JC Halcyon

Nabil mengendarai motor nya diatas kecepatan rata-rata. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Kinara yang kini tengah berada di sekolah sendirian dan tengah menunggu jemputan.

Begitu sesampainya ia di sana, dirinya masih melihat anak-anak karate tengah berlatih. Dia lega, setidaknya Kinara tidak benar-benar sendirian di sekolah.

Setelah memarkirkan motor nya dengan rapi, Nabil bergegas berjalan cepat menuju kelas yang dia tahu sebagai kelas Kinara.

Suasana cukup sepi di lorong sekolah, di tambah lagi memang minim nya pencahayaan membuat Nabil sedikit susah untuk menuju ke sana karena ia sering kali terlewat lorong kelas atau halangan yang lainnya.

Sesampainya di kelas Kinara yang memang terlihat gelap terlihat dari luar, Nabil buru-buru membuka pintu kelas dan mencari saklar di dekat sana guna memastikan apakah Kinara benar-benar ada di sekolah atau tidak.

Lampu menyala, hati Nabil mencelos melihat Kinara tengah manangkupkan kedua tangannya di atas meja, untuk menopang kepalanya.

“Kinara?” panggil Nabil perlahan, membangunkan adik bungsu nya itu.

Kinara mengerjap pelan, dirinya tidak tidur cuma hanya menutup mata dan mencari ketenangan dari dalam sana.

Melihat Nabil yang kini berdiri di depannya, Kinara merasa bersalah karena ia pasti sudah membuat kesemuanya merasa khawatir dan merepotkan.

“Kok kak Nabil yang jemput gue kesini?” tanya Kinara kemudian, dan melihat wajah Nabil yang masih menatapnya intens.

Kinara sudah siap. Dirinya sudah siap kalau sehabis ini ia akan di maki, dan di marahi karena tidak memberi kabar apapun. Salah nya sendiri, tidak memberitahu kondisi baterai ponsel nya kepada Raka yang tinggal sedikit dan mengakibatkan hal ini terjadi.

Tapi di luar dugaan, justru kini tangan Nabil terulur untuk mengusap keringat dingin Kinara yang berkumpul di area dahi. “Kenapa sih, gabisa kah sehari aja lo ga bikin kita khawatir kaya gini?” keluh Nabil kemudian.

Bibir Kinara mengulum senyum, dia suka perhatian Nabil yang sangat ditunjukkan saat ini. “Salah di gue kak, telat ngabarin dan ponsel gue keburu mati. Gue juga clumsy dan ga mikir panjang efek kedepannya kaya gimana.” ujar Kinara kemudian, memberikan penjelasan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah berapa banyak waktu ia habiskan untuk berdiam diri di dalam kelas menunggu jemputan dari Raka, dan juga untuk menghilangkan rasa sakit yang hingga saat ini tetap terasa nyeri di kaki sebelah kanan nya.

“Ayo kita pulang sekarang.” ajak Nabil kemudian, mengambil alih tas punggung Kinara untuk dirinya bawa.

Kinara menurut, dan berdiri dengan hati-hati guna meminimalisir rasa sakit pada lututnya yang mungkin akan menjadi jadi.

“Kaki lo kenapa? Kenapa jalan lo pincang gitu?” tanya Nabil kemudian, tersadar Kinara berjalan pincang di belakangnya.

“Cuma kesemutan kak, gue tadi kan tidur lama di kelas terus kaki gue ga gue gerakin.” bohongnya pada Nabil.

“Mau gue gendong aja?”

Dengan cepat Kinara menggeleng, “Gausah lah, kaya gue kenapa aja sampe harus di gendong. Bentar lagi juga udah deket parkiran kan? Jalan aja udah ayok.” Ujar Kinara kemudian, menarik tangan Nabil untuk bergegas kembali berjalan.

“Nih, lo pake aja jaket gue.” ucap Nabil sesampainya di tempat parkir sembari melepas Jaket yang tadi menempel di badannya.

Nabil memutuskan untuk Kinara memakai jaketnya karena, ketika Kinara menarik tangannya untuk berjalan tadi ia bisa merasakan betapa dinginnya tangan Kinara ketika bersentuhan dengan tangannya.

“Tapi gue udah pake hoodie kak?” tanya Kinara balik, bingung.

Hoodie doang masih kurang hangat di lo. Lagian ini hoodie siapa sih? Gue gatau lo punya hoodie kaya gini.”

“Punya Gale.”

Gerakan tangan Nabil terhenti, dirinya kini menatap Kinara intens.

“Ke- kenapa?” tanya Kinara bingung.

“Lo pacaran sama Gale?” tanya Nabil to the point.

Kinara menggeleng polos, “Kalau patokan lo untuk orang pacaran cuma karena mereka saling minjemin barang, semua orang di dunia ini pasti pacaran kak.”

Nabil tertawa kecil mendengarkan penuturan adiknya itu. Apa yang di bilang Kinara ada benar nya, dan mungkin dirinya juga terlalu dangkal untuk hal ini.

“Dah, ayo naik.” ujar Nabil kemudian, selesainya ia memasang tempat duduk di bagian penumpang motor nya. “Motor gue emang tinggi makanya gue jarang barengin lo balik karena alasan ini. Jadi lo gausah ngeluh.” katanya lagi, melihat Kinara kesusahan menaiki motor nya.

Kinara tersenyum tipis, “Gue ga ngeluh kok kak, lagian emang belum terbiasa makanya agak susah awal gue naik.”

Lagi lagi Nabil terdiam dengan jawaban adiknya itu. “Ada aja lu akal buat jawab omongan jawab gue.” kesal nya.

Kinara tertawa kecil.

By the way, lo ga marah kak Raka ga jemput lo?” tanya Nabil lagi, sembari memberikan helm kepada Kinara yang sudah naik ke kursi penumpang.

“Marah? Marah kenapa?” tanya Kinara balik, tidak mengerti.

“Kok kenapa? Dia ga jemput lo. Sampe jam tujuh malem. Dan kita pulang sekolah tadi jam berapa anjing? Lo nunggu berapa jam disini? Dan gue nanya, apa lo ga marah sama kak Raka?” ujar Nabil lagi penuh penekanan, gemas.

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “Kalaupun emang iya dia ga jemput gue sampe selama itu, pasti ada alasannya juga.” Jawab Kinara kemudian. “Lagi pun kesalahan terbesar ada di gue, karena gue malah mainin hape udah tau baterai nya tinggal dikit. Pasti aslinya Kak Raka udah ngabarin gue sesuatu soal hal itu. Kak Raka ga salah sama sekali, dia pasti punya alasan.” Sambungnya lagi.

Nabil mengangguk, “Iya sih, dia bilangnya tadi jadwal matkul nya di majuin.”

“Tuh kan, apa gue bilang. Kak Raka pasti punya alasan. Dia bukan orang yang lepas tanggung jawab.” sahut Kinara langsung, senang.

Nabil menurunkan kaca helm Kinara dengan sedikit kesal, “Sok tau lo.” katanya kemudian.

“Bukan sok tau gue kak. Kita udah hidup bareng berapa tahun sih? Bukannya aneh ya kalo gue ga ngerti kebiasaan kalian.” Ujar Kinara memberi pembelaan. “Eh tapi gue baru tau, lo punya “helm* warna putih kaya gini? Kok helm nya lebih kecil sih dari punya lo? Ini punya siapa? Ih masih bau plastik.” cerocosnya lagi, membuat Nabil mengulum senyum.

Iya saudara saudara, Nabil tadi mampir bentar ke toko helm langganan nya buat beliin Kinara helm supaya ketika pulang naik motor nanti kepala anaknya nggak kedinginan. Kalau alasan Nabil sih, supaya nggak masuk angin. Soalnya kalo masuk angin si Kinara, dia lagi di salahin. Padahal mah tinggal ngomong jujur aja, kalau dia khawatir.


Kini ketiganya, Raka, Arsha, dan Arzhan menunggu dengan bingung. Entah kepulangan kedua orang tuanya atau kedatangan kedua saudara nya lebih dulu.

“Siap siap yang terburuk aja kak.” ujar Arsha berpesan kepada Raka yang kini terlihat murung sembari mengotak atik ponselnya.

“Lo ngapain dah? Chat Kinara?” tanya Arzhan kemudian, melihat kegiatan Raka bermain ponsel tidak segera usai. “Ga di liat sama anaknya, gue udah coba chat juga tadi. Baterai ponsel dia abis paling.” sambungnya lagi.

“Ngapain chat si Kinara? Kan tadi kak Nabil udah bilang, anaknya udah sama dia dan ini lagi jalan balik.” tanya Arsha bingung.

“Ya kenapa emang? Gue ga butuh di baca sekarang.” jawab Raka ketus.

