JC Halcyon

Raka membuka matanya dengan perlahan, mencoba menghindari cahaya yang menusuk. Pandangannya beralih pada Kinara yang sudah terbangun di ranjang pasien.

“Kinara?? Kenapa lo ga bangunin gue?” tanya Raka kelabakan, karena saat ini Kinara hanya terdiam memandangnya. Entah sedari kapan Kinara melakukan hal itu.

Raka hendak memencet bel pasien, guna memanggil perawat supaya mereka memeriksa keadaan Kinara saat ini. Tetapi belum sempat Raka memencet bel tersebut, tangan Kinara sudah menahannya.

“Gausah di panggi kak. Gue gapapa.” Kata Kinara singkat.

Raka duduk di kursi samping ranjang pasien, melihat keadaan Kinara dengan teliti. Apakah adik yang berada di depannya ini tengah berbohong atau tidak mengenai keadaannya.

“Kalau sakit bilang Kin.” Ujar Raka memperingatkan.

Kinara menggeleng, “Kalaupun sakit, bukan urusan lo juga kak. Gue udah terbiasa sakit, dan ga ada yang nanyain gue soal hal itu sebelumnya.” Jawab Kinara pelan.

Hati Raka mencelos, ucapan Kinara barusan sungguh menamparnya.

Dengan gemetar, tangan Raka meraih tangan sebelah kanan Kinara yang terpasang oleh infus dengan lembut. “Gue minta maaf Kin, gue minta maaf karena udah acuh sama lo selama ini. Kalau gue tau lo sakit kaya gini, gue seharusnya bisa memperlakukan lo sebaik mungkin.”

Kinara melihat Raka dengan tatapan nyalang. “Dengan lo bilang kaya gitu gue makin yakin kak, perhatian lo saat ini tuh cuma rasa kasihan doang.” Ucap Kinara kemudian.

Raka menggeleng kuat, “Ini penyesalan Kin, bukan karena kasihan. Ini penyesalan karena terlambat tau. Selama ini kakak juga tau, serenggang apa hubungan kita sampe lo ga mau kasih tau keadaan lo sebenarnya ke yang lainnya.”

Kinara mengalihkan pandangannya, enggan melihat Raka. Kinara takut, dirinya akan luluh lagi dengan ucapan seperti itu. Dan ketika ia sudah luluh, maka dirinya akan di buang lagi karena terlalu menyusahkan dan membebani yang lainnya.

“Udah ya kak, sakit gue urusan gue. Sakit gue ga ada hubungannya dengan perlakuan kalian semua selama ini. Ini emang udah jalan gue, dan gue ga pernah menyalahkan hal ini ke kalian juga.”

Pertahanan Raka runtuh. Tanpa takut malu Raka menangis tersedu sembari menelungkupkan kepalanya di samping Kinara. Penyesalannya nya menumpuk hingga setinggi gunung, atau bahkan lebih dari itu.

Ego nya menyakitinya, menyakiti Kinara juga. Andai dirinya lebih peka, andai dirinya lebih perhatian, Kinara tidak akan menanggung semuanya sendirian seperti ini.

Rasa takut Kinara untuk berpegangan dengan saudaranya yang lain, juga terbentuk karena penolakannya. Raka juga ikut andil besar untuk hal itu, dan dia menyesalinya.

Raka kini mengerti kenapa Kinara menjadi seperti ini. Karena meskipun lukanya sembuh, bekasnya akan tetap tersisa.

Arsha berjalan dengan lemas keluar lorong rumah sakit, meninggalkan Nabil sendirian menunggu Kinara yang masih belum sadar di ruang pasien.

Kenapa bisa ada di ruang pasien? Jadi segera setelah Nabil dan Arsha tiba di rumah sakit, ganti Arsha langsung menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang UGD yang memang paling dekat dengan pintu masuk rumah sakit.

Keduanya membagi tugas, dimana Arsha menemani Kinara yang tengah di periksa oleh dokter yang tengah berjaga, dan Nabil yang mendaftarkan identitas Kinara di ruang administrasi dan kembali menemani Arsha dan Kinara yang berada di UGD.

Setelah menjalani pemeriksaan umum, dari penjelasan dokter umum yang tengah berjaga, kondisi bagian sebelah kanan kaki Kinara yang terkena bola kasti tadi hampir patah.

Nabil dan Arsha menganga mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa hanya karena sekedar lemparan bola kasti dapat membuat kaki Kinara hampir patah??

Keanehan tidak berhenti disitu, karena Kinara langsung pindahkan ke ruang inap pasien, karena data diri Kinara sudah terdaftar di dalam rekam medis rumah sakit.

Arsha mengacak surai nya dengan gelisah. Apa saja yang sudah di sembunyikan oleh Kinara, mama, dan papa nya dari dirinya dan saudaranya yang lain?

Melihat lutut sebelah kanan Kinara yang membengkak, di gabungkan dengan penjelasan dokter umum tadi, membuat banyak spekulasi negatif bertebaran di benak Arsha.

Tiada berapa lama, Arsha melihat Mama, disusul oleh Raka dan Arzhan berlarian kecil menghampiri Arsha yang duduk di kursi kayu lorong rumah sakit.

“Di kamar nomor berapa Arsha?” tanya Mama buru-buru pada Arsha.

“146 ma.” jawab Arsha singkat. Arsha melihat mama nya yang datang dengan tergesa-gesa, reaksi yang berlebihan menurut Arsha, karena Arsha sendiri hanya mengatakan kaki Kinara terkena lemparan bola, dan mama langsung berlari kesini begitu mendengar nya. “Ma, Kinara sakit apa sebenernya?” tanya Arsha kemudian, menghalangi mama dan yang lainnya untuk kembali berjalan menuju ruang Kinara.

Arzhan dan Raka ikut terdiam, mereka berdua juga ingin mengetahui tentang kondisi Kinara saat ini.

Mama mengalihkan pandangannya, enggan menjawab pertanyaan Arsha.

“Ibu Miya?” seseorang memanggil dari belakang.

Mama menoleh, mengetahui bahwa ada dokter Hanan yang berada di belakangnya.

“Dokter Hanan.” Mama berjalan dengan cepat, menghampiri dokter Hanan untuk berjabat tangan.

Dokter Hanan memandang Arzhan, Raka, dan Arsha yang berada di belakang mama.

Seolah mengerti, mama menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan ketiganya pada dokter Hanan. “Ini kakak kakaknya Kinara.” Kata mama memperkenalkan.

Dokter Hanan tersenyum kecil, “Kinara pasti bahagia, punya saudara yang sigap seperti kalian. Cepat sekali keputusan kalian, untuk langsung bawa Kinara ke rumah sakit.”

Batin Arsha kembali bergejolak mendengar dokter yang baru saja di sapa oleh mama nya ini memanggil nama Kinara dengan akrab. Bisa Arsha simpulkan, bahwa memang dokter Hanan dan mama nya sudah berkomunikasi cukup lama.

“Ayo kita masuk ke dalam, sekaligus saya jelaskan bagaimana kondisi Kinara.” ajak Dokter Hanan lagi, dan menuntun mama untuk masuk ke ruang rawat inap milik Kinara.

Mama tidak bisa menolak, apalagi menyembunyikan ini lebih lama. Toh pada akhirnya, semuanya akan terungkap juga. Walaupun mama tidak mengira kalau hal ini akan terjadi secepat ini.

Nabil langsung berdiri begitu mendengar suara pintu ruang inap pasien di buka. Raka melirik Nabil, dan menyuruhnya untuk segera berpindah tempat karena dokter Hanan hendak memeriksa keadaan Kinara.

Arzhan menutup mulutnya dengan telapak tangan, terkejut melihat lutut Kinara yang luar biasa bengkak dan berwarna merah.

Raka pun sama. Tetapi dirinya lebih bisa mengatur ekspresi, supaya adik adiknya yang lain tidak ikut kalut.

Kemudian Raka, Nabil, Arsha, dan Arzhan hanya bisa terdiam, menunggu dokter Hanan yang kini tengah mengamati bagian lutut Kinara yang membengkak.

“Karena tumor ini banyak pembuluh darahnya, maka dari itu permukaan kulit yang terkena tumor menjadi hangat.” Jelas dokter Hanan setelah menyentuh perlahan lutut Kinara yang membengkak.

“Tu-tumor??” tanya Nabil tercekat.

Lutut Arzhan langsung melemas. Dengan segera dirinya berjongkok untuk menyeimbangkan diri.

Melihat gelagat keempatnya yang aneh, dokter Hanan mengerti bahwa mungkin Informasi ini sebelumnya tertutup dan hanya di ketahui oleh Kinara sendiri, dan kedua orang tuanya.

Atensi dokter Hanan beralih pada mama yang masih diam, menunggu penjelasan selanjutnya. “Bukan hal yang aneh pada kasus kanker tulang. Bahkan retak atau patah tulang dapat terjadi tanpa sebab. Tapi dalam kasus Kinara, patah tulang terjadi karena hantaman dari bola ya ibu Miya. Segera setelah ini, saya akan menjadwalkan untuk pemeriksaan ulang.”

Mama mengangguk, dan mengantar kepergian dokter Hanan keluar dari kamar inap pasien.

Mama berjalan dengan perlahan untuk duduk pada sofa yang di sediakan dalam kamar rawat. Mengabaikan keempatnya yang menunggu penjelasan tentang apa yang baru saja di bicarakan oleh dokter Hanan.

“Ma, ini ga beneran kan?” tanya Arsha takut. “Maksudnya Kinara beneran sakit kanker tulang?” sambungnya lagi mencoba memastikan.

Mama menutup matanya rapat, mencoba menghindari segala pertanyaan yang anak anaknya lontarkan.

Raka berjalan ke ranjang tempat Kinara terbaring. Dengan gemetar tangan Raka mengusap tangan kanan Kinara yang kini sudah terpasang infus.

“Sejak kapan ma? Sejak kapan mama dan Kinara tau kalau Kinara sakit?” tanya Raka kemudian. “Selama ini, tiap kakak selalu tanya Kinara soal kaki dia, Kinara selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan itu. Dan dia selalu bilang, kalau kakinya gapapa. Jadi ini alasannya?”

“Arzhan salah ma. Banyak hal yang Arzhan sepelekan soal Kinara. Seharusnya dari awal, Arzhan lebih peka.”

Arzhan melirik ke arah Nabil yang masih berdiri tak bergeming di samping kiri Kinara. Pandangannya beralih pada Arsha yang duduk di samping mama. Kulit wajahnya yang tan memucat, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Raka juga begitu. Tak banyak yang dia ucapkan, kecuali saat ini dengan diam diam dirinya mengusap air mata yang mengalir pelan ke pipi.

“Bahkan satupun di antara kita, ga ada yang pernah memperlakukan Kinara sebaik-baiknya. Itu jauh lebih buruk dari penyesalan, karena kita ga bisa mendefinisikan kata yang pas untuk mewakili sikap kita ke Kinara selama ini.”

