JC Halcyon

Kinara turun dari motor ojek online tadi dengan lemas. Kayanya dia beneran mabuk kendaraan deh.

Dengan langkah perlahan, dirinya membuka gerbang rumah dan masuk dengan hati-hati supaya rasa mual pada perutnya tidak semakin menjadi.

Nabil yang memang sudah berada di rumah sedari tadi, memperhatikan adik bungsu nya yang baru tiba dengan bingung.

“Kenapa lu?” tanya nya penasaran, dan mendekat untuk memastikan kondisi Kinara.

“Mual doang gue kak. Ternyata lo udah balik duluan ya.” ujar Kinara kemudian, dan duduk pada sofa ruang tamu.

“Sorry, gue tadi ga buka grup jadi gatau kalo lo mau bareng waktu balik.” kata Nabil meneruskan.

Ganti Kinara yang bingung, “gausah, biasanya juga ga gitu kok.” sahutnya langsung, menghindari canggung.

“Yaudah, lo masih mual?” tanya Nabil kemudian. “Gue ambilin air putih atau lo langsung ke kamar aja?” sambungnya kemudian.

Sebenernya pun kalo ngomong langsung kaya gini, Nabil bukannya galak galak amat. Cuma kalau udah di chat, tingkat nyebelin dia tuh langsung naik beberapa persen dan selalu bikin Kinara geleng geleng kepala.

“Gue langsung ke kamar aja kak. Makasih atas tawaran nya tadi.” ujar Kinara kemudian, dan beranjak meninggalkan Nabil yang masih duduk di sofa ruang tamu.


Belum usai rasa mual pada perut Kinara, di tambah lagi kaki sebelah kanan nya kini ikut nyeri kembali.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya bilang pada Acel, Eja, dan Gale kalau kakinya sudah lebih baik setelah di pijat. Tapi sejak tadi pagi, rasa nyeri pada kaki nya sudah kembali lagi, dan rasa yang di hasilnya jauh lebih sakit dari kali pertama rasa itu muncul.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dirinya masih belum mendengar suara kepulangan dari kedua orang tuanya dan tiga saudaranya yang lain.

Kinara teringat, bahwa minyak kayu putih yang biasanya ia gunakan ketika kakinya sakit dahulu berada di lantai atas, kamar mama nya. Karena beberapa hari yang lalu, mama meminjam nya untuk mengobati rasa migrain.

Enggan untuk meminta bantuan pada Nabil, pada akhirnya Kinara terpaksa untuk berjalan dengan tertatih guna mengambil minyak tersebut pada kamar mama.

Kinara udah mau nyerah, waktu dia liat banyaknya anak tangga yang akan dirinya tempuh sehabis ini. Tapi demi kenyamanan kaki nya, ia akan memaksa keadaan ini untuk terjadi.

“Gampang, nanti tiduran aja di kamar mama. Atau kalau emang ada kemungkinan, kita menggelindingkan diri aja ke anak tangga biar sampe lantai satu lagi.” gumam nya menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, dan di barengi oleh istirahat dua puluh detik tiap satu tanjakan anak tangga. Kinara berhasil sampai dengan selamat di depan pintu kamar mama.

Kinara mau nangis aja, biasanya buat menempuh dari lantai satu ke lantai dua ga lebih dari dua puluh detik baginya untuk naik. Tapi sekarang, hampir setengah jam ia baru sampai ke lantai dua.

Satu hal yang langsung Kinara tuju, begitu ia sampai di dalam kamar mama adalah ranjang big size yang terlihat empuk di mata nya.

Setelah puas berbaring, mengistirahatkan diri dan juga kaki nya yang masih luar biasa nyeri, akhirnya Kinara mulai beranjak pada meja rias mama nya yang mungkin menjadi tempat mama nya menyimpan minyak kayu putih yang saat ini ia butuhkan.

Belum sampai pada meja rias, atensi Kinara teralihkan oleh satu map tali berwarna coklat, yang bertuliskan dengan jelas nama lengkap nya.