Tiada berapa lama, ketiganya mendengar suara pintu gerbang di buka.

Tampaknya kedatangan antara Kinara dan Nabil, dengan kedatangan kedua orang tua nya berbarengan sehingga membuat suasana sedikit gaduh karena suara motor dan mobil bersahut sahutan.

“Loh kok Kinara baru pulang ini? Kalian dari mana? Raka mana? Kok Kinara sama Nabil?” tanya mama bertubi-tubi.

Mama memasuki rumah bersama Nabil dan Kinara yang mengikuti dari belakang.

“Gimana ini kak? Kok adek nya sama kak Nabil? Kamu gak jemput Kinara tadi?” tanya mama lagi, mendesak suara keluar dari bibir Raka.

“Ma... Kinara tadi emang sama kak Nabil.” Belum sempat Raka berbicara, Kinara langsung mengambil alih.

“Laiya? Kan mama tanya, kenapa kamu sama kak Nabil?”

“Soalnya matkul kak Raka di ajukan, jadi akhirnya Kinara sama kak Nabil pulang nya.” jawab Kinara. “Ini baru pulang, soalnya Kinara tadi ngajakin kak Nabil ke gramedia buat liat buku.” ucapnya lagi, berbohong.

“Kamu pulang sekolah jam dua siang ya Kinara, sekarang udah hampir jam delapan malam. Kamu mau bohong sama mama?” Sahut mama cepat, tidak percaya.

“Bener dari gramedia ma. Aku nyari buku try out, Kinara di section novel. Anaknya tadi duduk lama disana, baca buku sambil nungguin aku nyari buku yang cocok.” Bela Nabil memperkuat argumen Kinara, sembari mengeluarkan buku try out yang dirinya beli tadi.

Pada akhirnya mama percaya, dan kemudian mengajak Kinara segera menuju lantai atas untuk mandi dan bebersih diri dan kemudian istirahat.

Arsha dan Arzhan menghela nafas lega, pertengkaran kali ini bisa di hindari walaupun sedikit ada cekcok diantara mama dan juga Kinara.

“Itu kenapa kaki Kinara pincang sebelah?” tanya Arsha kemudian, tersadar langkah Kinara agak aneh saat di tuntun mama untuk menaiki anak tangga.

Nabil mengendikkan bahunya tidak tahu menahu. “Tadi bilang ke gue sih kesemutan waktu di sekolah. Tapi masa iya, kesemutan bisa awet kaya gitu dari sekolah sampe rumah?”

Keempatnya kemudian terdiam, bingung dengan fikiran masing-masing.

Nabil mengendarai motor nya diatas kecepatan rata-rata. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Kinara yang kini tengah berada di sekolah sendirian dan tengah menunggu jemputan.

Begitu sesampainya ia di sana, dirinya masih melihat anak-anak karate tengah berlatih. Dia lega, setidaknya Kinara tidak benar-benar sendirian di sekolah.

Setelah memarkirkan motor nya dengan rapi, Nabil bergegas berjalan cepat menuju kelas yang dia tahu sebagai kelas Kinara.

Suasana cukup sepi di lorong sekolah, di tambah lagi memang minim nya pencahayaan membuat Nabil sedikit susah untuk menuju ke sana karena ia sering kali terlewat lorong kelas atau halangan yang lainnya.

Sesampainya di kelas Kinara yang memang terlihat gelap terlihat dari luar, Nabil buru-buru membuka pintu kelas dan mencari saklar di dekat sana guna memastikan apakah Kinara benar-benar ada di sekolah atau tidak.

Lampu menyala, hati Nabil mencelos melihat Kinara tengah manangkupkan kedua tangannya di atas meja, untuk menopang kepalanya.

“Kinara?” panggil Nabil perlahan, membangunkan adik bungsu nya itu.

Kinara mengerjap pelan, dirinya tidak tidur cuma hanya menutup mata dan mencari ketenangan dari dalam sana.

Melihat Nabil yang kini berdiri di depannya, Kinara merasa bersalah karena ia pasti sudah membuat kesemuanya merasa khawatir dan merepotkan.

“Kok kak Nabil yang jemput gue kesini?” tanya Kinara kemudian, dan melihat wajah Nabil yang masih menatapnya intens.

Kinara sudah siap. Dirinya sudah siap kalau sehabis ini ia akan di maki, dan di marahi karena tidak memberi kabar apapun. Salah nya sendiri, tidak memberitahu kondisi baterai ponsel nya kepada Raka yang tinggal sedikit dan mengakibatkan hal ini terjadi.

Tapi di luar dugaan, justru kini tangan Nabil terulur untuk mengusap keringat dingin Kinara yang berkumpul di area dahi. “Kenapa sih, gabisa kah sehari aja lo ga bikin kita khawatir kaya gini?” keluh Nabil kemudian.

Bibir Kinara mengulum senyum, dia suka perhatian Nabil yang sangat ditunjukkan saat ini. “Salah di gue kak, telat ngabarin dan ponsel gue keburu mati. Gue juga clumsy dan ga mikir panjang efek kedepannya kaya gimana.” ujar Kinara kemudian, memberikan penjelasan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah berapa banyak waktu ia habiskan untuk berdiam diri di dalam kelas menunggu jemputan dari Raka, dan juga untuk menghilangkan rasa sakit yang hingga saat ini tetap terasa nyeri di kaki sebelah kanan nya.

“Ayo kita pulang sekarang.” ajak Nabil kemudian, mengambil alih tas punggung Kinara untuk dirinya bawa.

Kinara menurut, dan berdiri dengan hati-hati guna meminimalisir rasa sakit pada lututnya yang mungkin akan menjadi jadi.

“Kaki lo kenapa? Kenapa jalan lo pincang gitu?” tanya Nabil kemudian, tersadar Kinara berjalan pincang di belakangnya.

“Cuma kesemutan kak, gue tadi kan tidur lama di kelas terus kaki gue ga gue gerakin.” bohongnya pada Nabil.

“Mau gue gendong aja?”

Dengan cepat Kinara menggeleng, “Gausah lah, kaya gue kenapa aja sampe harus di gendong. Bentar lagi juga udah deket parkiran kan? Jalan aja udah ayok.” Ujar Kinara kemudian, menarik tangan Nabil untuk bergegas kembali berjalan.

“Nih, lo pake aja jaket gue.” ucap Nabil sesampainya di tempat parkir sembari melepas Jaket yang tadi menempel di badannya.

Nabil memutuskan untuk Kinara memakai jaketnya karena, ketika Kinara menarik tangannya untuk berjalan tadi ia bisa merasakan betapa dinginnya tangan Kinara ketika bersentuhan dengan tangannya.

“Tapi gue udah pake hoodie kak?” tanya Kinara balik, bingung.

Hoodie doang masih kurang hangat di lo. Lagian ini hoodie siapa sih? Gue gatau lo punya hoodie kaya gini.”

“Punya Gale.”

Gerakan tangan Nabil terhenti, dirinya kini menatap Kinara intens.

“Ke- kenapa?” tanya Kinara bingung.

“Lo pacaran sama Gale?” tanya Nabil to the point.

Kinara menggeleng polos, “Kalau patokan lo untuk orang pacaran cuma karena mereka saling minjemin barang, semua orang di dunia ini pasti pacaran kak.”

Nabil tertawa kecil mendengarkan penuturan adiknya itu. Apa yang di bilang Kinara ada benar nya, dan mungkin dirinya juga terlalu dangkal untuk hal ini.

“Dah, ayo naik.” ujar Nabil kemudian, selesainya ia memasang tempat duduk di bagian penumpang motor nya. “Motor gue emang tinggi makanya gue jarang barengin lo balik karena alasan ini. Jadi lo gausah ngeluh.” katanya lagi, melihat Kinara kesusahan menaiki motor nya.

Kinara tersenyum tipis, “Gue ga ngeluh kok kak, lagian emang belum terbiasa makanya agak susah awal gue naik.”

Lagi lagi Nabil terdiam dengan jawaban adiknya itu. “Ada aja lu ngomong jawab gue.” kesal nya.

Kinara tertawa kecil.

By the way, lo ga marah kak Raka ga jemput lo?” tanya Nabil lagi, sembari memberikan helm kepada Kinara yang sudah naik ke kursi penumpang.

“Marah? Marah kenapa?” tanya Kinara balik, tidak mengerti.

“Kok kenapa? Dia ga jemput lo. Sampe jam tujuh malem. Dan kita pulang sekolah tadi jam berapa anjing? Lo nunggu berapa jam disini? Dan gue nanya, apa lo ga marah sama kak Raka?” ujar Nabil lagi penuh penekanan, gemas.