Arsha berjalan dengan lemas keluar lorong rumah sakit, meninggalkan Nabil sendirian menunggu Kinara yang masih belum sadar di ruang pasien.

Kenapa bisa ada di ruang pasien? Jadi segera setelah Nabil dan Arsha tiba di rumah sakit, ganti Arsha langsung menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang UGD yang memang paling dekat dengan pintu masuk rumah sakit.

Keduanya membagi tugas, dimana Arsha menemani Kinara yang tengah di periksa oleh dokter yang tengah berjaga, dan Nabil yang mendaftarkan identitas Kinara di ruang administrasi dan kembali menemani Arsha dan Kinara yang berada di UGD.

Setelah menjalani pemeriksaan umum, dari penjelasan dokter umum yang tengah berjaga, kondisi bagian sebelah kanan kaki Kinara yang terkena bola kasti tadi hampir patah.

Nabil dan Arsha menganga mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa hanya karena sekedar lemparan bola kasti dapat membuat kaki Kinara hampir patah??

Keanehan tidak berhenti disitu, karena Kinara langsung pindahkan ke ruang inap pasien, karena data diri Kinara sudah terdaftar di dalam rekam medis rumah sakit.

Arsha mengacak surai nya dengan gelisah. Apa saja yang sudah di sembunyikan oleh Kinara, mama, dan papa nya dari dirinya dan saudaranya yang lain?

Melihat lutut sebelah kanan Kinara yang membengkak, di gabungkan dengan penjelasan dokter umum tadi, membuat banyak spekulasi negatif bertebaran di benak Arsha.

Tiada berapa lama, Arsha melihat Mama, disusul oleh Raka dan Arzhan berlarian kecil menghampiri Arsha yang duduk di kursi kayu lorong rumah sakit.

“Di kamar nomor berapa Arsha?” tanya Mama buru-buru pada Arsha.

“146 ma.” jawab Arsha singkat. Arsha melihat mama nya yang datang dengan tergesa-gesa, reaksi yang berlebihan menurut Arsha, karena Arsha sendiri hanya mengatakan kaki Kinara terkena lemparan bola, dan mama langsung berlari kesini begitu mendengar nya. “Ma, Kinara sakit apa sebenernya?” tanya Arsha kemudian, menghalangi mama dan yang lainnya untuk kembali berjalan menuju ruang Kinara.

Arzhan dan Raka ikut terdiam, mereka berdua juga ingin mengetahui tentang kondisi Kinara saat ini.

Mama mengalihkan pandangannya, enggan menjawab pertanyaan Arsha.

“Ibu Miya?” seseorang memanggil dari belakang.

Mama menoleh, mengetahui bahwa ada dokter Hanan yang berada di belakangnya.

“Dokter Hanan.” Mama berjalan dengan cepat, menghampiri dokter Hanan untuk berjabat tangan.

Dokter Hanan memandang Arzhan, Raka, dan Arsha yang berada di belakang mama.

Seolah mengerti, mama menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan ketiganya pada dokter Hanan. “Ini kakak kakaknya Kinara.” Kata mama memperkenalkan.

Dokter Hanan tersenyum kecil, “Kinara pasti bahagia, punya saudara yang sigap seperti kalian. Cepat sekali keputusan kalian, untuk langsung bawa Kinara ke rumah sakit.”

Batin Arsha kembali bergejolak mendengar dokter yang baru saja di sapa oleh mama nya ini memanggil nama Kinara dengan akrab. Bisa Arsha simpulkan, bahwa memang dokter Hanan dan mama nya sudah berkomunikasi cukup lama.

“Ayo kita masuk ke dalam, sekaligus saya jelaskan bagaimana kondisi Kinara.” ajak Dokter Hanan lagi, dan menuntun mama untuk masuk ke ruang rawat inap milik Kinara.

Mama tidak bisa menolak, apalagi menyembunyikan ini lebih lama. Toh pada akhirnya, semuanya akan terungkap juga. Walaupun mama tidak mengira kalau hal ini akan terungkap secepat ini.

Nabil langsung berdiri begitu mendengar suara pintu ruang inap pasien di buka. Raka melirik Nabil, dan menyuruhnya untuk segera berpindah tempat karena dokter Hanan hendak memeriksa keadaan Kinara.

Arzhan menutup mulutnya dengan telapak tangan, terkejut melihat lutut Kinara yang luar biasa bengkak dan berwarna merah.

Raka pun sama. Tetapi dirinya lebih bisa mengatur ekspresi, supaya adik adiknya yang lain tidak ikut kalut.

Kemudian Raka, Nabil, Arsha, dan Arzhan hanya bisa terdiam, menunggu dokter Hanan yang kini tengah mengamati bagian lutut Kinara yang membengkak.

“Karena tumor ini banyak pembuluh darahnya, maka dari itu permukaan kulit yang terkena tumor menjadi hangat.” Jelas dokter Hanan setelah menyentuh perlahan lutut Kinara yang membengkak.

“Tu-tumor??” tanya Nabil tercekat.

Lutut Arzhan langsung melemas. Dengan segera dirinya berjongkok untuk menyeimbangkan diri.

Melihat gelagat keempatnya yang aneh, dokter Hanan mengerti bahwa mungkin Informasi ini sebelumnya tertutup dan hanya di ketahui oleh Kinara sendiri, dan kedua orang tuanya.

Atensi dokter Hanan beralih pada mama yang masih diam, menunggu penjelasan selanjutnya. “Bukan hal yang aneh pada kasus kanker tulang. Bahkan retak atau patah tulang dapat terjadi tanpa sebab. Tapi dalam kasus Kinara, patah tulang terjadi karena hantaman dari bola ya ibu Miya. Segera setelah ini, saya akan menjadwalkan untuk pemeriksaan ulang.”

Mama mengangguk, dan mengantar kepergian dokter Hanan keluar dari kamar inap pasien.

Mama berjalan dengan perlahan untuk duduk pada sofa yang di sediakan dalam kamar rawat. Mengabaikan keempatnya yang menunggu penjelasan tentang apa yang baru saja di bicarakan oleh dokter Hanan.

“Ma, ini ga beneran kan?” tanya Arsha takut. “Maksudnya Kinara beneran sakit kanker tulang?” sambungnya lagi mencoba memastikan.

Mama menutup matanya rapat, mencoba menghindari segala pertanyaan yang anak anaknya lontarkan.

Raka berjalan ke ranjang tempat Kinara terbaring. Dengan gemetar tangan Raka mengusap tangan kanan Kinara yang kini sudah terpasang infus.

“Sejak kapan ma? Sejak kapan mama dan Kinara tau kalau Kinara sakit?” tanya Raka kemudian. “Selama ini, tiap kakak selalu tanya Kinara soal kaki dia, Kinara selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan itu. Dan dia selalu bilang, kalau kakinya gapapa. Jadi ini alasannya?”

“Arzhan salah ma. Banyak hal yang Arzhan sepelekan soal Kinara. Seharusnya dari awal, Arzhan lebih peka.”

Arzhan melirik ke arah Nabil yang masih berdiri tak bergeming di samping kiri Kinara. Pandangannya beralih pada Arsha yang duduk di samping mama. Kulit wajahnya yang tan memucat, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Raka juga begitu. Tak banyak yang dia ucapkan, kecuali saat ini dengan diam diam dirinya mengusap air mata yang mengalir pelan ke pipi.

“Bahkan satupun di antara kita, ga ada yang pernah memperlakukan Kinara sebaik-baiknya. Itu jauh lebih buruk dari penyesalan, karena kita ga bisa mendefinisikan kata yang pas untuk mewakili sikap kita ke Kinara saat ini.”

Arsha berjalan dengan lemas keluar lorong rumah sakit, meninggalkan Nabil sendirian menunggu Kinara yang masih belum sadar di ruang pasien.

Kenapa bisa ada di ruang pasien? Jadi segera setelah Nabil dan Arsha tiba di rumah sakit, ganti Arsha langsung menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri menuju ruang UGD yang memang paling dekat dengan pintu masuk rumah sakit.

Keduanya membagi tugas, dimana Arsha menemani Kinara yang tengah di periksa oleh dokter yang tengah berjaga, dan Nabil yang mendaftarkan identitas Kinara di ruang administrasi dan kembali menemani Arsha dan Kinara yang berada di UGD.

Setelah menjalani pemeriksaan umum, dari penjelasan dokter umum yang tengah berjaga, kondisi bagian sebelah kanan kaki Kinara yang terkena bola kasti tadi hampir patah.

Nabil dan Arsha menganga mendengarkan hal itu. Bagaimana bisa hanya karena sekedar lemparan bola kasti dapat membuat kaki Kinara hampir patah??

Keanehan tidak berhenti disitu, karena Kinara langsung pindahkan ke ruang inap pasien, karena data diri Kinara sudah terdaftar di dalam rekam medis rumah sakit.

Arsha mengacak surai nya dengan gelisah. Apa saja yang sudah di sembunyikan oleh Kinara, mama, dan papa nya dari dirinya dan saudaranya yang lain?

Melihat lutut sebelah kanan Kinara yang membengkak, di gabungkan dengan penjelasan dokter umum tadi, membuat banyak spekulasi negatif bertebaran di benak Arsha.

Mama, disusul oleh Raka dan Arzhan berlarian kecil menghampiri Arsha yang duduk di kursi kayu lorong rumah sakit.

“Di kamar nomor berapa Arsha?” tanya Mama buru-buru pada Arsha.

“146 ma.” jawab Arsha singkat. Arsha melihat mama nya yang datang dengan tergesa-gesa, reaksi yang berlebihan menurut Arsha, karena Arsha sendiri hanya mengatakan kaki Kinara terkena lemparan bola, dan mama langsung berlari kesini begitu mendengar nya. “Ma, Kinara sakit apa sebenernya?” tanya Arsha kemudian, menghalangi mama dan yang lainnya untuk kembali berjalan menuju ruang Kinara.

Arzhan dan Raka ikut terdiam, mereka berdua juga ingin mengetahui tentang kondisi Kinara saat ini.

Mama mengalihkan pandangannya, enggan menjawab pertanyaan Arsha.

“Ibu Miya?” seseorang memanggil dari belakang.

Mama menoleh, mengetahui bahwa ada dokter Hanan yang berada di belakangnya.

“Dokter Hanan.” Mama berjalan dengan cepat, menghampiri dokter Hanan untuk berjabat tangan.

Dokter Hanan memandang Arzhan, Raka, dan Arsha yang berada di belakang mama.

Seolah mengerti, mama menggeser tubuhnya untuk memperlihatkan ketiganya pada dokter Hanan. “Ini kakak kakaknya Kinara.” Kata mama memperkenalkan.

