JC Halcyon

“Serius deh, gue bingung banget sama saudara lo.” Ujar Eja membuka suara. “Dulu ga perduli, sekarang sampe ngikutin lo kaya gini?? Hah kaya apaan anjir.” sambungnya lagi tidak percaya, melihat Nabil berada di bangku cafe tempat tujuan mereka yang kedua.

Kinara hanya bisa tersenyum tipis. Perubahan mendadak saudara Kinara saja bisa di rasakan oleh orang luar. Apalagi Kinara sendiri?

“Gamau pesen yang enakan dikit kah Ra?” tanya Gale menyela, melihat Kinara dua kali berturut-turut meminum air mineral.

“Air mineral juga enak kok Le. Jangan salah paham.” Jawab Kinara membela diri.

“Sebenernya lo mau ngasih tau apa sih? Dari tadi loh gue nungguin kaga cerita cerita.” potong Acel, tidak sabar.

Kinara menghela nafas nya pelan, dirinya bingung dari mana ia harus memulainya.

“If I die, how long will it take you to recover guys?” tanya Kinara kemudian setelah terdiam lama.

“Anjing?? Tiba-tiba banget Ra?” tanya Eja balik, tidak mengerti.

“Bangsat, sampe tua anjing. It'll be my traumatic thoo!!” jawab Acel tak kalah serius.

Kinara tersenyum, “Kalo lo Le? Eja?” tanya nya lagi.

“Untuk pulih itu gabisa dibayangin berapa lamanya. Karena tiap kenangan itu gabisa diukur seberapa lama bisa kita hilangkan. Karena kenangan itu akan tetap ada meskipun orang itu masih ada atau enggak.” jawab Gale kemudian, setelah terdiam untuk berfikir jawaban apa yang tepat ia ucapkan. “Jadi kalo lo nanya seberapa lama, jawaban gue gatau. Bisa aja sebentar, atau take a life time.”

“Lagian kenapa bahas mati sih Ra? Menurut lo, bagi gue berapa lama? Fakta nyokap gue meninggal aja masih belom bisa gue terima. Berapa tahun? Hampir lima dan gue masih merasa di titik yang sama sejak dia baru meninggal kemarin.” Akhirnya Eja ikut menjawab pertanyaan absurd Kinara.

Kinara memainkan tutup botol air mineral nya. Menimbang kalimat selanjutnya apa yang harus ia ucapkan, menilik berbagai reaksi sahabatnya.

“Gue sakit, Osteosarcoma.” ucap Kinara langsung.

Nabil yang berada tak jauh dari meja mereka ikut mendengarkan percakapan yang terjadi. Pada akhirnya Kinara berani jujur dengan orang-orang sekitar nya.

Osteos, ostos, coma? hah? Sakit apaan itu jir. Sakit maag?” Sahut Eja cepat.

Kinara tertawa kecil, di susul oleh tawa dari Acel juga yang merasa kalau hal itu adalah hal yang lucu.

“Bukan sakit maag bego. Osteosarcoma itu kanker tulang.”

Tawa Acel seketika lenyap, di gantikan hening. Ketiganya menatap Kinara intens, meminta penjelasan.

“Gue di vonis dokter kalau kaki sebelah kanan gue bagian lutut ada tumor nya. Tadinya ga ada penjelasan langsung kalau tumor itu adalah kanker sampai pemeriksaan kedua ternyata tumor nya tumor ganas.” ucap Kinara perlahan, mencoba menjelaskan dengan detail. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun kali ini. “Dan sampai saat ini, gue belom dapat keputusan untuk menempuh pengobatan yang mana. Soalnya hasil pemeriksaan untuk pengobatan juga baru keluar nanti sore.” sambung nya lagi.

Kinara menatap ketiga sahabatnya yang masih diam, enggan menanggapi ucapannya.

“Ngomong dong. Berasa lagi dongeng gue.” ucap Kinara, masih mencoba untuk melucu.

Tiba-tiba Acel berdiri dari tempat duduknya, dan mengambil tas punggung nya. Eja dan Gale menatap dengan penuh kebingungan.

“Acel? Lo mau kemana?” tanya Kinara ikut bingung, dan sontak langsung berdiri yang mengakibatkan lututnya nyeri seketika. “Acel? Gue minta maaf kalau ga cerita lebih awal.”

Acel tidak mendengarkan perkataan Kinara, dan langsung berlalu dengan cepat dari sana.

“Gue aja yang susul Acel.” ujar Eja kemudian, dan segera berlari menyusul Acel.

Kinara menatap pemandangan di depannya dengan pias. Ia tidak menyangka kalau Acel akan meninggalkan nya tanpa sepatah kalimat apapun begitu ia menceritakan kejujurannya.

“Duduk Ra.” ucap Gale memegang pundak Kinara. “Lo keringet dingin, pasti lo lagi nahan sakit.” sambung nya lagi.

Nabil yang melihat pemandangan itu langsung bergegas berpindah tempat ke meja Kinara dan Gale berada.

“Ada yang sakit Ra? Ayo pulang sekarang.” ujar nya kemudian, setelah melihat dengan seksama keadaan Kinara kali ini.

Kinara menggeleng kuat, “Gue gamau pulang kak. Gue masih ada yang mau di bicarain sama Gale.”

Gale menghela nafas nya pelan. “Pulang dulu Ra, kondisi lo ga baik baik aja untuk bisa diskusi saat ini. Masalah Acel, biarin Eja sama gue yang tangani. Lo istirahat biar nanti waktu ambil hasil pemeriksaan bisa maksimal.” nasehat Gale panjang lebar.

Nabil menyentuh tangan Kinara yang kini sudah basah dengan keringat dingin. Dirinya tidak tega melihat kondisi Kinara dan keadaan yang mengelilingi nya saat ini.

“Gue balik dulu ya Le, sama Kinara.” pamit Nabil kemudian, dan membawa tas Kinara serta menuntun Kinara untuk berjalan keluar.


Nabil melihat adiknya yang sepanjang perjalanan hanya diam menatap pemandangan yang ada. Setelah insiden yang terjadi di cafe tadi, Nabil sendiri juga bingung hendak menghibur Kinara seperti apa.

“Gausah sedih, Acel pasti juga kaget makanya dia kaya gitu.” hibur Nabil pelan.

Kinara tersenyum kecil, “Ga sedih kok kak. Gue udah nyiapin skenario terburuk karena udah ambil jalan untuk jujur.” jawabnya kemudian.

“Abis ini langsung istirahat aja, gausah terlalu di pikirin apa yang udah terjadi.” Nasehat Nabil lagi. “Ra, jangan pernah berfikiran yang lain akan ninggalin lo, karena lo berbeda. Mereka cuma butuh waktu untuk menerima lo, dan keadaan lo sebenarnya.”

Ucapan Nabil barusan hanya bisa Kinara bawa diam. Dibilang kecewa, sebenarnya ia juga tidak pantas untuk bilang kecewa. Mengenai reaksi Acel dan yang lainnya setelah dirinya mengumpulkan keberanian untuk berkata jujur.

Persis seperti ucapan Nabil, mereka hanya butuh waktu untuk mengerti. Dan tentunya Kinara bisa menunggu hal itu.

Mobil memasuki area rumah, yang gerbang nya sudah di bukakan oleh pak Bedjo. Dari yang Kinara tahu, papa nya juga pasti sudah berada di rumah melihat adanya mobil yang selalu di bawa oleh papanya dinas terparkir di depan pintu garasi mobil yang tertutup.

“Makasih kak buat hari ini. Maaf kalo gue ngerepotin.” ucap Kinara tulus, sembari melepas seatbelt nya.

Nabil tersenyum tipis, enggan terlihat oleh Kinara. “Ga ngerepotin karena gue yang emang mau nganterin lo kemanapun itu.”

“Oh iya, ini buat lo.” ujar Kinara masih belum selesai, dan memberikan selembar kertas pada Nabil.

[](https://i.imgur.com/R9gR7tn.jpg)

Nabil melihat gambaran dirinya yang tentunya di gambar oleh Kinara dengan terkejut. Nabil tidak tahu, kapan Kinara menggambar potret dirinya ini.

“Ga bagus sih—”

“Ini bagus banget.” sela Nabil cepat. “Masih ya dek, bakalan gue simpen.” sambung nya lagi.

Hati Kinara senang bukan main, pipinya berseri seri mendengar ucapan terimakasih dari Nabil setelah sekian lama.

Akhirnya Kinara bisa melihat Nabil tersenyum dengan tulus kepadanya. Tidak ada hal yang bisa membuatnya lebih bahagia dari ini.

Akhirnya dengan riang, Kinara turun dari mobil dengan perlahan dan berjalan pelan menuju ke dalam rumah. Meninggalkan Nabil yang masih betah berada di kursi kemudi melihat gambaran dari Kinara tadi.

“Makasih Kinara. Makasih buat semuanya. Lo terlalu istimewa buat di ceritakan secara sederhana bagi gue.”

[](https://i.imgur.com/SIoQbL1.jpg)

“Serius deh, gue bingung banget sama saudara lo.” Ujar Eja membuka suara. “Dulu ga perduli, sekarang sampe ngikutin lo kaya gini?? Hah kaya apaan anjir.” sambungnya lagi tidak percaya, melihat Nabil berada di bangku cafe tempat tujuan mereka yang kedua.

