadaan terbaru Kinara, setelah sebelumnya tadi beberapa perawat sudah memeriksa lebih dulu keadaan Kinara saat nyeri pada kaki nya kambuh.

“Jadi saya perlu jelaskan ulang ya bu Miya, pengobatan pada osteosarcoma dapat dilakukan melalui operasi dan kemoterapi. Pada beberapa kasus, kami juga dapat memutuskan melakukan prosedur radioterapi.” jelas dokter Hanan dengan perlahan. “Pengobatan bisa di lakukan ketika sudah melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemindaian dengan USG, foto Rontgen, CT scan, PET scan atau MRI, untuk melihat keberadaan kanker dan mendeteksi apakah kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Pemeriksaan lain yang bisa di lakukan berupa pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari bagian tubuh yang bengkak atau sakit, untuk diteliti apakah jaringan tersebut bersifat kanker atau tidak.” Sambungnya lagi panjang lebar.

Nabil memeluk mama dari samping, berusaha menyalurkan kekuatan setelah mendengar penjelasan yang cukup rinci dari dokter Hanan.

“Pada kondisi Kinara saat ini, kita hanya perlu menunggu untuk hasil pemeriksaan penunjang lanjutan supaya bisa segera melakukan pengobatan.” kata dokter Hanan lagi. “Untuk besok Kinara sudah boleh pulang, sembari menunggu satu infus terakhir yang terpasang habis terlebih dahulu ya ibu Miya.” ucap Dokter Hanan lagi, dan kemudian berpamitan untuk segera berlalu dari sana.

Nabil menuntun mama untuk kembali masuk ke dalam kamar inap Kinara. Menuntun mama untuk segera duduk, dan mengistirahatkan badan nya yang melemas setelah mendengar informasi dari dokter Hanan tadi.

“Pengobatan yang di maksud dokter tadi ma, yang operasi... Jadi Kinara bakalan di operasi ma?” tanya Nabil dengan gamang.

Mama tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan, menatap Kinara yang kini sudah masuk ke dalam tidur damai nya.

Tak lama dari itu, pandangan mama beralih pada Nabil. “Sebelumnya waktu dengan papa, mama sudah di beri informasi terkait operasi yang bakal Kinara jalankan nanti sayang.” ujar mama kemudian, menjelaskan. “Operasi yang di maksud bertujuan untuk mengangkat seluruh kanker. Tergantung ukuran tumor dan lokasi pada tubuh Kinara, dokter Hanan juga bisa melakukan operasi untuk mengangkat kankernya saja atau juga mengangkat otot dan jaringan lain yang terkena kanker.” sambung mama kemudian.

Nabil termenung mencoba mencerna segala informasi yang baru saja di terima oleh otak nya hari ini. Nabil ingin mengeluh, ini semua terlalu berlebihan bagi dirinya dan Kinara pada hari pertama.

“Jadi maksud mama, dalam beberapa kasus dokter Hanan juga bisa buat keputusan untuk angkat tulang dan sendi Kinara ya ma?” tanya Nabil kemudian, setelah menata hati.

Mama mengangguk, “Dokter Hanan juga bilang ke mama, prosedur yang di lakukan juga bisa melakukan amputasi.”

Jantung Nabil berdebar kencang. Dirinya belum siap untuk mendengar sampai sejauh ini.

“Jika prosedur ini yang dilakukan, dokter Hanan bilang Kinara akan diberikan prostesis (kaki atau tangan palsu) untuk menggantikan fungsi organ Kinara yang diamputasi.” jelas mama lagi, tersendat. “Mama bahkan ga bisa bayangkan Bil, kalau kedepannya Kinara akan hidup dengan satu kaki. Kinara masih terlalu muda untuk merasakan dan menjalani semua itu.” sambung mama kemudian, menangis di pelukan Nabil yang sama pedih nya.

Mata Nabil berkaca-kaca. Pandangannya bergeser kepada Kinara yang kini damai dalam tidur nya. “Mama ga perlu khawatir soal itu. Bahkan Nabil bersedia untuk jadi kaki Kinara kedepannya, kalau memang prosedur itu akan di laksanakan demi kebaikan Kinara. Nabil janji soal hal itu.”

Raka membuka matanya dengan perlahan, mencoba menghindari cahaya yang menusuk. Pandangannya beralih pada Kinara yang sudah terbangun di ranjang pasien.

“Kinara?? Kenapa lo ga bangunin gue?” tanya Raka kelabakan, karena saat ini Kinara hanya terdiam memandangnya. Entah sedari kapan Kinara melakukan hal itu.

Raka hendak memencet bel pasien, guna memanggil perawat supaya mereka memeriksa keadaan Kinara saat ini. Tetapi belum sempat Raka memencet bel tersebut, tangan Kinara sudah menahannya.

“Gausah di panggi kak. Gue gapapa.” Kata Kinara singkat.

Raka duduk di kursi samping ranjang pasien, melihat keadaan Kinara dengan teliti. Apakah adik yang berada di depannya ini tengah berbohong atau tidak mengenai keadaannya.

“Kalau sakit bilang Kin.” Ujar Raka memperingatkan.

Kinara menggeleng, “Kalaupun sakit, bukan urusan lo juga kak. Gue udah terbiasa sakit, dan ga ada yang nanyain gue soal hal itu sebelumnya.” Jawab Kinara pelan.

Hati Raka mencelos, ucapan Kinara barusan sungguh menamparnya.

Dengan gemetar, tangan Raka meraih tangan sebelah kiri Kinara yang tidak terpasang oleh infus. “Gue minta maaf Kin, gue minta maaf karena udah acuh sama lo selama ini. Kalau gue tau lo sakit kaya gini, gue seharusnya bisa memperlakukan lo sebaik mungkin.”

Kinara melihat Raka dengan tatapan nyalang. “Dengan lo bilang kaya gitu gue makin yakin kak, perhatian lo saat ini tuh cuma rasa kasihan doang.” Ucap Kinara kemudian.

Raka menggeleng kuat, “Ini penyesalan Kin, bukan karena kasihan. Ini penyesalan karena terlambat tau. Selama ini kakak juga tau, serenggang apa hubungan kita sampe lo ga mau kasih tau keadaan lo sebenarnya ke yang lainnya.”