Kinara Senja Lembayung Jingga

Di lengkapi oleh cap rumah sakit yang memang ia datangi bersama mama, Kinara yakin itu adalah hasil tes nya beberapa hari terakhir yang memang tidak pernah mama niatkan untuk di tunjukkan pada Kinara.

Ragu, Kinara membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati. Mengabaikan rasa nyeri pada kaki nya, kali ini ia lebih penasaran dengan isi amplop itu.

Osteosarcoma

Kata yang begitu asing pada benaknya. Kinara segera membaca beberapa penggal kalimat selanjutnya yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kinara tertawa miris, “Osteosarcoma, bone cancer, astaga Kinara. Ayo kuatkan ragamu, semesta mulai berlebihan saat bercanda.”

Kinara turun dari motor ojek online tadi dengan lemas. Kayanya dia beneran mabuk kendaraan deh.

Dengan langkah perlahan, dirinya membuka gerbang rumah dan masuk dengan hati-hati supaya rasa mual pada perutnya tidak semakin menjadi.

Nabil yang memang sudah berada di rumah sedari tadi, memperhatikan adik bungsu nya yang baru tiba dengan bingung.

“Kenapa lu?” tanya nya penasaran, dan mendekat untuk memastikan kondisi Kinara.

“Mual doang gue kak. Ternyata lo udah balik duluan ya.” ujar Kinara kemudian, dan duduk pada sofa ruang tamu.

“Sorry, gue tadi ga buka grup jadi gatau kalo lo mau bareng waktu balik.” kata Nabil meneruskan.

Ganti Kinara yang bingung, “gausah, biasanya juga ga gitu kok.” sahutnya langsung, menghindari canggung.

“Yaudah, lo masih mual?” tanya Nabil kemudian. “Gue ambilin air putih atau lo langsung ke kamar aja?” sambungnya kemudian.

Sebenernya pun kalo ngomong langsung kaya gini, Nabil bukannya galak galak amat. Cuma kalau udah di chat, tingkat nyebelin dia tuh langsung naik beberapa persen dan selalu bikin Kinara geleng geleng kepala.

“Gue langsung ke kamar aja kak. Makasih atas tawaran nya tadi.” ujar Kinara kemudian, dan beranjak meninggalkan Nabil yang masih duduk di sofa ruang tamu.


Belum usai rasa mual pada perut Kinara, di tambah lagi kaki sebelah kanan nya kini ikut nyeri kembali.

Baru beberapa hari yang lalu dirinya bilang pada Acel, Eja, dan Gale kalau kakinya sudah lebih baik setelah di pijat. Tapi sejak tadi pagi, rasa nyeri pada kaki nya sudah kembali lagi, dan rasa yang di hasilnya jauh lebih sakit dari kali pertama rasa itu muncul.

Jam menunjukkan pukul tujuh malam, tapi dirinya masih belum mendengar suara kepulangan dari kedua orang tuanya dan tiga saudaranya yang lain.

Kinara teringat, bahwa minyak kayu putih yang biasanya ia gunakan ketika kakinya sakit dahulu berada di lantai atas, kamar mama nya. Karena beberapa hari yang lalu, mama meminjam nya untuk mengobati rasa migrain.

Enggan untuk meminta bantuan pada Nabil, pada akhirnya Kinara terpaksa untuk berjalan dengan tertatih guna mengambil minyak tersebut pada kamar mama.

Kinara udah mau nyerah, waktu dia liat banyaknya anak tangga yang akan dirinya tempuh sehabis ini. Tapi demi kenyamanan kaki nya, ia akan memaksa keadaan ini untuk terjadi.

“Gampang, nanti tiduran aja di kamar mama. Atau kalau emang ada kemungkinan, kita menggelindingkan diri aja ke anak tangga biar sampe lantai satu lagi.” gumam nya menyemangati diri sendiri.

Akhirnya setelah perjuangan panjang, dan di barengi oleh istirahat dua puluh detik tiap satu tanjakan anak tangga. Kinara berhasil sampai dengan selamat di depan pintu kamar mama.