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “Kalaupun emang iya dia ga jemput gue sampe selama itu, pasti ada alasannya juga.” Jawab Kinara kemudian. “Lagi pun kesalahan terbesar ada di gue, karena gue malah mainin hape udah tau baterai nya tinggal dikit. Pasti aslinya Kak Raka udah ngabarin gue sesuatu soal hal itu. Kak Raka ga salah sama sekali, dia pasti punya alasan.” Sambungnya lagi.

Nabil mengangguk, “Iya sih, dia bilangnya tadi jadwal matkul nya di majuin.”

“Tuh kan, apa gue bilang. Kak Raka pasti punya alasan. Dia bukan orang yang lepas tanggung jawab.” sahut Kinara langsung, senang.

Nabil menurunkan kaca helm Kinara dengan sedikit kesal, “Sok tau lo.” katanya kemudian.

“Bukan sok tau gue kak. Kita udah hidup bareng berapa tahun sih? Bukannya aneh ya kalo gue ga ngerti kebiasaan kalian.” Ujar Kinara memberi pembelaan. “Eh tapi gue baru tau, lo punya “helm* warna putih kaya gini? Kok helm nya lebih kecil sih dari punya lo? Ini punya siapa? Ih masih bau plastik.” cerocosnya lagi, membuat Nabil mengulum senyum.

Iya saudara saudara, Nabil tadi mampir bentar ke toko helm langganan nya buat beliin Kinara helm supaya ketika pulang naik motor nanti kepala anaknya nggak kedinginan. Kalau alasan Nabil sih, supaya nggak masuk angin. Soalnya kalo masuk angin si Kinara, dia lagi di salahin. Padahal mah tinggal ngomong jujur aja, kalau dia khawatir.


Kini ketiganya, Raka, Arsha, dan Arzhan menunggu dengan bingung. Entah kepulangan kedua orang tuanya atau kedatangan kedua saudara nya lebih dulu.

“Siap siap yang terburuk aja kak.” ujar Arsha berpesan kepada Raka yang kini terlihat murung sembari mengotak atik ponselnya.

“Lo ngapain dah? Chat Kinara?” tanya Arzhan kemudian, melihat kegiatan Raka bermain ponsel tidak segera usai. “Ga di liat sama anaknya, gue udah coba chat juga tadi. Baterai ponsel dia abis paling.” sambungnya lagi.

“Ngapain chat si Kinara? Kan tadi kak Nabil udah bilang, anaknya udah sama dia dan ini lagi jalan balik.” tanya Arsha bingung.

“Ya kenapa emang? Gue ga butuh di baca sekarang.” jawab Raka ketus.

Tiada berapa lama, ketiganya mendengar suara pintu gerbang di buka.

Tampaknya kedatangan antara Kinara dan Nabil, dengan kedatangan kedua orang tua nya berbarengan sehingga membuat suasana sedikit gaduh karena suara motor dan mobil bersahut sahutan.

“Loh kok Kinara baru pulang ini? Kalian dari mana? Raka mana? Kok Kinara sama Nabil?” tanya mama bertubi-tubi.

Mama memasuki rumah bersama Nabil dan Kinara yang mengikuti dari belakang.

“Gimana ini kak? Kok adek nya sama kak Nabil? Kamu gak jemput Kinara tadi?” tanya mama lagi, mendesak suara keluar dari bibir Raka.

“Ma... Kinara tadi emang sama kak Nabil.” Belum sempat Raka berbicara, Kinara langsung mengambil alih.

“Laiya? Kan mama tanya, kenapa kamu sama kak Nabil?”

“Soalnya matkul kak Raka di ajukan, jadi akhirnya Kinara sama kak Nabil pulang nya.” jawab Kinara. “Ini baru pulang, soalnya Kinara tadi ngajakin kak Nabil ke gramedia buat liat buku.” ucapnya lagi, berbohong.

“Kamu pulang sekolah jam dua siang ya Kinara, sekarang udah hampir jam delapan malam. Kamu mau bohong sama mama?” Sahut mama cepat, tidak percaya.

“Bener dari gramedia ma. Aku nyari buku try out, Kinara di section novel. Anaknya tadi duduk lama disana, baca buku sambil nungguin aku nyari buku yang cocok.” Bela Nabil memperkuat argumen Kinara, sembari mengeluarkan buku try out yang dirinya beli tadi.

Pada akhirnya mama percaya, dan kemudian mengajak Kinara segera menuju lantai atas untuk mandi dan bebersih diri dan kemudian istirahat.

Arsha dan Arzhan menghela nafas lega, pertengkaran kali ini bisa di hindari walaupun sedikit ada cekcok diantara mama dan juga Kinara.

“Itu kenapa kaki Kinara pincang sebelah?” tanya Arsha kemudian, tersadar langkah Kinara agak aneh saat di tuntun mama untuk menaiki anak tangga.

Nabil mengendikkan bahunya tidak tahu menahu. “Tadi bilang ke gue sih kesemutan waktu di sekolah. Tapi masa iya, kesemutan bisa awet kaya gitu dari sekolah sampe rumah?”

Keempatnya kemudian terdiam, bingung dengan fikiran masing-masing.

Nabil mengendarai motor nya diatas kecepatan rata-rata. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Kinara yang kini tengah berada di sekolah sendirian dan tengah menunggu jemputan.

Begitu sesampainya ia di sana, dirinya masih melihat anak-anak karate tengah berlatih. Dia lega, setidaknya Kinara tidak benar-benar sendirian di sekolah.

Setelah memarkirkan motor nya dengan rapi, Nabil bergegas berjalan cepat menuju kelas yang dia tahu sebagai kelas Kinara.

Suasana cukup sepi di lorong sekolah, di tambah lagi memang minim nya pencahayaan membuat Nabil sedikit susah untuk menuju ke sana karena ia sering kali terlewat lorong kelas atau halangan yang lainnya.

Sesampainya di kelas Kinara yang memang terlihat gelap terlihat dari luar, Nabil buru-buru membuka pintu kelas dan mencari saklar di dekat sana guna memastikan apakah Kinara benar-benar ada di sekolah atau tidak.

Lampu menyala, hati Nabil mencelos melihat Kinara tengah manangkupkan kedua tangannya di atas meja, untuk menopang kepalanya.

“Kinara?” panggil Nabil perlahan, membangunkan adik bungsu nya itu.

Kinara mengerjap pelan, dirinya tidak tidur cuma hanya menutup mata dan mencari ketenangan dari dalam sana.

Melihat Nabil yang kini berdiri di depannya, Kinara merasa bersalah karena ia pasti sudah membuat kesemuanya merasa khawatir dan merepotkan.

“Kok kak Nabil yang jemput gue kesini?” tanya Kinara kemudian, dan melihat wajah Nabil yang masih menatapnya intens.

Kinara sudah siap. Dirinya sudah siap kalau sehabis ini ia akan di maki, dan di marahi karena tidak memberi kabar apapun. Salah nya sendiri, tidak memberitahu kondisi baterai ponsel nya kepada Raka yang tinggal sedikit dan mengakibatkan hal ini terjadi.

Tapi di luar dugaan, justru kini tangan Nabil terulur untuk mengusap keringat dingin Kinara yang berkumpul di area dahi. “Kenapa sih, gabisa kah sehari aja lo ga bikin kita khawatir kaya gini?” keluh Nabil kemudian.

Bibir Kinara mengulum senyum, dia suka perhatian Nabil yang sangat ditunjukkan saat ini. “Salah di gue kak, telat ngabarin dan ponsel gue keburu mati. Gue juga clumsy dan ga mikir panjang efek kedepannya kaya gimana.” ujar Kinara kemudian, memberikan penjelasan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah berapa banyak waktu ia habiskan untuk berdiam diri di dalam kelas menunggu jemputan dari Raka, dan juga untuk menghilangkan rasa sakit yang hingga saat ini tetap terasa nyeri di kaki sebelah kanan nya.

“Ayo kita pulang sekarang.” ajak Nabil kemudian, mengambil alih tas punggung Kinara untuk dirinya bawa.

Kinara menurut, dan berdiri dengan hati-hati guna meminimalisir rasa sakit pada lututnya yang mungkin akan menjadi jadi.

“Kaki lo kenapa? Kenapa jalan lo pincang gitu?” tanya Nabil kemudian, tersadar Kinara berjalan pincang di belakangnya.

“Cuma kesemutan kak, gue tadi kan tidur lama di kelas terus kaki gue ga gue gerakin.” bohongnya pada Nabil.

“Mau gue gendong aja?”

Dengan cepat Kinara menggeleng, “Gausah lah, kaya gue kenapa aja sampe harus di gendong. Bentar lagi juga udah deket parkiran kan? Jalan aja udah ayok.” Ujar Kinara kemudian, menarik tangan Nabil untuk bergegas kembali berjalan.