Kinara hanya bisa tersenyum tipis. Perubahan mendadak saudara Kinara saja bisa di rasakan oleh orang luar. Apalagi Kinara sendiri?

“Gamau pesen yang enakan dikit kah Ra?” tanya Gale menyela, melihat Kinara dua kali berturut-turut meminum air mineral.

“Air mineral juga enak kok Le. Jangan salah paham.” Jawab Kinara membela diri.

“Sebenernya lo mau ngasih tau apa sih? Dari tadi loh gue nungguin kaga cerita cerita.” potong Acel, tidak sabar.

Kinara menghela nafas nya pelan, dirinya bingung dari mana ia harus memulainya.

“If I die, how long will it take you to recover guys?” tanya Kinara kemudian setelah terdiam lama.

“Anjing?? Tiba-tiba banget Ra?” tanya Eja balik, tidak mengerti.

“Bangsat, sampe tua anjing. It'll be my traumatic thoo!!” jawab Acel tak kalah serius.

Kinara tersenyum, “Kalo lo Le? Eja?” tanya nya lagi.

“Untuk pulih itu gabisa dibayangin berapa lamanya. Karena tiap kenangan itu gabisa diukur seberapa lama bisa kita hilangkan. Karena kenangan itu akan tetap ada meskipun orang itu masih ada atau enggak.” jawab Gale kemudian, setelah terdiam untuk berfikir jawaban apa yang tepat ia ucapkan. “Jadi kalo lo nanya seberapa lama, jawaban gue gatau. Bisa aja sebentar, atau take a life time.”

“Lagian kenapa bahas mati sih Ra? Menurut lo, bagi gue berapa lama? Fakta nyokap gue meninggal aja masih belom bisa gue terima. Berapa tahun? Hampir lima dan gue masih merasa di titik yang sama sejak dia baru meninggal kemarin.” Akhirnya Eja ikut menjawab pertanyaan absurd Kinara.

Kinara memainkan tutup botol air mineral nya. Menimbang kalimat selanjutnya apa yang harus ia ucapkan, menilik berbagai reaksi sahabatnya.

“Gue sakit, Osteosarcoma.” ucap Kinara langsung.

Nabil yang berada tak jauh dari meja mereka ikut mendengarkan percakapan yang terjadi. Pada akhirnya Kinara berani jujur dengan orang-orang sekitar nya.

Osteos, ostos, coma? hah? Sakit apaan itu jir. Sakit maag?” Sahut Eja cepat.

Kinara tertawa kecil, di susul oleh tawa dari Acel juga yang merasa kalau hal itu adalah hal yang lucu.

“Bukan sakit maag bego. Osteosarcoma itu kanker tulang.”

Tawa Acel seketika lenyap, di gantikan hening. Ketiganya menatap Kinara intens, meminta penjelasan.

“Gue di vonis dokter kalau kaki sebelah kanan gue bagian lutut ada tumor nya. Tadinya ga ada penjelasan langsung kalau tumor itu adalah kanker sampai pemeriksaan kedua ternyata tumor nya tumor ganas.” ucap Kinara perlahan, mencoba menjelaskan dengan detail. Ia tidak ingin menyembunyikan apapun kali ini. “Dan sampai saat ini, gue belom dapat keputusan untuk menempuh pengobatan yang mana. Soalnya hasil pemeriksaan untuk pengobatan juga baru keluar nanti sore.” sambung nya lagi.

Kinara menatap ketiga sahabatnya yang masih diam, enggan menanggapi ucapannya.

“Ngomong dong. Berasa lagi dongeng gue.” ucap Kinara, masih mencoba untuk melucu.

Tiba-tiba Acel berdiri dari tempat duduknya, dan mengambil tas punggung nya. Eja dan Gale menatap dengan penuh kebingungan.

“Acel? Lo mau kemana?” tanya Kinara ikut bingung, dan sontak langsung berdiri yang mengakibatkan lututnya nyeri seketika. “Acel? Gue minta maaf kalau ga cerita lebih awal.”

Acel tidak mendengarkan perkataan Kinara, dan langsung berlalu dengan cepat dari sana.

“Gue aja yang susul Acel.” ujar Eja kemudian, dan segera berlari menyusul Acel.

Kinara menatap pemandangan di depannya dengan pias. Ia tidak menyangka kalau Acel akan meninggalkan nya tanpa sepatah kalimat apapun begitu ia menceritakan kejujurannya.

“Duduk Ra.” ucap Gale memegang pundak Kinara. “Lo keringet dingin, pasti lo lagi nahan sakit.” sambung nya lagi.

Nabil yang melihat pemandangan itu langsung bergegas berpindah tempat ke meja Kinara dan Gale berada.

“Ada yang sakit Ra? Ayo pulang sekarang.” ujar nya kemudian, setelah melihat dengan seksama keadaan Kinara kali ini.

Kinara menggeleng kuat, “Gue gamau pulang kak. Gue masih ada yang mau di bicarain sama Gale.”

Gale menghela nafas nya pelan. “Pulang dulu Ra, kondisi lo ga baik baik aja untuk bisa diskusi saat ini. Masalah Acel, biarin Eja sama gue yang tangani. Lo istirahat biar nanti waktu ambil hasil pemeriksaan bisa maksimal.” nasehat Gale panjang lebar.

Nabil menyentuh tangan Kinara yang kini sudah basah dengan keringat dingin. Dirinya tidak tega melihat kondisi Kinara dan keadaan yang mengelilingi nya saat ini.

“Gue balik dulu ya Le, sama Kinara.” pamit Nabil kemudian, dan membawa tas Kinara serta menuntun Kinara untuk berjalan keluar.


Nabil melihat adiknya yang sepanjang perjalanan hanya diam menatap pemandangan yang ada. Setelah insiden yang terjadi di cafe tadi, Nabil sendiri juga bingung hendak menghibur Kinara seperti apa.

“Gausah sedih, Acel pasti juga kaget makanya dia kaya gitu.” hibur Nabil pelan.

Kinara tersenyum kecil, “Ga sedih kok kak. Gue udah nyiapin skenario terburuk karena udah ambil jalan untuk jujur.” jawabnya kemudian.

“Abis ini langsung istirahat aja, gausah terlalu di pikirin apa yang udah terjadi.” Nasehat Nabil lagi. “Ra, jangan pernah berfikiran yang lain akan ninggalin lo, karena lo berbeda. Mereka cuma butuh waktu untuk menerima lo, dan keadaan lo sebenarnya.”

Ucapan Nabil barusan hanya bisa Kinara bawa diam. Dibilang kecewa, sebenarnya ia juga tidak pantas untuk bilang kecewa. Mengenai reaksi Acel dan yang lainnya setelah dirinya mengumpulkan keberanian untuk berkata jujur.

Persis seperti ucapan Nabil, mereka hanya butuh waktu untuk mengerti. Dan tentunya Kinara bisa menunggu hal itu.

Mobil memasuki area rumah, yang gerbang nya sudah di bukakan oleh pak Bedjo. Dari yang Kinara tahu, papa nya juga pasti sudah berada di rumah melihat adanya mobil yang selalu di bawa oleh papanya dinas terparkir di depan pintu garasi mobil yang tertutup.

“Makasih kak buat hari ini. Maaf kalo gue ngerepotin.” ucap Kinara tulus, sembari melepas seatbelt nya.

Nabil tersenyum tipis, enggan terlihat oleh Kinara. “Ga ngerepotin karena gue yang emang mau nganterin lo kemanapun itu.”

“Oh iya, ini buat lo.” ujar Kinara masih belum selesai, dan memberikan selembar kertas pada Nabil.

?[](https://i.imgur.com/R9gR7tn.jpg)

Nabil melihat gambaran dirinya yang tentunya di gambar oleh Kinara dengan terkejut. Nabil tidak tahu, kapan Kinara menggambar potret dirinya ini.

“Ga bagus sih—”

“Ini bagus banget.” sela Nabil cepat. “Masih ya dek, bakalan gue simpen.” sambung nya lagi.

Hati Kinara senang bukan main, pipinya berseri seri mendengar ucapan terimakasih dari Nabil setelah sekian lama.

Akhirnya Kinara bisa melihat Nabil tersenyum dengan tulus kepadanya. Tidak ada hal yang bisa membuatnya lebih bahagia dari ini.

Akhirnya dengan riang, Kinara turun dari mobil dengan perlahan dan berjalan pelan menuju ke dalam rumah. Meninggalkan Nabil yang masih betah berada di kursi kemudi melihat gambaran dari Kinara tadi.

“Makasih Kinara. Makasih buat semuanya. Lo terlalu istimewa buat di ceritakan secara sederhana bagi gue.”

?[](https://i.imgur.com/SIoQbL1.jpg)

Raka mengetuk pintu kamar mamanya dan Kinara dengan perlahan. Pagi ini mereka berencana untuk pergi bersama dan jalan jalan keluar bersama. Karena Bachtiar dan Rila akan pulang sore hari nanti.

Tentunya untuk tempat tujuan tidak di tentukan, karena itu akan sangat memakan waktu jadi mereka memutuskan akan menentukan tempat tujuan sembari di jalan nanti.

“Udah siap?” tanya Raka setelah Kinara membuka pintu.

Kinara tersenyum tipis, dirinya sudah berdandan lebih awal tadi. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Rila sepagi ini dengan menunda-nunda waktu untuk pergi.