Kinara mengalihkan pandangannya, enggan melihat Raka. Kinara takut, dirinya akan luluh lagi dengan ucapan seperti itu. Dan ketika ia sudah luluh, maka dirinya akan di buang lagi karena terlalu menyusahkan dan membebani yang lainnya.

“Udah ya kak, sakit gue urusan gue. Sakit gue ga ada hubungannya dengan perlakuan kalian semua selama ini. Ini emang udah jalan gue, dan gue ga pernah menyalahkan hal ini ke kalian juga.”

Pertahanan Raka runtuh. Tanpa takut malu Raka menangis tersedu sembari menelungkupkan kepalanya di samping Kinara. Penyesalannya nya menumpuk hingga setinggi gunung, atau bahkan lebih dari itu.

Ego nya menyakitinya, menyakiti Kinara juga. Andai dirinya lebih peka, andai dirinya lebih perhatian, Kinara tidak akan menanggung semuanya sendirian seperti ini.

Rasa takut Kinara untuk berpegangan dengan saudaranya yang lain, juga terbentuk karena penolakannya. Raka juga ikut andil besar untuk hal itu, dan dia menyesalinya.

Raka kini mengerti kenapa Kinara menjadi seperti ini. Karena meskipun lukanya sembuh, bekasnya akan tetap tersisa.


Arsha berjalan meninggalkan pintu rawat inap tempat Kinara berada dengan gundah.

Dirinya berdiri di sana sejak awal percakapan antara Raka dan Kinara di mulai.

Setelah mendengar beberapa kalimat yang keluar dari mulut Kinara, harga diri Arsha jauh lebih terluka dari pada sebelumnya.

Bahkan Kinara tidak menyalahkan dirinya atau saudaranya yang lain atas semua yang terjadi. Arsha kembali berkaca kepada dirinya sendiri, yang selalu menyeret nyeret Kinara apapun masalahnya.

Kini Arsha sepenuhnya tersadar, bahwa dirinya tidaklah pantas mendapatkan adik setulus Kinara.

Raka membuka matanya dengan perlahan, mencoba menghindari cahaya yang menusuk. Pandangannya beralih pada Kinara yang sudah terbangun di ranjang pasien.

“Kinara?? Kenapa lo ga bangunin gue?” tanya Raka kelabakan, karena saat ini Kinara hanya terdiam memandangnya. Entah sedari kapan Kinara melakukan hal itu.

Raka hendak memencet bel pasien, guna memanggil perawat supaya mereka memeriksa keadaan Kinara saat ini. Tetapi belum sempat Raka memencet bel tersebut, tangan Kinara sudah menahannya.

“Gausah di panggi kak. Gue gapapa.” Kata Kinara singkat.

Raka duduk di kursi samping ranjang pasien, melihat keadaan Kinara dengan teliti. Apakah adik yang berada di depannya ini tengah berbohong atau tidak mengenai keadaannya.

“Kalau sakit bilang Kin.” Ujar Raka memperingatkan.

Kinara menggeleng, “Kalaupun sakit, bukan urusan lo juga kak. Gue udah terbiasa sakit, dan ga ada yang nanyain gue soal hal itu sebelumnya.” Jawab Kinara pelan.

Hati Raka mencelos, ucapan Kinara barusan sungguh menamparnya.

Dengan gemetar, tangan Raka meraih tangan sebelah kanan Kinara yang terpasang oleh infus dengan lembut. “Gue minta maaf Kin, gue minta maaf karena udah acuh sama lo selama ini. Kalau gue tau lo sakit kaya gini, gue seharusnya bisa memperlakukan lo sebaik mungkin.”

Kinara melihat Raka dengan tatapan nyalang. “Dengan lo bilang kaya gitu gue makin yakin kak, perhatian lo saat ini tuh cuma rasa kasihan doang.” Ucap Kinara kemudian.

Raka menggeleng kuat, “Ini penyesalan Kin, bukan karena kasihan. Ini penyesalan karena terlambat tau. Selama ini kakak juga tau, serenggang apa hubungan kita sampe lo ga mau kasih tau keadaan lo sebenarnya ke yang lainnya.”

Kinara mengalihkan pandangannya, enggan melihat Raka. Kinara takut, dirinya akan luluh lagi dengan ucapan seperti itu. Dan ketika ia sudah luluh, maka dirinya akan di buang lagi karena terlalu menyusahkan dan membebani yang lainnya.

“Udah ya kak, sakit gue urusan gue. Sakit gue ga ada hubungannya dengan perlakuan kalian semua selama ini. Ini emang udah jalan gue, dan gue ga pernah menyalahkan hal ini ke kalian juga.”

Pertahanan Raka runtuh. Tanpa takut malu Raka menangis tersedu sembari menelungkupkan kepalanya di samping Kinara. Penyesalannya nya menumpuk hingga setinggi gunung, atau bahkan lebih dari itu.

Ego nya menyakitinya, menyakiti Kinara juga. Andai dirinya lebih peka, andai dirinya lebih perhatian, Kinara tidak akan menanggung semuanya sendirian seperti ini.

Rasa takut Kinara untuk berpegangan dengan saudaranya yang lain, juga terbentuk karena penolakannya. Raka juga ikut andil besar untuk hal itu, dan dia menyesalinya.

Raka kini mengerti kenapa Kinara menjadi seperti ini. Karena meskipun lukanya sembuh, bekasnya akan tetap tersisa.

Arsha berjalan dengan lemas keluar lorong rumah sakit, meninggalkan Nabil sendirian menunggu Kinara yang masih belum sadar di ruang pasien.

Kenapa bisa ada di ruang pasien? Jadi segera setelah Nabil dan Arsha tiba di rumah sakit, ganti Arsha langsung menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang UGD yang memang paling dekat dengan pintu masuk rumah sakit.

Keduanya membagi tugas, dimana Arsha menemani Kinara yang tengah di periksa oleh dokter yang tengah berjaga, dan Nabil yang mendaftarkan identitas Kinara di ruang administrasi dan kembali menemani Arsha dan Kinara yang berada di UGD.

