JC Halcyon

Kinara kecil mengikuti Nabil yang berjalan di depannya dengan pelan.

“Kakak?” tanya Kinara merengek. Dirinya sudah cukup lelah jika harus mengikuti langkah Nabil yang lumayan lebar. Belum lagi sinar matahari siang membakar kulit nya saat ini.

“Hussh, Kinara diem.” Ujar Nabil menghentikan langkahnya sejenak, dan menoleh ke arah Kinara.

Hari ini Kinara pulang dengan Nabil naik sepeda, karena Kinara sendiri masih kelas empat sekolah dasar sedangkan Nabil menginjak kelas enam sekolah dasar. Kenapa kok ga bareng Arsha dan Arzhan? Alasannya adalah, karena mereka berdua kompak ga masuk sekolah karena sakit hari itu.

“Kita kenapa ga langsung pulang aja sih?” Tanya Kinara kecil masih belum terima.

“Kakak masih ada urusan, bentar aja ya Kinara.” Bujuk Nabil kembali.

Tak jauh di depan, Kinara dapat melihat segerombolan anak berseragam SMP seperti tengah menunggu nunggu kedantangan Nabil.

“Cupu, gue kira sendirian ternyata bawa adek nya.” Kata salah seorang dari anak SMP itu.

“Adek gue ga ada yang jemput pulang, terpaksa gue bawa.” Ujar Nabil menjawab pertanyaan yang lain.

Kinara yang merasakan suasana mulai memburuk, dirinya beringsut mendekati Nabil dan memegang lengannya. “Kakak, ayo pulang aja.” Bujuk Kinara takut.

Nabil tak memperdulikan Kinara, dan masih bertengkar bertukar kalimat kasar pada beberapa anak laki-laki di depannya.

Sedikit yang Kinara dengar, mereka meributkan soal sok berani, arogan, dan yang lainnya. Tentu bagi Kinara kecil ini bukan lah hal yang cukup mengenakkan.

Sekali ketika salah satu dari mereka maju dan memukul Nabil, Kinara langsung melepaskan pegangannya pada Nabil dan berlari menjauh.

Tidak ada yang sadar, begitu pula dengan Nabil. Mereka masih larut pada pertengkaran yang tengah mereka lakukan.

Kinara berlari dengan kaki kecilnya, tertatih-tatih menuju kantor sekolah dasar. Yang mana ia yakini, masih ada guru lain yang berjaga, dan mungkin bisa menyelamatkan Nabil, kakak nya.

Tanpa dirinya sadari, sebongkah batu yang lumayan besar menghadang jalan nya berlari. Kinara tidak sengaja mengenai batu itu, dan membuatnya terjatuh dengan lumayan keras. Kaki sebelah kanan nya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Dirinya tidak bisa mengeluh sekarang, karena yang dia tau Nabil tengah kesusahan di tempat lain.

Dengan memaksakan kakinya yang terluka, Kinara pada akhirnya sampai pada kantor ruang guru. Dirinya mencari guru yang kini tengah berjaga.

“Kinara kok belom pulang?” Satu suara berhasil menyapa nya.

“Pak Yoga, itu di samping gerbang belakang kak Nabil berantem sama anak SMP!!” Ucap Kinara langsung, memberitahu keadaan yang sebenarnya pada Yoga, guru olahraga nya.

Yoga yang langsung mengerti ucapan Kinara, langsung berjalan cepat menuju tempat yang sudah Kinara sebutkan.

Kinara mengikuti dari belakang dengan pincang, kakinya yang terluka cukup menghambat nya. Dirinya meringis, melihat begitu banyak darah yang keluar dari kaos kaki nya yang putih.

Begitu sampai, Yoga langsung memisahkan pertengkaran yang terjadi. Beberapa dari yang lainnya berhasil lolos dan kabur. Menyisakan seorang anak SMP dan Nabil sendiri yang lumayan luka sana sini usai pertengkaran.

Anak SMP itu tersenyum miring pada Nabil, ia melihat ke arah Kinara yang berada tak jauh dari sana. “Sok jagoan, tapi tetep berlindung balik badannya adek cewe lu ya.” Cibirnya membuat Nabil tertampar oleh rasa malu.

Nabil menatap Kinara dengan tajam. Dirinya tidak pernah sejengkel ini dengan orang yang suka ikut campur pada urusan orang lain.

Mengikuti saran Gale, Acel, dan juga Eja untuk beristirahat sejenak, Kinara akhirnya berjalan dengan lemas menuju panitia kesehatan.

Serius dia ga tau kalau dampak gak makan tuh bisa sampe selebay ini.

“Kenapa dek?” Tanya kakak panitia dengan cemas, membopong dirinya di satu tangan.

“Pusing dikit kak.” Jawab Kinara jujur.

Mereka percaya dengan ucapan Kinara, karena yang mereka lihat saat ini kulit wajah Kinara benar benar pucat pasi.

“Mau ke UKS? ayo baring di sana aja.” Ujar salah satu panitia yang lain, memegang lengan Kinara untuk diajak berdiri. “Apa mau kakak gendong?” Sambungnya kemudian.

Kinara hanya menggeleng lemah, dirinya tidak ingin menyusahkan lebih dari ini. Tapi apa yang dia harapkan hanyalah sekedar harapan, sebelum pusing yang hebat menyerang dan membuat seluruh pandangannya menggelap.

Sedikit sebelum kesadarannya sepenuhnya menghilang, dirinya melihat Arzhan berlari ke arahnya dan membawanya dalam rengkuhan hangat.


“Kenapa coba pake pingsan segala.” Ujar Arsha dari bilik UKS. Dirinya langsung berlari cepat begitu Arzhan mengabarinya kalau Kinara baru saja pingsan. “Pada semalem gue udah wanti wanti, sarapan dulu soalnya ada agenda bikin gelombang.”

Arzhan yang mendengar ucapan Arsha tertegun. Ini salah dirinya karena tadi pagi ia menuntut Kinara untuk segera bersiap-siap karena jam sudah menunjukkan pukul setengah enam.

Dirinya bukan panitia yang berjaga di lapangan seperti Arsha, jadi ia memiliki kebebasan sedikit untuk datang lebih lambat.

Arzhan mengerti, kalau kejadian hari ini yang menimpa Kinara sedikit banyak nya adalah ulah dari nya yang tidak memberikan kesempatan pada Kinara untuk sarapan terlebih dahulu.

Kinara terbangun dari ranjang UKS setelah ia mendengarkan suara yang cukup berisik keluar dari mulut Arsha. Emang nih Arsha, kalau udah cerewet susah banget buat di rem.

“Masih pusing?” Tanya Arsha kemudian, sembari membantu Kinara untuk bangun dan duduk di ranjang UKS.

Kinara menggeleng, “Ga pusing tapi sekarang mual.” Ujar nya jujur. Karena Kinara merasakan perutnya seperti di aduk saat ini.

“Mau muntah?” Tanya Arzhan dari samping kanan.

“Mual doang, ga sampe muntah.” Jawab Kinara lagi.

Arsha berkacak pinggang, “Lo tuh bandel banget perasaan. Lo pasti lemes hari ini gara-gara ga makan kan tadi pagi?” Tanya nya menuntut.

Arzhan terdiam, dirinya melihat reaksi Kinara yang hanya membisu di marahi oleh Arsha.

Sejujurnya Arzhan ingin berkata jujur, karena dia lah yang membuat Kinara tidak sarapan tadi pagi. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan hal itu.

“Tadi pagi ga laper gue. Jadi ga sarapan.”