“Gue ambil tas sama ponsel gue dulu kak.” Ucap Kinara kemudian, dan kembali berjalan tertatih menuju tempat tas nya berada.

Raka yang melihat Kinara kesulitan berjalan hanya bisa meringis dalam diam. Pincang nya kaki Kinara ketika di buat berjalan sudah memperlihatkan betapa sakitnya itu.

“Mau gue gendong aja ke lantai satu?” tanya Raka kemudian, mengajukan diri seperti biasa.

Kinara menggeleng dan tertawa kecil, “Aneh aneh aja lo kak, nanti kalau kita berdua malah jatuh gelinding dari atas gimana?” ujar Kinara di sela tawa nya.

Raka tersenyum kecil, “Enggak lah Ra, gini gini keseimbangan gue bagus.” lanjutnya memuji diri, dan menggandeng tangan Kinara untuk turun perlahan melewati tangga.

“Lagian tumben banget ajak gue segala? Biasanya kalian selalu keluar bareng-bareng tanpa gue.” ucap Kinara kemudian, mengingatkan pada Raka tentang kejadian yang sudah-sudah.

“Sekali kali ayo ikutan. Masa hari libur mau di kamar doang. Lagian juga buat seneng kak Bachtiar sama Rila sebelum mereka pulang.” Jawab Raka.

“Bukannya Rila malah lebih seneng ya kalo gue gausah di ajak?” tanya Kinara lagi, masih skeptis.

Raka menghela nafas nya pelan. Bukan salah Kinara jika ia berfikir seperti itu. Karena memang setiap Rila kemari, Kinara akan berubah tidak terlihat dan semua perhatian di rumah akan terpusat pada Rila.

Belum lagi hubungan Kinara dan Rila juga memburuk karena insiden Rila mengambil paksa dua botol parfum, yang esok nya setelah Rila pulang mereka baru tahu kalau parfum itu hadiah dari Acel.

Jujur saja walaupun Arsha membela Rila mati-matian saat itu, tapi setelah tahu kebenarannya diam-diam Arsha juga merasa bersalah kemudian membelikan dua botol parfum yang sama sebagai gantinya pada Kinara.

Tidak ada ada keributan setelah itu, karena Kinara juga tidak berkata apapun dan membiarkannya selesai dalam diam seperti biasanya.


“What do you want to order, birdie?” tanya Bachtiar yang kini berada di samping kanan Kinara.

Setelah perjalanan yang lumayan lama di mobil, akhirnya mereka sepakat untuk berhenti di salah satu dessert restaurant.

Kinara memilah milah beberapa menu yang boleh ia makan dan harus ia hindari demi kesehatan nya. Dokter Hanan melalui mama sudah berpesan padanya untuk tidak memakan makanan manis dan juga makanan yang di buat menggunakan karbohidrat olahan.

Peka dengan kebingungan adiknya, Arzhan yang berada di sebelah kiri mengambil alih buku menu dari tangan Kinara. “Coba bilang ke gue, apa aja yang harus di hindari. Biar gue cek ingredients nya.” Ucap Arzhan, mencoba membantu.

Kinara mengangguk, “Makanan yang terlalu asin atau manis kak, terus yang bahannya pake karbohidrat olahan.” jelas Kinara kemudian. “Oh iya, sama yang rendah lemak.” sambungnya lagi, setelah berusaha mengingat.

Arzhan mengerti dan kembali membaca buku menu untuk melihat detail nya dengan hati-hati.

“Apasih gitu banget cuma makan doang?” tanya Rila tidak mengerti. “Lagi diet ya lo? Makanya kak Kin, kalo lagi diet tuh di rumah aja gausah ikut keluar terus makan makanan di luar.” lanjutnya menyindir.

“Apasih La?! Kok ngomongnya begitu. Gak sopan.” tegur Bachtiar setelah mendengar ucapan adiknya.

“Lagian liat tuh kak. Sampe kak Arzhan harus bantuin liat bahan makanannya. Ngapain coba pake nyusahin kak Arzhan segala, padahal kak Arzhan sendiri juga belom pesen apapun.”

Kinara tertohok dengan ucapan Rila. Apa yang di katakan Rila sepenuhnya benar. Kenapa ia harus merepotkan orang lain untuk kebutuhan nya sendiri?

Dengan segera Kinara hendak merebut buku menu yang berada di tangan Arzhan tetapi Arzhan menghindar.

“Kak sini biar gue aja.” bisik Kinara pelan.

“Apaan sih, enggak!” ucap Arzhan tegas dan masih berfokus membaca list menu.

Akhirnya Kinara hanya bisa terdiam dan mengetuk jarinya tidak beraturan di atas meja.

Nabil dan Arsha sendiri tengah pergi sedari tadi untuk mengambil minuman yang sudah di sediakan akhirnya kembali juga.

“Nih yang ngerasa punya, ambil dah.” ucap Arsha sembari menaruh nampan penuh minuman di atas meja.

Nabil menyodorkan air mineral ke arah Kinara. “Lo air putih aja ya? Jangan minum yang aneh-aneh.” ucapnya kemudian.

Kinara hanya bisa mengangguk dan mengambil botol air mineral dari tangan Nabil.

Tiada berapa lama Arzhan sudah berdiri untuk menyetorkan pesanannya dan Kinara.

Arsha dan Nabil merasakan hawa berat yang datang dari keempatnya setelah mereka datang hanya kebingungan. Entah drama apa yang sudah terjadi kali ini.

Arzhan segera kembali dan duduk di samping Kinara. Tatapannya tajam itu membuat Arsha tersadar bahwa ada hal aneh yang baru saja terjadi.

“Sebelumnya gue mau minta maaf ke lo dulu kak.” ucap Arzhan kemudian, sembari menatap Bachtiar. Bachtiar menolehkan kepalanya tidak mengerti. Minta maaf untuk apa?

“La, jangan lagi lo sebut Kinara nyusahin atau sejenisnya.” ucap Arzhan kemudian. “Lo ga tau dampak apa yang lo akibatkan dengan lo bilang kaya gitu. Gue disini ga merasa di susahkan sama sekali kok. Justru gue senang bisa bantu adik gue sendiri, karena itu artinya dia percaya sama pilihan gue.” lanjutnya lagi.

Nabil mengerutkan dahi nya. Dirinya tidak mengerti apa yang barusan terjadi.

Kinara yang di bela hanya mampu memegang tangan Arzhan berusaha untuk meredam emosi lelaki itu.

“Gue ga maksud untuk bilang gitu kak. Maksud gue kenapa harus repotin kakak kalau kak Kinara bisa baca menu dan bahannya sendiri? Lagian kenapa pilih pilih banget sih sama makanan.” Ucap Rila membela dirinya sendiri, masih tidak puas.

“Rila apa yang pengen Arzhan lakuin ya biarin dia lakuin. Kalau dia emang mau bantuin Kinara buat pilih menu makanan, itu juga terserah dia. Lo ga berhak larang apapun yang dia pengen lakukan untuk adiknya sendiri.” akhirnya Raka ikut menimbrung.

Bachtiar hanya bisa memegang kepalanya pusing. Pusing melihat kelakuan adiknya yang tidak pernah bisa bersikap dewasa.

Arsha dan Nabil kini mengerti letak permasalahan nya. Pantas sana kertas pesanan terakhir baru Arzhan antarkan, ternyata karena ia masih sibuk memilih bahan-bahan makanan yang harus di hindari oleh Kinara.

Dan juga ucapan Rila yang menyerang Kinara untuk tidak menyusahkan Arzhan, padahal Arzhan melakukan itu dengan senang hati untuk Kinara. Ia sama sekali tidak merasa di repotkan untuk hal itu. Toh kalaupun itu merepotkan, Arzhan siap untuk melakukan itu selamanya demi Kinara.

“Makanya kalo ngomong tuh di pikir dulu. Ga selamanya lo masih kecil dan segala ucapannya lo bakalan di terima gitu aja sama orang lain.” ucap Nabil juga, ikut menyudutkan.

Rila memasang wajah muram, ia sungguh malu kali ini. Kemudian dirinya mengalihkan pandangan pada Arsha, meminta bantuan dan pembelaan. Sayangnya Arsha justru memalingkan wajahnya ke arah lain dengan muak.

Rila kalah telak kali ini.

Raka mengetuk pintu kamar mamanya dan Kinara dengan perlahan. Pagi ini mereka berencana untuk pergi bersama dan jalan jalan keluar bersama. Karena Bachtiar dan Rila akan pulang sore hari nanti.

Tentunya untuk tempat tujuan tidak di tentukan, karena itu akan sangat memakan waktu jadi mereka memutuskan akan menentukan tempat tujuan sembari di jalan nanti.

“Udah siap?” tanya Raka setelah Kinara membuka pintu.

Kinara tersenyum tipis, dirinya sudah berdandan lebih awal tadi. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Rila sepagi ini dengan menunda-nunda waktu untuk pergi.

“Gue ambil tas sama ponsel gue dulu kak.” Ucap Kinara kemudian, dan kembali berjalan tertatih menuju tempat tas nya berada.

Raka yang melihat Kinara kesulitan berjalan hanya bisa meringis dalam diam. Pincang nya kaki Kinara ketika di buat berjalan sudah memperlihatkan betapa sakitnya itu.