Setelah menjalani pemeriksaan umum, dari penjelasan dokter umum yang tengah berjaga, kondisi bagian sebelah kanan kaki Kinara yang terkena bola kasti tadi hampir patah.

Nabil dan Arsha menganga mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa hanya karena sekedar lemparan bola kasti dapat membuat kaki Kinara hampir patah??

Keanehan tidak berhenti disitu, karena Kinara langsung pindahkan ke ruang inap pasien, karena data diri Kinara sudah terdaftar di dalam rekam medis rumah sakit.

Arsha mengacak surai nya dengan gelisah. Apa saja yang sudah di sembunyikan oleh Kinara, mama, dan papa nya dari dirinya dan saudaranya yang lain?

Melihat lutut sebelah kanan Kinara yang membengkak, di gabungkan dengan penjelasan dokter umum tadi, membuat banyak spekulasi negatif bertebaran di benak Arsha.

Tiada berapa lama, Arsha melihat Mama, disusul oleh Raka dan Arzhan berlarian kecil menghampiri Arsha yang duduk di kursi kayu lorong rumah sakit.

“Di kamar nomor berapa Arsha?” tanya Mama buru-buru pada Arsha.

“146 ma.” jawab Arsha singkat. Arsha melihat mama nya yang datang dengan tergesa-gesa, reaksi yang berlebihan menurut Arsha, karena Arsha sendiri hanya mengatakan kaki Kinara terkena lemparan bola, dan mama langsung berlari kesini begitu mendengar nya. “Ma, Kinara sakit apa sebenernya?” tanya Arsha kemudian, menghalangi mama dan yang lainnya untuk kembali berjalan menuju ruang Kinara.

Arzhan dan Raka ikut terdiam, mereka berdua juga ingin mengetahui tentang kondisi Kinara saat ini.

Mama mengalihkan pandangannya, enggan menjawab pertanyaan Arsha.

“Ibu Miya?” seseorang memanggil dari belakang.

Mama menoleh, mengetahui bahwa ada dokter Hanan yang berada di belakangnya.

“Dokter Hanan.” Mama berjalan dengan cepat, menghampiri dokter Hanan untuk berjabat tangan.

Dokter Hanan memandang Arzhan, Raka, dan Arsha yang berada di belakang mama.

Seolah mengerti, mama menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan ketiganya pada dokter Hanan. “Ini kakak kakaknya Kinara.” Kata mama memperkenalkan.

Dokter Hanan tersenyum kecil, “Kinara pasti bahagia, punya saudara yang sigap seperti kalian. Cepat sekali keputusan kalian, untuk langsung bawa Kinara ke rumah sakit.”

Batin Arsha kembali bergejolak mendengar dokter yang baru saja di sapa oleh mama nya ini memanggil nama Kinara dengan akrab. Bisa Arsha simpulkan, bahwa memang dokter Hanan dan mama nya sudah berkomunikasi cukup lama.

“Ayo kita masuk ke dalam, sekaligus saya jelaskan bagaimana kondisi Kinara.” ajak Dokter Hanan lagi, dan menuntun mama untuk masuk ke ruang rawat inap milik Kinara.

Mama tidak bisa menolak, apalagi menyembunyikan ini lebih lama. Toh pada akhirnya, semuanya akan terungkap juga. Walaupun mama tidak mengira kalau hal ini akan terjadi secepat ini.

Nabil langsung berdiri begitu mendengar suara pintu ruang inap pasien di buka. Raka melirik Nabil, dan menyuruhnya untuk segera berpindah tempat karena dokter Hanan hendak memeriksa keadaan Kinara.

Arzhan menutup mulutnya dengan telapak tangan, terkejut melihat lutut Kinara yang luar biasa bengkak dan berwarna merah.

Raka pun sama. Tetapi dirinya lebih bisa mengatur ekspresi, supaya adik adiknya yang lain tidak ikut kalut.

Kemudian Raka, Nabil, Arsha, dan Arzhan hanya bisa terdiam, menunggu dokter Hanan yang kini tengah mengamati bagian lutut Kinara yang membengkak.

“Karena tumor ini banyak pembuluh darahnya, maka dari itu permukaan kulit yang terkena tumor menjadi hangat.” Jelas dokter Hanan setelah menyentuh perlahan lutut Kinara yang membengkak.

“Tu-tumor??” tanya Nabil tercekat.

Lutut Arzhan langsung melemas. Dengan segera dirinya berjongkok untuk menyeimbangkan diri.

Melihat gelagat keempatnya yang aneh, dokter Hanan mengerti bahwa mungkin Informasi ini sebelumnya tertutup dan hanya di ketahui oleh Kinara sendiri, dan kedua orang tuanya.

Atensi dokter Hanan beralih pada mama yang masih diam, menunggu penjelasan selanjutnya. “Bukan hal yang aneh pada kasus kanker tulang. Bahkan retak atau patah tulang dapat terjadi tanpa sebab. Tapi dalam kasus Kinara, patah tulang terjadi karena hantaman dari bola ya ibu Miya. Segera setelah ini, saya akan menjadwalkan untuk pemeriksaan ulang.”

Mama mengangguk, dan mengantar kepergian dokter Hanan keluar dari kamar inap pasien.

Mama berjalan dengan perlahan untuk duduk pada sofa yang di sediakan dalam kamar rawat. Mengabaikan keempatnya yang menunggu penjelasan tentang apa yang baru saja di bicarakan oleh dokter Hanan.

“Ma, ini ga beneran kan?” tanya Arsha takut. “Maksudnya Kinara beneran sakit kanker tulang?” sambungnya lagi mencoba memastikan.

Mama menutup matanya rapat, mencoba menghindari segala pertanyaan yang anak anaknya lontarkan.

Raka berjalan ke ranjang tempat Kinara terbaring. Dengan gemetar tangan Raka mengusap tangan kanan Kinara yang kini sudah terpasang infus.