Dokter Hanan tersenyum kecil, “Kinara pasti bahagia, punya saudara yang sigap seperti kalian. Cepat sekali keputusan kalian, untuk langsung bawa Kinara ke rumah sakit.”

Batin Arsha kembali bergejolak mendengar dokter yang baru saja di sapa oleh mama nya ini memanggil nama Kinara dengan akrab. Bisa Arsha simpulkan, bahwa memang dokter Hanan dan mama nya sudah berkomunikasi cukup lama.

“Ayo kita masuk ke dalam, sekaligus saya jelaskan bagaimana kondisi Kinara.” ajak Dokter Hanan lagi, dan menuntun mama untuk masuk ke ruang rawat inap milik Kinara.

Mama tidak bisa menolak, apalagi menyembunyikan ini lebih lama. Toh pada akhirnya, semuanya akan terungkap juga. Walaupun mama tidak mengira kalau hal ini akan terungkap secepat ini.

Nabil langsung berdiri begitu mendengar suara pintu ruang inap pasien di buka. Raka melirik Nabil, dan menyuruhnya untuk segera berpindah tempat karena dokter Hanan hendak memeriksa keadaan Kinara.

Arzhan menutup mulutnya dengan telapak tangan, terkejut melihat lutut Kinara yang luar biasa bengkak dan berwarna merah.

Raka pun sama. Tetapi dirinya lebih bisa mengatur ekspresi, supaya adik adiknya yang lain tidak ikut kalut.

Kemudian Raka, Nabil, Arsha, dan Arzhan hanya bisa terdiam, menunggu dokter Hanan yang kini tengah mengamati bagian lutut Kinara yang membengkak.

“Karena tumor ini banyak pembuluh darahnya, maka dari itu permukaan kulit yang terkena tumor menjadi hangat.” Jelas dokter Hanan setelah menyentuh perlahan lutut Kinara yang membengkak.

“Tu-tumor??” tanya Nabil tercekat.

Lutut Arzhan langsung melemas. Dengan segera dirinya berjongkok untuk menyeimbangkan diri.

Melihat gelagat keempatnya yang aneh, dokter Hanan mengerti bahwa mungkin Informasi ini sebelumnya tertutup dan hanya di ketahui oleh Kinara sendiri, dan kedua orang tuanya.

Atensi dokter Hanan beralih pada mama yang masih diam, menunggu penjelasan selanjutnya. “Bukan hal yang aneh pada kasus kanker tulang. Bahkan retak atau patah tulang dapat terjadi tanpa sebab. Tapi dalam kasus Kinara, patah tulang terjadi karena hantaman dari bola ya ibu Miya. Segera setelah ini, saya akan menjadwalkan untuk pemeriksaan ulang.”

Mama mengangguk, dan mengantar kepergian dokter Hanan keluar dari kamar inap pasien.

Mama berjalan dengan perlahan untuk duduk pada sofa yang di sediakan dalam kamar rawat. Mengabaikan keempatnya yang menunggu penjelasan tentang apa yang baru saja di bicarakan oleh dokter Hanan.

“Ma, ini ga beneran kan?” tanya Arsha takut. “Maksudnya Kinara beneran sakit kanker tulang?” sambungnya lagi mencoba memastikan.

Mama menutup matanya rapat, mencoba menghindari segala pertanyaan yang anak anaknya lontarkan.

Raka berjalan ke ranjang tempat Kinara terbaring. Dengan gemetar tangan Raka mengusap tangan kanan Kinara yang kini sudah terpasang infus.

“Sejak kapan ma? Sejak kapan mama dan Kinara tau kalau Kinara sakit?” tanya Raka kemudian. “Selama ini, tiap kakak selalu tanya Kinara soal kaki dia, Kinara selalu menghindari untuk menjawab pertanyaan itu. Dan dia selalu bilang, kalau kakinya gapapa. Jadi ini alasannya?”

“Arzhan salah ma. Banyak hal yang Arzhan sepelekan soal Kinara. Seharusnya dari awal, Arzhan lebih peka.”

Arzhan melirik ke arah Nabil yang masih berdiri tak bergeming di samping kiri Kinara. Pandangannya beralih pada Arsha yang duduk di samping mama. Kulit wajahnya yang tan memucat, terlalu terkejut dengan apa yang baru saja ia dengar. Raka juga begitu. Tak banyak yang dia ucapkan, kecuali saat ini dengan diam diam dirinya mengusap air mata yang mengalir pelan ke pipi.

“Bahkan satupun di antara kita, ga ada yang pernah memperlakukan Kinara sebaik-baiknya. Itu jauh lebih buruk dari penyesalan, karena kita ga bisa mendefinisikan kata yang pas untuk mewakili sikap kita ke Kinara saat ini.”

Eja menuntun Kinara untuk duduk di pinggir lapangan, tepat di bawah pohon trembesi yang memang tumbuh dengan sehat di depan lapangan olahraga sekolah mereka.

Sebelumnya Gale sendiri sudah melaporkan kepada guru olahraga, bahwa Kinara tidak akan ikut pada mata pelajaran hari ini karena kurang enak badan.

Sebagai sahabat yang baik, cara Eja dan Gale dalam merawat Kinara perlu di acungi jempol. Bahkan Acel sendiri mengatakan, bahwa Eja dan Gale jauh lebih baik ketika merawat Kinara, di bandingkan saudara Kinara yang lain.

“Sumpah hari ini tuh mendung dan gue udah bilang ke lo buat bawa jaket, kenapa ngeyel banget sih??” Ujar Eja cerewet, karena Kinara saat ini memeluk tubuhnya sendiri kedinginan.

Pada akhirnya Eja kembali berlari ke arah kelas, untuk mengambil jaket bulu miliknya untuk di serahkan kepada Kinara nanti. Kinara tidak sempat menghentikan pergerakan Eja, karena Eja langsung berjalan cepat meninggalkan dirinya begitu melihat ia menggigil kedinginan.

“Eja mana?” tanya Gale menghampiri Kinara yang masih setia memeluk tubuhnya yang menggigil ringan.

Kinara menggeleng, “Kalau dugaan gue bener, paling balik ke kelas lagi ambil jaket.” jawab Kinara pendek.

Gale mengangguk, dan merapatkan duduknya ke arah Kinara untuk sekedar membuat Kinara merasa hangat sebelum Eja datang membawa jaket nanti.

“Ternyata bener ya kata Eja, kelas kita di gabung sama kelas kak Nabil buat pelajaran olahraga.” ujar Gale kemudian, melihat Nabil tengah berbicara dengan guru olahraga, merundingkan apa yang akan mereka mainkan setelah pemanasan olahraga nanti.

Kinara tersenyum kecil, “Tiga tahun gue di SMP, baru kali ini gue liat kak Nabil di pelajaran olahraga.”

Gale menautkan alis nya bingung, “Baru kali ini?”

Kinara mengangguk, “Karena waktu SMP, gue jarang ketemu kak Nabil di sekolah. Bahkan banyak yang gatau kalau gue adik dia.” Cerita Kinara kemudian. “Ya walaupun ga ada yang bisa di pamerin sih dari punya adik kaya gue.” Sambungnya lagi, singkat.

Gale menggelengkan kepala tidak setuju. “Banyak hal yang bisa gue sebagai sahabat lo pamerin Ra.” Sahut Gale cepat. “Lo cerdas, lo pandai, lo punya personality yang bagus, lo selalu bisa comfort orang orang di sekitar lo. Itu semua kelebihan lo, dan lo ga boleh tutup mata soal hal itu.”

Kinara tersenyum tipis, “I'm glad, you see me on that side.” Ucapnya tulus.

Tiada berapa lama, benar saja Eja sudah datang dengan sedikit berlari sembari menenteng jaket bulu di tangan kiri nya. “Nih pake, tuan putri yang keras kepala.” Ujarnya dan menyerahkan jaket nya kepada Kinara sebelum pada akhirnya mereka berdua kembali ke tengah lapangan, karena mata pelajaran olahraga akan segera di mulai.

Kinara masih tersenyum memandangi kedua sahabatnya yang berlari tergesa-gesa menuju tengah lapangan. Pandangan nya beralih kepada Nabil, yang kini juga tengah menatapnya dengan intens dari seberang sana.

Mendadak Kinara gugup, karena pagi ini dirinya belum sempat bertemu saudara nya yang lain karena ia sudah berangkat lebih dulu dengan supir yang di sediakan oleh mama nya.

Nabil melihat Kinara dengan seksama, memastikan bahwa Kinara baik baik saja duduk di bawah pohon trembesi.

Pandangan Nabil beralih, dan kembali berfokus pada mata pelajaran olahraga yang sudah di mulai. Kinara kembali menghela nafas lega, dirinya bahkan untuk sekarang harus berusaha terlihat baik baik saja di depan semua orang.

Kinara tahu, bahwa dirinya naif. Dan entah sampai kapan, ia akan sanggup untuk terus berpura-pura seperti ini dalam kedepannya.


Eja mengipasi wajahnya yang terasa cukup pengap setelah melakukan pemanasan tadi dengan tangan kosong. “Iyasih ga panas, tapi hawa nya lembab mau hujan gini tetep ngerasa gerah gue.” Keluhnya kemudian.

Setelah pemanasan yang baru saja selesai, di pimpin oleh salah satu perwakilan kelas dua belas, mereka di bubarkan untuk berolahraga sendiri.

Sedikit yang Kinara tahu dari Gale tadi, bahwa akan ada rapat tahunan membahas RPS yang akan di lakukan oleh guru. Maka dari itu, mungkin saja setelah ini mereka akan di pulangkan pagi.

“Ga ikut main bola kasti kalian?” tanya Kinara, memperhatikan Gale dan Eja yang kini justru duduk di sebelah kanan kiri nya.

“Ini ngusir?” tanya Eja sinis.

Kinara tertawa kecil, “Enggak biasa aja. Kan biasanya ini mata pelajaran kesukaan lo, Ja.” jawab Kinara melakukan pembelaan.

Eja menggaruk telinga nya yang tidak gatal. “Ya ga salah sih, tapi emang kenapa coba kalo gue mau disini? Lagian ga ada kewajiban buat ikut kok. Udah di bebasin juga, mau ngapain.” Jelas Eja kemudian.

“Ikut aja sono, tanding tuh sama kelas dua belas.” Ucap Gale menimbrung. “Kalahin kak Nabil, kalo lo bisa.” Sambungnya lagi, memanas manasi suasana.

Eja bergidik ngeri, “Enggak ah, lo kira gue seberani itu? Kena lemparan bola nya kak Nabil, bisa bolong badan gue.” Jawab Eja cepat. “Lagian gue mau nemenin Kinara aja, lo akhir akhir ini ga pernah keliatan sehat ya Ra? Lo sakit apasih? Mana jalan nya pincang mulu lagi.”

Kinara mengalihkan perhatian, “Kalian bareng mulu sama gue, ga bosen? Anak anak kelas lain selalu ngatain kalian selir gue tau.”