“Nih, lo pake aja jaket gue.” ucap Nabil sesampainya di tempat parkir sembari melepas Jaket yang tadi menempel di badannya.

Nabil memutuskan untuk Kinara memakai jaketnya karena, ketika Kinara menarik tangannya untuk berjalan tadi ia bisa merasakan betapa dinginnya tangan Kinara ketika bersentuhan dengan tangannya.

“Tapi gue udah pake hoodie kak?” tanya Kinara balik, bingung.

“Hoodie doang masih kurang hangat di lo. Lagian ini hoodie siapa sih? Gue gatau lo punya hoodie kaya gini.”

“Punya Gale.”

Gerakan tangan Nabil terhenti, dirinya kini menatap Kinara intens.

“Ke- kenapa?” tanya Kinara bingung.

“Lo pacaran sama Gale?” tanya Nabil to the point.

Kinara menggeleng polos, “Kalau patokan lo untuk orang pacaran cuma karena mereka saling minjemin barang, semua orang di dunia ini pasti pacaran kak.”

Nabil tertawa kecil mendengarkan penuturan adiknya itu. Apa yang di bilang Kinara ada benar nya, dan mungkin dirinya juga terlalu dangkal untuk hal ini.

“Dah, ayo naik.” ujar Nabil kemudian, selesainya ia memasang tempat duduk di bagian penumpang motor nya. “Motor gue emang tinggi makanya gue jarang barengin lo balik karena alasan ini. Jadi lo gausah ngeluh.” katanya lagi, melihat Kinara kesusahan menaiki motor nya.

Kinara tersenyum tipis, “Gue ga ngeluh kok kak, lagian emang belum terbiasa makanya agak susah awal gue naik.”

Lagi lagi Nabil terdiam dengan jawaban adiknya itu. “Ada aja lu ngomong jawab gue.” kesal nya.

Kinara tertawa kecil.

By the way, lo ga marah kak Raka ga jemput lo?” tanya Nabil lagi, sembari memberikan helm kepada Kinara yang sudah naik ke kursi penumpang.

“Marah? Marah kenapa?” tanya Kinara balik, tidak mengerti.

“Kok kenapa? Dia ga jemput lo. Sampe jam tujuh malem. Dan kita pulang sekolah tadi jam berapa anjing? Lo nunggu berapa jam disini? Dan gue nanya, apa lo ga marah sama kak Raka?” ujar Nabil lagi penuh penekanan, gemas.

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “Kalaupun emang iya dia ga jemput gue sampe selama itu, pasti ada alasannya juga.” Jawab Kinara kemudian. “Lagi pun kesalahan terbesar ada di gue, karena gue malah mainin hape udah tau baterai nya tinggal dikit. Pasti aslinya Kak Raka udah ngabarin gue sesuatu soal hal itu. Kak Raka ga salah sama sekali, dia pasti punya alasan.” Sambungnya lagi.

Nabil mengangguk, “Iya sih, dia bilangnya tadi jadwal matkul nya di majuin.”

“Tuh kan, apa gue bilang. Kak Raka pasti punya alasan. Dia bukan orang yang lepas tanggung jawab.” sahut Kinara langsung, senang.

Nabil menurunkan kaca helm Kinara dengan sedikit kesal, “Sok tau lo.” katanya kemudian.

“Bukan sok tau gue kak. Kita udah hidup bareng berapa tahun sih? Bukannya aneh ya kalo gue ga ngerti kebiasaan kalian.” Ujar Kinara memberi pembelaan. “Eh tapi gue baru tau, lo punya “helm* warna putih kaya gini? Kok helm nya lebih kecil sih dari punya lo? Ini punya siapa? Ih masih bau plastik.” cerocosnya lagi, membuat Nabil mengulum senyum.

Iya saudara saudara, Nabil tadi mampir bentar ke toko helm langganan nya buat beliin Kinara helm supaya ketika pulang naik motor nanti kepala anaknya nggak kedinginan. Kalau alasan Nabil sih, supaya nggak masuk angin. Soalnya kalo masuk angin si Kinara, dia lagi di salahin. Padahal mah tinggal ngomong jujur aja, kalau dia khawatir.


Kini ketiganya, Raka, Arsha, dan Arzhan menunggu dengan bingung. Entah kepulangan kedua orang tuanya atau kedatangan kedua saudara nya lebih dulu.

“Siap siap yang terburuk aja kak.” ujar Arsha berpesan kepada Raka yang kini terlihat murung sembari mengotak atik ponselnya.

“Lo ngapain dah? Chat Kinara?” tanya Arzhan kemudian, melihat kegiatan Raka bermain ponsel tidak segera usai. “Ga di liat sama anaknya, gue udah coba chat juga tadi. Baterai ponsel dia abis paling.” sambungnya lagi.

“Ngapain chat si Kinara? Kan tadi kak Nabil udah bilang, anaknya udah sama dia dan ini lagi jalan balik.” tanya Arsha bingung.

“Ya kenapa emang? Gue ga butuh di baca sekarang.” jawab Raka ketus.

Tiada berapa lama, ketiganya mendengar suara pintu gerbang di buka.

Tampaknya kedatangan antara Kinara dan Nabil, dengan kedatangan kedua orang tua nya berbarengan sehingga membuat suasana sedikit gaduh karena suara motor dan mobil bersahut sahutan.

“Loh kok Kinara baru pulang ini? Kalian dari mana? Raka mana? Kok Kinara sama Nabil?” tanya mama bertubi-tubi.

Mama memasuki rumah bersama Nabil dan Kinara yang mengikuti dari belakang.

“Gimana ini kak? Kok adek nya sama kak Nabil? Kamu gak jemput Kinara tadi?” tanya mama lagi, mendesak suara keluar dari bibir Raka.

“Ma... Kinara tadi emang sama kak Nabil.” Belum sempat Raka berbicara, Kinara langsung mengambil alih.

“Laiya? Kan mama tanya, kenapa kamu sama kak Nabil?”

“Soalnya matkul kak Raka di ajukan, jadi akhirnya Kinara sama kak Nabil pulang nya.” jawab Kinara. “Ini baru pulang, soalnya Kinara tadi ngajakin kak Nabil ke gramedia buat liat buku.” ucapnya lagi, berbohong.

“Kamu pulang sekolah jam dua siang ya Kinara, sekarang udah hampir jam delapan malam. Kamu mau bohong sama mama?” Sahut mama cepat, tidak percaya.

“Bener dari gramedia ma. Aku nyari buku try out, Kinara di section novel. Anaknya tadi duduk lama disana, baca buku sambil nungguin aku nyari buku yang cocok.” Bela Nabil memperkuat argumen Kinara, sembari mengeluarkan buku try out yang dirinya beli tadi.

Pada akhirnya mama percaya, dan kemudian mengajak Kinara segera menuju lantai atas untuk mandi dan bebersih diri dan kemudian istirahat.

Arsha dan Arzhan menghela nafas lega, pertengkaran kali ini bisa di hindari walaupun sedikit ada cekcok diantara mama dan juga Kinara.

“Itu kenapa kaki Kinara pincang sebelah?” tanya Arsha kemudian, tersadar langkah Kinara agak aneh saat di tuntun mama untuk menaiki anak tangga.

Nabil mengendikkan bahunya tidak tahu menahu. “Tadi bilang ke gue sih kesemutan waktu di sekolah. Tapi masa iya, kesemutan bisa awet kaya gitu dari sekolah sampe rumah?”

Keempatnya kemudian terdiam, bingung dengan fikiran masing-masing.

Pada pemeriksaan Kinara beberapa hari yang lalu pasca insiden Kinara pergi ke tukang pijat, bukan dokter Hanan yang menangani karena beliau memang memiliki jadwal lain, sehingga pertemuan tidak di janjikan seperti itu tidak bisa ia hadiri.

Dan kini, untuk pertemuan yang sudah dokter Hanan janjikan, Kinara, mama, dan papa sudah kembali dengan persiapan yang jauh lebih matang.

Dokter Hanan memeriksa kembali surat keterangan Kinara yang sudah keluar, dan mendiskusikan beberapa hal terkait keadaan Kinara saat ini.

“Ibu Miya, sebelumnya saya sudah memperingatkan untuk tidak membawa keadaan Kinara ke tempat pijat refleksi mana pun.” Ingat dokter Hanan, kecewa dengan apa yang sudah mama katakan barusan. “Jika itu osteosarkoma, pijat dan urut justru akan membuat sel kanker semakin progresif dan tumor semakin cepat dan menyebar.” sambungnya lagi menjelaskan.