Di luar dugaan, justru Kinara mengeluarkan jawaban yang terkesan melindungi Arzhan. Padahal Arzhan kira, Kinara mungkin akan mengadukan dirinya pada Arsha.

“Ya terus maksud lo, kalau lo ga laper lo ga makan gitu? Terus sekarang sakit gimana hah?!” Tanya Arsha lagi, makin kesal dengan jawaban Kinara.

“Udah Sa, gausah terlalu di marahin anaknya. Kasian.” Kata Arzhan kemudian, mencoba melindungi Kinara dari amukan Arsha ya walaupun itu telat banget.

“Gini nih yang buat si Kinara manja, salah aja di belain mulu.” Cibir Arsha lagi.

Adelio ikut duduk bersama Hansa yang menatap Anan dan Nada yang tengah asyik bercanda dari kejauhan.

“Gamon?” Tanya Adelio singkat.

Hansa yang kaget dengan kedatangan Adelio tiba-tiba, langsung mengelus dada nya. “Gamon apaan dah, jadian aja belum.”

“Ohh, gue gamon soalnya.” Ujar Adelio menanggapi Hansa.

Hansa menatap Adelio dengan bingung, ga mungkin Anan kan? Karena setahu dia Nada adalah saudara nya. “Lo pernah ngehomo sama Anan? Sekarang gamon? Gitu kah?”

Adelio tertawa terpingkal, “bukan Anan anjir, gila lu.” Ujar nya setelah tawa nya mereda.

“Terus sama siapa? Hah? Masa sih? Nada?” Tanya Hansa bertubi-tubi, tidak percaya.

Adelio mengangguk, “gue sama Nada kan saudara tiri Del. Dulu sebelum nyokap Nada dan bokap gue nikah, kita pacaran tau semasa SMP. Tiga tahun full, sebelum Nada pindah ke Malang.” Jelas Adelio kemudian, mengundang tatapan simpati dari Hansa.

“Gamon nya sampe sekarang? Udah berapa tahun Del?” Tanya Hansa langsung.

Adelio berfikir sejenak, mencoba menghitung. “Gatau, udah ada tujuh tahun kali ya.” Jawabnya tanpa beban.

Hansa menghela nafasnya berat, dia ga menyangka kalau orang yang duduk di sampingnya ini menanggung beban yang lebih berat dari dirinya.

“Tapi kayanya lo pinter banget ya nyembunyiin hal itu, lo bahkan dukung hubungan Anan dan Nada sampai sekarang.” Ucap Hansa memberikan apresiasi.

Adelio tersenyum tipis, “Sa, kadang lo harus tau, daun yang jatuh dari ranting pun, ga pernah membenci angin. Sama kaya gue, Anan bagi gue dia terlalu sempurna sampai gue rasa ga ada celah bagi gue buat benci hubungan dia dan Nada.” Jelas Adelio panjang lebar.


Pagi menyapa, sudah waktunya bagi rombongan Nada untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan selanjutnya mereka langsung dihadapkan dengan sebuah tanjakan yang bernama tanjakan cinta, intinya di tanjakan cinta ini tuh terdapat suatu anggapan bahwa ketika kita melewati tanjakan tersebut dengan menyebutkan atau memikirkan nama orang yang kita cintai tanpa melihat kebelakang, maka hubungan cinta tersebut dipercaya akan abadi untuk selama – lamanya.

Nada pengen nyobain hal itu, tapi kali ini dia ga bisa liat Anan di belakangnya atau mitos tentang melihat kebelakang akan membuat hubungan retak bakalan terjadi.

Ya mau gimana yah, orang gapake mitos gituan aja hubungan dia sama Anan udah mau udahan, apalagi di tambah mitos itu tadi.

Belum cukup rasa takjub Nada, begitu mereka sampai di atasnya Nada dapat melihat keindahan Ranu Kumbolo dari ketinggian dan melihat luasnya savana yang bernama Oro-Oro Ombo.

Dan Nada makin bersyukur karena mereka melakukan pendakian di bulan yang pas. Jadi mereka semua bisa menikmati rimbunan tanaman berwarna ungu yang mirip dengan bunga lavender.

![]()

Nah ga jauh dari track oro-oro ombo tadi, mereka sampai di Cemoro kandang. Adelio menjelaskan, kenapa di namakan Cemoro Kandang, karena sisi kiri dan kanan track yang di penuhi oleh pohon cemara lah yang menjadikan asal usul nama itu tadi.

Candra menghimbau yang lain untuk istrahat sejenak, sebelum melanjutkan ke perjalanan selanjutnya.

Nada yang lumayan iseng, akhirnya meninggalkan rombongan buat kenalan dengan pendaki yang lain. Punya pacar bukan berarti bisa menghentikan sifat alamiah Nada yang suka tebar pesona. Dia tau kalau dia cakep, makanya tiap lewat orang orang mah demen aja ngeliatinnya.

Perjalanan di lanjutkan ke Jambangan, dan kemudian akan di teruskan di daerah Kalimati dan Arcopodo yang memiliki jarak lumayan dekat yaitu 1,2km saja.

Nada beruntung karena bisa sampai di sana sebelum matahari tenggelam, hingga dirinya bisa melihat betapa gagahnya Mahameru yang akan ia daki nanti.

Tapi hati Nada sedikit ragu, melihat betapa curam nya puncak Mahameru tadi. Apa dirinya bisa mencapai puncak Mahameru? Gimana caranya supaya dia bisa mencapai puncak yang jalannya di penuhi oleh batu dan pasir?

Perjalanan pada pos terakhir sudah tercapai, kini Nada dan yang lainnya sudah sampai di pos Kalimati sebelum mereka akan melakukan summit attack nanti.

Buat kalian yang belum tau, summit attack itu adalah istilah yang digunakan oleh para pendaki dalam melakukan perjalanan menuju puncak.

Adelio sendiri bilang, Kali Mati itu tempat paling ideal untuk mereka beristirahat sejenak atau tempat bermalam sebelum mendaki ke puncak Mahameru.

Nada ingat betul, pada saat dilakukan briefing sebelum memulai pendakian, para pendaki sudah diberitahukan bahwa batas terakhir pendakian adalah pos Kali Mati.

“Pikirin balik, niat kalian mau gimana. Kalau emang beneran mau ke puncak, ayo. Tapi kalau emang ada keraguan, ya gausah di sini aja.” Ujar Adelio berbicara kepada semuanya. “Bisa pergi sampai puncak emang bonus, tapi tujuan awal kita mendaki gunung adalah pulang dengan selamat.” Sambung nya lagi.

Nada yang duduk tenang di antara Jerome dan Arwena, kembali memantapkan hatinya.

Candra yang sudah melihat tekad dari mata Nada, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. “Kita bangun tenda disini aja. Habis ini kita rundingan, siapa aja yang mau naik ke puncak dan siapa yang istirahat sampai sini.”


Nada menyiapkan tas ransel berukuran kecil, yang akan dia gunakan untuk membawa logistik yang di rasa penting. Seperti air minum, atau beberapa makanan ringan kalau memang di perlukan.

Yudha menghampiri Nada yang masih sibuk bersiap siap. “Adek beneran mau naik ke puncak?” Tanya Tiyo masih belum rela, karena dirinya tidak sanggup bila harus menemani Nada hingga ke puncak.

Nada tersenyum, “Masih ada kak Jerome, kak Delvin, sama bang Yudha yang temenin adek. Ada Haikal, Hermas, Adelio, sama Anan juga bang. Nada gapapa, mereka lebih dari cukup untuk jaga Nada kan?” Ujar Nada balik, berusaha menghibur kegundahan hati kakaknya itu.