Gale tertawa kecil. Dia sudah tau banyak desas desus menyebar tentang cinta segitiga antara dirinya, Kinara, dan Eja. Gale diam, bukan berarti ia tidak mengerti.

“AWAS BOLA!!”

Teriak seseorang dari kejauhan, memperingatkan bola kasti yang tengah terbang ke arah Kinara, Eja, dan Gale.

Dengan sigap Eja dan Gale berdiri di depan Kinara guna memblokir datang nya bola yang mungkin akan mengenai bagian atas badan Kinara yang kini tengah terduduk.

“LO YANG BENER AJA ANJING?! MUKUL BOLA KE ARAH MANA BANGSAT!!” teriak Nabil dari kejauhan, memarahi salah satu teman sekelasnya yang baru saja memukul bola ke arah Kinara dengan tongkat kasti.

“Bil, Bil, udah Bil.” Cegah Farhan begitu melihat Nabil berjalan emosi ke arah teman sekelasnya yang berbuat masalah itu. “Kinara, Bil. Mending lo ke Kinara aja. Gue liat tadi cuma kena kaki dia, tapi kenapa anaknya pingsan sekarang???” Sambung Farhan lagi, kebingungan.

Nabil menoleh ke arah Kinara berada seusai ia mendengar penuturan dari Farhan. Benar yang di katakan oleh Farhan, tampak banyak murid lainnya yang ikut mengerubungi tempat dimana duduk tadi.

Dengan cepat Nabil berlari ke sana di susul oleh Farhan yang berlari di belakangnya. Segera setelah itu, Farhan langsung mengusir gerombolan siswa lain yang ikut mengerubungi dan menyuruh mereka untuk segera kembali ke kelas.

Farhan tahu selain supaya pasokan udara yang di hirup bisa lebih banyak, Nabil juga tidak suka kalau dirinya menjadi pusat perhatian karena bingung dengan keadaan adiknya.

Nabil menghampiri Gale yang memegang bagian tubuh atas, sembari menepuk-nepuk pelan pipi Kinara.

“Eja, lo ke kelas Arsha aja sekarang. Ambil kunci mobil dia!!” Ucap Nabil dengan suara keras kepada Eja yang masih berdiri dengan setia di samping Gale.

“Loh, ga di bawa ke UKS aja dulu kak?” tanya Eja kebingungan.

“UKS ga buka Ja.” Farhan yang menjawab. “Habis ini kan mau ada rapat RPS, paling cuma ada guru piket doang harus nya. Si Nabil naik motor juga kesini.” Jelasnya lagi.

Eja mengerti, dan langsung pergi dengan cepat menuju kelas Nabil yang lumayan dekat dengan lapangan olahraga.

“Pake mobil gue aja kah kak?” Tanya Gale memberi usul.

Nabil menggeleng, “Paling deket kelas nya Arsha dari sini. Butuh waktu lama kalo mau ke kelas lo ambil kunci.” jelas Nabil. “Ra, Kinara?? Anjing lo kenapa bangsat??” Panggil Nabil lagi pada Kinara yang masih tidak sadar.

Nabil tersadar akan sesuatu, dan kemudian mulai melirik ke arah kaki Kinara yang masih tertutup oleh celana olahraga.

“Lo bilang bola nya tadi kena kaki Kinara kan Han? Kaki sebelah mana?” tanya Nabil kemudian, hendak memastikan.

Farhan menggeleng, “Gue ga tau kena kaki sebelah mana Bil, soalnya gue juga ga begitu keliatan. Hal yang pasti gue liat, waktu terbang ke arah adek lo, si Eja sama Gale ini berdiri buat ngehalangin bola nya. Tapi bola nya justru mendarat ke bawah, makanya gue bisa asumsikan kalo bola nya kena kaki Kinara.” Sambungnya lagi, panjang lebar.

“Kena kaki sebelah kanan nya kak.” Jawab Gale kemudian. “Gue liat tadi, bola nya kena kaki sebelah kanan nya Kinara.”

Segera setelah mendengar penuturan Gale, Nabil menggulung celana sebelah kanan Kinara untuk memastikan. Celana olahraga Kinara cukup longgar, sehingga Nabil cukup mudah untuk mengangkat nya ke atas.

Farhan menutup mulut nya rapat rapat, begitu juga dengan Gale yang kini terdiam dan menghentikan tepukan tangannya di pipi Kinara. Mereka berdua terkejut.

“Itu... Itu bengkak Bil?” Tanya Farhan tidak percaya, melihat lutut sebelah kanan Kinara membengkak sebesar kepalan tangan.

Wajar bila Gale yang juga teman sekelas Kinara kaget, karena Gale juga tidak melihat ada hal yang aneh kecuali cara berjalan Kinara yang tidak normal beberapa hari ini. Rok panjang Kinara mampu menutupi segala nya, dan membuat semua orang tertipu akan hal itu, termasuk Nabil.

Nabil menyentuh area kaki Kinara yang kini membengkak, dan kemerahan dengan takut. Area yang bengkak itu cukup hangat, jika di bandingkan dengan bagian kulit yang lain. Perbedaan yang kontras, melihat tangan Kinara yang Nabil pegang sedari tadi mengeluarkan keringat dingin.

Arsha dan Eja berlari dengan tergesa-gesa, menghampiri dimana tempat keempatnya berada.

Begitu Eja datang dengan terburu-buru ke kelas Arsha, Arsha langsung membawa semua barang nya untuk segera mengikuti Eja ke arah lapangan olahraga tanpa bertanya dan menunggu alasan Eja datang menghampirinya. Arsha sudah menduga bahwa ada hal aneh yang terjadi, sejak teman Kinara dengan berkaos olahraga datang jauh jauh ke kelas nya.

“Kinara kenapa kak?!” Tanya Arsha bingung sesampainya di sana, dengan terengah-engah. Pandangan Arsha beralih pada lutut kanan Kinara yang kini tengah di usap lembut oleh Nabil. “KAKI KINARA KENAPA BANGSAT?!! ITU.... ITU GUE GA SALAH LIAT, KENAPA KAKI KINARA BENGKAK SEGITU GEDE NYA??” tanya Arsha ikut heboh, melihat lutut Kinara.

Dengan sigap, Nabil berdiri dan langsung menggendong Kinara untuk berjalan lebih dulu menuju tempat parkir sekolah.

“Eja, lo balik ke kelas terus gue minta tolong beresin semua barang Kinara. Lo bawa aja dulu tas dia, untuk sekarang. Hape dia ada di saku jaket bulu, yang gue ga tau ini punya siapa.” ucap Nabil pada Eja.

Eja menganggukkan kepala mengerti. “Itu jaket gue kak, bawa aja dulu buat Kinara.”

“Buat lo Gale, gue minta tolong buat kabarin Arzhan kalau gue sama Arsha cabut duluan dan kasih tau dia kalau Kinara lagi sakit. Jadi mungkin gue bakalan bawa Kinara ke instansi kesehatan deket sini.” Kata Nabil lagi, membagi tugas pada Gale.

“Dan buat lo, Han-”

“Udah lo buruan ke parkiran, tas sama motor lo biar gue aja yang ngurus.” Potong Farhan cepat, tidak tega melihat Nabil terus berbicara sedangkan Nabil sendiri juga kesulitan menggendong Kinara yang masih tidak sadarkan diri.

Arsha sendiri sudah berlari lebih dulu ke arah parkiran, sembari menghubungi orang rumah guna memberi tahu keadaan Kinara saat ini.

Nabil berhenti sejenak, dan menatap Farhan dalam diam. “Makasih Han, gue percaya sama lo.”

Farhan mengangguk, “Iya Bil, gue juga percaya sama kemampuan lo sebagai kakak. Gue harap Kinara ga kenapa-napa, dan lo hati-hati buat berkendara habis ini sama Arsha.”

Nabil mengendarai motor nya diatas kecepatan rata-rata. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Kinara yang kini tengah berada di sekolah sendirian dan tengah menunggu jemputan.

Begitu sesampainya ia di sana, dirinya masih melihat anak-anak karate tengah berlatih. Dia lega, setidaknya Kinara tidak benar-benar sendirian di sekolah.

Setelah memarkirkan motor nya dengan rapi, Nabil bergegas berjalan cepat menuju kelas yang dia tahu sebagai kelas Kinara.

Suasana cukup sepi di lorong sekolah, di tambah lagi memang minim nya pencahayaan membuat Nabil sedikit susah untuk menuju ke sana karena ia sering kali terlewat lorong kelas atau halangan yang lainnya.

Sesampainya di kelas Kinara yang memang terlihat gelap terlihat dari luar, Nabil buru-buru membuka pintu kelas dan mencari saklar di dekat sana guna memastikan apakah Kinara benar-benar ada di sekolah atau tidak.

Lampu menyala, hati Nabil mencelos melihat Kinara tengah manangkupkan kedua tangannya di atas meja, untuk menopang kepalanya.

“Kinara?” panggil Nabil perlahan, membangunkan adik bungsu nya itu.

Kinara mengerjap pelan, dirinya tidak tidur cuma hanya menutup mata dan mencari ketenangan dari dalam sana.

Melihat Nabil yang kini berdiri di depannya, Kinara merasa bersalah karena ia pasti sudah membuat kesemuanya merasa khawatir dan merepotkan.

“Kok kak Nabil yang jemput gue kesini?” tanya Kinara kemudian, dan melihat wajah Nabil yang masih menatapnya intens.

Kinara sudah siap. Dirinya sudah siap kalau sehabis ini ia akan di maki, dan di marahi karena tidak memberi kabar apapun. Salah nya sendiri, tidak memberitahu kondisi baterai ponsel nya kepada Raka yang tinggal sedikit dan mengakibatkan hal ini terjadi.

Tapi di luar dugaan, justru kini tangan Nabil terulur untuk mengusap keringat dingin Kinara yang berkumpul di area dahi. “Kenapa sih, gabisa kah sehari aja lo ga bikin kita khawatir kaya gini?” keluh Nabil kemudian.

Bibir Kinara mengulum senyum, dia suka perhatian Nabil yang sangat ditunjukkan saat ini. “Salah di gue kak, telat ngabarin dan ponsel gue keburu mati. Gue juga clumsy dan ga mikir panjang efek kedepannya kaya gimana.” ujar Kinara kemudian, memberikan penjelasan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah berapa banyak waktu ia habiskan untuk berdiam diri di dalam kelas menunggu jemputan dari Raka, dan juga untuk menghilangkan rasa sakit yang hingga saat ini tetap terasa nyeri di kaki sebelah kanan nya.

“Ayo kita pulang sekarang.” ajak Nabil kemudian, mengambil alih tas punggung Kinara untuk dirinya bawa.

Kinara menurut, dan berdiri dengan hati-hati guna meminimalisir rasa sakit pada lututnya yang mungkin akan menjadi jadi.