Mama kebingungan, dirinya sudah lalai menjalankan satu hal yang paling penting. Memberitahu keadaan Kinara secepat mungkin, agar Kinara juga lebih siap dan ikut menghindari banyak pantangan yang di ujar kan. Tapi semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur.

“Lantas bagaimana keadaan Kinara dok?” ganti papa bertanya, mewakili mama yang kini hanya bisa tertunduk lemas.

“Hitungannya hanya minggu hingga beberapa bulan. Kanker ini sangat cepat membesar dan berkembang pesat.” Ujar dokter Hanan lagi, menegaskan. “Kinara selalu mengeluhkan nyeri pada bagian lutut dan betis nya bukan? Maka hampir di pastikan kalau itu termasuk dalam keganasan pada tulang. Mengapa di sebutkan hampir pasti? Karena kalau tumor jinak biasanya tidak sakit.” sambung dokter Hanan lagi.

Kinara hanya mampu termenung lama setelah mendengarkan penjelasan dokter Hanan. Dirinya tidak tahu, kalau yang ia hadapi adalah hal yang sebesar ini. Ia tidak seberani itu untuk menghadapi nya. Tidak, bukan hanya tidak berani, dirinya juga tidak mampu.

Mama memeluk lengan Kinara yang tengah termenung dengan erat, banyak hal yang ia sesali hingga saat ini. Penyesalan nya yang datang terlambat itu sudah menumpuk dan menjadi besar melewati gunung.

“Segera setelah ini, kita akan mendiskusikan terkait dengan pengobatan yang akan Kinara jalani.” ucap Dokter Hanan lagi, mengambil alih situasi yang kini dirasa kurang kondusif di dalam ruangannya. “Secara umum, modalitas pengobatan kanker tulang ada 3, yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. Untuk lebih jelasnya, nanti asisten saya akan merincikan kesemuanya.” tutup nya langsung.


Suasana di dalam mobil siang hari itu terasa sunyi, meskipun suara kendaraan yang lain cukup di katakan berisik ketika berlalu lalang.

Ada papa yang berada di kursi kemudi, dan mama yang menemani Kinara duduk di bangku belakang, kursi penumpang.

Kinara menaruh kepalanya di atas pangkuan mama. Dirinya sedikit kesulitan menggerakkan kaki kanan nya yang memang cukup sakit sedari tadi.

Mama mengelus peluh keringat dingin yang terus terusan keluar dari tubuh Kinara. “Matikan AC nya aja pa.” Pinta mama kemudian, mencoba bersikap baik-baik saja.

Kinara menghindari untuk melihat ekspresi kedua orang tuanya kali ini. Dirinya tidak suka, ketika mereka menatapnya dengan sendu seolah olah itu adalah kesempatan terakhir bagi Kinara untuk terus bernafas.

“Ma, Kinara mau minta sesuatu.” ujar Kinara kemudian, setelah terdiam begitu lama.

Mama mengangguk setuju, walaupun Kinara tidak melihatnya saat itu. “Mau minta apa sayang?” tanya mama lembut.

Setelah memikirkan hal ini dengan panjang, pada akhirnya Kinara mebulatkan keputusan. “Mulai dari hari ini, Kinara mau tidur di kamar yang sama bareng mama papa, dan kemudian kasih kamar Kinara buat kak Arzhan atau Arsha.” ucap Kinara, membuat mama papa nya membulatkan mata terkejut.

“Tapi kenapa? Kakak kamu ada yang nyuruh kamu untuk ngomong gini sayang?” tanya papa langsung, bertubi-tubi.

Kinara menggeleng, “dari awal Kinara bilang, ini permintaan Kinara.” ujar Kinara menegaskan. “Kinara suka kasihan liat kak Arsha sama kak Arzhan berbagi kamar, dan pakai kasur tingkat. Mereka mengalah buat kasih Kinara sebagai satu-satunya anak perempuan untuk punya kamar sendiri. Banyak hal yang Kinara pikirkan, dan ini udah dari lama. Sejak awal Kinara tahu, kalau kebutuhan kak Arsha dan kak Arzhan ga pernah terpenuhi secara maksimal karena adanya Kinara.”

Mama mengusap pelan rambut Kinara, sepenuhnya mulai dari sekarang dirinya menyadari betapa besar rasa kasih Kinara pada saudara nya yang lain.

“Baru mau papa rencanakan untuk gudang samping kamar mama dan papa, di alokasikan menjadi kamar Arzhan atau Arsha. Tapi kalau keinginan Kinara seperti itu, lebih baik sembari menunggu gudang di lantai atas sepenuhnya bersih, Kinara bisa langsung pindah ke kamar mama dan Arsha atau Arzhan pindah ke kamar Kinara yang sekarang ma.” ujar Papa panjang lebar, mendiskusikan perihal yang baru saja Kinara ucapkan.

Mama mengangguk, “terserah papa. Mama ngikut aja.” jawab mama singkat.


Mereka sampai rumah pukul tiga sore, dan beruntung nya bi Anjar sudah tiba dan menyambut ketiganya dengan bahagia.

Kok bisa bi Anjar ada di rumah?

Jadi gini, salah satu art yang memang awet banget di keluarga Kinara adalah bi Anjar. Dulu mama sempat pesan kan bi Anjar, untuk pulang ke kampung terlebih dahulu dan mendahulukan keluarga yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun untuk bekerja bersama keluarga Kinara.

Tapi karena keadaan Kinara saat ini yang memang membutuhkan perawatan intensif dari rumah, jadi mama memutuskan untuk memanggil bi Anjar kembali supaya bisa ikut membantu Kinara dan mengurus rumah.

Kedatangan bi Anjar ini tidak mama dan papa ceritakan kepada siapapun termasuk Kinara. Maka dari itu, segera setelah turun dari mobil, dengan tertatih Kinara berjalan cepat dan menghampiri bi Anjar untuk memeluk nya dengan erat.

“Aduh ndhuk Kinara, kok makin kurus aja dewasa sekarang.” ujar bi Anjar, sembari menepuk nepuk pundak Kinara.

Kinara menahan tangis nya, pertemuan seperti ini yang ia tunggu karena ia bahagia setelah ini hidupnya tidak akan sesepi dulu saat bi Anjar tidak ada.

“Kenapa baru pulang sekarang bi? Kinara nungguin udah dari lama.” Ucap Kinara terbata.

Bi Anjar makin mengeratkan pelukannya, “Bibi keterusan ndhuk, di kampung anak bibi udah punya cucu. Jadi bibi sedikit lebih lama di kampung karena sayang cucu.” katanya tertawa geli. Kinara ikut tertawa, di gandeng nya tangan bi Anjar untuk masuk ke dalam rumah.

“Kenapa ndhuk Kinara kok jalan nya kaya gitu? Kakinya sakit?” tanya bi Anjar kemudian, menyadari langkah Kinara yang lebih berat dan pincang.

Kinara mengangguk, “iya bi. Tapi gapapa, abis ini juga sembuh kalo minum obat.” jawab Kinara menenangkan.

“Ayo ke kamar dulu, biar bibi pijat kakinya.”

“Ehh, gaboleh bibi! Itu kaki Kinara sakitnya bukan kesleo, jadi ga boleh di pijat ya!” Ujar mama dari belakang dengan galak.

Kinara turun dari motor ojek online tadi dengan lemas. Kayanya dia beneran mabuk kendaraan deh.

Dengan langkah perlahan, dirinya membuka gerbang rumah dan masuk dengan hati-hati supaya rasa mual pada perutnya tidak semakin menjadi.

Nabil yang memang sudah berada di rumah sedari tadi, memperhatikan adik bungsu nya yang baru tiba dengan bingung.

“Kenapa lu?” tanya nya penasaran, dan mendekat untuk memastikan kondisi Kinara.

“Mual doang gue kak. Ternyata lo udah balik duluan ya.” ujar Kinara kemudian, dan duduk pada sofa ruang tamu.

Sorry, gue tadi ga buka grup jadi gatau kalo lo mau bareng waktu balik.” kata Nabil meneruskan.

Ganti Kinara yang bingung, “gausah, biasanya juga ga gitu kok.” sahutnya langsung, menghindari canggung.

“Yaudah, lo masih mual?” tanya Nabil kemudian. “Gue ambilin air putih atau lo langsung ke kamar aja?” sambungnya kemudian.

Sebenernya pun kalo ngomong langsung kaya gini, Nabil bukannya galak galak amat. Cuma kalau udah di chat, tingkat nyebelin dia tuh langsung naik beberapa persen dan selalu bikin Kinara geleng geleng kepala.

“Gue langsung ke kamar aja kak. Makasih atas tawaran nya tadi.” ujar Kinara kemudian, dan beranjak meninggalkan Nabil yang masih duduk di sofa ruang tamu.