“Sejak kapan ma? Sejak kapan mama dan Kinara tau kalau Kinara sakit?” tanya Raka kemudian. “Selama ini, tiap kakak selalu tanya Kinara soal kaki dia, Kinara selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan itu. Dan dia selalu bilang, kalau kakinya gapapa. Jadi ini alasannya?”

“Arzhan salah ma. Banyak hal yang Arzhan sepelekan soal Kinara. Seharusnya dari awal, Arzhan lebih peka.”

Arzhan melirik ke arah Nabil yang masih berdiri tak bergeming di samping kiri Kinara. Pandangannya beralih pada Arsha yang duduk di samping mama. Kulit wajahnya yang tan memucat, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Raka juga begitu. Tak banyak yang dia ucapkan, kecuali saat ini dengan diam diam dirinya mengusap air mata yang mengalir pelan ke pipi.

“Bahkan satupun di antara kita, ga ada yang pernah memperlakukan Kinara sebaik-baiknya. Itu jauh lebih buruk dari penyesalan, karena kita ga bisa mendefinisikan kata yang pas untuk mewakili sikap kita ke Kinara selama ini.”

Arsha berjalan dengan lemas keluar lorong rumah sakit, meninggalkan Nabil sendirian menunggu Kinara yang masih belum sadar di ruang pasien.

Kenapa bisa ada di ruang pasien? Jadi segera setelah Nabil dan Arsha tiba di rumah sakit, ganti Arsha langsung menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang UGD yang memang paling dekat dengan pintu masuk rumah sakit.

Keduanya membagi tugas, dimana Arsha menemani Kinara yang tengah di periksa oleh dokter yang tengah berjaga, dan Nabil yang mendaftarkan identitas Kinara di ruang administrasi dan kembali menemani Arsha dan Kinara yang berada di UGD.

Setelah menjalani pemeriksaan umum, dari penjelasan dokter umum yang tengah berjaga, kondisi bagian sebelah kanan kaki Kinara yang terkena bola kasti tadi hampir patah.

Nabil dan Arsha menganga mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa hanya karena sekedar lemparan bola kasti dapat membuat kaki Kinara hampir patah??

Keanehan tidak berhenti disitu, karena Kinara langsung pindahkan ke ruang inap pasien, karena data diri Kinara sudah terdaftar di dalam rekam medis rumah sakit.

Arsha mengacak surai nya dengan gelisah. Apa saja yang sudah di sembunyikan oleh Kinara, mama, dan papa nya dari dirinya dan saudaranya yang lain?

Melihat lutut sebelah kanan Kinara yang membengkak, di gabungkan dengan penjelasan dokter umum tadi, membuat banyak spekulasi negatif bertebaran di benak Arsha.

Tiada berapa lama, Arsha melihat Mama, disusul oleh Raka dan Arzhan berlarian kecil menghampiri Arsha yang duduk di kursi kayu lorong rumah sakit.

“Di kamar nomor berapa Arsha?” tanya Mama buru-buru pada Arsha.

“146 ma.” jawab Arsha singkat. Arsha melihat mama nya yang datang dengan tergesa-gesa, reaksi yang berlebihan menurut Arsha, karena Arsha sendiri hanya mengatakan kaki Kinara terkena lemparan bola, dan mama langsung berlari kesini begitu mendengar nya. “Ma, Kinara sakit apa sebenernya?” tanya Arsha kemudian, menghalangi mama dan yang lainnya untuk kembali berjalan menuju ruang Kinara.

Arzhan dan Raka ikut terdiam, mereka berdua juga ingin mengetahui tentang kondisi Kinara saat ini.

Mama mengalihkan pandangannya, enggan menjawab pertanyaan Arsha.

“Ibu Miya?” seseorang memanggil dari belakang.

Mama menoleh, mengetahui bahwa ada dokter Hanan yang berada di belakangnya.

“Dokter Hanan.” Mama berjalan dengan cepat, menghampiri dokter Hanan untuk berjabat tangan.

Dokter Hanan memandang Arzhan, Raka, dan Arsha yang berada di belakang mama.

Seolah mengerti, mama menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan ketiganya pada dokter Hanan. “Ini kakak kakaknya Kinara.” Kata mama memperkenalkan.

Dokter Hanan tersenyum kecil, “Kinara pasti bahagia, punya saudara yang sigap seperti kalian. Cepat sekali keputusan kalian, untuk langsung bawa Kinara ke rumah sakit.”

Batin Arsha kembali bergejolak mendengar dokter yang baru saja di sapa oleh mama nya ini memanggil nama Kinara dengan akrab. Bisa Arsha simpulkan, bahwa memang dokter Hanan dan mama nya sudah berkomunikasi cukup lama.

“Ayo kita masuk ke dalam, sekaligus saya jelaskan bagaimana kondisi Kinara.” ajak Dokter Hanan lagi, dan menuntun mama untuk masuk ke ruang rawat inap milik Kinara.

Mama tidak bisa menolak, apalagi menyembunyikan ini lebih lama. Toh pada akhirnya, semuanya akan terungkap juga. Walaupun mama tidak mengira kalau hal ini akan terungkap secepat ini.

Nabil langsung berdiri begitu mendengar suara pintu ruang inap pasien di buka. Raka melirik Nabil, dan menyuruhnya untuk segera berpindah tempat karena dokter Hanan hendak memeriksa keadaan Kinara.

Arzhan menutup mulutnya dengan telapak tangan, terkejut melihat lutut Kinara yang luar biasa bengkak dan berwarna merah.

Raka pun sama. Tetapi dirinya lebih bisa mengatur ekspresi, supaya adik adiknya yang lain tidak ikut kalut.

Kemudian Raka, Nabil, Arsha, dan Arzhan hanya bisa terdiam, menunggu dokter Hanan yang kini tengah mengamati bagian lutut Kinara yang membengkak.

“Karena tumor ini banyak pembuluh darahnya, maka dari itu permukaan kulit yang terkena tumor menjadi hangat.” Jelas dokter Hanan setelah menyentuh perlahan lutut Kinara yang membengkak.

“Tu-tumor??” tanya Nabil tercekat.

Lutut Arzhan langsung melemas. Dengan segera dirinya berjongkok untuk menyeimbangkan diri.