“Kaki lo kenapa? Kenapa jalan lo pincang gitu?” tanya Nabil kemudian, tersadar Kinara berjalan pincang di belakangnya.

“Cuma kesemutan kak, gue tadi kan tidur lama di kelas terus kaki gue ga gue gerakin.” bohongnya pada Nabil.

“Mau gue gendong aja?”

Dengan cepat Kinara menggeleng, “Gausah lah, kaya gue kenapa aja sampe harus di gendong. Bentar lagi juga udah deket parkiran kan? Jalan aja udah ayok.” Ujar Kinara kemudian, menarik tangan Nabil untuk bergegas kembali berjalan.

“Nih, lo pake aja jaket gue.” ucap Nabil sesampainya di tempat parkir sembari melepas Jaket yang tadi menempel di badannya.

Nabil memutuskan untuk Kinara memakai jaketnya karena, ketika Kinara menarik tangannya untuk berjalan tadi ia bisa merasakan betapa dinginnya tangan Kinara ketika bersentuhan dengan tangannya.

“Tapi gue udah pake hoodie kak?” tanya Kinara balik, bingung.

Hoodie doang masih kurang hangat di lo. Lagian ini hoodie siapa sih? Gue gatau lo punya hoodie kaya gini.”

“Punya Gale.”

Gerakan tangan Nabil terhenti, dirinya kini menatap Kinara intens.

“Ke- kenapa?” tanya Kinara bingung.

“Lo pacaran sama Gale?” tanya Nabil to the point.

Kinara menggeleng polos, “Kalau patokan lo untuk orang pacaran cuma karena mereka saling minjemin barang, semua orang di dunia ini pasti pacaran kak.”

Nabil tertawa kecil mendengarkan penuturan adiknya itu. Apa yang di bilang Kinara ada benar nya, dan mungkin dirinya juga terlalu dangkal untuk hal ini.

“Dah, ayo naik.” ujar Nabil kemudian, selesainya ia memasang tempat duduk di bagian penumpang motor nya. “Motor gue emang tinggi makanya gue jarang barengin lo balik karena alasan ini. Jadi lo gausah ngeluh.” katanya lagi, melihat Kinara kesusahan menaiki motor nya.

Kinara tersenyum tipis, “Gue ga ngeluh kok kak, lagian emang belum terbiasa makanya agak susah awal gue naik.”

Lagi lagi Nabil terdiam dengan jawaban adiknya itu. “Ada aja lu akal buat jawab omongan jawab gue.” kesal nya.

Kinara tertawa kecil.

By the way, lo ga marah kak Raka ga jemput lo?” tanya Nabil lagi, sembari memberikan helm kepada Kinara yang sudah naik ke kursi penumpang.

“Marah? Marah kenapa?” tanya Kinara balik, tidak mengerti.

“Kok kenapa? Dia ga jemput lo. Sampe jam tujuh malem. Dan kita pulang sekolah tadi jam berapa anjing? Lo nunggu berapa jam disini? Dan gue nanya, apa lo ga marah sama kak Raka?” ujar Nabil lagi penuh penekanan, gemas.

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “Kalaupun emang iya dia ga jemput gue sampe selama itu, pasti ada alasannya juga.” Jawab Kinara kemudian. “Lagi pun kesalahan terbesar ada di gue, karena gue malah mainin hape udah tau baterai nya tinggal dikit. Pasti aslinya Kak Raka udah ngabarin gue sesuatu soal hal itu. Kak Raka ga salah sama sekali, dia pasti punya alasan.” Sambungnya lagi.

Nabil mengangguk, “Iya sih, dia bilangnya tadi jadwal matkul nya di majuin.”

“Tuh kan, apa gue bilang. Kak Raka pasti punya alasan. Dia bukan orang yang lepas tanggung jawab.” sahut Kinara langsung, senang.

Nabil menurunkan kaca helm Kinara dengan sedikit kesal, “Sok tau lo.” katanya kemudian.

“Bukan sok tau gue kak. Kita udah hidup bareng berapa tahun sih? Bukannya aneh ya kalo gue ga ngerti kebiasaan kalian.” Ujar Kinara memberi pembelaan. “Eh tapi gue baru tau, lo punya “helm* warna putih kaya gini? Kok helm nya lebih kecil sih dari punya lo? Ini punya siapa? Ih masih bau plastik.” cerocosnya lagi, membuat Nabil mengulum senyum.

Iya saudara saudara, Nabil tadi mampir bentar ke toko helm langganan nya buat beliin Kinara helm supaya ketika pulang naik motor nanti kepala anaknya nggak kedinginan. Kalau alasan Nabil sih, supaya nggak masuk angin. Soalnya kalo masuk angin si Kinara, dia lagi di salahin. Padahal mah tinggal ngomong jujur aja, kalau dia khawatir.


Kini ketiganya, Raka, Arsha, dan Arzhan menunggu dengan bingung. Entah kepulangan kedua orang tuanya atau kedatangan kedua saudara nya lebih dulu.

“Siap siap yang terburuk aja kak.” ujar Arsha berpesan kepada Raka yang kini terlihat murung sembari mengotak atik ponselnya.

“Lo ngapain dah? Chat Kinara?” tanya Arzhan kemudian, melihat kegiatan Raka bermain ponsel tidak segera usai. “Ga di liat sama anaknya, gue udah coba chat juga tadi. Baterai ponsel dia abis paling.” sambungnya lagi.

“Ngapain chat si Kinara? Kan tadi kak Nabil udah bilang, anaknya udah sama dia dan ini lagi jalan balik.” tanya Arsha bingung.

“Ya kenapa emang? Gue ga butuh di baca sekarang.” jawab Raka ketus.

Tiada berapa lama, ketiganya mendengar suara pintu gerbang di buka.

Tampaknya kedatangan antara Kinara dan Nabil, dengan kedatangan kedua orang tua nya berbarengan sehingga membuat suasana sedikit gaduh karena suara motor dan mobil bersahut sahutan.

“Loh kok Kinara baru pulang ini? Kalian dari mana? Raka mana? Kok Kinara sama Nabil?” tanya mama bertubi-tubi.

Mama memasuki rumah bersama Nabil dan Kinara yang mengikuti dari belakang.

“Gimana ini kak? Kok adek nya sama kak Nabil? Kamu gak jemput Kinara tadi?” tanya mama lagi, mendesak suara keluar dari bibir Raka.

“Ma... Kinara tadi emang sama kak Nabil.” Belum sempat Raka berbicara, Kinara langsung mengambil alih.

“Laiya? Kan mama tanya, kenapa kamu sama kak Nabil?”

“Soalnya matkul kak Raka di ajukan, jadi akhirnya Kinara sama kak Nabil pulang nya.” jawab Kinara. “Ini baru pulang, soalnya Kinara tadi ngajakin kak Nabil ke gramedia buat liat buku.” ucapnya lagi, berbohong.

“Kamu pulang sekolah jam dua siang ya Kinara, sekarang udah hampir jam delapan malam. Kamu mau bohong sama mama?” Sahut mama cepat, tidak percaya.

“Bener dari gramedia ma. Aku nyari buku try out, Kinara di section novel. Anaknya tadi duduk lama disana, baca buku sambil nungguin aku nyari buku yang cocok.” Bela Nabil memperkuat argumen Kinara, sembari mengeluarkan buku try out yang dirinya beli tadi.

Pada akhirnya mama percaya, dan kemudian mengajak Kinara segera menuju lantai atas untuk mandi dan bebersih diri dan kemudian istirahat.

Arsha dan Arzhan menghela nafas lega, pertengkaran kali ini bisa di hindari walaupun sedikit ada cekcok diantara mama dan juga Kinara.

“Itu kenapa kaki Kinara pincang sebelah?” tanya Arsha kemudian, tersadar langkah Kinara agak aneh saat di tuntun mama untuk menaiki anak tangga.

Nabil mengendikkan bahunya tidak tahu menahu. “Tadi bilang ke gue sih kesemutan waktu di sekolah. Tapi masa iya, kesemutan bisa awet kaya gitu dari sekolah sampe rumah?”

Keempatnya kemudian terdiam, bingung dengan fikiran masing-masing.

Nabil mengendarai motor nya diatas kecepatan rata-rata. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Kinara yang kini tengah berada di sekolah sendirian dan tengah menunggu jemputan.

Begitu sesampainya ia di sana, dirinya masih melihat anak-anak karate tengah berlatih. Dia lega, setidaknya Kinara tidak benar-benar sendirian di sekolah.

Setelah memarkirkan motor nya dengan rapi, Nabil bergegas berjalan cepat menuju kelas yang dia tahu sebagai kelas Kinara.

Suasana cukup sepi di lorong sekolah, di tambah lagi memang minim nya pencahayaan membuat Nabil sedikit susah untuk menuju ke sana karena ia sering kali terlewat lorong kelas atau halangan yang lainnya.

Sesampainya di kelas Kinara yang memang terlihat gelap terlihat dari luar, Nabil buru-buru membuka pintu kelas dan mencari saklar di dekat sana guna memastikan apakah Kinara benar-benar ada di sekolah atau tidak.

Lampu menyala, hati Nabil mencelos melihat Kinara tengah manangkupkan kedua tangannya di atas meja, untuk menopang kepalanya.

“Kinara?” panggil Nabil perlahan, membangunkan adik bungsu nya itu.

Kinara mengerjap pelan, dirinya tidak tidur cuma hanya menutup mata dan mencari ketenangan dari dalam sana.

Melihat Nabil yang kini berdiri di depannya, Kinara merasa bersalah karena ia pasti sudah membuat kesemuanya merasa khawatir dan merepotkan.

“Kok kak Nabil yang jemput gue kesini?” tanya Kinara kemudian, dan melihat wajah Nabil yang masih menatapnya intens.

Kinara sudah siap. Dirinya sudah siap kalau sehabis ini ia akan di maki, dan di marahi karena tidak memberi kabar apapun. Salah nya sendiri, tidak memberitahu kondisi baterai ponsel nya kepada Raka yang tinggal sedikit dan mengakibatkan hal ini terjadi.

Tapi di luar dugaan, justru kini tangan Nabil terulur untuk mengusap keringat dingin Kinara yang berkumpul di area dahi. “Kenapa sih, gabisa kah sehari aja lo ga bikin kita khawatir kaya gini?” keluh Nabil kemudian.

Bibir Kinara mengulum senyum, dia suka perhatian Nabil yang sangat ditunjukkan saat ini. “Salah di gue kak, telat ngabarin dan ponsel gue keburu mati. Gue juga clumsy dan ga mikir panjang efek kedepannya kaya gimana.” ujar Kinara kemudian, memberikan penjelasan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah berapa banyak waktu ia habiskan untuk berdiam diri di dalam kelas menunggu jemputan dari Raka, dan juga untuk menghilangkan rasa sakit yang hingga saat ini tetap terasa nyeri di kaki sebelah kanan nya.