Tiyo menatap Nada lekat. Dirinya harus lebih percaya lagi pada Nada, itu adalah kalimat yang sedari tadi ia gumam kan terus menerus.

Jonathan yang berada di tenda yang sama dengan Nada, hanya bisa menatap tekad adiknya itu dengan pasrah. “I just want to tell you love. Kita ga akan pernah bisa menaklukkan gunung, karena bukan gunung lah yang kita taklukan, tapi kita sendiri.”


Waktu berlalu cukup cepat bagi Nada, hingga akhirnya tepat pukul dua belas malam mereka melakukan summit attack.

Jalan yang begitu terjal menuju puncak sebelum batas vegetasi cukup menguras tenaga dan air minum yang tersedia, Anan sudah berulang kali memastikan Nada yang berada di depannya baik baik saja.

“Nad, kalau emang capek bilang aja. Kita istirahat.” Ujar Anan berulang kali juga mengingatkan.

Nada hanya membalas ucapan Anan dengan senyuman tipis, dan kembali berfokus pada track yang ada di depannya.

Waktu demi waktu berjalan sampailah mereka berdelapan di batas vegetasi. Semangat Nada timbul kembali begitu dirinya melihat antrian para pendaki yang tidak begitu panjang dengan cahaya headlamp.

Jam demi jam berlalu dengan begitu cepat, Adelio sudah memastikan dengan sedikitnya pendaki yang lain estimasi dari Kali Mati sampai Puncak Mahameru kurang lebih 5 sampai 6 Jam.

Hingga pada akhirnya terdapat suatu cekungan batu besar yang menghalangi pandangan Nada. Dan pada akhirnya, setelah perjuangan jalan berbatu juga pasir yang menyulitkan langkah mereka, sampailah Nada beserta ketujuh yang lainnya di Puncak Mahameru.

Terdapat rasa senang, gembira, terharu yang menjadi satu dan tidak akan menyangka bahwa Nada dapat mencapai puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa.

“Kak, bang...” Nada berbicara dengan tersendat, ingin menangis.

Delvin, Jerome, dan Yudha yang mengetahui hal itu langsung memeluk adik bungsunya dengan bahagia.

“Kamu hebat banget adek.” Bisik Yudha bangga.

Kemudian Nada mengambil duduk di samping Anan yang sudah siap menyambut mentari yang akan datang.

Memulai hari, dengan orang ia cintai. Nada tidak pernah sebersyukur ini dalam hidupnya.

“Nad, sebelum kesini bunda udah pesan sama aku untuk sampein hal ini ke kamu.” Kata Anan sembari menyisir rambut Nada yang tadi terkena pasir dengan pelan.

“Bunda? Bunda pesan apa?”

“Bunda bilang, gunung itu seperti Ibu, dia adalah tempat pelarian terbaik di saat diri kita sedang membutuhkan semangat baru. Keputusan kita buat kesini adalah hal yang tepat, karena kita juga butuh semangat baru untuk menyambut hidup yang akan terus datang.”

Nada meletakan banyak barang yang sudah dirinya beli dengan Anan dan Adelio untuk kepentingan pendakian nanti.

Iya, Adelio juga turut serta di pendakian kali ini, dan akan menjadi pemandu dengan Jerome nanti sesampainya di Semeru.

“Istirahat sayang, besok kita berangkat pagi.” Ujar Anan melihat Nada masih sigap memasukkan barang barang yang akan ia bawa.

Nada tersenyum, “habis ini Anan, aku mau masukin jaket mantel aku di tas.” Jawab Nada dan beranjak untuk mengambil jaketnya di dalam kamar.

Total yang ikut pada pendakian kali ini adalah lima belas orang. Kesepuluh saudara Nada, Nada sendiri, kemudian Anan, Adelio, Hansa, dan Jisel.

Jisel sudah menyiapkan semua barang nya bersama Hansa dan Hermas tadi. Saat ini anaknya tengah pergi lagi keluar dengan Hermas, gatau kemana.

Sedangkan Hansa tidur dan berbagi kamar bersama Haikal. Untuk Adelio dan Anan nanti, mungkin akan tidur bersama Jerome dan Hermas.

Nada kembali dari kamarnya lantai atas, menghampiri Anan dan Adelio yang masih sibuk mendata barang apa saja yang kurang dan perlu di bawa pada pendakian kali ini.

“Kok di masukin tas Nad?” tanya Adelio menghentikan pergerakan Nada untuk memasukkan jaket nya ke dalam tas.

“Lah, terus kalo ga gue masukin tas mau di taroh dimana?” tanya Nada balik, bingung.

“Pake aja Nad buat berangkat besok, di Semeru dingin banget. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya lo, pasti bakalan kena hipotermia nanti.” Sahut Delvin keluar dari kamarnya. “Bahkan kayanya lo harus pake jaket double deh.”

Delvin bahkan meminta izin untuk berlibur lima hari demi mewujudkan keinginan adiknya untuk mendaki gunung Semeru.

“Masa gue harus pake double? Nanti kalo gue gerah gimana??” Tanya Nada tidak percaya.

“Jaga jaga Nada, kita harus meminimalisir hal buruk yang akan terjadi. Apalagi kak Delvin dokter, dia paling tahu tentang kesehatan kamu kan?” Tanya Adelio balik, mendukung pernyataan Delvin.

“Ambil satu lagi jaketnya sayang, pakai jaket double atau kita sama sekali gak berangkat.” Ancam Anan kemudian.

Nada menghentakkan kakinya kesal, kemudian dirinya beranjak untuk kembali ke kamar mengambil jaket yang lain.

“Gausah panggil sayang ke Nada di depan gue.” Ujar Delvin sinis ke Anan. “Gue geli.” Sambung nya dan berlalu dari sana.


Perjalanan dari rumah di mulai dari jam empat pagi. Serius rasanya nyawa Nada belum kumpul waktu Jisel membangunkan dirinya dengan brutal sebelum masuk ke kamar mandi.

Adelio menyarankan untuk pergi jam empat pagi karena selain menghindari macet, juga meminimalisir waktu yang akan di tempuh di Semeru nanti.

Gunung Semeru yang letaknya secara administratif berada di antara Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, dengan ketinggian sekitar 3.676 mdpl (meter di atas permukaan laut) menjadikan gunung tersebut sebagai puncak gunung tertinggi yang ada di Pulau Jawa.

Kali ini Nada berada di dalam mobil yang sama dengan Anan, Yudha, Jeffery, Delvin, Jonathan, dan Haikal. Kadang Nada bingung, kenapa yang modelan nya manusia penuh emosi seperti mereka kecuali Anan harus berkumpul dengan dirinya gitu loh.

“Buset jaket lo double Nad?” Tanya Haikal menyadari tumpukan jaket yang kini tengah Nada gunakan.

Nada menganggukkan kepalanya malas, mengingat tadi Delvin dan Anan memaksa nya untuk memakai dua jaket sekaligus. “Iya, di Semeru dingin banget katanya.”

Yudha menganggukkan kepalanya mengerti, “Iya sih. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya lo, pasti bakalan kena hipotermia nanti.” Ucapnya kemudian, mengingatkan Nada pada kalimat Delvin semalam.

Titik pertama di tempuh kurang lebih hanya satu setengah jam menggunakan kendaraan pribadi ke pasar Tumpang. Sedikit informasi dari Adelio kemarin, bagi Nada dan yang lainnya yang berencana mendaki Gunung Semeru, untuk terlebih dahulu melakukan reservasi dan menyiapkan surat keterangan sehat.

Jerome yang tadi tidak berada satu mobil dengan Nada, langsung menghampiri Nada begitu dirinya keluar dari mobil.