Melihat gelagat keempatnya yang aneh, dokter Hanan mengerti bahwa mungkin Informasi ini sebelumnya tertutup dan hanya di ketahui oleh Kinara sendiri, dan kedua orang tuanya.

Atensi dokter Hanan beralih pada mama yang masih diam, menunggu penjelasan selanjutnya. “Bukan hal yang aneh pada kasus kanker tulang. Bahkan retak atau patah tulang dapat terjadi tanpa sebab. Tapi dalam kasus Kinara, patah tulang terjadi karena hantaman dari bola ya ibu Miya. Segera setelah ini, saya akan menjadwalkan untuk pemeriksaan ulang.”

Mama mengangguk, dan mengantar kepergian dokter Hanan keluar dari kamar inap pasien.

Mama berjalan dengan perlahan untuk duduk pada sofa yang di sediakan dalam kamar rawat. Mengabaikan keempatnya yang menunggu penjelasan tentang apa yang baru saja di bicarakan oleh dokter Hanan.

“Ma, ini ga beneran kan?” tanya Arsha takut. “Maksudnya Kinara beneran sakit kanker tulang?” sambungnya lagi mencoba memastikan.

Mama menutup matanya rapat, mencoba menghindari segala pertanyaan yang anak anaknya lontarkan.

Raka berjalan ke ranjang tempat Kinara terbaring. Dengan gemetar tangan Raka mengusap tangan kanan Kinara yang kini sudah terpasang infus.

“Sejak kapan ma? Sejak kapan mama dan Kinara tau kalau Kinara sakit?” tanya Raka kemudian. “Selama ini, tiap kakak selalu tanya Kinara soal kaki dia, Kinara selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan itu. Dan dia selalu bilang, kalau kakinya gapapa. Jadi ini alasannya?”

“Arzhan salah ma. Banyak hal yang Arzhan sepelekan soal Kinara. Seharusnya dari awal, Arzhan lebih peka.”

Arzhan melirik ke arah Nabil yang masih berdiri tak bergeming di samping kiri Kinara. Pandangannya beralih pada Arsha yang duduk di samping mama. Kulit wajahnya yang tan memucat, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Raka juga begitu. Tak banyak yang dia ucapkan, kecuali saat ini dengan diam diam dirinya mengusap air mata yang mengalir pelan ke pipi.

“Bahkan satupun di antara kita, ga ada yang pernah memperlakukan Kinara sebaik-baiknya. Itu jauh lebih buruk dari penyesalan, karena kita ga bisa mendefinisikan kata yang pas untuk mewakili sikap kita ke Kinara saat ini.”

Arsha berjalan dengan lemas keluar lorong rumah sakit, meninggalkan Nabil sendirian menunggu Kinara yang masih belum sadar di ruang pasien.

Kenapa bisa ada di ruang pasien? Jadi segera setelah Nabil dan Arsha tiba di rumah sakit, ganti Arsha langsung menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang UGD yang memang paling dekat dengan pintu masuk rumah sakit.

Keduanya membagi tugas, dimana Arsha menemani Kinara yang tengah di periksa oleh dokter yang tengah berjaga, dan Nabil yang mendaftarkan identitas Kinara di ruang administrasi dan kembali menemani Arsha dan Kinara yang berada di UGD.

Setelah menjalani pemeriksaan umum, dari penjelasan dokter umum yang tengah berjaga, kondisi bagian sebelah kanan kaki Kinara yang terkena bola kasti tadi hampir patah.

Nabil dan Arsha menganga mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa hanya karena sekedar lemparan bola kasti dapat membuat kaki Kinara hampir patah??

Keanehan tidak berhenti disitu, karena Kinara langsung pindahkan ke ruang inap pasien, karena data diri Kinara sudah terdaftar di dalam rekam medis rumah sakit.

Arsha mengacak surai nya dengan gelisah. Apa saja yang sudah di sembunyikan oleh Kinara, mama, dan papa nya dari dirinya dan saudaranya yang lain?

Melihat lutut sebelah kanan Kinara yang membengkak, di gabungkan dengan penjelasan dokter umum tadi, membuat banyak spekulasi negatif bertebaran di benak Arsha.

Mama, disusul oleh Raka dan Arzhan berlarian kecil menghampiri Arsha yang duduk di kursi kayu lorong rumah sakit.

“Di kamar nomor berapa Arsha?” tanya Mama buru-buru pada Arsha.

“146 ma.” jawab Arsha singkat. Arsha melihat mama nya yang datang dengan tergesa-gesa, reaksi yang berlebihan menurut Arsha, karena Arsha sendiri hanya mengatakan kaki Kinara terkena lemparan bola, dan mama langsung berlari kesini begitu mendengar nya. “Ma, Kinara sakit apa sebenernya?” tanya Arsha kemudian, menghalangi mama dan yang lainnya untuk kembali berjalan menuju ruang Kinara.

Arzhan dan Raka ikut terdiam, mereka berdua juga ingin mengetahui tentang kondisi Kinara saat ini.

Mama mengalihkan pandangannya, enggan menjawab pertanyaan Arsha.

“Ibu Miya?” seseorang memanggil dari belakang.

Mama menoleh, mengetahui bahwa ada dokter Hanan yang berada di belakangnya.

“Dokter Hanan.” Mama berjalan dengan cepat, menghampiri dokter Hanan untuk berjabat tangan.

Dokter Hanan memandang Arzhan, Raka, dan Arsha yang berada di belakang mama.

Seolah mengerti, mama menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan ketiganya pada dokter Hanan. “Ini kakak kakaknya Kinara.” Kata mama memperkenalkan.

Dokter Hanan tersenyum kecil, “Kinara pasti bahagia, punya saudara yang sigap seperti kalian. Cepat sekali keputusan kalian, untuk langsung bawa Kinara ke rumah sakit.”

Batin Arsha kembali bergejolak mendengar dokter yang baru saja di sapa oleh mama nya ini memanggil nama Kinara dengan akrab. Bisa Arsha simpulkan, bahwa memang dokter Hanan dan mama nya sudah berkomunikasi cukup lama.