“Ayo kita pulang sekarang.” ajak Nabil kemudian, mengambil alih tas punggung Kinara untuk dirinya bawa.

Kinara menurut, dan berdiri dengan hati-hati guna meminimalisir rasa sakit pada lututnya yang mungkin akan menjadi jadi.

“Kaki lo kenapa? Kenapa jalan lo pincang gitu?” tanya Nabil kemudian, tersadar Kinara berjalan pincang di belakangnya.

“Cuma kesemutan kak, gue tadi kan tidur lama di kelas terus kaki gue ga gue gerakin.” bohongnya pada Nabil.

“Mau gue gendong aja?”

Dengan cepat Kinara menggeleng, “Gausah lah, kaya gue kenapa aja sampe harus di gendong. Bentar lagi juga udah deket parkiran kan? Jalan aja udah ayok.” Ujar Kinara kemudian, menarik tangan Nabil untuk bergegas kembali berjalan.

“Nih, lo pake aja jaket gue.” ucap Nabil sesampainya di tempat parkir sembari melepas Jaket yang tadi menempel di badannya.

Nabil memutuskan untuk Kinara memakai jaketnya karena, ketika Kinara menarik tangannya untuk berjalan tadi ia bisa merasakan betapa dinginnya tangan Kinara ketika bersentuhan dengan tangannya.

“Tapi gue udah pake hoodie kak?” tanya Kinara balik, bingung.

Hoodie doang masih kurang hangat di lo. Lagian ini hoodie siapa sih? Gue gatau lo punya hoodie kaya gini.”

“Punya Gale.”

Gerakan tangan Nabil terhenti, dirinya kini menatap Kinara intens.

“Ke- kenapa?” tanya Kinara bingung.

“Lo pacaran sama Gale?” tanya Nabil to the point.

Kinara menggeleng polos, “Kalau patokan lo untuk orang pacaran cuma karena mereka saling minjemin barang, semua orang di dunia ini pasti pacaran kak.”

Nabil tertawa kecil mendengarkan penuturan adiknya itu. Apa yang di bilang Kinara ada benar nya, dan mungkin dirinya juga terlalu dangkal untuk hal ini.

“Dah, ayo naik.” ujar Nabil kemudian, selesainya ia memasang tempat duduk di bagian penumpang motor nya. “Motor gue emang tinggi makanya gue jarang barengin lo balik karena alasan ini. Jadi lo gausah ngeluh.” katanya lagi, melihat Kinara kesusahan menaiki motor nya.

Kinara tersenyum tipis, “Gue ga ngeluh kok kak, lagian emang belum terbiasa makanya agak susah awal gue naik.”

Lagi lagi Nabil terdiam dengan jawaban adiknya itu. “Ada aja lu ngomong jawab gue.” kesal nya.

Kinara tertawa kecil.

By the way, lo ga marah kak Raka ga jemput lo?” tanya Nabil lagi, sembari memberikan helm kepada Kinara yang sudah naik ke kursi penumpang.

“Marah? Marah kenapa?” tanya Kinara balik, tidak mengerti.

“Kok kenapa? Dia ga jemput lo. Sampe jam tujuh malem. Dan kita pulang sekolah tadi jam berapa anjing? Lo nunggu berapa jam disini? Dan gue nanya, apa lo ga marah sama kak Raka?” ujar Nabil lagi penuh penekanan, gemas.

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “Kalaupun emang iya dia ga jemput gue sampe selama itu, pasti ada alasannya juga.” Jawab Kinara kemudian. “Lagi pun kesalahan terbesar ada di gue, karena gue malah mainin hape udah tau baterai nya tinggal dikit. Pasti aslinya Kak Raka udah ngabarin gue sesuatu soal hal itu. Kak Raka ga salah sama sekali, dia pasti punya alasan.” Sambungnya lagi.

Nabil mengangguk, “Iya sih, dia bilangnya tadi jadwal matkul nya di majuin.”

“Tuh kan, apa gue bilang. Kak Raka pasti punya alasan. Dia bukan orang yang lepas tanggung jawab.” sahut Kinara langsung, senang.

Nabil menurunkan kaca helm Kinara dengan sedikit kesal, “Sok tau lo.” katanya kemudian.

“Bukan sok tau gue kak. Kita udah hidup bareng berapa tahun sih? Bukannya aneh ya kalo gue ga ngerti kebiasaan kalian.” Ujar Kinara memberi pembelaan. “Eh tapi gue baru tau, lo punya “helm* warna putih kaya gini? Kok helm nya lebih kecil sih dari punya lo? Ini punya siapa? Ih masih bau plastik.” cerocosnya lagi, membuat Nabil mengulum senyum.

Iya saudara saudara, Nabil tadi mampir bentar ke toko helm langganan nya buat beliin Kinara helm supaya ketika pulang naik motor nanti kepala anaknya nggak kedinginan. Kalau alasan Nabil sih, supaya nggak masuk angin. Soalnya kalo masuk angin si Kinara, dia lagi di salahin. Padahal mah tinggal ngomong jujur aja, kalau dia khawatir.


Kini ketiganya, Raka, Arsha, dan Arzhan menunggu dengan bingung. Entah kepulangan kedua orang tuanya atau kedatangan kedua saudara nya lebih dulu.

“Siap siap yang terburuk aja kak.” ujar Arsha berpesan kepada Raka yang kini terlihat murung sembari mengotak atik ponselnya.

“Lo ngapain dah? Chat Kinara?” tanya Arzhan kemudian, melihat kegiatan Raka bermain ponsel tidak segera usai. “Ga di liat sama anaknya, gue udah coba chat juga tadi. Baterai ponsel dia abis paling.” sambungnya lagi.

“Ngapain chat si Kinara? Kan tadi kak Nabil udah bilang, anaknya udah sama dia dan ini lagi jalan balik.” tanya Arsha bingung.

“Ya kenapa emang? Gue ga butuh di baca sekarang.” jawab Raka ketus.

Tiada berapa lama, ketiganya mendengar suara pintu gerbang di buka.

Tampaknya kedatangan antara Kinara dan Nabil, dengan kedatangan kedua orang tua nya berbarengan sehingga membuat suasana sedikit gaduh karena suara motor dan mobil bersahut sahutan.

“Loh kok Kinara baru pulang ini? Kalian dari mana? Raka mana? Kok Kinara sama Nabil?” tanya mama bertubi-tubi.

Mama memasuki rumah bersama Nabil dan Kinara yang mengikuti dari belakang.

“Gimana ini kak? Kok adek nya sama kak Nabil? Kamu gak jemput Kinara tadi?” tanya mama lagi, mendesak suara keluar dari bibir Raka.

“Ma... Kinara tadi emang sama kak Nabil.” Belum sempat Raka berbicara, Kinara langsung mengambil alih.

“Laiya? Kan mama tanya, kenapa kamu sama kak Nabil?”

“Soalnya matkul kak Raka di ajukan, jadi akhirnya Kinara sama kak Nabil pulang nya.” jawab Kinara. “Ini baru pulang, soalnya Kinara tadi ngajakin kak Nabil ke gramedia buat liat buku.” ucapnya lagi, berbohong.

“Kamu pulang sekolah jam dua siang ya Kinara, sekarang udah hampir jam delapan malam. Kamu mau bohong sama mama?” Sahut mama cepat, tidak percaya.

“Bener dari gramedia ma. Aku nyari buku try out, Kinara di section novel. Anaknya tadi duduk lama disana, baca buku sambil nungguin aku nyari buku yang cocok.” Bela Nabil memperkuat argumen Kinara, sembari mengeluarkan buku try out yang dirinya beli tadi.

Pada akhirnya mama percaya, dan kemudian mengajak Kinara segera menuju lantai atas untuk mandi dan bebersih diri dan kemudian istirahat.

Arsha dan Arzhan menghela nafas lega, pertengkaran kali ini bisa di hindari walaupun sedikit ada cekcok diantara mama dan juga Kinara.

“Itu kenapa kaki Kinara pincang sebelah?” tanya Arsha kemudian, tersadar langkah Kinara agak aneh saat di tuntun mama untuk menaiki anak tangga.

Nabil mengendikkan bahunya tidak tahu menahu. “Tadi bilang ke gue sih kesemutan waktu di sekolah. Tapi masa iya, kesemutan bisa awet kaya gitu dari sekolah sampe rumah?”

Keempatnya kemudian terdiam, bingung dengan fikiran masing-masing.

Nabil mengendarai motor nya diatas kecepatan rata-rata. Yang ada di pikirannya saat ini adalah Kinara yang kini tengah berada di sekolah sendirian dan tengah menunggu jemputan.

Begitu sesampainya ia di sana, dirinya masih melihat anak-anak karate tengah berlatih. Dia lega, setidaknya Kinara tidak benar-benar sendirian di sekolah.

Setelah memarkirkan motor nya dengan rapi, Nabil bergegas berjalan cepat menuju kelas yang dia tahu sebagai kelas Kinara.

Suasana cukup sepi di lorong sekolah, di tambah lagi memang minim nya pencahayaan membuat Nabil sedikit susah untuk menuju ke sana karena ia sering kali terlewat lorong kelas atau halangan yang lainnya.

Sesampainya di kelas Kinara yang memang terlihat gelap terlihat dari luar, Nabil buru-buru membuka pintu kelas dan mencari saklar di dekat sana guna memastikan apakah Kinara benar-benar ada di sekolah atau tidak.

Lampu menyala, hati Nabil mencelos melihat Kinara tengah manangkupkan kedua tangannya di atas meja, untuk menopang kepalanya.

“Kinara?” panggil Nabil perlahan, membangunkan adik bungsu nya itu.

Kinara mengerjap pelan, dirinya tidak tidur cuma hanya menutup mata dan mencari ketenangan dari dalam sana.

Melihat Nabil yang kini berdiri di depannya, Kinara merasa bersalah karena ia pasti sudah membuat kesemuanya merasa khawatir dan merepotkan.

“Kok kak Nabil yang jemput gue kesini?” tanya Kinara kemudian, dan melihat wajah Nabil yang masih menatapnya intens.

Kinara sudah siap. Dirinya sudah siap kalau sehabis ini ia akan di maki, dan di marahi karena tidak memberi kabar apapun. Salah nya sendiri, tidak memberitahu kondisi baterai ponsel nya kepada Raka yang tinggal sedikit dan mengakibatkan hal ini terjadi.

Tapi di luar dugaan, justru kini tangan Nabil terulur untuk mengusap keringat dingin Kinara yang berkumpul di area dahi. “Kenapa sih, gabisa kah sehari aja lo ga bikin kita khawatir kaya gini?” keluh Nabil kemudian.

Bibir Kinara mengulum senyum, dia suka perhatian Nabil yang sangat ditunjukkan saat ini. “Salah di gue kak, telat ngabarin dan ponsel gue keburu mati. Gue juga clumsy dan ga mikir panjang efek kedepannya kaya gimana.” ujar Kinara kemudian, memberikan penjelasan.

Jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Sudah berapa banyak waktu ia habiskan untuk berdiam diri di dalam kelas menunggu jemputan dari Raka, dan juga untuk menghilangkan rasa sakit yang hingga saat ini tetap terasa nyeri di kaki sebelah kanan nya.

“Ayo kita pulang sekarang.” ajak Nabil kemudian, mengambil alih tas punggung Kinara untuk dirinya bawa.

Kinara menurut, dan berdiri dengan hati-hati guna meminimalisir rasa sakit pada lututnya yang mungkin akan menjadi jadi.

“Kaki lo kenapa? Kenapa jalan lo pincang gitu?” tanya Nabil kemudian, tersadar Kinara berjalan pincang di belakangnya.

“Cuma kesemutan kak, gue tadi kan tidur lama di kelas terus kaki gue ga gue gerakin.” bohongnya pada Nabil.

“Mau gue gendong aja?”

Dengan cepat Kinara menggeleng, “Gausah lah, kaya gue kenapa aja sampe harus di gendong. Bentar lagi juga udah deket parkiran kan? Jalan aja udah ayok.” Ujar Kinara kemudian, menarik tangan Nabil untuk bergegas kembali berjalan.

“Nih, lo pake aja jaket gue.” ucap Nabil sesampainya di tempat parkir sembari melepas Jaket yang tadi menempel di badannya.

Nabil memutuskan untuk Kinara memakai jaketnya karena, ketika Kinara menarik tangannya untuk berjalan tadi ia bisa merasakan betapa dinginnya tangan Kinara ketika bersentuhan dengan tangannya.

“Tapi gue udah pake hoodie kak?” tanya Kinara balik, bingung.

“Hoodie doang masih kurang hangat di lo. Lagian ini hoodie siapa sih? Gue gatau lo punya hoodie kaya gini.”

“Punya Gale.”

Gerakan tangan Nabil terhenti, dirinya kini menatap Kinara intens.

“Ke- kenapa?” tanya Kinara bingung.

“Lo pacaran sama Gale?” tanya Nabil to the point.

Kinara menggeleng polos, “Kalau patokan lo untuk orang pacaran cuma karena mereka saling minjemin barang, semua orang di dunia ini pasti pacaran kak.”

Nabil tertawa kecil mendengarkan penuturan adiknya itu. Apa yang di bilang Kinara ada benar nya, dan mungkin dirinya juga terlalu dangkal untuk hal ini.

“Dah, ayo naik.” ujar Nabil kemudian, selesainya ia memasang tempat duduk di bagian penumpang motor nya. “Motor gue emang tinggi makanya gue jarang barengin lo balik karena alasan ini. Jadi lo gausah ngeluh.” katanya lagi, melihat Kinara kesusahan menaiki motor nya.

Kinara tersenyum tipis, “Gue ga ngeluh kok kak, lagian emang belum terbiasa makanya agak susah awal gue naik.”

Lagi lagi Nabil terdiam dengan jawaban adiknya itu. “Ada aja lu ngomong jawab gue.” kesal nya.

Kinara tertawa kecil.

By the way, lo ga marah kak Raka ga jemput lo?” tanya Nabil lagi, sembari memberikan helm kepada Kinara yang sudah naik ke kursi penumpang.

“Marah? Marah kenapa?” tanya Kinara balik, tidak mengerti.

“Kok kenapa? Dia ga jemput lo. Sampe jam tujuh malem. Dan kita pulang sekolah tadi jam berapa anjing? Lo nunggu berapa jam disini? Dan gue nanya, apa lo ga marah sama kak Raka?” ujar Nabil lagi penuh penekanan, gemas.

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “Kalaupun emang iya dia ga jemput gue sampe selama itu, pasti ada alasannya juga.” Jawab Kinara kemudian. “Lagi pun kesalahan terbesar ada di gue, karena gue malah mainin hape udah tau baterai nya tinggal dikit. Pasti aslinya Kak Raka udah ngabarin gue sesuatu soal hal itu. Kak Raka ga salah sama sekali, dia pasti punya alasan.” Sambungnya lagi.

Nabil mengangguk, “Iya sih, dia bilangnya tadi jadwal matkul nya di majuin.”

“Tuh kan, apa gue bilang. Kak Raka pasti punya alasan. Dia bukan orang yang lepas tanggung jawab.” sahut Kinara langsung, senang.

Nabil menurunkan kaca helm Kinara dengan sedikit kesal, “Sok tau lo.” katanya kemudian.

“Bukan sok tau gue kak. Kita udah hidup bareng berapa tahun sih? Bukannya aneh ya kalo gue ga ngerti kebiasaan kalian.” Ujar Kinara memberi pembelaan. “Eh tapi gue baru tau, lo punya “helm* warna putih kaya gini? Kok helm nya lebih kecil sih dari punya lo? Ini punya siapa? Ih masih bau plastik.” cerocosnya lagi, membuat Nabil mengulum senyum.

Iya saudara saudara, Nabil tadi mampir bentar ke toko helm langganan nya buat beliin Kinara helm supaya ketika pulang naik motor nanti kepala anaknya nggak kedinginan. Kalau alasan Nabil sih, supaya nggak masuk angin. Soalnya kalo masuk angin si Kinara, dia lagi di salahin. Padahal mah tinggal ngomong jujur aja, kalau dia khawatir.


Kini ketiganya, Raka, Arsha, dan Arzhan menunggu dengan bingung. Entah kepulangan kedua orang tuanya atau kedatangan kedua saudara nya lebih dulu.

“Siap siap yang terburuk aja kak.” ujar Arsha berpesan kepada Raka yang kini terlihat murung sembari mengotak atik ponselnya.

“Lo ngapain dah? Chat Kinara?” tanya Arzhan kemudian, melihat kegiatan Raka bermain ponsel tidak segera usai. “Ga di liat sama anaknya, gue udah coba chat juga tadi. Baterai ponsel dia abis paling.” sambungnya lagi.

“Ngapain chat si Kinara? Kan tadi kak Nabil udah bilang, anaknya udah sama dia dan ini lagi jalan balik.” tanya Arsha bingung.

“Ya kenapa emang? Gue ga butuh di baca sekarang.” jawab Raka ketus.

Tiada berapa lama, ketiganya mendengar suara pintu gerbang di buka.

Tampaknya kedatangan antara Kinara dan Nabil, dengan kedatangan kedua orang tua nya berbarengan sehingga membuat suasana sedikit gaduh karena suara motor dan mobil bersahut sahutan.

“Loh kok Kinara baru pulang ini? Kalian dari mana? Raka mana? Kok Kinara sama Nabil?” tanya mama bertubi-tubi.

Mama memasuki rumah bersama Nabil dan Kinara yang mengikuti dari belakang.

“Gimana ini kak? Kok adek nya sama kak Nabil? Kamu gak jemput Kinara tadi?” tanya mama lagi, mendesak suara keluar dari bibir Raka.

“Ma... Kinara tadi emang sama kak Nabil.” Belum sempat Raka berbicara, Kinara langsung mengambil alih.

“Laiya? Kan mama tanya, kenapa kamu sama kak Nabil?”

“Soalnya matkul kak Raka di ajukan, jadi akhirnya Kinara sama kak Nabil pulang nya.” jawab Kinara. “Ini baru pulang, soalnya Kinara tadi ngajakin kak Nabil ke gramedia buat liat buku.” ucapnya lagi, berbohong.

“Kamu pulang sekolah jam dua siang ya Kinara, sekarang udah hampir jam delapan malam. Kamu mau bohong sama mama?” Sahut mama cepat, tidak percaya.

“Bener dari gramedia ma. Aku nyari buku try out, Kinara di section novel. Anaknya tadi duduk lama disana, baca buku sambil nungguin aku nyari buku yang cocok.” Bela Nabil memperkuat argumen Kinara, sembari mengeluarkan buku try out yang dirinya beli tadi.

Pada akhirnya mama percaya, dan kemudian mengajak Kinara segera menuju lantai atas untuk mandi dan bebersih diri dan kemudian istirahat.

Arsha dan Arzhan menghela nafas lega, pertengkaran kali ini bisa di hindari walaupun sedikit ada cekcok diantara mama dan juga Kinara.

“Itu kenapa kaki Kinara pincang sebelah?” tanya Arsha kemudian, tersadar langkah Kinara agak aneh saat di tuntun mama untuk menaiki anak tangga.

Nabil mengendikkan bahunya tidak tahu menahu. “Tadi bilang ke gue sih kesemutan waktu di sekolah. Tapi masa iya, kesemutan bisa awet kaya gitu dari sekolah sampe rumah?”

Keempatnya kemudian terdiam, bingung dengan fikiran masing-masing.

Pada pemeriksaan Kinara beberapa hari yang lalu pasca insiden Kinara pergi ke tukang pijat, bukan dokter Hanan yang menangani karena beliau memang memiliki jadwal lain, sehingga pertemuan tidak di janjikan seperti itu tidak bisa ia hadiri.

Dan kini, untuk pertemuan yang sudah dokter Hanan janjikan, Kinara, mama, dan papa sudah kembali dengan persiapan yang jauh lebih matang.

Dokter Hanan memeriksa kembali surat keterangan Kinara yang sudah keluar, dan mendiskusikan beberapa hal terkait keadaan Kinara saat ini.

“Ibu Miya, sebelumnya saya sudah memperingatkan untuk tidak membawa keadaan Kinara ke tempat pijat refleksi mana pun.” Ingat dokter Hanan, kecewa dengan apa yang sudah mama katakan barusan. “Jika itu osteosarkoma, pijat dan urut justru akan membuat sel kanker semakin progresif dan tumor semakin cepat dan menyebar.” sambungnya lagi menjelaskan.

Mama kebingungan, dirinya sudah lalai menjalankan satu hal yang paling penting. Memberitahu keadaan Kinara secepat mungkin, agar Kinara juga lebih siap dan ikut menghindari banyak pantangan yang di ujar kan. Tapi semua sudah terlambat, nasi sudah menjadi bubur.

“Lantas bagaimana keadaan Kinara dok?” ganti papa bertanya, mewakili mama yang kini hanya bisa tertunduk lemas.

“Hitungannya hanya minggu hingga beberapa bulan. Kanker ini sangat cepat membesar dan berkembang pesat.” Ujar dokter Hanan lagi, menegaskan. “Kinara selalu mengeluhkan nyeri pada bagian lutut dan betis nya bukan? Maka hampir di pastikan kalau itu termasuk dalam keganasan pada tulang. Mengapa di sebutkan hampir pasti? Karena kalau tumor jinak biasanya tidak sakit.” sambung dokter Hanan lagi.

Kinara hanya mampu termenung lama setelah mendengarkan penjelasan dokter Hanan. Dirinya tidak tahu, kalau yang ia hadapi adalah hal yang sebesar ini. Ia tidak seberani itu untuk menghadapi nya. Tidak, bukan hanya tidak berani, dirinya juga tidak mampu.