“Baju kamu ga berat dek?” Tanya Jerome melihat Nada mengenakan dua jaket sekaligus.

“Iya, di Semeru dingin banget katanya.”

Jerome tersenyum kecil, “Ah iya bener. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya kamu, pasti bakalan ada kemungkinan kena hipotermia nanti.” Ujar Jerome setuju, dan menepuk kepala Nada pelan.

Nada kesel banget, udah berapa kali dirinya denger kata lemah, dan hipotermia dari kemaren? Emang itu kalimat slogan buat Semeru ya?

Jisel yang baru tiba dengan rombongan mobil Hermas juga ikut menghampiri Nada yang terduduk di kursi kayu titik pasar tumpang. Jisel menatap bingung Nada yang lebih diam dari biasanya.

Nada yang seolah mengerti tatapan Jisel, “Iya gue pake jaket double, soalnya disini dingin banget. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya gue, pasti bakalan kena hipotermia nanti.” Ujarnya jengkel.

“Yaudah sih, ngapa sewot banget coba.”


Selepas menunggu semua sudah berkumpul, dengan formasi Candra yang datang paling akhir, kemudian rombongan mereka bergegas untuk langsung menuju ke basecamp Ranupani untuk cek kesiapan dan melakukan briefing dengan menggunakan jeep.

Nah di basecamp Ranupani rombongan Nada diberikan briefing untuk melaksanakan dan mematuhi hal hal apa saja yang di perbolehkan, atau hal lain yang di larang keras untuk di lakukan. Peraturan yang di beritahukan tadi itu salah satu bentuk contoh suatu upaya untuk menjaga kelestarian alam dan juga menghormati masyarakat adat yang berada di sana ya gaes.

Setelah selesai melakukan briefing, Adelio menghimbau yang lainnya untuk melakukan crosscheck pada barang bawaan sebelum benar benar melakukan pendakian yang sebenarnya.

Setelah di rasa cukup, kemudian pukul tujuh pagi rombongan Nada berangkat dari basecamp Ranupani untuk melakukan pendakian.

Formasi hari ini di isi oleh Adelio di depan sebagai penunjuk jalan, kemudian di lanjutkan dengan Tiyo dan Yudha yang berada di belakangnya. Jisel dan Hermas, Hansa, Nada sendiri, dan Anan juga yang berada di belakang Nada. Kemudian Jerome yang berada di belakang Anan, di temani oleh Haikal dan Candra. Delvin, Arwena, Jeffery, dan Jonathan sebagai penutup formasi.

Sebenernya Jeffery tadi udah agak gak rela karena yang berada di depan Nada adalah Hansa. Kemudian Yudha juga sama begitu mengetahui yang berada di belakang Nada adalah Anan. Tapi berkat teguran yang datang dari Candra, keduanya hanya bisa pasrah dengan keputusan yang sudah di buat.

Dari informasi yang di berikan oleh Adelio tadi, rasanya Nada udah mau nangis aja. Soalnya untuk sampai ke titik pertama mereka bermalam di Ranu Kumbolo tuh harus melewati empat titik pos yang jarak waktunya kurang lebih enam jam.

“Belom mulai Nad, jangan ngeluh dulu.” Ingat Jisel yang bersemangat.

“Siapa yang kemaren sombong bener ngajakin ke sini? Nih liat sekarang udah ngeluh.” Cibir Delvin sinis.

“Gapapa kok dek, jarak tempuh waktu yang di sebutin Adelio tadi tuh nggak bisa dijadiin tolak ukur. Kan itu tergantung dari intensitas padatnya jalur dan terus stamina yang dimiliki oleh setiap orang di dalam suatu rombongan. Kita disini kuat semua, pasti bisa sampai lebih cepat.” Ujar Arwena panjang lebar, menenangkan kegundahan hati Nada.


Setelah menempuh menuju titik utama peristirahatan kurang lebih lima jam, beneran selama itu sampe Nada tadi udah mau pingsan. Rombongan mereka sampai juga di Ranu Kumbolo.

Rasa lelah yang dirasakan Nada dan yang lainnya setelah menempuh perjalanan panjang, seketika hilang karena melihat pemandangan indah yang disuguhkan Ranu Kumbolo yang dapat terlihat dari tepi danau.

Di Ranu Kumbolo sendiri ternyata sudah banyak sekali tenda berdiri yang bisa Nada lihat. Belom lagi, ternyata tenda lain yang lebih banyak ada di dekat tanjakan cinta disisi satunya lagi.

Hawa dingin langsung terasa menusuk hingga ke tulang. Nada beruntung dia dengerin ucapan Delvin untuk pakai dua jaket sekaligus. Kalau enggak, udah lah dia gatau mau gimana lagi.

Beberapa yang lainnya langsung mendirikan tenda. Nada ga ikut membantu, dia tau diri dikit lah ya. Walaupun dia mantan anak pramuka, tetap aja dia ga selihai Anan dan Haikal, atau kaya Adelio yang udah khatam tentang membangun tenda. Nada justru khawatir malah jadi perusuh karena dia ga tahu apa-apa tentang tenda.

Nada duduk dan memandang danau di depannya dengan takjub. Banyak hal indah yang di ciptakan oleh Tuhan, dan ini hanyalah salah satunya, dan Nada sudah cukup terkesima dengan hal itu.

Delvin menghampiri Nada yang masih memandang matahari tenggelam dan danau yang ada di depannya. “Laper dek?” Tanya Delvin kemudian.

Nada tersenyum, menyambut kedatangan Delvin. “Enggak begitu kak, cuma capek dikit aja kaki gue.” Jawab Nada jujur.

Delvin mengerti, dan mengambil kaki Nada untuk dirinya pijat.

Nada terkejut dengan perlakuan Delvin, “eh kenapa kak? Jangan ih, lo kan juga cape tadi bawa tas carrier.” Ujar Nada menolak, dan berusaha menjauhkan kakinya dari jangkauan tangan Delvin.

“Secapek nya gue, rasa sayang gue ke lo bisa mengatasi hal itu. Gue ga suka liat lo sakit atau merasa ga nyaman Nad, sebisa mungkin apapun yang bisa gue lakukan buat comfort lo, bakalan gue lakuin.” Ucap Delvin menghangatkan hati Nada.

Nada memeluk lengan Delvin dari samping, “lo ga perlu sampe segitunya kak. Dengan lo ada disini, nemenin gue ketika lagi capek itu lebih dari cukup kok.” Kata Nada kemudian, membuat seulas senyum tulus muncul dari wajah Delvin.

Delvin mendengus geli, “Gue kira dulu punya adek lagi bakalan ngerepotin, ngeliat tingkah laku Haikal sama Hermas yang bikin kepala gue pusing, eh malah ketambahan lo yang tingkahnya jauh lebih parah dari mereka berdua.” Ujar Delvin kemudian, “tapi gue rasa, hal kaya gini justru bikin gue tambah hidup Nad. Makasih udah jadi adek gue. Baik dulu, sekarang atau pun nanti. Makasih Nad, gue sayang lo.”

“Sekarang kenapa lagi?” Tanya Keenan sembari membawakan Nada bantal untuk tidur di sofa ruang tamu.

Asli Keenan kaget banget begitu Nada datang. Dia ga expect kalau itu adalah Nada, mengingat hari sudah larut malam. Jadi dirinya fikir yang datang adalah ayah atau kak Adit yang selesai dengan urusan di kampus.

Nada tidak menjawab pertanyaan Keenan, dan sibuk melihat banyaknya chat yang masuk di ponselnya.

“Tidur sini?” Tanya Keenan lagi.

Nada mengangguk, “iya tidur sini.”