“Mau gue gendong aja ke lantai satu?” tanya Raka kemudian, mengajukan diri seperti biasa.

Kinara menggeleng dan tertawa kecil, “Aneh aneh aja lo kak, nanti kalau kita berdua malah jatuh gelinding dari atas gimana?” ujar Kinara di sela tawa nya.

Raka tersenyum kecil, “Enggak lah Ra, gini gini keseimbangan gue bagus.” lanjutnya memuji diri, dan menggandeng tangan Kinara untuk turun perlahan melewati tangga.

“Lagian tumben banget ajak gue segala? Biasanya kalian selalu keluar bareng-bareng tanpa gue.” ucap Kinara kemudian, mengingatkan pada Raka tentang kejadian yang sudah-sudah.

“Sekali kali ayo ikutan. Masa hari libur mau di kamar doang. Lagian juga buat seneng kak Bachtiar sama Rila sebelum mereka pulang.” Jawab Raka.

“Bukannya Rila malah lebih seneng ya kalo gue gausah di ajak?” tanya Kinara lagi, masih skeptis.

Raka menghela nafas nya pelan. Bukan salah Kinara jika ia berfikir seperti itu. Karena memang setiap Rila kemari, Kinara akan berubah tidak terlihat dan semua perhatian di rumah akan terpusat pada Rila.

Belum lagi hubungan Kinara dan Rila juga memburuk karena insiden Rila mengambil paksa dua botol parfum, yang esok nya setelah Rila pulang mereka baru tahu kalau parfum itu hadiah dari Acel.

Jujur saja walaupun Arsha membela Rila mati-matian saat itu, tapi setelah tahu kebenarannya diam-diam Arsha juga merasa bersalah kemudian membelikan dua botol parfum yang sama sebagai gantinya pada Kinara.

Tidak ada ada keributan setelah itu, karena Kinara juga tidak berkata apapun dan membiarkannya selesai dalam diam seperti biasanya.


“What do you want to order, birdie?” tanya Bachtiar yang kini berada di samping kanan Kinara.

Setelah perjalanan yang lumayan lama di mobil, akhirnya mereka sepakat untuk berhenti di salah satu dessert restaurant.

Kinara memilah milah beberapa menu yang boleh ia makan dan harus ia hindari demi kesehatan nya. Dokter Hanan melalui mama sudah berpesan padanya untuk tidak memakan makanan manis dan juga makanan yang di buat menggunakan karbohidrat olahan.

Peka dengan kebingungan adiknya, Arzhan yang berada di sebelah kiri mengambil alih buku menu dari tangan Kinara. “Coba bilang ke gue, apa aja yang harus di hindari. Biar gue cek ingredients nya.” Ucap Arzhan, mencoba membantu.

Kinara mengangguk, “Makanan yang terlalu asin atau manis kak, terus yang bahannya pake karbohidrat olahan.” jelas Kinara kemudian. “Oh iya, sama yang rendah lemak.” sambungnya lagi, setelah berusaha mengingat.

Arzhan mengerti dan kembali membaca buku menu untuk melihat detail nya dengan hati-hati.

“Apasih gitu banget cuma makan doang?” tanya Rila tidak mengerti. “Lagi diet ya lo? Makanya kak Kin, kalo lagi diet tuh di rumah aja gausah ikut keluar terus makan makanan di luar.” lanjutnya menyindir.

“Apasih La?! Kok ngomongnya begitu. Gak sopan.” tegur Bachtiar setelah mendengar ucapan adiknya.

“Lagian liat tuh kak. Sampe kak Arzhan harus bantuin liat bahan makanannya. Ngapain coba pake nyusahin kak Arzhan segala, padahal kak Arzhan sendiri juga belom pesen apapun.”

Kinara tertohok dengan ucapan Rila. Apa yang di katakan Rila sepenuhnya benar. Kenapa ia harus merepotkan orang lain untuk kebutuhan nya sendiri?

Dengan segera Kinara hendak merebut buku menu yang berada di tangan Arzhan tetapi Arzhan menghindar.

“Kak sini biar gue aja.” bisik Kinara pelan.

“Apaan sih, enggak!” ucap Arzhan tegas dan masih berfokus membaca list menu.

Akhirnya Kinara hanya bisa terdiam dan mengetuk jarinya tidak beraturan di atas meja.

Nabil dan Arsha sendiri tengah pergi sedari tadi untuk mengambil minuman yang sudah di sediakan akhirnya kembali juga.

“Nih yang ngerasa punya, ambil dah.” ucap Arsha sembari menaruh nampan penuh minuman di atas meja.

Nabil menyodorkan air mineral ke arah Kinara. “Lo air putih aja ya? Jangan minum yang aneh-aneh.” ucapnya kemudian.

Kinara hanya bisa mengangguk dan mengambil botol air mineral dari tangan Nabil.

Tiada berapa lama Arzhan sudah berdiri untuk menyetorkan pesanannya dan Kinara.

Arsha dan Nabil merasakan hawa berat yang datang dari keempatnya setelah mereka datang hanya kebingungan. Entah drama apa yang sudah terjadi kali ini.

Arzhan segera kembali dan duduk di samping Kinara. Tatapannya tajam itu membuat Arsha tersadar bahwa ada hal aneh yang baru saja terjadi.

“Sebelumnya gue mau minta maaf ke lo dulu kak.” ucap Arzhan kemudian, sembari menatap Bachtiar. Bachtiar menolehkan kepalanya tidak mengerti. Minta maaf untuk apa?

“La, jangan lagi lo sebut Kinara nyusahin atau sejenisnya.” ucap Arzhan kemudian. “Lo ga tau dampak apa yang lo akibatkan dengan lo bilang kaya gitu. Gue disini ga merasa di susahkan sama sekali kok. Justru gue senang bisa bantu adik gue sendiri, karena itu artinya dia percaya sama pilihan gue.” lanjutnya lagi.

Nabil mengerutkan dahi nya. Dirinya tidak mengerti apa yang barusan terjadi.

Kinara yang di bela hanya mampu memegang tangan Arzhan berusaha untuk meredam emosi lelaki itu.

“Gue ga maksud untuk bilang gitu kak. Maksud gue kenapa harus repotin kakak kalau kak Kinara bisa baca menu dan bahannya sendiri? Lagian kenapa pilih pilih banget sih sama makanan.” Ucap Rila membela dirinya sendiri, masih tidak puas.

“Rila apa yang pengen Arzhan lakuin ya biarin dia lakuin. Kalau dia emang mau bantuin Kinara buat pilih menu makanan, itu juga terserah dia. Lo ga berhak larang apapun yang dia pengen lakukan untuk adiknya sendiri.” akhirnya Raka ikut menimbrung.

Bachtiar hanya bisa memegang kepalanya pusing. Pusing melihat kelakuan adiknya yang tidak pernah bisa bersikap dewasa.

Arsha dan Nabil kini mengerti letak permasalahan nya. Pantas sana kertas pesanan terakhir baru Arzhan antarkan, ternyata karena ia masih sibuk memilih bahan-bahan makanan yang harus di hindari oleh Kinara.

Dan juga ucapan Rila yang menyerang Kinara untuk tidak menyusahkan Arzhan, padahal Arzhan melakukan itu dengan senang hati untuk Kinara. Ia sama sekali tidak merasa di repotkan untuk hal itu. Toh kalaupun itu merepotkan, Arzhan siap untuk melakukan itu selamanya demi Kinara.

“Makanya kalo ngomong tuh di pikir dulu. Ga selamanya lo masih kecil dan segala ucapannya lo bakalan di terima gitu aja sama orang lain.” ucap Nabil juga, ikut menyudutkan.

Rila memasang wajah muram, ia sungguh malu kali ini. Kemudian dirinya mengalihkan pandangan pada Arsha, meminta bantuan dan pembelaan. Sayangnya Arsha justru memalingkan wajahnya dengan muak.

Rila kalah telak kali ini.

Raka mengetuk pintu kamar mamanya dan Kinara dengan perlahan. Pagi ini mereka berencana untuk pergi bersama dan jalan jalan keluar bersama. Karena Bachtiar dan Rila akan pulang sore hari nanti.

Tentunya untuk tempat tujuan tidak di tentukan, karena itu akan sangat memakan waktu jadi mereka memutuskan akan menentukan tempat tujuan sembari di jalan nanti.

“Udah siap?” tanya Raka setelah Kinara membuka pintu.

Kinara tersenyum tipis, dirinya sudah berdandan lebih awal tadi. Ia tidak ingin membuat masalah dengan Rila sepagi ini dengan menunda-nunda waktu untuk pergi.

“Gue ambil tas sama ponsel gue dulu kak.” Ucap Kinara kemudian, dan kembali berjalan tertatih menuju tempat tas nya berada.

Raka yang melihat Kinara kesulitan berjalan hanya bisa meringis dalam diam. Pincang nya kaki Kinara ketika di buat berjalan sudah memperlihatkan betapa sakitnya itu.

“Mau gue gendong aja ke lantai satu?” tanya Raka kemudian, mengajukan diri seperti biasa.

Kinara menggeleng dan tertawa kecil, “Aneh aneh aja lo kak, nanti kalau kita berdua malah jatuh gelinding dari atas gimana?” ujar Kinara di sela tawa nya.