Mama memeluk lengan Kinara yang tengah termenung dengan erat, banyak hal yang ia sesali hingga saat ini. Penyesalan nya yang datang terlambat itu sudah menumpuk dan menjadi besar melewati gunung.

“Segera setelah ini, kita akan mendiskusikan terkait dengan pengobatan yang akan Kinara jalani.” ucap Dokter Hanan lagi, mengambil alih situasi yang kini dirasa kurang kondusif di dalam ruangannya. “Secara umum, modalitas pengobatan kanker tulang ada 3, yaitu pembedahan, kemoterapi dan radioterapi. Untuk lebih jelasnya, nanti asisten saya akan merincikan kesemuanya.” tutup nya langsung.


Suasana di dalam mobil siang hari itu terasa sunyi, meskipun suara kendaraan yang lain cukup di katakan berisik ketika berlalu lalang.

Ada papa yang berada di kursi kemudi, dan mama yang menemani Kinara duduk di bangku belakang, kursi penumpang.

Kinara menaruh kepalanya di atas pangkuan mama. Dirinya sedikit kesulitan menggerakkan kaki kanan nya yang memang cukup sakit sedari tadi.

Mama mengelus peluh keringat dingin yang terus terusan keluar dari tubuh Kinara. “Matikan AC nya aja pa.” Pinta mama kemudian, mencoba bersikap baik-baik saja.

Kinara menghindari untuk melihat ekspresi kedua orang tuanya kali ini. Dirinya tidak suka, ketika mereka menatapnya dengan sendu seolah olah itu adalah kesempatan terakhir bagi Kinara untuk terus bernafas.

“Ma, Kinara mau minta sesuatu.” ujar Kinara kemudian, setelah terdiam begitu lama.

Mama mengangguk setuju, walaupun Kinara tidak melihatnya saat itu. “Mau minta apa sayang?” tanya mama lembut.

Setelah memikirkan hal ini dengan panjang, pada akhirnya Kinara mebulatkan keputusan. “Mulai dari hari ini, Kinara mau tidur di kamar yang sama bareng mama papa, dan kemudian kasih kamar Kinara buat kak Arzhan atau Arsha.” ucap Kinara, membuat mama papa nya membulatkan mata terkejut.

“Tapi kenapa? Kakak kamu ada yang nyuruh kamu untuk ngomong gini sayang?” tanya papa langsung, bertubi-tubi.

Kinara menggeleng, “dari awal Kinara bilang, ini permintaan Kinara.” ujar Kinara menegaskan. “Kinara suka kasihan liat kak Arsha sama kak Arzhan berbagi kamar, dan pakai kasur tingkat. Mereka mengalah buat kasih Kinara sebagai satu-satunya anak perempuan untuk punya kamar sendiri. Banyak hal yang Kinara pikirkan, dan ini udah dari lama. Sejak awal Kinara tahu, kalau kebutuhan kak Arsha dan kak Arzhan ga pernah terpenuhi secara maksimal karena adanya Kinara.”

Mama mengusap pelan rambut Kinara, sepenuhnya mulai dari sekarang dirinya menyadari betapa besar rasa kasih Kinara pada saudara nya yang lain.

“Baru mau papa rencanakan untuk gudang samping kamar mama dan papa, di alokasikan menjadi kamar Arzhan atau Arsha. Tapi kalau keinginan Kinara seperti itu, lebih baik sembari menunggu gudang di lantai atas sepenuhnya bersih, Kinara bisa langsung pindah ke kamar mama dan Arsha atau Arzhan pindah ke kamar Kinara yang sekarang ma.” ujar Papa panjang lebar, mendiskusikan perihal yang baru saja Kinara ucapkan.

Mama mengangguk, “terserah papa. Mama ngikut aja.” jawab mama singkat.


Mereka sampai rumah pukul tiga sore, dan beruntung nya bi Anjar sudah tiba dan menyambut ketiganya dengan bahagia.

Kok bisa bi Anjar ada di rumah?

Jadi gini, salah satu art yang memang awet banget di keluarga Kinara adalah bi Anjar. Dulu mama sempat pesan kan bi Anjar, untuk pulang ke kampung terlebih dahulu dan mendahulukan keluarga yang sudah ia tinggalkan bertahun-tahun untuk bekerja bersama keluarga Kinara.

Tapi karena keadaan Kinara saat ini yang memang membutuhkan perawatan intensif dari rumah, jadi mama memutuskan untuk memanggil bi Anjar kembali supaya bisa ikut membantu Kinara dan mengurus rumah.

Kedatangan bi Anjar ini tidak mama dan papa ceritakan kepada siapapun termasuk Kinara. Maka dari itu, segera setelah turun dari mobil, dengan tertatih Kinara berjalan cepat dan menghampiri bi Anjar untuk memeluk nya dengan erat.

“Aduh ndhuk Kinara, kok makin kurus aja dewasa sekarang.” ujar bi Anjar, sembari menepuk nepuk pundak Kinara.

Kinara menahan tangis nya, pertemuan seperti ini yang ia tunggu karena ia bahagia setelah ini hidupnya tidak akan sesepi dulu saat bi Anjar tidak ada.

“Kenapa baru pulang sekarang bi? Kinara nungguin udah dari lama.” Ucap Kinara terbata.

Bi Anjar makin mengeratkan pelukannya, “Bibi keterusan ndhuk, di kampung anak bibi udah punya cucu. Jadi bibi sedikit lebih lama di kampung karena sayang cucu.” katanya tertawa geli. Kinara ikut tertawa, di gandeng nya tangan bi Anjar untuk masuk ke dalam rumah.

“Kenapa ndhuk Kinara kok jalan nya kaya gitu? Kakinya sakit?” tanya bi Anjar kemudian, menyadari langkah Kinara yang lebih berat dan pincang.

Kinara mengangguk, “iya bi. Tapi gapapa, abis ini juga sembuh kalo minum obat.” jawab Kinara menenangkan.

“Ayo ke kamar dulu, biar bibi pijat kakinya.”

“Ehh, gaboleh bibi! Itu kaki Kinara sakitnya bukan kesleo, jadi ga boleh di pijat ya!” Ujar mama dari belakang dengan galak.

Kinara turun dari motor ojek online tadi dengan lemas. Kayanya dia beneran mabuk kendaraan deh.

Dengan langkah perlahan, dirinya membuka gerbang rumah dan masuk dengan hati-hati supaya rasa mual pada perutnya tidak semakin menjadi.

Nabil yang memang sudah berada di rumah sedari tadi, memperhatikan adik bungsu nya yang baru tiba dengan bingung.

“Kenapa lu?” tanya nya penasaran, dan mendekat untuk memastikan kondisi Kinara.

“Mual doang gue kak. Ternyata lo udah balik duluan ya.” ujar Kinara kemudian, dan duduk pada sofa ruang tamu.

Sorry, gue tadi ga buka grup jadi gatau kalo lo mau bareng waktu balik.” kata Nabil meneruskan.

Ganti Kinara yang bingung, “gausah, biasanya juga ga gitu kok.” sahutnya langsung, menghindari canggung.

“Yaudah, lo masih mual?” tanya Nabil kemudian. “Gue ambilin air putih atau lo langsung ke kamar aja?” sambungnya kemudian.

Sebenernya pun kalo ngomong langsung kaya gini, Nabil bukannya galak galak amat. Cuma kalau udah di chat, tingkat nyebelin dia tuh langsung naik beberapa persen dan selalu bikin Kinara geleng geleng kepala.

“Gue langsung ke kamar aja kak. Makasih atas tawaran nya tadi.” ujar Kinara kemudian, dan beranjak meninggalkan Nabil yang masih duduk di sofa ruang tamu.


Belum usai rasa mual pada perut Kinara, di tambah lagi kaki sebelah kanan nya kini ikut nyeri kembali.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya bilang pada Acel, Eja, dan Gale kalau kakinya sudah lebih baik setelah di pijat. Tapi sejak tadi pagi, rasa nyeri pada kaki nya sudah kembali lagi, dan rasa yang di hasilnya jauh lebih sakit dari kali pertama rasa itu muncul.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dirinya masih belum mendengar suara kepulangan dari kedua orang tuanya dan tiga saudaranya yang lain.

Kinara teringat, bahwa minyak kayu putih yang biasanya ia gunakan ketika kakinya sakit dahulu berada di lantai atas, kamar mama nya. Karena beberapa hari yang lalu, mama meminjam nya untuk mengobati rasa migrain.

Enggan untuk meminta bantuan pada Nabil, pada akhirnya Kinara terpaksa untuk berjalan dengan tertatih guna mengambil minyak tersebut pada kamar mama.

Kinara udah mau nyerah, waktu dia liat banyaknya anak tangga yang akan dirinya tempuh sehabis ini. Tapi demi kenyamanan kaki nya, ia akan memaksa keadaan ini untuk terjadi.

“Gampang, nanti tiduran aja di kamar mama. Atau kalau emang ada kemungkinan, kita menggelindingkan diri aja ke anak tangga biar sampe lantai satu lagi.” gumam nya menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, dan di barengi oleh istirahat dua puluh detik tiap satu tanjakan anak tangga. Kinara berhasil sampai dengan selamat di depan pintu kamar mama.

Kinara mau nangis aja, biasanya buat menempuh dari lantai satu ke lantai dua ga lebih dari dua puluh detik baginya untuk naik. Tapi sekarang, hampir setengah jam ia baru sampai ke lantai dua.

Satu hal yang langsung Kinara tuju, begitu ia sampai di dalam kamar mama adalah ranjang big size yang terlihat empuk di mata nya.

Setelah puas berbaring, mengistirahatkan diri dan juga kaki nya yang masih luar biasa nyeri, akhirnya Kinara mulai beranjak pada meja rias mama nya yang mungkin menjadi tempat mama nya menyimpan minyak kayu putih yang saat ini ia butuhkan.

Belum sampai pada meja rias, atensi Kinara teralihkan oleh satu map tali berwarna coklat, yang bertuliskan dengan jelas nama lengkap nya.

Kinara Senja Lembayung Jingga

Di lengkapi oleh cap rumah sakit yang memang ia datangi bersama mama, Kinara yakin itu adalah hasil tes nya beberapa hari terakhir yang memang tidak pernah mama niatkan untuk di tunjukkan pada Kinara.

Ragu, Kinara membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati. Mengabaikan rasa nyeri pada kaki nya, kali ini ia lebih penasaran dengan isi amplop itu.

Osteosarcoma

Kata yang begitu asing pada benaknya. Kinara segera membaca beberapa penggal kalimat selanjutnya yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kinara tertawa miris, “Osteosarcoma, bone cancer, astaga Kinara. Ayo kuatkan ragamu, semesta mulai berlebihan saat bercanda.”