“Sampe kapan?” Tanya Keenan masih belum puas.

“Gatau, sampe apa yang gue pengen tercapai.” Ujar Nada singkat.

Keenan menggelengkan kepalanya pusing. Banyak hal yang membuat dirinya gagal paham dengan kakak nya itu. Terutama sifat egoisnya yang lumayan menguasai dirinya. Tapi kembali lagi, apapun keputusan Nada saat ini Keenan bukanlah orang yang tepat untuk memberikan wejangan.

Satu pesan masuk melalui ponsel Keenan, ada Haikal di situ yang memberikan satu link zoom untuk dirinya ikuti.

Keenan ingin tertawa begitu dirinya melihat Hermas, Jonathan, dan Jerome menatap dirinya dengan bingung.

“Loh Keenan, kakak kira yang masuk kak Nada.” ucap Jerome dari seberang layar.

Keenan tersenyum tipis, dan mengarahkan kamera laptopnya pada Nada yang kini acuh dan bermain ponsel sembari rebahan di atas sofa.

“Itu kak Nada nya, bang Jerome.” Ucap Keenan singkat.

“Kasih Nada.” Kata Hermas kemudian.

Keenan mengiyakan ucapan Hermas, dan menaruh laptopnya di hadapan Nada. Nada menatap laptop di depannya dengan malas, menyuruh Keenan untuk mengambil kembali.

Keenan menolak, “Kak, selesain dulu lah. Di bicarakan baik baik oke.”

“Keenan aja yang lebih muda, lebih pengertian daripada lo Nad.” Cibir Hermas dari seberang.

Nada menatap layar di depannya dengan malas. Kemudian dirinya mengambil posisi duduk di bawah, dan meletakkan laptop pada meja semula. Tidak lupa juga, Nada meminta secarik kertas dan juga pulpen untuk dirinya tuliskan sesuatu.

Keenan ikut menonton apa yang akan Nada lakukan sekarang. Dapat dengan jelas Keenan lihat, Nada tengah menuliskan kalimat berisikan “Gue ga mau pulang kalau pada gamau di ajakin naik ke puncak gunung Semeru.”

Segera setelah Nada selesai menuliskan kalimat itu, dirinya mengangkat kertas nya lalu melihatkan kalimat di kertas itu kepada tiga saudaranya yang masih terhubung pada zoom.

Belum selesai keterkejutan ketiga saudaranya, Nada menekan tombol keluar dari meeting dan mematikan zoom, kemudian menyerahkan laptop nya kembali pada Keenan.

“Gue mau ke kamar dek, kalau yang lain hubungin lo gausah di angkat, atau bilang aja gue tidur ya.” Ujar Nada kemudian dan pergi dari sana.

Anan melangkahkan kakinya dengan lebar menuju gedung FKO. Penjelasan Haikal pagi tadi cukup membuat darahnya mendidih, belum lagi di perkuat bukti dari Sylvia yang jujur padanya tadi malam. Tidak ada yang bisa dia maafkan jika sudah mengusik Nada.

Yohan yang masih duduk berdiskusi dengan Aldeo di ruang kelas tidak tahu menahu langsung merasakan pukulan keras di pipi kirinya dari Anan.

“WOI ANJING, PEGANGIN GOBLOK!!” Teriak Haikal dari belakang, karena tertinggal ketika mengejar Anan tadi.

Aldeo dengan sigap menekuk kedua mangan Anan ke belakang agar kejadian yang barusan tidak terjadi lagi.

Haikal terengah engah berlari menuju samping Anan, dan ikut memegang kendali tubuh Anan yang masih meronta.

Yang lainnya juga datang menyusul. Beruntung karena ini masih pagi, tidak banyak mahasiswa yang datang hingga Adelio segera menutup pintu kelas dengan rapat, menghindari seseorang menonton konflik internal yang tengah terjadi pada teman temannya secara langsung.

“LO KALAU ADA MASALAH SAMA GUE, NGOMONG ANJING! JANGAN MALAH GANGGUIN NADA!” teriak Anan menggelegar.

Haikal hanya bisa menutup matanya pasrah dengan amukan Anan. Dirinya mengkode dari kedipan matanya pada Hengky, untuk menghubungi Nada. Yang bisa membuat Anan berhenti hanya Nada seorang, dan Haikal tau betul tentang hal itu.

Yohan kembali berdiri, dan masih memegang pipi nya yang sakit. Dinan sudah berdiri di samping Yohan untuk ikut mengamankan sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.

“Gue bukan ga suka sama lo anjing.” Ucap Yohan kemudian penuh penekanan. “Gue suka sama Nada, tapi enggak dengan hubungan kalian.” Sambungnya lagi. “Lo udah ambil Nada, apa salahnya kalo Keira buat gue?! Lo maruk bangsat!!”

Anan kembali meronta ke depan, hendak memukul Yohan lagi. “DIA NADA, NADA CAROLINE. BUKAN KEIRA ABIGAIL. LO COMPARE KEDUANYA DEMI KERIBUTAN GUE DAN NADA?! LO GATAU GIMANA RASANYA DI CAP SEBAGAI PENGGANTI ANJING!!”

Hermas memandangi pemandangan di depannya dalam diam. Dia sudah tahu, kalau masalah yang lalu pasti masih belum usai dan mungkin ini adalah puncaknya.

Entah dari kapan, Hermas melihat kalau apa yang di rasakan oleh Yohan pada Nada sama kuatnya dengan yang Anan rasakan pada Nada. Hingga mungkin rasa itu berubah menjadi obsesi, dan Yohan melakukan segalanya untuk itu.

Enggak, ini serius. Semasa SMA, Yohan adalah teman Hermas. Dirinya tahu betul kalau sebenarnya Yohan sudah suka pada Nada sejak pertama kali pertemuan mereka usai Nada menghilang karena di tinggalkan Jeffery di mall.

Yohan menghargai keadaan Hermas saat itu, dimana dirinya belum dekat dengan Nada. Hingga pada akhirnya, ia tidak pernah mendapatkan kesempatan secara langsung untuk sekedar meminta nomor Nada.

Pada akhirnya Yohan tetap kalah dengan Anan, karena walaupun dirinya bertemu lebih dulu dengan Nada, pilihan Nada tetap pada Anan yang datang kemudian.

Hermas tersenyum, if we don't get lost at least once, we wont find answer to our questions right? harusnya teman temannya yang lain melepaskan keduanya dan membiarkannya untuk menyelesaikan masalah walaupun dengan perkelahian. Karena hanya itu yang bisa mereka lakukan, daripada menahan keduanya dan beradu cekcok seperti ini hingga tidak menemukan penyelesaian.

Hermas kemudian berjalan mendekati Anan dan Yohan. “Kalian berdua kalau mau berantem, berantem aja.” Ucapnya membuat Haikal yang tengah memegang lengan Anan melotot kesal.

“Ngomong oposi bocah jancok iki?” Sahut Haikal tidak percaya dengan usul saudaranya.

Hermas tersenyum kecil, “Mau ditanyain ke 1000 orang sekalipun Nan, Yohan ga akan nemuin jawaban dari permasalahan dia.” Ujar Hermas kemudian, menepuk pundak Anan pelan dan melepaskan cengkraman Dinan dan Haikal pada lengan Anan. “Karena pada dasarnya Yohan tuh nggak lagi cari jawaban. Dia cuma cari dukungan atas jawaban yg udah dia pegang sendiri. Lo tau dengan pasti kan Nan? Golongan orang-orang lemah yg enggak percaya diri karena gagal meyakinkan hati kecilnya sendiri.” Lanjut Hermas panjang lebar, membuat dada Yohan naik turun karena terbakar api amarah.