Raka tersenyum kecil, “Enggak lah Ra, gini gini keseimbangan gue bagus.” lanjutnya memuji diri, dan menggandeng tangan Kinara untuk turun perlahan melewati tangga.

“Lagian tumben banget ajak gue segala? Biasanya kalian selalu keluar bareng-bareng tanpa gue.” ucap Kinara kemudian, mengingatkan pada Raka tentang kejadian yang sudah-sudah.

“Sekali kali ayo ikutan. Masa hari libur mau di kamar doang. Lagian juga buat seneng kak Bachtiar sama Rila sebelum mereka pulang.” Jawab Raka.

“Bukannya Rila malah lebih seneng ya kalo gue gausah di ajak?” tanya Kinara lagi, masih skeptis.

Raka menghela nafas nya pelan. Bukan salah Kinara jika ia berfikir seperti itu. Karena memang setiap Rila kemari, Kinara akan berubah tidak terlihat dan semua perhatian di rumah akan terpusat pada Rila.

Belum lagi hubungan Kinara dan Rila juga memburuk karena insiden Rila mengambil paksa dua botol parfum, yang esok nya setelah Rila pulang mereka baru tahu kalau parfum itu hadiah dari Acel.

Jujur saja walaupun Arsha membela Rila mati-matian saat itu, tapi setelah tahu kebenarannya diam-diam Arsha juga merasa bersalah kemudian membelikan dua botol parfum yang sama sebagai gantinya pada Kinara.

Tidak ada ada keributan setelah itu, karena Kinara juga tidak berkata apapun dan membiarkannya selesai dalam diam seperti biasanya.


“what do you want to order, birdie?” tanya Bachtiar yang kini berada di samping kanan Kinara.

Setelah perjalanan yang lumayan lama di mobil, akhirnya mereka sepakat untuk berhenti di salah satu dessert restaurant.

Kinara memilah milah beberapa menu yang boleh ia makan dan harus ia hindari demi kesehatan nya. Dokter Hanan melalui mama sudah berpesan padanya untuk tidak memakan makanan manis dan juga makanan yang di buat menggunakan karbohidrat olahan.

Peka dengan kebingungan adiknya, Arzhan yang berada di sebelah kiri mengambil alih buku menu dari tangan Kinara. “Coba bilang ke gue, apa aja yang harus di hindari. Biar gue cek ingredients nya.” Ucap Arzhan, mencoba membantu.

Kinara mengangguk, “Makanan yang terlalu asin atau manis kak, terus yang bahannya pake karbohidrat olahan.” jelas Kinara kemudian. “Oh iya, sama yang rendah lemak.” sambungnya lagi, setelah berusaha mengingat.

Arzhan mengerti dan kembali membaca buku menu untuk melihat detail nya dengan hati-hati.

“Apasih gitu banget cuma makan doang?” tanya Rila tidak mengerti. “Lagi diet ya lo? Makanya kak Kin, kalo lagi diet tuh di rumah aja gausah ikut keluar terus makan makanan di luar.” lanjutnya menyindir.

“Apasih La?! Kok ngomongnya begitu. Gak sopan.” tegur Bachtiar setelah mendengar ucapan adiknya.

“Lagian liat tuh kak. Sampe kak Arzhan harus bantuin liat bahan makanannya. Ngapain coba pake nyusahin kak Arzhan segala, padahal kak Arzhan sendiri juga belom pesen apapun.”

Kinara tertohok dengan ucapan Rila. Apa yang di katakan Rila sepenuhnya benar. Kenapa ia harus merepotkan orang lain untuk kebutuhan nya sendiri?

Dengan segera Kinara hendak merebut buku menu yang berada di tangan Arzhan tetapi Arzhan menghindar.

“Kak sini biar gue aja.” bisik Kinara pelan.

“Apaan sih, enggak!” ucap Arzhan tegas dan masih berfokus membaca list menu.

Akhirnya Kinara hanya bisa terdiam dan mengetuk jarinya tidak beraturan di atas meja.

Nabil dan Arsha sendiri tengah pergi sedari tadi untuk mengambil minuman yang sudah di sediakan akhirnya kembali juga.

“Nih yang ngerasa punya, ambil dah.” ucap Arsha sembari menaruh nampan di atas meja.

Nabil menyodorkan air mineral ke arah Kinara. “Lo air putih aja ya? Jangan minum yang aneh-aneh.” ucapnya kemudian.

Kinara hanya bisa mengangguk dan mengambil botol air mineral dari tangan Nabil.

Tiada berapa lama Arzhan sudah berdiri untuk menyetorkan pesanannya dan Kinara.

Arsha dan Nabil merasakan hawa berat yang datang dari keempatnya setelah mereka datang hanya kebingungan. Entah drama apa yang sudah terjadi kali ini.

Arzhan segera kembali dan duduk di samping Kinara. Tatapannya tajam itu membuat Arsha tersadar bahwa ada hal aneh yang baru saja terjadi.

“Sebelumnya gue mau minta maaf ke lo dulu kak.” ucap Arzhan kemudian, sembari menatap Bachtiar. Bachtiar menolehkan kepalanya tidak mengerti. Minta maaf untuk apa?

“La, jangan lagi lo sebut Kinara nyusahin atau sejenisnya.” ucap Arzhan kemudian. “Lo ga tau dampak apa yang lo akibatkan dengan lo bilang kaya gitu. Gue disini ga merasa di susahkan sama sekali kok. Justru gue senang bisa bantu adik gue sendiri, karena itu artinya dia percaya sama pilihan gue.” lanjutnya lagi.

Nabil mengerutkan dahi nya. Dirinya tidak mengerti apa yang barusan terjadi.

Kinara yang di bela hanya mampu memegang tangan Arzhan berusaha untuk meredam emosi lelaki itu.

“Gue ga maksud untuk bilang gitu kak. Maksud gue kenapa harus repotin kakak kalau kak Kinara bisa baca menu dan bahannya sendiri? Lagian kenapa pilih pilih banget sih sama makanan.” Ucap Rila membela dirinya sendiri, masih tidak puas.

“Rila apa yang pengen Arzhan lakuin ya biarin dia lakuin. Kalau dia emang mau bantuin Kinara buat pilih menu makanan, itu juga terserah dia. Lo ga berhak larang apapun yang dia pengen lakukan untuk adiknya sendiri.” akhirnya Raka ikut menimbrung.

Bachtiar hanya bisa memegang kepalanya pusing. Pusing melihat kelakuan adiknya yang tidak pernah bisa bersikap dewasa.

Arsha dan Nabil kini mengerti letak permasalahan nya. Pantas sana kertas pesanan terakhir baru Arzhan antarkan, ternyata karena ia masih sibuk memilih bahan-bahan makanan yang harus di hindari oleh Kinara.

Dan juga ucapan Rila yang menyerang Kinara untuk tidak menyusahkan Arzhan, padahal Arzhan melakukan itu dengan senang hati untuk Kinara. Ia sama sekali tidak merasa di repotkan untuk hal itu. Toh kalaupun itu merepotkan, Arzhan siap untuk melakukan itu selamanya demi Kinara.

“Makanya kalo ngomong tuh di pikir dulu. Ga selamanya lo masih kecil dan segala ucapannya lo bakalan di terima gitu aja sama orang lain.” ucap Nabil juga, ikut menyudutkan.

Rila memasang wajah muram, ia sungguh malu kali ini. Kemudian dirinya mengalihkan pandangan pada Arsha, meminta bantuan dan pembelaan. Sayangnya Arsha justru memalingkan wajahnya dengan muak.

Rila kalah telak kali ini.

Arsha menenteng dua paper bag milik Rila dengan malas. Benar Arsha mengorbankan dirinya untuk menjadi teman Rila berbelanja sekaligus menjemputnya.

“Jam berapa La? Ayok pulang.” ujar Arsha kemudian, merasakan kaki dan tangannya kebas.

Kenapa Arsha bertanya pada Rila? Karena segera setelah sampai ditempat Rila berada, ponsel Arsha langsung di kantongi oleh Rila dengan alasan karena outfit yang di pakai Arsha saat ini tidak memiliki kantong.

“Paling masih jam empat kak.” jawab Rila seadanya, dan melihat kiri kanan kemana tempat yang akan segera ia tuju setelah ini.

Arsha menghela nafas lelah, “Berhenti dulu La, gue cape.” kata Arsha kemudian. “Siniin hape gue, gue mau pake.” sambungnya kemudian.

Rila tidak memiliki pilihan lain, selain memberikan ponsel Arsha yang memang sengaja ia matikan kepada Arsha.

Arsha mengerenyit bingung, “Hape gue emang mati waktu gue kasih lo? Perasaan baterai nya banyak deh.” tanya Arsha sembari berusaha menghidupkan ponselnya.

Rila tak bergeming, takut kalau Arsha akan marah kepadanya sehabis ini. Dirinya memang sengaja mematikan ponsel Arsha supaya tidak menganggu kegiatan nya dengan Arsha.

Begitu Rila melihat ada pesan masuk dari Kinara, dengan segera ia mematikan ponsel Arsha karena takut Arsha akan goyah dan kembali mengajak nya untuk langsung pulang.

Entah kenapa, Rila merasa bahwa perhatian Arsha berubah kepada Kinara saat ini. Dan Arsha yang tidak antusias dengan kedatangannya seperti biasanya. Itu membuatnya cemburu buta tanpa sadar.