Kinara mau nangis aja, biasanya buat menempuh dari lantai satu ke lantai dua ga lebih dari dua puluh detik baginya untuk naik. Tapi sekarang, hampir setengah jam ia baru sampai ke lantai dua.

Satu hal yang langsung Kinara tuju, begitu ia sampai di dalam kamar mama adalah ranjang big size yang terlihat empuk di mata nya.

Setelah puas berbaring, mengistirahatkan diri dan juga kaki nya yang masih luar biasa nyeri, akhirnya Kinara mulai beranjak pada meja rias mama nya yang mungkin menjadi tempat mama nya menyimpan minyak kayu putih yang saat ini ia butuhkan.

Belum sampai pada meja rias, atensi Kinara teralihkan oleh satu map tali berwarna coklat, yang bertuliskan dengan jelas nama lengkap nya.

Kinara Senja Lembayung Jingga

Di lengkapi oleh cap rumah sakit yang memang ia datangi bersama mama, Kinara yakin itu adalah hasil tes nya beberapa hari terakhir yang memang tidak pernah mama niatkan untuk di tunjukkan pada Kinara.

Ragu, Kinara membuka amplop coklat tersebut dengan hati-hati. Mengabaikan rasa nyeri pada kaki nya, kali ini ia lebih penasaran dengan isi amplop itu.

Osteosarcoma

Kata yang begitu asing pada benaknya. Kinara segera membaca beberapa penggal kalimat selanjutnya yang mungkin bisa menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya saat ini.

Kinara tertawa miris, “Osteosarcoma, bone cancer, astaga Kinara. Ayo kuatkan ragamu, semesta mulai berlebihan saat bercanda.”

Kinara kembali duduk pada ruang tunggu pasien, tepat depan kantor pribadi milik dokter Hanan.

Mama nya? Mama nya sudah memasuki ruang dokter Hanan kurang lebih tiga puluh menit sedari tadi.

Hal yang bisa Kinara lakukan hanyalah menoleh ke arah kiri dan kanan, sembari menghilangkan rasa bosan menunggu mama nya selesai dengan urusannya berbincang dengan dokter Hanan.

“Kakak sakit?” Tanya salah seorang anak kecil, menggunakan baju pasien mencolek lengan kirinya.

Kinara sedikit terkejut, dirinya tidak menyangka kalau bisa ada anak kecil berada di hadapan nya saat ini.

“Kamu kok bisa disini? Kamu dari bangsal mana?” Tanya Kinara balik, bingung.

“Kakak cantik deh, mata kakak berbinar-binar.” Oceh anak kecil itu lagi.

Kinara tersenyum geli, ucapan anak tadi cukup membuat hatinya terhibur.

“Adek siapa namanya?” Tanya Kinara kemudian. “Nama kakak, Kinara.” Sambungnya lagi, dan menjulurkan tangan hendak bersalaman.

Anak kecil tadi menyambut uluran tangan Kinara dengan senang. “Nama aku Genta. Genta tadi jalan kesini, soalnya bosan. Di bangsal tempat Genta di rawat, gak ada anak kecil yang bisa di ajak main.” Jawab Genta dengan pelafalan yang lambat.

Kinara tertawa kecil, tangannya bergerak mengusap rambut Genta yang di potong layaknya tentara. “Genta sakit apa sayang?” Tanya Kinara lagi.

Genta menggeleng, dan berlari menjauh dari Kinara. Kinara hendak mengejar Genta, sampai dirinya menyadari bahwa mama nya juga baru saja keluar dari ruang dokter Hanan.

Kinara terheran melihat kondisi mama nya yang terlihat pucat saat ini. Dokter Hanan yang mengekor di belakang mama nya, ikut tersenyum pada Kinara.

“Wah, Kinara masih pakai seragam sekolah. Kinara tadi langsung kesini ya sehabis pulang sekolah?” Tanya dokter Hanan ramah.

Kinara menganggukkan kepala, dan membalas senyum dokter Hanan.