“ANJING LO!!” Yohan berteriak keras dan maju hendak memukul Hermas.

Anan menghadang jalan Yohan, dan kemudian perkelahian terjadi sesuai dengan apa yang Hermas inginkan. Dirinya menahan teman temannya yang lain agar tidak memisahkan keduanya. Mereka berdua butuh bicara satu sama lain, dan perkelahian adalah bahasa nya.

Haikal menatap ngeri ke arah saudara kembarnya, dia emang suka sama keributan, tapi bukan keributan yang brutal kaya gini.

“Nan, itu Nada dateng Nan. Ayo lah udah, jangan gini.” bujuk Adelio kemudian, dengan perlahan ia mencoba menarik tangan Anan yang masih dengan keras memukul Yohan yang tidak melawan. Tetapi di luar dugaan, justru Anan menepis kasar tangan Adelio.

Pintu kelas terbuka dengan kasar, Nada berteriak melihat pertengkaran yang terjadi antara Yohan dan Anan.

“ANAN, KALO MUKA GANTENG KAMU SAMPE BONYOK DAN JELEK, AKU BAKALAN PACARAN SAMA BINBIN!!” ancam Nada yang baru sampai di sana dengan Binbin.

“HEH YOK OPO AKU KOK DI ELOK ELOK NE? BARIKI SENG BONYOK RAINE YO AKU TO NAD LEK NGUNU CARANE?!” teriak Binbin frustasi, karena Nada tiba-tiba membawa dirinya. (Heh, apa maksud nya kok gue jadi di bawa bawa? Abis ini yang bonyok mukanya bakalan gue dong Nad, kalau gitu caranya?!)

Dinan membekap mulut Binbin cepat, mencoba meminimalisir hal apa yang akan di katakan Binbin kedepannya. “Udah diem, tuh liat Anan langsung berhenti.” bisik Dinan kemudian.

Haikal mendorong Hermas dengan brutal untuk memasuki rumah Keira yang saat ini tengah mereka datangi. Sudah sepuluh menit sejak mereka berdebat, dan pada akhirnya Hermas mengalah pada Haikal dan menurunkan egonya untuk mengetuk pintu masuk.

Keenan membuka pintu perlahan, terkejut dengan kehadiran Haikal dan Hermas di rumah mereka. “Kak Haikal, kak Hermas.” ucapnya pelan.

Haikal menggaruk tengkuknya tidak gatal, “Halo Keenan, Nada ada disini kan?” tanya Haikal dengan senyum canggung.

“Iya, di kamarnya. Ayo Keenan anterin.” Ujar Keenan perlahan, dan kemudian menyuruh Haikal Hermas masuk dan menuntunnya menuju kamar yang selama ini Nada tempati.

Haikal menggeleng tidak percaya, Nada masih sempat untuk mengulik jurnal nya dengan santai.

“Anan nyari lo kaya orang stress, lo nya sendiri santai banget ya baca jurnal disini.” Cibir Haikal dan berjalan mendekati kasur Nada.

“Salah Anan, Kal. Hubungan butuh yang namanya komunikasi, dan Anan ga ngasih itu buat Nada.”

Nada nyengir, seneng di belain Hermas.

“Belain aja terus, lo ga liat Anan kaya mayat idup bingung cariin Nada.” Ujar Haikal lagi ketus.

“Lo kalo kesini berniat buat mood gue jelek, mending pulang aja. Biar Hermas aja sama gue.” Ujar Nada tidak suka.

“Yaudah katanya mau cerita tadi, cerita apa?” tanya Haikal kemudian, setelah selesai mengutarakan kekesalan nya.

Nada menyerahkan ponsel nya pada Haikal, “ada yang provokasi hubungan gue sama Anan. Lo tau gue bukan orang yang gampang terpancing sama ginian, tapi entah kenapa gue emang berasa relate sama ketikan dia.” Jelas Nada panjang lebar.

Haikal menerima ponsel Nada dengan penasaran, pesan provokasi seperti apa yang bisa membuat seorang Nada bisa lemah.

Hermas ikut penasaran dan berdiri di samping Haikal untuk turut melihat.

“Wah ini mah bener semua Nad, gimana lagi?” Ujar Haikal begitu melihat chat pertama dari anonim.

“Anjing, pergi lu!” Amuk Nada.

“Hahahahaha, maaf maaf. Lagian kalo kata gue dia terlalu ikut campur dan sotoy banget dah. Kaya yang paling tau sama hubungan lo sama Anan.” Kata Haikal setelah tawanya reda.

“Kenapa kalimat dia selalu intens ya? Dia bahkan tau lo lagi nungguin Anan pulang, atau Anan lagi kerja kelompok.” Ujar Hermas ikut menambahi. “Dia orang yang kita kenal.”

“Gue juga mikir gitu, tapi masalahnya disini siapa yang ga suka sama hubungan gue dan Anan, Her? Sampe dia segitunya mau rusak hubungan gue.” Ujar Nada tidak mengerti.

Haikal berfikir sejenak, “gue tau. Pasti ini ulah si brengsek Yohan.”

Satu pop up muncul dari ponsel Nada, membuat ketiganya menarik nafas diam dan saling berpandangan satu sama lain.

Nada melihat penampilan Haikal dari bawah ke atas. Seriusan ni anak kaya gembel beneran, di tambah dengan rambutnya yang acak acakan. Tadinya sih Nada emang mau ngatain, tapi dia tahan karena dia ga ingin tambah merusak mood Haikal yang memang sudah buruk.

“Gue aja yang nyetir?” tanya Nada begitu menghampiri Haikal yang berdiri menunggunya kurang lebih sejak lima menit tadi.

Haikal menggeleng, “gue aja yang nyetir.” putusnya langsung, dan mau tidak mau Nada menurutinya dan bergerak naik menuju kursi penumpang samping kemudi.


Pada akhirnya Haikal mengajak Nada untuk sekedar bercerita dan beristirahat di cafe angkringan dekat kampus.

“Gimana Kal? Lo kenapa hmm?” tanya Nada lembut, di liat dari wajahnya Haikal emang ni anak emang kayanya lagi banyak masalah banget.

“Tadi Kayla ngehampirin gue.”

Nada sudah menduga, hasil galau Haikal kali ini pasti tidak jauh dari Kayla. Gebetan yang tidak bisa dia lepas sejak jaman SMA dulu.

“Kenapa anaknya ngehampirin lo?” tanya Nada kemudian.

“Dia marah, karena gue gaet adek tingkat yang deket sama dia, dan cuma gue buat mainan.” lanjut Haikal kemudian.

Nada menggelengkan kepalanya, “Brengsek lo belom berhenti juga ya ternyata dari dulu.” ujar Nada tidak percaya.

“Dengerin dulu ih.”

“Iya, maaf. Lanjutin dah lanjutin.”

Haikal melanjutkan ceritanya, “Gue sempat debat sama Kayla, gue bilang jangan campuri urusan gue. Siapapun yang gue deketin itu bukan urusan dia sama sekali.” Nada mengangguk setuju. “Dan tiba-tiba Kayla bilang, kalau gue jangan sampe jadi brengsek kaya gini. Gue beda banget sama gue di SMA dulu. Padahal gue juga jadi kaya gini karena siapa anjing?!!” sambung Haikal lagi emosi.