“Udah jam setengah enam gini?? Lo bilang masih jam empat anjir?” ujar Arsha kalap, begitu ponselnya menyala dan menunjukkan jam yang melewati janjinya dengan Kinara.

“Eh, gue gatau kak kalau udah lebih dari jam empat.” kata Rila membela diri. “Gue ngerasanya masih bentar banget tadi.”

Arsha mengacak rambutnya pusing, sungguh dirinya tidak ingin membuat Kinara salah paham lagi kali ini. Segera dirinya mengesampingkan ego nya dan menelepon Kinara sesegera mungkin setelah melihat kontak nya.

Setelah dering ketiga, baru lah panggilan Arsha di angkat.

“Halo Kinara??”

”...”

“Maafin gue ya, abis ini gue langsung balik sama Rila. Tadi hape gue mati, dan ini baru di hidupin makanya baru liat jam berapa sekarang. Gue tau gue salah karena ga kabarin apapun, jadi gue minta maaf. Lo mau apa? Gue beliin pulang nya langsung.”

“Ga usah beliin apa-apa kak, pulang nya aja hati hati ya.”

Arsha bernafas lega begitu mendengar jawaban dari seberang telpon.

Setelah telpon di matikan, pandangan Arsha beralih pada Rila yang kini berusaha menghindari dirinya.

“Gue harap sehabis ini, lo ga akan pegang ataupun aplikasikan ponsel gue lagi tanpa seizin gue ya La.” Ujar Arsha kemudian, memberikan ultimatum.

Rila mendengus kesal, “Gue kesini juga nggak sesering itu kak, kak Kinara juga yang tiap hari sama lo. Apa gue harus ngalah sama dia ketika gue cuma butuh satu hari aja buat temenin kaya gini?” jawab Rila langsung, merajuk.

“La, lo ga merasa bersalah?” tanya Arsha tidak habis pikir. “Disini gue yang ada janji lebih dulu sama Kinara. Kita kan bisa jalan setelah janji gue sama Kinara selesai. Ga bisa nunggu sampai segitu?” sambungnya lagi makin membuat Rila dongkol.

Arsha kini menyadari, bahwa ketika ia memanjakan lebih daripada yang bisa Rila terima, maka Rila juga akan membalasnya dengan kecemburuan yang berlebih.

Karena Arsha selalu membela apapun yang Rila lakukan walaupun itu adalah hal yang salah, Rila tumbuh menjadi anak yang angkuh dan arogan ketika berada di dekatnya. Sial nya Arsha baru menyadari hal itu, ketika karakter Rila sudah terbentuk dengan sempurna.

Pada akhirnya Raka mengalah, dan membiarkan Nabil untuk pergi me rumah sakit menjemput Kinara dan mama nya. Masih menggunakan seragam, seusai pulang sekolah Nabil langsung bergegas menuju rumah sakit.

Arsha dan Arzhan? Keduanya sepakat untuk menunggu saja di rumah, sembari menemani Bachtiar dan Rila yang ada di rumah.

“Mama tinggal ke administrasi bentar, kamu langsung ajak Kinara buat ke mobil aja ya Nabil.” Pesan mama sebelum pergi meninggalkan mereka berdua.

Nabil melihat Kinara tengah sibuk mengoperasikan ponselnya. Akhirnya Nabil memutuskan untuk duduk terlebih dahulu, dan menunggu perawat datang membawa kursi roda yang akan di naiki Kinara nanti.

“Kaki nya masih sakit Kin?” tanya Nabil kemudian, tidak tahan dengan keheningan.

Kinara mematikan layar ponselnya, dan tersenyum ke arah Nabil. “Aman kok kak, kalau jam jam sekarang tuh ga ada masalah.” jawab Kinara dengan senang hati.

Hubungan Kinara dan Nabil sudah sepenuhnya membaik. Setidaknya itu yang Kinara pikirkan.

Dengan Nabil yang sudah terang terangan bertanya tentang keadaannya, dan juga perhatian yang Nabil berikan sejak Kinara bangun tadi pagi. Kinara makin yakin, kalau sehabis ini ia bisa membangun hubungan baik dengan saudaranya yang lain lagi.

Tiada berapa lama, perawat datang dengan membawa sebuah kursi roda. Mengerti akan hal itu, dengan cekatan Nabil langsung berdiri dari duduk nya untuk menggendong Kinara supaya bisa berpindah tempat dan duduk di kursi roda.

“Padahal adik mas nya bisa loh di suruh berdiri sebentar, dan duduk di kursi roda. Tapi mas nya sigap banget, langsung gendong.” puji perawat sebelum pergi dari sana.

Kinara tertawa kecil melihat telinga Nabil memerah karena pujian itu. “Gue ga berat kan kak?” tanya Kinara kemudian.

Nabil menggeleng, dan langsung bergerak mendorong kursi roda Kinara untuk segera meninggalkan ruang rawat inap yang berbau obat obatan itu.

“Dua hari kemaren hujan terus, jadi rasa rasanya udara hari ini segar banget ya kak.” ucap Kinara mengajak Nabil berbicara.

Nabil mengangguk, “Iya segar, cuma agak annoying dikit buat area depan gapura perumahan. Soalnya di sana selalu banjir.” jawab Nabil langsung.

Kinara tertawa, “Pantesan lo tiap pulang sekolah selalu basah celana bagian bawah nya. Ternyata gara-gara kobangan air di deket gapura perumahan?” tanya Kinara lagi, setelah tawa nya reda.

“Ga ada jalan lain buat ke rumah selain lewat sana Ra. Gapapa, lagian juga gue langsung ganti baju begitu sampe rumah.” jelas Nabil.

Nabil terus mendorong kursi roda hingga ke pintu keluar rumah sakit. Ada peraturan di rumah sakit dimana kursi roda hanya dapat di gunakan hingga batas pintu keluar.

Mama belum juga kembali dari administrasi, dan juga barang-barang yang lain sudah lebih dulu di angkut ke dalam mobil.

Nabil melirik Kinara yang masih terdiam memainkan ponselnya. Entah apa yang tengah di lakukan gadis itu.

“Ayok Ra, ponsel nya di simpen dulu. Gue mau gendong lo ke mobil.” ucap Nabil kemudian, membuat Kinara terkejut.

“Hah? Kenapa di gendong kak? Gue bisa jalan kok, lo bantuin gue jalan aja.” tolak Kinara langsung.

Nabil spontan menggeleng, “Jalan masih licin bekas hujan Ra, gue gamau ambil resiko dan bikin lo jatuh. Udah gapapa, ayo gue gendong aja.” jelas Nabil kemudian. “Ayo Kinara, kalau mama nanti keburu selesai di administrasi, dan liat lo belum naik mobil dia bisa marah lo.” ancam Nabil lagi.

Akhirnya Kinara menurut, dan mengalungkan kedua tangan nya untuk berpegangan di leher Nabil. “Kak, gue berat ya?” cicit Kinara pelan, karena jarak pintu keluar dengan tempat parkir kendaraan cukup jauh.

“Enggak sama sekali Ra. Arsha dua kali lebih berat dari pada lo.” jawab Nabil singkat.

Kinara menenggelamkan kepalanya pada ceruk leher Nabil. Kinara malu karena banyak pasang mata melihat keduanya.

“Kak, turunin ayoo. Gue malu ih.” bisik Kinara menepuk nepuk pundak Nabil tidak nyaman.

“Turunin apasih Kinara. Ini ambil kunci mobil di saku gue, buka mobil nya.” suruh Nabil mengabaikan permintaan Kinara.

Kinara menurut dan mengambil kunci mobil pada saku baju Nabil untuk membuka pintu otomatis.

Kemudian Nabil membuka pintu bagian penumpang untuk menaruh Kinara secara hati-hati.

“Selonjorin aja kaki nya, jangan di tekuk.” tegur Nabil melihat Kinara hendak menekuk kakinya.

“Tapi mama nanti duduk mana kak?” tanya Kinara bingung.

“Mama duduk sama gue di depan. Gue mau ke warung depan rumah sakit, lo mau nitip apa?” tanya Nabil kemudian.

Kinara menggeleng, “Gue di sini aja deh. Buruan ya kak, takut mama udah selesai di administrasi.” ingat Kinara lagi.

Nabil mengangguk dan segera bergegas pergi dari sana.

Hati Kinara menghangat, bibirnya tidak berhenti tersenyum sedari tadi karena perlakuan Nabil.

“Kalau ini cuma mimpi, gue berharap selamanya ga usah bangun.”

Seperti malam sebelumnya, Kinara merasakan rasa ngilu yang amat sangat pada kaki nya. Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap).

Kinara meringis kesakitan, belum ada setengah jam sejak dirinya memutuskan untuk tidur setelah berkomunikasi dengan Acel tadi tetapi kini harus terbangun lagi dengan keadaan yang sama sekali tidak mengenakkan.

“Kin, Kinara??” suara Nabil menyapa gendang telinga Kinara. Tidak lupa juga tangan Nabil yang hangat menepuk lembut pipi Kinara, berusaha untuk menyadarkan Kinara yang terlelap.

Kinara mengerjap perlahan, membuka matanya dengan berat. Menoleh ke arah Nabil yang berada di samping kanan nya.

“Mana yang sakit Kin?” tanya Nabil khawatir.