“Jadi langkah pemeriksaan terakhir yang dapat dilaksanakan adalah pemeriksaan histopatologi yaitu pemeriksaan mikroskopis jenis dan level keganasan tumor dari bahan jaringan yang diambil melalui tindakan biopsi ya bu Miya . Biopsi dapat dilakukan secara terbuka maupun tertutup seperti yang sudah kita diskusikan tadi.” Jelas dokter Hanan lagi.

Kinara mengorek telinga nya, takut takut salah mendengar apa yang baru saja di ucapkan oleh dokter Hanan.

Tumor? Biopsi? Dua kata yang terdengar begitu asing pada telinga nya, kali ini di sebut dengan gamblang.

Tangan mama menggengam tangan Kinara dengan erat. Dapat Kinara rasakan, bahwa tangan mama yang tengah menggenggam nya sangat dingin saat ini.

“Besok bisa saya jadwalkan pertemuan lagi untuk membahas secara komprehensif melalui forum diskusi multidisiplin yang melibatkan beberapa dokter spesialis ahli tumor diantaranya spesialis onkologi ortopedi, radiologi, patologi anatomi. Terima kasih karena sudah mau bekerja sama untuk hari ini.” Ucap Dokter Hanan lagi, dan berlalu dari sana meninggalkan Kinara dan mama nya dalam diam.

“Mau kemana Del?” Cegat Tiyo, melihat Delvin berpakaian rapi sembari menggenggam kunci mobilnya.

Nada mengikuti dari belakang, melambaikan tangannya pada Haikal dan Hermas yang duduk dengan santai di kursi ruang tamu.

“Nganterin Nada.” jawab Delvin singkat, tidak ingin membuang waktu.

Gantian Tiyo mencekal lengan Nada yang hendak mengikuti langkah Delvin. “Mau kemana emang?”

Nada melirik dengan awas ke arah Yudha yang kini juga menatapnya dengan intens. “Anan... jangan bilang bang Yudha ya bang Tiyo.” bisik Nada kemudian, dan melepaskan pegangan Tiyo pada lengannya dan berlari dengan cepat ke arah Delvin.

“Kemana Yo?” tanya Jonathan penasaran, karena memang mereka yang duduk pada sofa ruang tamu tidak bisa mendengar bisikan Nada pada Tiyo tadi.

Tiyo mengendikkan bahu nya tidak mau tahu, dirinya sudah berjanji pada Nada. “Night drive sama Delvin.” Ucapnya berbohong.


Anan menunggu dengan cemas, begitu tidak ada lagi balasan dari Nada. Emang sialan ni anak, abis ngabarin langsung ilang lagi.

Beruntungnya satu pesan masuk baru saja menenangkan hatinya. Pesan dari Haikal yang mengatakan bahwa mungkin Nada sedang menuju ke rumahnya di temani oleh Delvin.

“Kok ga tidur Anan?” Tanya Bunda menginterupsi kegiatan Anan yang kini masih setia menunggu kedatangan Nada di depan rumah.

Anan tersenyum pada bunda nya, “Nada mau kesini bun.” Jawabnya lembut.

Bunda menyisir rambut Anan dengan perlahan, banyak hal yang terjadi setelah kedatangan Nada kembali pada hidup Anan. Anan lebih berekspresif dan dirinya selalu bahagia. Bunda merasa beruntung untuk hal itu. “Bunda ga tau kenapa Nada malem-malem kesini mau ngapain, tapi yang pasti langsung ajak masuk karena di luar dingin.” Peringat bunda, sebelum kembali masuk ke dalam rumah.

Tiada berapa lama, mobil Mazda CX-5 memasuki halaman rumah Anan. Diluar dugaan, ternyata Delvin lah yang benar-benar mengantarkan Nada. Padahal ketika Haikal memberitahu nya tadi, dia kira itu hanyalah sebuah candaan mengingat reaksi sinis yang sering kali di lontarkan Delvin pada hubungannya dengan Nada.