Nada mengelus pundak belakang Haikal dengan lembut. Anaknya sekarang lagi emosi, jadinya dia ga bisa berkata banyak saat ini. “Kal, Kayla yang bilang kaya gitu ga salah. Tapi gue juga tau betul, gimana hubungan Kayla dengan Ren. Mungkin emang sekarang kayanya waktu yang tepat buat lo untuk berhenti mengharap bayang bayang Kayla yang mungkin bisa balik lagi ke lo.” Ujar Nada hati-hati dan penuh penekanan. “Toh pada akhirnya semua juga sama sama pergi kan? Cuma bedanya, Kayla emang ga bisa jadi milik lo. Itu aja.” Lanjutnya lagi, merasakan atmosfir panas sudah mereda di sekitar Haikal.

Haikal menunduk lesu, dirinya menyerap segala nasehat dari Nada dalam diam. Apa yang di katakan Nada ada benarnya. Mungkin sekarang Haikal sudah harus mulai berfikir terbuka. Kayla memang cantik, baik, dan luar biasa sempurna untuk dirinya yang sederhana. Tapi ia harus mulai menghilangkan rasa egoisnya, agar Kayla bisa bahagia meski bukan dia yang menjadi alasannya.

Lagu dari Nidji-Hapus Aku bergema di seluruh penjuru cafe. Hal ini cukup menyita atensi Haikal yang sedari tadi hanya terdiam dan menunduk pada tempatnya.

Buang semua puisi antara kita berdua Kau bunuh dia, sesuatu yang kusebut itu cinta

Yakinkan aku, Tuhan, dia bukan milikku Biarkan waktu, waktu Hapus aku Sadarkan aku, Tuhan, dia bukan milikku Biarkan waktu, waktu Hapus aku

“Nad, kira-kira Giring Nidji waktu ciptain lagu ini ngerasain rasa sakit kaya apa ya. Sampe minta di yakinin sama Tuhan?” Ucap Haikal bermonolog.

Nada tersenyum kecil, “Mungkin dia udah minta yakin sama Tuhan, tapi tetap berharap. Intinya sama kaya yang lo rasain sekarang, mati satu tumbuh seribu, tapi mengapa seribu yang datang tetep tidak bisa menggantikan satu yang hilang?”

Haikal terdiam membisu.

Nada menoleh dengan khawatir pintu masuk untuk ke taman belakang. Beneran takut kalo semisal Yudha, Hermas, dan Jonathan lempar petasan ke arah diri nya dan Anan.

“Kenapa hei?” tanya Anan lembut, menyentuh lengan Nada.

Nada menggeleng, dia ga mungkin terang terangan kan bilang kalau saudaranya yang lain pengen Anan cepet pulang. “Ga ada, berasa lagi di awasin aja.”

Anan ikut menoleh ke arah pintu. “Gak apa, aku udah izin papa kamu buat nemenin kamu lebih lama kok.” ujar Anan menenangkan.

Jadi sehabis rapat panjang tadi, Nada di bawa oleh Anan ke taman belakang. Sedangkan papa dan mamanya masih melanjutkan sesi maaf maafan. Dan Anan rasa, itu hal yang terbaik yang bisa dia lakukan saat ini.

“Nanti pasti bengkak lagi.” kata Anan sembari menyentuh kelopak Nada yang sembab sehabis menangis.

Nada terkesiap merasakan sentuhan jari tangan Anan yang di dingin di matanya. “Gak papa, banyak yang jagain aku disini.” jawab Nada dan ikut menyentuh tangan dingin Anan.

Kemudian, Nada di kagetkan dengan runtunan pop up notifikasi yang muncul dari jendela layar ponselnya,

Nada mendelik kan matanya tidak percaya. Dengan segera dirinya melepaskan tangan Anan, dan kemudian menyisir seluruh sudut taman.

“Orang gila, di intipin beneran gue.” Gumam nya pelan, masih terdengar Anan.

Anan tertawa kecil, “Sayangnya mereka tulus sayang, itu bukan hal yang patut buat kamu kesal. Itu udah jadi tugas aku nanti, buat yakinin mereka kalau aku memang pantas buat kamu.” Ujarnya kemudian setelah melihat notifikasi dari ponsel Nada.

“Sayang?”

“Iya sayang?”

“Enggak, maksud gue lo tadi, LOH?! LO KOK MANGGIL SAYANG LAGI BARUSAN?! SENGAJA BANGET BIKIN HATI GUE GONJANG GANJING!!”

Anan tertawa lepas. Banyak hal yang dia ketahui dari cinta. Bundanya selalu menasehatinya, kalau jatuh cinta nanti, bahagianya akan sama dengan sedihnya. Tapi ketawanya akan lebih kecil daripada menangis nya. Dan Anan sudah melewati hal itu jauh lebih berat dari apa yang bisa di bayangkan.

“Nad, do you know who is more beautiful than you?” tanya Anan lagi pada Nada setelah tawanya reda.

Nada menolehkan kepalanya yang tengah memandang asik bintang ke arah Anan, “Ga ada” jawab Nada ketus, karena dia ga mau pujian Anan untuk wanita lain keluar dari mulutnya.

“That's right, no one.” jawab Anan dan kembali memfokuskan tangannya untuk mengusap lembut rambut Nada.

“ANAN UDAH ANJING, GUE SALTING BUSET.” rengek Nada kalang kabut. Sialan, dia yang biasanya godain orang sekarang malah di jadiin bulan bulanan sama Anan.

Kadang Anan berfikir, bukankah cantik itu relatif? tapi kok di Nada jadi mutlak? Tapi kemudian dirinya sadar, Nada is one of the beautiful things that earth has.

Anan juga menyadari penuh perasaannya sekarang. Tidak ada lagi bimbang di hatinya pada Nada. Karena sejatinya, pada saat itu bukan masih ada sisa rasa, tapi semua rasa itu masih dan tetap sama seperti di awal bertemu.

Nada melangkahkan kakinya dengan ragu, memasuki rumah yang ia sempat tinggalkan selama kurang lebih tiga tahun itu.

Anan yang merasakan keraguan Nada, dirinya langsung menggenggam tangan Nada dengan lembut, dan meyakinkan kalau tidak akan terjadi hal yang buruk sehabis ini.

“Kita kabur lagi aja apa ya Nan?” bisik Nada takut, masih mencegah Anan yang hendak mengetuk pintu masuk.

Anan menggeleng, “Kamu bilang mau coba untuk hadapi ini kan Nad. Ayo kita masuk, aku percaya sama kamu.” ujar Anan.

Nada kembali memegang tangan Anan yang hendak mengetuk pintu masuk, “Jangan di ketok ih, kita langsung masuk aja. Lagian ini juga rumah aku. Kok kesannya kaku banget kaya tamu.” Anan tersenyum dan mempersilahkan Nada untuk memegang gagang pintu masuk.

“I'm home.”

Ganti orang orang di ruang tamu yang kaget, usai kemunculan Nada. Semuanya sudah berkumpul di ruang keluarga rupanya. Bahkan Papa dan Mama memutuskan untuk pulang lebih awal setelah mendengar kabar kehilangan Nada.

“Lo kemana aja sih anjir?!” ucap Delvin berdiri, sembari berjalan tergesa ke arah Nada. Nada yang merasa terancam, kaya mau di terkam Delvin langsung berniat sembunyi di balik dada bidang Anan, sebelum dirinya masuk ke dalam pelukan hangat Delvin. “Jangan kabur kaburan lagi Nada, gue khawatir.” ujar Delvin kemudian, memeluk Nada erat.

Anan tersenyum, kemudian melepas genggamannya dengan lembut sebelum dirinya pergi ke sisi kiri ruang tamu untuk berkumpul bersama Hermas dan Haikal. Memberikan waktu untuk Nada dan saudaranya yang lain saling bertegur sapa.

“Abis ini bantu gue.” bisik Haikal dari samping.

“Bantu apa?” tanya Anan tidak mengerti.