Belum usai rasa mual pada perut Kinara, di tambah lagi kaki sebelah kanan nya kini ikut nyeri kembali.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya bilang pada Acel, Eja, dan Gale kalau kakinya sudah lebih baik setelah di pijat. Tapi sejak tadi pagi, rasa nyeri pada kaki nya sudah kembali lagi, dan rasa yang di hasilnya jauh lebih sakit dari kali pertama rasa itu muncul.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dirinya masih belum mendengar suara kepulangan dari kedua orang tuanya dan tiga saudaranya yang lain.

Kinara teringat, bahwa minyak kayu putih yang biasanya ia gunakan ketika kakinya sakit dahulu berada di lantai atas, kamar mama nya. Karena beberapa hari yang lalu, mama meminjam nya untuk mengobati rasa migrain.

Enggan untuk meminta bantuan pada Nabil, pada akhirnya Kinara terpaksa untuk berjalan dengan tertatih guna mengambil minyak tersebut pada kamar mama.

Kinara udah mau nyerah, waktu dia liat banyaknya anak tangga yang akan dirinya tempuh sehabis ini. Tapi demi kenyamanan kaki nya, ia akan memaksa keadaan ini untuk terjadi.

“Gampang, nanti tiduran aja di kamar mama. Atau kalau emang ada kemungkinan, kita menggelindingkan diri aja ke anak tangga biar sampe lantai satu lagi.” gumam nya menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, dan di barengi oleh istirahat dua puluh detik tiap satu tanjakan anak tangga. Kinara berhasil sampai dengan selamat di depan pintu kamar mama.

Kinara mau nangis aja, biasanya buat menempuh dari lantai satu ke lantai dua ga lebih dari dua puluh detik baginya untuk naik. Tapi sekarang, hampir setengah jam ia baru sampai ke lantai dua.

Satu hal yang langsung Kinara tuju, begitu ia sampai di dalam kamar mama adalah ranjang big size yang terlihat empuk di mata nya.

Setelah puas berbaring, mengistirahatkan diri dan juga kaki nya yang masih luar biasa nyeri, akhirnya Kinara mulai beranjak pada meja rias mama nya yang mungkin menjadi tempat mama nya menyimpan minyak kayu putih yang saat ini ia butuhkan.

Belum sampai pada meja rias, atensi Kinara teralihkan oleh satu map tali berwarna coklat, yang bertuliskan dengan jelas nama lengkap nya.

Kinara Senja Lembayung Jingga

Di lengkapi oleh cap rumah sakit yang memang ia datangi bersama mama, Kinara yakin itu adalah hasil tes nya beberapa hari terakhir yang memang tidak pernah mama niatkan untuk di tunjukkan pada Kinara.

Ragu, Kinara membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati. Mengabaikan rasa nyeri pada kaki nya, kali ini ia lebih penasaran dengan isi amplop itu.

Osteosarcoma

Kata yang begitu asing pada benaknya. Kinara segera membaca beberapa penggal kalimat selanjutnya yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kinara tertawa miris, “Osteosarcoma, bone cancer, astaga Kinara. Ayo kuatkan ragamu, semesta mulai berlebihan saat bercanda.”

Kinara turun dari motor ojek online tadi dengan lemas. Kayanya dia beneran mabuk kendaraan deh.

Dengan langkah perlahan, dirinya membuka gerbang rumah dan masuk dengan hati-hati supaya rasa mual pada perutnya tidak semakin menjadi.

Nabil yang memang sudah berada di rumah sedari tadi, memperhatikan adik bungsu nya yang baru tiba dengan bingung.

“Kenapa lu?” tanya nya penasaran, dan mendekat untuk memastikan kondisi Kinara.

“Mual doang gue kak. Ternyata lo udah balik duluan ya.” ujar Kinara kemudian, dan duduk pada sofa ruang tamu.

“Sorry, gue tadi ga buka grup jadi gatau kalo lo mau bareng waktu balik.” kata Nabil meneruskan.

Ganti Kinara yang bingung, “gausah, biasanya juga ga gitu kok.” sahutnya langsung, menghindari canggung.

“Yaudah, lo masih mual?” tanya Nabil kemudian. “Gue ambilin air putih atau lo langsung ke kamar aja?” sambungnya kemudian.

Sebenernya pun kalo ngomong langsung kaya gini, Nabil bukannya galak galak amat. Cuma kalau udah di chat, tingkat nyebelin dia tuh langsung naik beberapa persen dan selalu bikin Kinara geleng geleng kepala.

“Gue langsung ke kamar aja kak. Makasih atas tawaran nya tadi.” ujar Kinara kemudian, dan beranjak meninggalkan Nabil yang masih duduk di sofa ruang tamu.


Belum usai rasa mual pada perut Kinara, di tambah lagi kaki sebelah kanan nya kini ikut nyeri kembali.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya bilang pada Acel, Eja, dan Gale kalau kakinya sudah lebih baik setelah di pijat. Tapi sejak tadi pagi, rasa nyeri pada kaki nya sudah kembali lagi, dan rasa yang di hasilnya jauh lebih sakit dari kali pertama rasa itu muncul.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dirinya masih belum mendengar suara kepulangan dari kedua orang tuanya dan tiga saudaranya yang lain.

Kinara teringat, bahwa minyak kayu putih yang biasanya ia gunakan ketika kakinya sakit dahulu berada di lantai atas, kamar mama nya. Karena beberapa hari yang lalu, mama meminjam nya untuk mengobati rasa migrain.

Enggan untuk meminta bantuan pada Nabil, pada akhirnya Kinara terpaksa untuk berjalan dengan tertatih guna mengambil minyak tersebut pada kamar mama.

Kinara udah mau nyerah, waktu dia liat banyaknya anak tangga yang akan dirinya tempuh sehabis ini. Tapi demi kenyamanan kaki nya, ia akan memaksa keadaan ini untuk terjadi.

“Gampang, nanti tiduran aja di kamar mama. Atau kalau emang ada kemungkinan, kita menggelindingkan diri aja ke anak tangga biar sampe lantai satu lagi.” gumam nya menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, dan di barengi oleh istirahat dua puluh detik tiap satu tanjakan anak tangga. Kinara berhasil sampai dengan selamat di depan pintu kamar mama.

Kinara mau nangis aja, biasanya buat menempuh dari lantai satu ke lantai dua ga lebih dari dua puluh detik baginya untuk naik. Tapi sekarang, hampir setengah jam ia baru sampai ke lantai dua.

Satu hal yang langsung Kinara tuju, begitu ia sampai di dalam kamar mama adalah ranjang big size yang terlihat empuk di mata nya.

Setelah puas berbaring, mengistirahatkan diri dan juga kaki nya yang masih luar biasa nyeri, akhirnya Kinara mulai beranjak pada meja rias mama nya yang mungkin menjadi tempat mama nya menyimpan minyak kayu putih yang saat ini ia butuhkan.

Belum sampai pada meja rias, atensi Kinara teralihkan oleh satu map tali berwarna coklat, yang bertuliskan dengan jelas nama lengkap nya.

Kinara Senja Lembayung Jingga

Di lengkapi oleh cap rumah sakit yang memang ia datangi bersama mama, Kinara yakin itu adalah hasil tes nya beberapa hari terakhir yang memang tidak pernah mama niatkan untuk di tunjukkan pada Kinara.

Ragu, Kinara membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati. Mengabaikan rasa nyeri pada kaki nya, kali ini ia lebih penasaran dengan isi amplop itu.

Osteosarcoma

Kata yang begitu asing pada benaknya. Kinara segera membaca beberapa penggal kalimat selanjutnya yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kinara tertawa miris, “Osteosarcoma, bone cancer, astaga Kinara. Ayo kuatkan ragamu, semesta mulai berlebihan saat bercanda.”

Kinara turun dari motor ojek online tadi dengan lemas. Kayanya dia beneran mabuk kendaraan deh.

Dengan langkah perlahan, dirinya membuka gerbang rumah dan masuk dengan hati-hati supaya rasa mual pada perutnya tidak semakin menjadi.

Nabil yang memang sudah berada di rumah sedari tadi, memperhatikan adik bungsu nya yang baru tiba dengan bingung.

“Kenapa lu?” tanya nya penasaran, dan mendekat untuk memastikan kondisi Kinara.

“Mual doang gue kak. Ternyata lo udah balik duluan ya.” ujar Kinara kemudian, dan duduk pada sofa ruang tamu.

“Sorry, gue tadi ga buka grup jadi gatau kalo lo mau bareng waktu balik.” kata Nabil meneruskan.

Ganti Kinara yang bingung, “gausah, biasanya juga ga gitu kok.” sahutnya langsung, menghindari canggung.