Kenapa ada Nabil di sini? Jadi begini ceritanya. Setelah mama kembali ke rumah sakit di antarkan oleh Nabil, Raka memutuskan untuk pulang dan bergantian dengan Nabil untuk menjaga Kinara karena besok ia memiliki kelas pagi. Itu alasannya kenapa ada Nabil di sini.

Mama sendiri juga tidak ada di kamar rawat karena harus keluar sebentar membeli makan malam untuk mereka.

Nabil berlari menuju ke samping kiri ranjang guna memencet bel pasien yang tersedia untuk memanggil pertolongan dari tim medis.

“Anjing lama banget sih bangsat!” keluh Nabil kepalang panik. Padahal jarak waktu Nabil memencet bel dan dirinya mengeluh belum ada lewat satu menit. “Kin lo disini dulu ya, gue ke ruang perawat buat manggil mereka.” sambung Nabil kemudian, berpamitan.

Kinara langsung menarik tangan Nabil sebelum benar-benar lari dari sana. “Kak, temenin gue aja.” katanya lemah.

Kinara tahu, Nabil pasti kalang kabut karena gejala Osteosarcoma yang di deritanya. Jadi sebelum Nabil benar-benar pergi dan membuat keributan di sana, Kinara memutuskan untuk menghentikan Nabil sebelum berbuat lebih jauh.

Nabil menurut, ia menekan rasa khawatir nya dan langsung duduk di kursi samping ranjang. “Lo mana yang sakit? Gue elus sini, siapa tau sakit nya kurang.” ujar Nabil kemudian.

Kinara mengulum senyumnya, ia suka perhatian hangat Nabil saat ini.

“Ga ada yang spesifik kak, semua bagian badan gue sakit.” ujar Kinara jujur. Kinara ingin egois kali ini, dia ingin merasakan kasih sayang dan mengeluh sepuasnya kepada Nabil. Hal yang mungkin tidak akan dirinya dapatkan ketika ia sehat nanti.

Nabil menatap Kinara sedih. Tangannya bergerak mengusap bulir keringat dingin yang mengalir di dahi Kinara. “Kalau gue bisa gantiin rasa sakit lo Ra, gue mau dan bakalan gue gantiin saat ini juga.”

Senyum Kinara tidak tertahankan lagi, ia tertawa kecil. “Ga perlu lo gantiin rasa sakit gue kak. Lo ada disini nemenin gue aja, gue udah seneng.”


Nabil menemani mama untuk berbicara dengan dokter Hanan di luar kamar. Menghindari jika Kinara akan terganggu tidurnya jika mereka membicarakan hal ini dalam.

Dokter Hanan baru saja memeriksa keadaan terbaru Kinara, setelah sebelumnya tadi beberapa perawat sudah memeriksa lebih dulu keadaan Kinara saat nyeri pada kaki nya kambuh.

“Jadi saya perlu jelaskan ulang ya bu Miya, pengobatan pada osteosarcoma dapat dilakukan melalui operasi dan kemoterapi. Pada beberapa kasus, kami juga dapat memutuskan melakukan prosedur radioterapi.” jelas dokter Hanan dengan perlahan. “Pengobatan bisa di lakukan ketika sudah melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemindaian dengan USG, foto Rontgen, CT scan, PET scan atau MRI, untuk melihat keberadaan kanker dan mendeteksi apakah kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Pemeriksaan lain yang bisa di lakukan berupa pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari bagian tubuh yang bengkak atau sakit, untuk diteliti apakah jaringan tersebut bersifat kanker atau tidak.” Sambungnya lagi panjang lebar.

Nabil memeluk mama dari samping, berusaha menyalurkan kekuatan setelah mendengar penjelasan yang cukup rinci dari dokter Hanan.

“Pada kondisi Kinara saat ini, kita hanya perlu menunggu untuk hasil pemeriksaan penunjang lanjutan supaya bisa segera melakukan pengobatan.” kata dokter Hanan lagi. “Untuk besok Kinara sudah boleh pulang, sembari menunggu satu infus terakhir yang terpasang habis terlebih dahulu ya ibu Miya.” ucap Dokter Hanan lagi, dan kemudian berpamitan untuk segera berlalu dari sana.

Nabil menuntun mama untuk kembali masuk ke dalam kamar inap Kinara. Menuntun mama untuk segera duduk, dan mengistirahatkan badan nya yang melemas setelah mendengar informasi dari dokter Hanan tadi.

“Pengobatan yang di maksud dokter tadi ma, yang operasi... Jadi Kinara bakalan di operasi ma?” tanya Nabil dengan gamang.

Mama tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan, menatap Kinara yang kini sudah masuk ke dalam tidur damai nya.

Tak lama dari itu, pandangan mama beralih pada Nabil. “Sebelumnya waktu dengan papa, mama sudah di beri informasi terkait operasi yang bakal Kinara jalankan nanti sayang.” ujar mama kemudian, menjelaskan. “Operasi yang di maksud bertujuan untuk mengangkat seluruh kanker. Tergantung ukuran tumor dan lokasi pada tubuh Kinara, dokter Hanan juga bisa melakukan operasi untuk mengangkat kankernya saja atau juga mengangkat otot dan jaringan lain yang terkena kanker.” sambung mama kemudian.

Nabil termenung mencoba mencerna segala informasi yang baru saja di terima oleh otak nya hari ini. Nabil ingin mengeluh, ini semua terlalu berlebihan bagi dirinya dan Kinara pada hari pertama.

“Jadi maksud mama, dalam beberapa kasus dokter Hanan juga bisa buat keputusan untuk angkat tulang dan sendi Kinara ya ma?” tanya Nabil kemudian, setelah menata hati.

Mama mengangguk, “Dokter Hanan juga bilang ke mama, prosedur yang di lakukan juga bisa melakukan amputasi.”

Jantung Nabil berdebar kencang. Dirinya belum siap untuk mendengar sampai sejauh ini.

“Jika prosedur ini yang dilakukan, dokter Hanan bilang Kinara akan diberikan prostesis (kaki atau tangan palsu) untuk menggantikan fungsi organ Kinara yang diamputasi.” jelas mama lagi, tersendat. “Mama bahkan ga bisa bayangkan Bil, kalau kedepannya Kinara akan hidup dengan satu kaki. Kinara masih terlalu muda untuk merasakan dan menjalani semua itu.” sambung mama kemudian, menangis di pelukan Nabil yang sama pedih nya.

Mata Nabil berkaca-kaca. Pandangannya bergeser kepada Kinara yang kini damai dalam tidur nya. “Mama ga perlu khawatir soal itu. Bahkan Nabil bersedia untuk jadi kaki Kinara kedepannya, kalau memang prosedur itu akan di laksanakan demi kebaikan Kinara. Nabil janji soal hal itu.”

Seperti malam sebelumnya, Kinara merasakan rasa ngilu yang amat sangat pada kaki nya. Nyeri lokal yang semakin progresif (yang awalnya ringan dan intermiten namun lama kelamaan menjadi semakin hebat dan menetap).

Kinara meringis kesakitan, belum ada setengah jam sejak dirinya memutuskan untuk tidur setelah berkomunikasi dengan Acel taditadi tetapi kini harus terbangun lagi dengan keadaan yang sama sekali tidak mengenakkan.

“Kin, Kinara??” suara Nabil menyapa gendang telinga Kinara. Tidak lupa juga tangan Nabil yang hangat menepuk lembut pipi Kinara, berusaha untuk menyadarkan Kinara yang terlelap.

Kinara mengerjap perlahan, membuka matanya dengan berat. Menoleh ke arah Nabil yang berada di samping kanan nya.

“Mana yang sakit Kin?” tanya Nabil khawatir.

Kenapa ada Nabil di sini? Jadi begini ceritanya. Setelah mama kembali ke rumah sakit di antarkan oleh Nabil, Raka memutuskan untuk pulang dan bergantian dengan Nabil untuk menjaga Kinara karena besok ia memiliki kelas pagi. Itu alasannya kenapa ada Nabil di sini.

Mama sendiri juga tidak ada di kamar rawat karena harus keluar sebentar membeli makan malam untuk mereka.

Nabil berlari menuju ke samping kiri ranjang guna memencet bel pasien yang tersedia untuk memanggil pertolongan dari tim medis.

“Anjing lama banget sih bangsat!” keluh Nabil kepalang panik. Padahal jarak waktu Nabil memencet bel dan dirinya mengeluh belum ada lewat satu menit. “Kin lo disini dulu ya, gue ke ruang perawat buat manggil mereka.” sambung Nabil kemudian, berpamitan.

Kinara langsung menarik tangan Nabil sebelum benar-benar lari dari sana. “Kak, temenin gue aja.” katanya lemah.

Kinara tahu, Nabil pasti kalang kabut karena gejala Osteosarcoma yang di deritanya. Jadi sebelum Nabil benar-benar pergi dan membuat keributan di sana, Kinara memutuskan untuk menghentikan Nabil sebelum berbuat lebih jauh.

Nabil menurut, ia menekan rasa khawatir nya dan langsung duduk di kursi samping ranjang. “Lo mana yang sakit? Gue elus sini, siapa tau sakit nya kurang.” ujar Nabil kemudian.

Kinara mengulum senyumnya, ia suka perhatian hangat Nabil saat ini.