“Ayo kita masuk ke dalam, sekaligus saya jelaskan bagaimana kondisi Kinara.” ajak Dokter Hanan lagi, dan menuntun mama untuk masuk ke ruang rawat inap milik Kinara.

Mama tidak bisa menolak, apalagi menyembunyikan ini lebih lama. Toh pada akhirnya, semuanya akan terungkap juga. Walaupun mama tidak mengira kalau hal ini akan terungkap secepat ini.

Nabil langsung berdiri begitu mendengar suara pintu ruang inap pasien di buka. Raka melirik Nabil, dan menyuruhnya untuk segera berpindah tempat karena dokter Hanan hendak memeriksa keadaan Kinara.

Arzhan menutup mulutnya dengan telapak tangan, terkejut melihat lutut Kinara yang luar biasa bengkak dan berwarna merah.

Raka pun sama. Tetapi dirinya lebih bisa mengatur ekspresi, supaya adik adiknya yang lain tidak ikut kalut.

Kemudian Raka, Nabil, Arsha, dan Arzhan hanya bisa terdiam, menunggu dokter Hanan yang kini tengah mengamati bagian lutut Kinara yang membengkak.

“Karena tumor ini banyak pembuluh darahnya, maka dari itu permukaan kulit yang terkena tumor menjadi hangat.” Jelas dokter Hanan setelah menyentuh perlahan lutut Kinara yang membengkak.

“Tu-tumor??” tanya Nabil tercekat.

Lutut Arzhan langsung melemas. Dengan segera dirinya berjongkok untuk menyeimbangkan diri.

Melihat gelagat keempatnya yang aneh, dokter Hanan mengerti bahwa mungkin Informasi ini sebelumnya tertutup dan hanya di ketahui oleh Kinara sendiri, dan kedua orang tuanya.

Atensi dokter Hanan beralih pada mama yang masih diam, menunggu penjelasan selanjutnya. “Bukan hal yang aneh pada kasus kanker tulang. Bahkan retak atau patah tulang dapat terjadi tanpa sebab. Tapi dalam kasus Kinara, patah tulang terjadi karena hantaman dari bola ya ibu Miya. Segera setelah ini, saya akan menjadwalkan untuk pemeriksaan ulang.”

Mama mengangguk, dan mengantar kepergian dokter Hanan keluar dari kamar inap pasien.

Mama berjalan dengan perlahan untuk duduk pada sofa yang di sediakan dalam kamar rawat. Mengabaikan keempatnya yang menunggu penjelasan tentang apa yang baru saja di bicarakan oleh dokter Hanan.

“Ma, ini ga beneran kan?” tanya Arsha takut. “Maksudnya Kinara beneran sakit kanker tulang?” sambungnya lagi mencoba memastikan.

Mama menutup matanya rapat, mencoba menghindari segala pertanyaan yang anak anaknya lontarkan.

Raka berjalan ke ranjang tempat Kinara terbaring. Dengan gemetar tangan Raka mengusap tangan kanan Kinara yang kini sudah terpasang infus.

“Sejak kapan ma? Sejak kapan mama dan Kinara tau kalau Kinara sakit?” tanya Raka kemudian. “Selama ini, tiap kakak selalu tanya Kinara soal kaki dia, Kinara selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan itu. Dan dia selalu bilang, kalau kakinya gapapa. Jadi ini alasannya?”

“Arzhan salah ma. Banyak hal yang Arzhan sepelekan soal Kinara. Seharusnya dari awal, Arzhan lebih peka.”

Arzhan melirik ke arah Nabil yang masih berdiri tak bergeming di samping kiri Kinara. Pandangannya beralih pada Arsha yang duduk di samping mama. Kulit wajahnya yang tan memucat, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Raka juga begitu. Tak banyak yang dia ucapkan, kecuali saat ini dengan diam diam dirinya mengusap air mata yang mengalir pelan ke pipi.

“Bahkan satupun di antara kita, ga ada yang pernah memperlakukan Kinara sebaik-baiknya. Itu jauh lebih buruk dari penyesalan, karena kita ga bisa mendefinisikan kata yang pas untuk mewakili sikap kita ke Kinara saat ini.”

Eja menuntun Kinara untuk duduk di pinggir lapangan, tepat di bawah pohon trembesi yang memang tumbuh dengan sehat di depan lapangan olahraga sekolah mereka.

Sebelumnya Gale sendiri sudah melaporkan kepada guru olahraga, bahwa Kinara tidak akan ikut pada mata pelajaran hari ini karena kurang enak badan.

Sebagai sahabat yang baik, cara Eja dan Gale dalam merawat Kinara perlu di acungi jempol. Bahkan Acel sendiri mengatakan, bahwa Eja dan Gale jauh lebih baik ketika merawat Kinara, di bandingkan saudara Kinara yang lain.

“Sumpah hari ini tuh mendung dan gue udah bilang ke lo buat bawa jaket, kenapa ngeyel banget sih??” Ujar Eja cerewet, karena Kinara saat ini memeluk tubuhnya sendiri kedinginan.

Pada akhirnya Eja kembali berlari ke arah kelas, untuk mengambil jaket bulu miliknya untuk di serahkan kepada Kinara nanti. Kinara tidak sempat menghentikan pergerakan Eja, karena Eja langsung berjalan cepat meninggalkan dirinya begitu melihat ia menggigil kedinginan.

“Eja mana?” tanya Gale menghampiri Kinara yang masih setia memeluk tubuhnya yang menggigil ringan.

Kinara menggeleng, “Kalau dugaan gue bener, paling balik ke kelas lagi ambil jaket.” jawab Kinara pendek.

Gale mengangguk, dan merapatkan duduknya ke arah Kinara untuk sekedar membuat Kinara merasa hangat sebelum Eja datang membawa jaket nanti.

“Ternyata bener ya kata Eja, kelas kita di gabung sama kelas kak Nabil buat pelajaran olahraga.” ujar Gale kemudian, melihat Nabil tengah berbicara dengan guru olahraga, merundingkan apa yang akan mereka mainkan setelah pemanasan olahraga nanti.