“Bantu gebukin Adelio.”

Anan menoleh ke arah Hermas, Hermas sendiri hanya menggelengkan kepalanya tidak ingin ikut campur.


Sejak kapan ya terakhir kali Nada melihat mama dan papa nya bisa duduk saling berhadapan seperti ini.

Ya duduk doang, ga bareng kaya dulu. Soalnya di samping papa ada mama Rima, dan di samping mama ada om Adimas. Sedih bener kalo di pikir, meet up tapi bawa ayang sendiri sendiri.

Nada sendiri kini duduk anteng di tengah Jeffery dan Adit. Anaknya juga kaget, kanapa Ayah, mas Bima, mbak Tiara, kak Adit, dan juga Keenan bisa menyusul hingga ke sini. Usut punya usut, ternyata memang papa yang menyuruh mereka untuk kesini, untuk menjelaskan awal mula permasalahan terjadi.

Mama Salsa terus terusan memandangi Nada yang kini merasa kecil di antara Jeffery dan Adit. Merasa adiknya terintimidasi, Candra sebagai kaka tertua berusaha untuk mengalihkan perhatian Salsa.

“Tante sekeluarga gimana kabarnya? Sehat?” tanya Candra dan menyunggingkan senyum tipisnya.

Mau tidak mau, Salsa yang melihat sikap sopan Candra harus membalaskan dengan sopan juga. “Iya, sehat.” jawabnya singkat.

“Orang jahat emang jarang sakit sih.” bisik Haikal pada Adelio yang berdiri di sampingnya.

Adelio hanya tertawa kecil, dirinya tahu seberapa benci Haikal pada ibunda kandung Nada itu sekarang.

“Sekarang mau kamu gimana Salsa? Mau kamu sembunyikan seperti apapun lagi, sifat busuk mu itu dari dulu tidak pernah berubah ya.” ujar Fero tidak tahan. Rima yang berada di sampingnya hanya bisa menepuk pundak suaminya dengan lembut.

Salsa melengos sombong. “Kalau itu sikap busuk, lebih busuk mana dengan sikap mu yang memonopoli Nada, dan mendoktrin nya untuk membenci ibu kandungnya sendiri?”

Asli, Haikal udah mau terbang ke hadapan Salsa terus teriak depan muka nya. “Lo bacot banget anjing.”

Tapi itu dia tahan, karena yang lebih berhak mengatakan hal itu adalah Nada yang kini melihat semuanya dengan mata sinis.

“Mama, ga pernah berubah ya.” ucap Nada, menimbrung percakapan. “Kenapa ego dan gengsi mama ga pernah turun?” sambungnya lagi muak. Yang lain hanya terdiam melihat Nada yang sepertinya mulai lepas kendali.

Jeffery memeluk pinggang Nada, berjaga jaga jikalau adiknya itu akan meloncat dan terbang mencakar ibunda kandungnya.

“Kamu ga tau, seberapa besar usaha mama untuk mendekati kamu Nada. Sedangkan kamu hanya terus menempel pada papa mu tanpa perlu repot menoleh ke arah mama.” ujar Salsa lagi, memberikan pembelaan diri.

“Mama berusaha mendekati Nada? Nyatanya Nada sama sekali ga merasakan hal itu ada Ma! Sehabis pernikahan papa dengan mama Rima, mama malah buru-buru tuh pulang tanpa menghiraukan Nada lagi. Padahal saat itu, mama tahu betul keadaan Nada lagi ga baik baik aja.”

Tiyo terkesiap, dirinya ingat betul ketika Nada kehilangan kesadarannya pada saat pesta pernikahan kedua orang tua nya. Ternyata itu bermula dari pertemuan antara Nada dan ibunya.

Salsa hanya bisa bungkam, tidak memberikan alasan apapun lagi kali ini. Dirinya sudah terlalu bingung, karena banyak pembelaan yang memang sengaja dirinya buat buat supaya ia tidak terlalu bersalah.

“Mama ga tau, seberapa hancurnya kak Delvin waktu tahu aku hilang ma. Haikal cerita banyak ke Nada, kak Delvin bahkan terus terusan menghukum diri dia sendiri karena udah ninggalin Nada saat itu. Atau mama juga ga tau, betapa menderitanya papa saat tau dirinya gagal jaga Nada. Mama harusnya tau kan, ujian paling berat orang tua adalah ketika anaknya pergi. Tapi kenapa mama bisa setega itu nyembunyiin Nada di ayah, dan bikin papa jauh lebih menderita demi memuaskan ego mama?” ucap Nada panjang lebar, menahan tangis yang mungkin akan meledak sewaktu-waktu.

“Mama udah menghancurkan hidup banyak orang. Dan itu jauh lebih jahat daripada ketidakadilan yang selama ini mama dapatkan. Mama bahkan memanfaatkan orang yang tulus dan bersih seperti mbak Tiara untuk ikut andil di rencana mama? Mama pikir hal sebesar itu bisa di tanggung mbak Tiara? Mama ga tau, mama itu membebani banyak orang hanya untuk kesenangan mama sendiri!”

Salsa tidak tahan, dirinya kini berlutut di hadapan anak tunggalnya itu. “Mama salah Nada. Mama mengakui hal itu, dan mama akan berusaha untuk merenungi kesalahan mama ini untuk kedepannya. Mama di butakan oleh ego mama sendiri, karena mama juga tidak bisa membendung rasa kebencian yang besar karena kehilangan kamu. Mama minta maaf Nada, banyak minta maaf yang bisa mama ucapkan sekarang tapi belum tentu bisa menyembuhkan hati banyak orang yang sudah mama buat terluka. Mama minta maaf.”

Delvin menolehkan kepalanya pada Nada, adik yang sangat ia sayangi. Selama ini, dirinya tidak tahu kalau sumber segala kesakitan nya adalah ibunda kandung dari adiknya sendiri. Tapi mengetahui hal itu sekarang, hatinya jadi gamang dan abu-abu. Di sisi lain dirinya juga iba melihat wanita itu berlutut dengan tangisan yang masih keras.

Delvin pada akhirnya menghampiri Nada, mencoba untuk menenangkan hati adiknya itu. “Nada, dia nyokap lo. Dia yang lahirin lo. Seburuk apapun perlakuan dia di masa lalu, dia tetap ibu lo. Ga ada yang baik dari menyimpan dendam Nad.”

Nada menoleh dengan air mata yang masih bercucuran. “Kenapa lo bisa semudah itu memaafkan kak? Padahal kakak tau, dia alasan utama rasa sakit kakak.”

Arwena ikut menengahi, “Dengan memaafkan, emang itu ga mengubah masa lalu Nad. Tapi setidaknya lo bisa berbuat lebih baik untuk masa depan.”

“Semua orang pasti juga pernah melakukan kesalahan dek.” ujar Candra juga. “Termasuk kita juga. Mereka yang melakukan kesalahan di masa lalu, bukan berarti mereka ga bisa melakukan kebaikan di masa kini dan depan kan?” sambungnya lagi.

Pada akhirnya Nada mengalah, dirinya juga bukan pribadi yang pendendam. Apalagi dengan orang yang telah melahirkan dirinya.

Nada merangkul Salsa untuk berdiri dari posisi berlutut nya, dan kemudian memeluk ibunda nya itu dengan erat. Seberapa keras dirinya menolak, pada akhirnya dia juga tetap tidak tega. Apalagi setelah mendengar penuturan dari Wena dan juga Candra.

Nada percaya, setiap manusia punya hati dan keinginan untuk menjadi lebih baik. Dan yang membedakan ialah upaya, jalan dan proses untuk menjalaninya.