“Ga ada yang spesifik kak, semua bagian badan gue sakit.” ujar Kinara jujur. Kinara ingin egois kali ini, dia ingin merasakan kasih sayang dan mengeluh sepuasnya kepada Nabil. Hal yang mungkin tidak akan dirinya dapatkan ketika ia sehat nanti.

Nabil menatap Kinara sedih. Tangannya bergerak mengusap bulir keringat dingin yang mengalir di dahi Kinara. “Kalau gue bisa gantiin rasa sakit lo Ra, gue mau dan bakalan gue gantiin saat ini juga.”

Senyum Kinara tidak tertahankan lagi, ia tertawa kecil. “Ga perlu lo gantiin rasa sakit gue kak. Lo ada disini nemenin gue aja, gue udah seneng.”


Nabil menemani mama untuk berbicara dengan dokter Hanan di luar kamar. Menghindari jika Kinara akan terganggu tidurnya jika mereka membicarakan hal ini dalam.

Dokter Hanan baru saja memeriksa keadaan terbaru Kinara, setelah sebelumnya tadi beberapa perawat sudah memeriksa lebih dulu keadaan Kinara saat nyeri pada kaki nya kambuh.

“Jadi saya perlu jelaskan ulang ya bu Miya, pengobatan pada osteosarcoma dapat dilakukan melalui operasi dan kemoterapi. Pada beberapa kasus, kami juga dapat memutuskan melakukan prosedur radioterapi.” jelas dokter Hanan dengan perlahan. “Pengobatan bisa di lakukan ketika sudah melakukan pemeriksaan penunjang, seperti pemindaian dengan USG, foto Rontgen, CT scan, PET scan atau MRI, untuk melihat keberadaan kanker dan mendeteksi apakah kanker sudah menyebar ke bagian tubuh lain. Pemeriksaan lain yang bisa di lakukan berupa pengambilan sampel jaringan (biopsi) dari bagian tubuh yang bengkak atau sakit, untuk diteliti apakah jaringan tersebut bersifat kanker atau tidak.” Sambungnya lagi panjang lebar.

Nabil memeluk mama dari samping, berusaha menyalurkan kekuatan setelah mendengar penjelasan yang cukup rinci dari dokter Hanan.

“Pada kondisi Kinara saat ini, kita hanya perlu menunggu untuk hasil pemeriksaan penunjang lanjutan supaya bisa segera melakukan pengobatan.” kata dokter Hanan lagi. “Untuk besok Kinara sudah boleh pulang, sembari menunggu satu infus terakhir yang terpasang habis terlebih dahulu ya ibu Miya.” ucap Dokter Hanan lagi, dan kemudian berpamitan untuk segera berlalu dari sana.

Nabil menuntun mama untuk kembali masuk ke dalam kamar inap Kinara. Menuntun mama untuk segera duduk, dan mengistirahatkan badan nya yang melemas setelah mendengar informasi dari dokter Hanan tadi.

“Pengobatan yang di maksud dokter tadi ma, yang operasi... Jadi Kinara bakalan di operasi ma?” tanya Nabil dengan gamang.

Mama tidak menjawab. Pandangannya lurus ke depan, menatap Kinara yang kini sudah masuk ke dalam tidur damai nya.

Tak lama dari itu, pandangan mama beralih pada Nabil. “Sebelumnya waktu dengan papa, mama sudah di beri informasi terkait operasi yang bakal Kinara jalankan nanti sayang.” ujar mama kemudian, menjelaskan. “Operasi yang di maksud bertujuan untuk mengangkat seluruh kanker. Tergantung ukuran tumor dan lokasi pada tubuh Kinara, dokter Hanan juga bisa melakukan operasi untuk mengangkat kankernya saja atau juga mengangkat otot dan jaringan lain yang terkena kanker.” sambung mama kemudian.

Nabil termenung mencoba mencerna segala informasi yang baru saja di terima oleh otak nya hari ini. Nabil ingin mengeluh, ini semua terlalu berlebihan bagi dirinya dan Kinara pada hari pertama.

“Jadi maksud mama, dalam beberapa kasus dokter Hanan juga bisa buat keputusan untuk angkat tulang dan sendi Kinara ya ma?” tanya Nabil kemudian, setelah menata hati.

Mama mengangguk, “Dokter Hanan juga bilang ke mama, prosedur yang di lakukan juga bisa melakukan amputasi.”

Jantung Nabil berdebar kencang. Dirinya belum siap untuk mendengar sampai sejauh ini.

“Jika prosedur ini yang dilakukan, dokter Hanan bilang Kinara akan diberikan prostesis (kaki atau tangan palsu) untuk menggantikan fungsi organ Kinara yang diamputasi.” jelas mama lagi, tersendat. “Mama bahkan ga bisa bayangkan Bil, kalau kedepannya Kinara akan hidup dengan satu kaki. Kinara masih terlalu muda untuk merasakan dan menjalani semua itu.” sambung mama kemudian, menangis di pelukan Nabil yang sama pedih nya.

Mata Nabil berkaca-kaca. Pandangannya bergeser kepada Kinara yang kini damai dalam tidur nya. “Mama ga perlu khawatir soal itu. Bahkan Nabil bersedia untuk jadi kaki Kinara kedepannya, kalau memang prosedur itu akan di laksanakan demi kebaikan Kinara. Nabil janji soal hal itu.”

Raka membuka matanya dengan perlahan, mencoba menghindari cahaya yang menusuk. Pandangannya beralih pada Kinara yang sudah terbangun di ranjang pasien.

“Kinara?? Kenapa lo ga bangunin gue?” tanya Raka kelabakan, karena saat ini Kinara hanya terdiam memandangnya. Entah sedari kapan Kinara melakukan hal itu.

Raka hendak memencet bel pasien, guna memanggil perawat supaya mereka memeriksa keadaan Kinara saat ini. Tetapi belum sempat Raka memencet bel tersebut, tangan Kinara sudah menahannya.

“Gausah di panggi kak. Gue gapapa.” Kata Kinara singkat.

Raka duduk di kursi samping ranjang pasien, melihat keadaan Kinara dengan teliti. Apakah adik yang berada di depannya ini tengah berbohong atau tidak mengenai keadaannya.

“Kalau sakit bilang Kin.” Ujar Raka memperingatkan.

Kinara menggeleng, “Kalaupun sakit, bukan urusan lo juga kak. Gue udah terbiasa sakit, dan ga ada yang nanyain gue soal hal itu sebelumnya.” Jawab Kinara pelan.

Hati Raka mencelos, ucapan Kinara barusan sungguh menamparnya.

Dengan gemetar, tangan Raka meraih tangan sebelah kiri Kinara yang tidak terpasang oleh infus. “Gue minta maaf Kin, gue minta maaf karena udah acuh sama lo selama ini. Kalau gue tau lo sakit kaya gini, gue seharusnya bisa memperlakukan lo sebaik mungkin.”

Kinara melihat Raka dengan tatapan nyalang. “Dengan lo bilang kaya gitu gue makin yakin kak, perhatian lo saat ini tuh cuma rasa kasihan doang.” Ucap Kinara kemudian.

Raka menggeleng kuat, “Ini penyesalan Kin, bukan karena kasihan. Ini penyesalan karena terlambat tau. Selama ini kakak juga tau, serenggang apa hubungan kita sampe lo ga mau kasih tau keadaan lo sebenarnya ke yang lainnya.”

Kinara mengalihkan pandangannya, enggan melihat Raka. Kinara takut, dirinya akan luluh lagi dengan ucapan seperti itu. Dan ketika ia sudah luluh, maka dirinya akan di buang lagi karena terlalu menyusahkan dan membebani yang lainnya.

“Udah ya kak, sakit gue urusan gue. Sakit gue ga ada hubungannya dengan perlakuan kalian semua selama ini. Ini emang udah jalan gue, dan gue ga pernah menyalahkan hal ini ke kalian juga.”

Pertahanan Raka runtuh. Tanpa takut malu Raka menangis tersedu sembari menelungkupkan kepalanya di samping Kinara. Penyesalannya nya menumpuk hingga setinggi gunung, atau bahkan lebih dari itu.

Ego nya menyakitinya, menyakiti Kinara juga. Andai dirinya lebih peka, andai dirinya lebih perhatian, Kinara tidak akan menanggung semuanya sendirian seperti ini.

Rasa takut Kinara untuk berpegangan dengan saudaranya yang lain, juga terbentuk karena penolakannya. Raka juga ikut andil besar untuk hal itu, dan dia menyesalinya.

Raka kini mengerti kenapa Kinara menjadi seperti ini. Karena meskipun lukanya sembuh, bekasnya akan tetap tersisa.


Arsha berjalan meninggalkan pintu rawat inap tempat Kinara berada dengan gundah.

Dirinya berdiri di sana sejak awal percakapan antara Raka dan Kinara di mulai.

Setelah mendengar beberapa kalimat yang keluar dari mulut Kinara, harga diri Arsha jauh lebih terluka dari pada sebelumnya.

Bahkan Kinara tidak menyalahkan dirinya atau saudaranya yang lain atas semua yang terjadi. Arsha kembali berkaca kepada dirinya sendiri, yang selalu menyeret nyeret Kinara apapun masalahnya.

Kini Arsha sepenuhnya tersadar, bahwa dirinya tidaklah pantas mendapatkan adik setulus Kinara.