Kinara tersenyum kecil, “Tiga tahun gue di SMP, baru kali ini gue liat kak Nabil di pelajaran olahraga.”

Gale menautkan alis nya bingung, “Baru kali ini?”

Kinara mengangguk, “Karena waktu SMP, gue jarang ketemu kak Nabil di sekolah. Bahkan banyak yang gatau kalau gue adik dia.” Cerita Kinara kemudian. “Ya walaupun ga ada yang bisa di pamerin sih dari punya adik kaya gue.” Sambungnya lagi, singkat.

Gale menggelengkan kepala tidak setuju. “Banyak hal yang bisa gue sebagai sahabat lo pamerin Ra.” Sahut Gale cepat. “Lo cerdas, lo pandai, lo punya personality yang bagus, lo selalu bisa comfort orang orang di sekitar lo. Itu semua kelebihan lo, dan lo ga boleh tutup mata soal hal itu.”

Kinara tersenyum tipis, “I'm glad, you see me on that side.” Ucapnya tulus.

Tiada berapa lama, benar saja Eja sudah datang dengan sedikit berlari sembari menenteng jaket bulu di tangan kiri nya. “Nih pake, tuan putri yang keras kepala.” Ujarnya dan menyerahkan jaket nya kepada Kinara sebelum pada akhirnya mereka berdua kembali ke tengah lapangan, karena mata pelajaran olahraga akan segera di mulai.

Kinara masih tersenyum memandangi kedua sahabatnya yang berlari tergesa-gesa menuju tengah lapangan. Pandangan nya beralih kepada Nabil, yang kini juga tengah menatapnya dengan intens dari seberang sana.

Mendadak Kinara gugup, karena pagi ini dirinya belum sempat bertemu saudara nya yang lain karena ia sudah berangkat lebih dulu dengan supir yang di sediakan oleh mama nya.

Nabil melihat Kinara dengan seksama, memastikan bahwa Kinara baik baik saja duduk di bawah pohon trembesi.

Pandangan Nabil beralih, dan kembali berfokus pada mata pelajaran olahraga yang sudah di mulai. Kinara kembali menghela nafas lega, dirinya bahkan untuk sekarang harus berusaha terlihat baik baik saja di depan semua orang.

Kinara tahu, bahwa dirinya naif. Dan entah sampai kapan, ia akan sanggup untuk terus berpura-pura seperti ini dalam kedepannya.


Eja mengipasi wajahnya yang terasa cukup pengap setelah melakukan pemanasan tadi dengan tangan kosong. “Iyasih ga panas, tapi hawa nya lembab mau hujan gini tetep ngerasa gerah gue.” Keluhnya kemudian.

Setelah pemanasan yang baru saja selesai, di pimpin oleh salah satu perwakilan kelas dua belas, mereka di bubarkan untuk berolahraga sendiri.

Sedikit yang Kinara tahu dari Gale tadi, bahwa akan ada rapat tahunan membahas RPS yang akan di lakukan oleh guru. Maka dari itu, mungkin saja setelah ini mereka akan di pulangkan pagi.

“Ga ikut main bola kasti kalian?” tanya Kinara, memperhatikan Gale dan Eja yang kini justru duduk di sebelah kanan kiri nya.

“Ini ngusir?” tanya Eja sinis.

Kinara tertawa kecil, “Enggak biasa aja. Kan biasanya ini mata pelajaran kesukaan lo, Ja.” jawab Kinara melakukan pembelaan.

Eja menggaruk telinga nya yang tidak gatal. “Ya ga salah sih, tapi emang kenapa coba kalo gue mau disini? Lagian ga ada kewajiban buat ikut kok. Udah di bebasin juga, mau ngapain.” Jelas Eja kemudian.

“Ikut aja sono, tanding tuh sama kelas dua belas.” Ucap Gale menimbrung. “Kalahin kak Nabil, kalo lo bisa.” Sambungnya lagi, memanas manasi suasana.

Eja bergidik ngeri, “Enggak ah, lo kira gue seberani itu? Kena lemparan bola nya kak Nabil, bisa bolong badan gue.” Jawab Eja cepat. “Lagian gue mau nemenin Kinara aja, lo akhir akhir ini ga pernah keliatan sehat ya Ra? Lo sakit apasih? Mana jalan nya pincang mulu lagi.”

Kinara mengalihkan perhatian, “Kalian bareng mulu sama gue, ga bosen? Anak anak kelas lain selalu ngatain kalian selir gue tau.”

Gale tertawa kecil. Dia sudah tau banyak desas desus menyebar tentang cinta segitiga antara dirinya, Kinara, dan Eja. Gale diam, bukan berarti ia tidak mengerti.

“AWAS BOLA!!”

Teriak seseorang dari kejauhan, memperingatkan bola kasti yang tengah terbang ke arah Kinara, Eja, dan Gale.

Dengan sigap Eja dan Gale berdiri di depan Kinara guna memblokir datang nya bola yang mungkin akan mengenai bagian atas badan Kinara yang kini tengah terduduk.

“LO YANG BENER AJA ANJING?! MUKUL BOLA KE ARAH MANA BANGSAT!!” teriak Nabil dari kejauhan, memarahi salah satu teman sekelasnya yang baru saja memukul bola ke arah Kinara dengan tongkat kasti.

“Bil, Bil, udah Bil.” Cegah Farhan begitu melihat Nabil berjalan emosi ke arah teman sekelasnya yang berbuat masalah itu. “Kinara, Bil. Mending lo ke Kinara aja. Gue liat tadi cuma kena kaki dia, tapi kenapa anaknya pingsan sekarang???” Sambung Farhan lagi, kebingungan.

Nabil menoleh ke arah Kinara berada seusai ia mendengar penuturan dari Farhan. Benar yang di katakan oleh Farhan, tampak banyak murid lainnya yang ikut mengerubungi tempat dimana duduk tadi.

Dengan cepat Nabil berlari ke sana di susul oleh Farhan yang berlari di belakangnya. Segera setelah itu, Farhan langsung mengusir gerombolan siswa lain yang ikut mengerubungi dan menyuruh mereka untuk segera kembali ke kelas.