“Yaudah, lo masih mual?” tanya Nabil kemudian. “Gue ambilin air putih atau lo langsung ke kamar aja?” sambungnya kemudian.

Sebenernya pun kalo ngomong langsung kaya gini, Nabil bukannya galak galak amat. Cuma kalau udah di chat, tingkat nyebelin dia tuh langsung naik beberapa persen dan selalu bikin Kinara geleng geleng kepala.

“Gue langsung ke kamar aja kak. Makasih atas tawaran nya tadi.” ujar Kinara kemudian, dan beranjak meninggalkan Nabil yang masih duduk di sofa ruang tamu.


Belum usai rasa mual pada perut Kinara, di tambah lagi kaki sebelah kanan nya kini ikut nyeri kembali.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya bilang pada Acel, Eja, dan Gale kalau kakinya sudah lebih baik setelah di pijat. Tapi sejak tadi pagi, rasa nyeri pada kaki nya sudah kembali lagi, dan rasa yang di hasilnya jauh lebih sakit dari kali pertama rasa itu muncul.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dirinya masih belum mendengar suara kepulangan dari kedua orang tuanya dan tiga saudaranya yang lain.

Kinara teringat, bahwa minyak kayu putih yang biasanya ia gunakan ketika kakinya sakit dahulu berada di lantai atas, kamar mama nya. Karena beberapa hari yang lalu, mama meminjam nya untuk mengobati rasa migrain.

Enggan untuk meminta bantuan pada Nabil, pada akhirnya Kinara terpaksa untuk berjalan dengan tertatih guna mengambil minyak tersebut pada kamar mama.

Kinara udah mau nyerah, waktu dia liat banyaknya anak tangga yang akan dirinya tempuh sehabis ini. Tapi demi kenyamanan kaki nya, ia akan memaksa keadaan ini untuk terjadi.

“Gampang, nanti tiduran aja di kamar mama. Atau kalau emang ada kemungkinan, kita menggelindingkan diri aja ke anak tangga biar sampe lantai satu lagi.” gumam nya menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, dan di barengi oleh istirahat dua puluh detik tiap satu tanjakan anak tangga. Kinara berhasil sampai dengan selamat di depan pintu kamar mama.

Kinara mau nangis aja, biasanya buat menempuh dari lantai satu ke lantai dua ga lebih dari dua puluh detik baginya untuk naik. Tapi sekarang, hampir setengah jam ia baru sampai ke lantai dua.

Satu hal yang langsung Kinara tuju, begitu ia sampai di dalam kamar mama adalah ranjang big size yang terlihat empuk di mata nya.

Setelah puas berbaring, mengistirahatkan diri dan juga kaki nya yang masih luar biasa nyeri, akhirnya Kinara mulai beranjak pada meja rias mama nya yang mungkin menjadi tempat mama nya menyimpan minyak kayu putih yang saat ini ia butuhkan.

Belum sampai pada meja rias, atensi Kinara teralihkan oleh satu map tali berwarna coklat, yang bertuliskan dengan jelas nama lengkap nya.

Kinara Senja Lembayung Jingga

Di lengkapi oleh cap rumah sakit yang memang ia datangi bersama mama, Kinara yakin itu adalah hasil tes nya beberapa hari terakhir yang memang tidak pernah mama niatkan untuk di tunjukkan pada Kinara.

Ragu, Kinara membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati. Mengabaikan rasa nyeri pada kaki nya, kali ini ia lebih penasaran dengan isi amplop itu.

Osteosarcoma

Kata yang begitu asing pada benaknya. Kinara segera membaca beberapa penggal kalimat selanjutnya yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kinara tertawa miris, “Osteosarcoma, bone cancer, astaga Kinara. Ayo kuatkan ragamu, semesta mulai berlebihan saat bercanda.”

Kinara kembali duduk pada ruang tunggu pasien, tepat depan kantor pribadi milik dokter Hanan.

Mama nya? Mama nya sudah memasuki ruang dokter Hanan kurang lebih tiga puluh menit sedari tadi.

Hal yang bisa Kinara lakukan hanyalah menoleh ke arah kiri dan kanan, sembari menghilangkan rasa bosan menunggu mama nya selesai dengan urusannya berbincang dengan dokter Hanan.

“Kakak sakit?” Tanya salah seorang anak kecil, menggunakan baju pasien mencolek lengan kirinya.

Kinara sedikit terkejut, dirinya tidak menyangka kalau bisa ada anak kecil berada di hadapan nya saat ini.

“Kamu kok bisa disini? Kamu dari bangsal mana?” Tanya Kinara balik, bingung.

“Kakak cantik deh, mata kakak berbinar-binar.” Oceh anak kecil itu lagi.

Kinara tersenyum geli, ucapan anak tadi cukup membuat hatinya terhibur.

“Adek siapa namanya?” Tanya Kinara kemudian. “Nama kakak, Kinara.” Sambungnya lagi, dan menjulurkan tangan hendak bersalaman.

Anak kecil tadi menyambut uluran tangan Kinara dengan senang. “Nama aku Genta. Genta tadi jalan kesini, soalnya bosan. Di bangsal tempat Genta di rawat, gak ada anak kecil yang bisa di ajak main.” Jawab Genta dengan pelafalan yang lambat.

Kinara tertawa kecil, tangannya bergerak mengusap rambut Genta yang di potong layaknya tentara. “Genta sakit apa sayang?” Tanya Kinara lagi.

Genta menggeleng, dan berlari menjauh dari Kinara. Kinara hendak mengejar Genta, sampai dirinya menyadari bahwa mama nya juga baru saja keluar dari ruang dokter Hanan.

Kinara terheran melihat kondisi mama nya yang terlihat pucat saat ini. Dokter Hanan yang mengekor di belakang mama nya, ikut tersenyum pada Kinara.

“Wah, Kinara masih pakai seragam sekolah. Kinara tadi langsung kesini ya sehabis pulang sekolah?” Tanya dokter Hanan ramah.

Kinara menganggukkan kepala, dan membalas senyum dokter Hanan.

“Jadi langkah pemeriksaan terakhir yang dapat dilaksanakan adalah pemeriksaan histopatologi yaitu pemeriksaan mikroskopis jenis dan level keganasan tumor dari bahan jaringan yang diambil melalui tindakan biopsi ya bu Miya . Biopsi dapat dilakukan secara terbuka maupun tertutup seperti yang sudah kita diskusikan tadi.” Jelas dokter Hanan lagi.

Kinara mengorek telinga nya, takut takut salah mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh dokter Hanan.

Tumor? Biopsi? Dua kata yang terdengar begitu asing pada telinga nya, kali ini di sebut dengan gamblang.

Tangan mama menggengam tangan Kinara dengan erat. Dapat Kinara rasakan, bahwa tangan mama yang tengah menggenggam nya sangat dingin saat ini.

“Besok bisa saya jadwalkan pertemuan lagi untuk membahas secara komprehensif melalui forum diskusi multidisiplin yang melibatkan beberapa dokter spesialis ahli tumor diantaranya spesialis onkologi ortopedi, radiologi, patologi anatomi. Terima kasih karena sudah mau bekerja sama untuk hari ini.” Ucap Dokter Hanan lagi, dan berlalu dari sana meninggalkan Kinara dan mama nya dalam diam.

“Mau kemana Del?” Cegat Tiyo, melihat Delvin berpakaian rapi sembari menggenggam kunci mobilnya.

Nada mengikuti dari belakang, melambaikan tangannya pada Haikal dan Hermas yang duduk dengan santai di kursi ruang tamu.

“Nganterin Nada.” jawab Delvin singkat, tidak ingin membuang waktu.

Gantian Tiyo mencekal lengan Nada yang hendak mengikuti langkah Delvin. “Mau kemana emang?”

Nada melirik dengan awas ke arah Yudha yang kini juga menatapnya dengan intens. “Anan... jangan bilang bang Yudha ya bang Tiyo.” bisik Nada kemudian, dan melepaskan pegangan Tiyo pada lengannya dan berlari dengan cepat ke arah Delvin.

“Kemana Yo?” tanya Jonathan penasaran, karena memang mereka yang duduk pada sofa ruang tamu tidak bisa mendengar bisikan Nada pada Tiyo tadi.

Tiyo mengendikkan bahu nya tidak mau tahu, dirinya sudah berjanji pada Nada. “Night drive sama Delvin.” Ucapnya berbohong.


Anan menunggu dengan cemas, begitu tidak ada lagi balasan dari Nada. Emang sialan ni anak, abis ngabarin langsung ilang lagi.

Beruntungnya satu pesan masuk baru saja menenangkan hatinya. Pesan dari Haikal yang mengatakan bahwa mungkin Nada sedang menuju ke rumahnya di temani oleh Delvin.

“Kok ga tidur Anan?” Tanya Bunda menginterupsi kegiatan Anan yang kini masih setia menunggu kedatangan Nada di depan rumah.

Anan tersenyum pada bunda nya, “Nada mau kesini bun.” Jawabnya lembut.

Bunda menyisir rambut Anan dengan perlahan, banyak hal yang terjadi setelah kedatangan Nada kembali pada hidup Anan. Anan lebih berekspresif dan dirinya selalu bahagia. Bunda merasa beruntung untuk hal itu. “Bunda ga tau kenapa Nada malem-malem kesini mau ngapain, tapi yang pasti langsung ajak masuk karena di luar dingin.” Peringat bunda, sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Tiada berapa lama, mobil Mazda CX-5 memasuki halaman rumah Anan. Diluar dugaan, ternyata Delvin lah yang benar-benar mengantarkan Nada. Padahal ketika Haikal memberitahu nya tadi, dia kira itu hanyalah sebuah candaan mengingat reaksi sinis yang sering kali di lontarkan Delvin pada hubungannya dengan Nada.

“Bang,” Ujar Anan menyapa, usai membukakan pintu mobil Nada dan kemudian kembali berlalu ke arah pintu kemudi. “Ga turun dulu?” sambungnya karena Delvin sudah bersiap menjalankan mobilnya lagi.

“Nanti gue jemput, gue mau pergi dulu beliin beng-beng Jerome.”

Padahal mah Delvin sengaja pergi karena dia menghargai perjuangan Nada buat malem-malem ke rumah Anan dan bikin surprise. Kalau di tanya real nya gimana, ya aslinya dia juga ga rela ninggalin Nada di sana.

“Sengaja banget ga ada kabar.” Belum apa-apa keluhan sudah di lontarkan pada Nada. Anan mengambil alih cake yang dirinya pegang dari tangan Nada, untuk di taruh pada meja depan rumah.

“Di ajarin kak Jeff.” Jawab Nada tertawa. “Maafin ya, ga maksud sebenernya.” Lanjutnya lagi meminta maaf.

Anan menggeleng, “Ga ada alasan buat kamu minta maaf.”

Hati Nada makin kecil, rasa bersalahnya makin menggebu. “Marah dong sekali kali anjing, kesel banget ni aku sekarang.”

I choose you in all my choice. Ga akan pernah aku lakukan, bahkan dalam mimpi Nada. Kamu terlalu berharga untuk itu. Udahlah, ayo kita makan rotinya aja.” Ujar Anan kemudian, mengalihkan percakapan keduanya yang mulai menjurus.

Happy boyfriend day. Masih keinget, waktu kamu bilang may I be your boyfriend empat tahun lalu.” Goda Nada, belum puas.

“Lebay la.”

“Terngiang-ngiang.”

“Udah dong.”

Nada tertawa puas, melihat wajah Anan yang merah merona karena malu.

“Nah, itu bang Delvin udah sampe.” kata Nada dan beranjak berdiri ketika melihat mobil Mazda CX-5 berwarna navy datang dari arah utara.

Anan mencekal lengan Nada lembut, dan menariknya untuk kembali duduk. “Bukan mobil kak Delvin itu Nad.”

“Hah?” Nada membeo bingung, dan ternyata benar mobil itu tetap melewati rumah dan tempatnya serta Anan berada.

Nada mengrinyit heran, bisa bisanya Anan tau.

“Kok kamu tau itu bukan mobil Kak Delvin? Jujur sama aku, kamu cenayang ya?”

Sekarang balik Anan bingung, bisa bisanya Nada tau kata cenayang. Siapa yang ngajarin coba?

“Plat nya beda.” jawab Anan singkat.

“Kamu ngapalin plat mobil kak Delvin? Buat apa Anan?”

Just in case.”

Bibir Nada tertutup sempurna, tidak ada hal yang bisa dirinya katakan saat ini. Hal sederhana seperti ini pun, ternyata Anan juga memperhatikan nya.

Kemudian Nada teringat akan sesuatu, “Aku ada hadiah satu lagi. Aku bikin ini hampir tujuh jam, jadi kamu harus pamerin ke semua sosmed kamu, Wajib!!” Kata Nada kemudian, menggebu gebu.

Anan tersenyum mengiyakan, dan mulai melihat hal yang di tunjukkan Nada dengan serius.

Mata Nada berbinar, senyumnya tak kunjung luntur begitu melihat perubahan dari raut wajah Anan yang terlihat tertekan.

Sialan, Anan pengen nangis aja rasanya anjing.

Kinara tidak pernah mengerti, dengan semua hal yang terjadi dalam hidup nya. Semua terlalu absurd untuk dirinya telaah dan pahami.

Seperti siang hari ini, out of nowhere mama nya sudah berada di sekolah menjemputnya. Entah apa yang Eja katakan pada guru pengurus UKS, hingga dirinya di perbolehkan pulang lebih dulu dan pergi bersama mama nya.

Mama nya yang kini tengah berbicara dengan guru UKS, berdiskusi dengan serius sembari sesekali meliriknya.

Kinara penasaran, itu tercetak dengan jelas dari raut wajahnya yang ingin tahu. Sakit pada kaki nya sudah menghilang, di gantikan dengan rasa pusing ringan yang melanda kepala bagian kiri nya. Kinara tidak pernah ingat, kalau dia memiliki riwayat migrain.

“Tas kamu sedang di ambilkan teman kamu yang laki-laki tadi ya. Hari ini cukup izin pulang dan istirahat saja.” Pesan bu Rina, guru UKS. Kinara tidak ada pilihan lain selain mengangguk, dan duduk dengan tenang di samping mama nya.

Dari kejauhan, dirinya bisa melihat tiga orang yang tengah ia hindari sedari pagi berjalan dengan tergesa menuju UKS.

“Mama kok ga ngabarin kakak kalau mau ke sekolah?” Tanya Harsha langsung begitu dirinya memasuki UKS, dan mengambil posisi di samping kanan Kinara.

Mama tersenyum tipis, “mama ke sini juga dadakan kak, cuma mau jemput adek nya aja.”

Nabil meneliti keadaan Kinara dari bawah ke atas, “apa nya sih yang sakit? Orang keliatan sehat aja.” Cibir nya.

Kinara hanya diam, tidak berniat menanggapi ucapan Nabil. Dirinya sudah lelah untuk bersusah payah menutup hati nya, dan tidak mendengarkan segala ucapan Nabil yang mungkin akan menyakiti hatinya lagi.

“Apasih kak Nabil, kok ngomong nya kaya gitu.” Tegur mama, sembari menatap Nabil intense.

“Ya abis orang sakit kaya ga sakit.”

Tak lama kemudian, Gale yang ternyata datang membawa tas dan juga jaket Kinara yang memang telah dirinya siapkan untuk di bawa pulang.

Eja kemana? Gale bilang anaknya tengah menikmati makan istirahat di kantin bersama Acel. Memang untuk mereka berdua tidak bisa di ganggu gugat.

“Mama pulang dulu ya kak, sekolah dan belajar yang bener.” Pesan mama pada ketiganya kemudian, sebelum menggandeng tangan Kinara untuk pergi dari sana.


“Masih sakit dek kaki nya?” Tanya mama sembari masih terfokus untuk menyetir mobil, membelah jalanan yang cukup sepi di depan nya.

“Enggak sakit ma, sekarang ganti pusing setengah di Kinara.” Jawab Kinara jujur. Dirinya tidak ingin menyembunyikan rasa sakit nya lebih lama, karena ia juga ingin mendapatkan pengobatan yang benar supaya rasa sakit nya berkurang.

“Kamu tadi muntah dek? Bu Rina bilang kamu katanya sempat muntah.” Tanya mama kembali.

Kinara menoleh sekilas, “muntah nya juga karena mual belom makan. Gapapa kok ma, sekarang udah ga mual lagi.” jelas Kinara kemudian.

Sebenernya iya, tadi Kinara sempat muntah saat berada di UKS. Eja yang lagi enak tidur, langsung kebangun karena dengar suara Kinara mual. Akhirnya dirinya berpindah tempat ke kelas, bukan karena jijik. Tapi Eja tahu, bahwa Kinara perlu mendapatkan tempat yang lebih nyaman ketika merasa sakit.

“Kita langsung ke rumah sakit aja ya sekarang, banyak hal yang di bilang sama bu Rina, bikin mama ga tenang.”

“Emang bu Rina ngomong apa ma?” tanya Kinara penasaran.

Mama menggeleng, enggan memberitahukan apa yang telah mereka bicarakan tadi.

“Bu Rina cuma bilang, kamu sakit dan perlu di rawat di rumah sakit.”

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “yaudah aku ikut aja kalau mama mau ke rumah sakit sekarang.”