Farhan tahu selain supaya pasokan udara yang di hirup bisa lebih banyak, Nabil juga tidak suka kalau dirinya menjadi pusat perhatian karena bingung dengan keadaan adiknya.

Nabil menghampiri Gale yang memegang bagian tubuh atas, sembari menepuk-nepuk pelan pipi Kinara.

“Eja, lo ke kelas Arsha aja sekarang. Ambil kunci mobil dia!!” Ucap Nabil dengan suara keras kepada Eja yang masih berdiri dengan setia di samping Gale.

“Loh, ga di bawa ke UKS aja dulu kak?” tanya Eja kebingungan.

“UKS ga buka Ja.” Farhan yang menjawab. “Habis ini kan mau ada rapat RPS, paling cuma ada guru piket doang harus nya. Si Nabil naik motor juga kesini.” Jelasnya lagi.

Eja mengerti, dan langsung pergi dengan cepat menuju kelas Nabil yang lumayan dekat dengan lapangan olahraga.

“Pake mobil gue aja kah kak?” Tanya Gale memberi usul.

Nabil menggeleng, “Paling deket kelas nya Arsha dari sini. Butuh waktu lama kalo mau ke kelas lo ambil kunci.” jelas Nabil. “Ra, Kinara?? Anjing lo kenapa bangsat??” Panggil Nabil lagi pada Kinara yang masih tidak sadar.

Nabil tersadar akan sesuatu, dan kemudian mulai melirik ke arah kaki Kinara yang masih tertutup oleh celana olahraga.

“Lo bilang bola nya tadi kena kaki Kinara kan Han? Kaki sebelah mana?” tanya Nabil kemudian, hendak memastikan.

Farhan menggeleng, “Gue ga tau kena kaki sebelah mana Bil, soalnya gue juga ga begitu keliatan. Hal yang pasti gue liat, waktu terbang ke arah adek lo, si Eja sama Gale ini berdiri buat ngehalangin bola nya. Tapi bola nya justru mendarat ke bawah, makanya gue bisa asumsikan kalo bola nya kena kaki Kinara.” Sambungnya lagi, panjang lebar.

“Kena kaki sebelah kanan nya kak.” Jawab Gale kemudian. “Gue liat tadi, bola nya kena kaki sebelah kanan nya Kinara.”

Segera setelah mendengar penuturan Gale, Nabil menggulung celana sebelah kanan Kinara untuk memastikan. Celana olahraga Kinara cukup longgar, sehingga Nabil cukup mudah untuk mengangkat nya ke atas.

Farhan menutup mulut nya rapat rapat, begitu juga dengan Gale yang kini terdiam dan menghentikan tepukan tangannya di pipi Kinara. Mereka berdua terkejut.

“Itu... Itu bengkak Bil?” Tanya Farhan tidak percaya, melihat lutut sebelah kanan Kinara membengkak sebesar kepalan tangan.

Wajar bila Gale yang juga teman sekelas Kinara kaget, karena Gale juga tidak melihat ada hal yang aneh kecuali cara berjalan Kinara yang tidak normal beberapa hari ini. Rok panjang Kinara mampu menutupi segala nya, dan membuat semua orang tertipu akan hal itu, termasuk Nabil.

Nabil menyentuh area kaki Kinara yang kini membengkak, dan kemerahan dengan takut. Area yang bengkak itu cukup hangat, jika di bandingkan dengan bagian kulit yang lain. Perbedaan yang kontras, melihat tangan Kinara yang Nabil pegang sedari tadi mengeluarkan keringat dingin.

Arsha dan Eja berlari dengan tergesa-gesa, menghampiri dimana tempat keempatnya berada.

Begitu Eja datang dengan terburu-buru ke kelas Arsha, Arsha langsung membawa semua barang nya untuk segera mengikuti Eja ke arah lapangan olahraga tanpa bertanya dan menunggu alasan Eja datang menghampirinya. Arsha sudah menduga bahwa ada hal aneh yang terjadi, sejak teman Kinara dengan berkaos olahraga datang jauh jauh ke kelas nya.

“Kinara kenapa kak?!” Tanya Arsha bingung sesampainya di sana, dengan terengah-engah. Pandangan Arsha beralih pada lutut kanan Kinara yang kini tengah di usap lembut oleh Nabil. “KAKI KINARA KENAPA BANGSAT?!! ITU.... ITU GUE GA SALAH LIAT, KENAPA KAKI KINARA BENGKAK SEGITU GEDE NYA??” tanya Arsha ikut heboh, melihat lutut Kinara.

Dengan sigap, Nabil berdiri dan langsung menggendong Kinara untuk berjalan lebih dulu menuju tempat parkir sekolah.

“Eja, lo balik ke kelas terus gue minta tolong beresin semua barang Kinara. Lo bawa aja dulu tas dia, untuk sekarang. Hape dia ada di saku jaket bulu, yang gue ga tau ini punya siapa.” ucap Nabil pada Eja.

Eja menganggukkan kepala mengerti. “Itu jaket gue kak, bawa aja dulu buat Kinara.”

“Buat lo Gale, gue minta tolong buat kabarin Arzhan kalau gue sama Arsha cabut duluan dan kasih tau dia kalau Kinara lagi sakit. Jadi mungkin gue bakalan bawa Kinara ke instansi kesehatan deket sini.” Kata Nabil lagi, membagi tugas pada Gale.

“Dan buat lo, Han-”

“Udah lo buruan ke parkiran, tas sama motor lo biar gue aja yang ngurus.” Potong Farhan cepat, tidak tega melihat Nabil terus berbicara sedangkan Nabil sendiri juga kesulitan menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri.

Arsha sendiri sudah berlari lebih dulu ke arah parkiran, sembari menghubungi orang rumah guna memberi tahu keadaan Kinara saat ini.

Nabil berhenti sejenak, dan menatap Farhan dalam diam. “Makasih Han, gue percaya sama lo.”

Farhan mengangguk, “Iya Bil, gue juga percaya sama kemampuan lo sebagai kakak. Gue harap Kinara ga kenapa-napa, dan lo hati-hati buat berkendara habis ini sama Arsha.”