“Bang,” Ujar Anan menyapa, usai membukakan pintu mobil Nada dan kemudian kembali berlalu ke arah pintu kemudi. “Ga turun dulu?” sambungnya karena Delvin sudah bersiap menjalankan mobilnya lagi.

“Nanti gue jemput, gue mau pergi dulu beliin beng-beng Jerome.”

Padahal mah Delvin sengaja pergi karena dia menghargai perjuangan Nada buat malem-malem ke rumah Anan dan bikin surprise. Kalau di tanya real nya gimana, ya aslinya dia juga ga rela ninggalin Nada di sana.

“Sengaja banget ga ada kabar.” Belum apa-apa keluhan sudah di lontarkan pada Nada. Anan mengambil alih cake yang dirinya pegang dari tangan Nada, untuk di taruh pada meja depan rumah.

“Di ajarin kak Jeff.” Jawab Nada tertawa. “Maafin ya, ga maksud sebenernya.” Lanjutnya lagi meminta maaf.

Anan menggeleng, “Ga ada alasan buat kamu minta maaf.”

Hati Nada makin kecil, rasa bersalahnya makin menggebu. “Marah dong sekali kali anjing, kesel banget ni aku sekarang.”

I choose you in all my choice. Ga akan pernah aku lakukan, bahkan dalam mimpi Nada. Kamu terlalu berharga untuk itu. Udahlah, ayo kita makan rotinya aja.” Ujar Anan kemudian, mengalihkan percakapan keduanya yang mulai menjurus.

Happy boyfriend day. Masih keinget, waktu kamu bilang may I be your boyfriend empat tahun lalu.” Goda Nada, belum puas.

“Lebay la.”

“Terngiang-ngiang.”

“Udah dong.”

Nada tertawa puas, melihat wajah Anan yang merah merona karena malu.

“Nah, itu bang Delvin udah sampe.” kata Nada dan beranjak berdiri ketika melihat mobil Mazda CX-5 berwarna navy datang dari arah utara.

Anan mencekal lengan Nada lembut, dan menariknya untuk kembali duduk. “Bukan mobil kak Delvin itu Nad.”

“Hah?” Nada membeo bingung, dan ternyata benar mobil itu tetap melewati rumah dan tempatnya serta Anan berada.

Nada mengrinyit heran, bisa bisanya Anan tau.

“Kok kamu tau itu bukan mobil Kak Delvin? Jujur sama aku, kamu cenayang ya?”

Sekarang balik Anan bingung, bisa bisanya Nada tau kata cenayang. Siapa yang ngajarin coba?

“Plat nya beda.” jawab Anan singkat.

“Kamu ngapalin plat mobil kak Delvin? Buat apa Anan?”

Just in case.”

Bibir Nada tertutup sempurna, tidak ada hal yang bisa dirinya katakan saat ini. Hal sederhana seperti ini pun, ternyata Anan juga memperhatikan nya.

Kemudian Nada teringat akan sesuatu, “Aku ada hadiah satu lagi. Aku bikin ini hampir tujuh jam, jadi kamu harus pamerin ke semua sosmed kamu, Wajib!!” Kata Nada kemudian, menggebu gebu.

Anan tersenyum mengiyakan, dan mulai melihat hal yang di tunjukkan Nada dengan serius.

Mata Nada berbinar, senyumnya tak kunjung luntur begitu melihat perubahan dari raut wajah Anan yang terlihat tertekan.

Sialan, Anan pengen nangis aja rasanya anjing.

Kinara tidak pernah mengerti, dengan semua hal yang terjadi dalam hidup nya. Semua terlalu absurd untuk dirinya telaah dan pahami.

Seperti siang hari ini, out of nowhere mama nya sudah berada di sekolah menjemputnya. Entah apa yang Eja katakan pada guru pengurus UKS, hingga dirinya di perbolehkan pulang lebih dulu dan pergi bersama mama nya.

Mama nya yang kini tengah berbicara dengan guru UKS, berdiskusi dengan serius sembari sesekali meliriknya.

Kinara penasaran, itu tercetak dengan jelas dari raut wajahnya yang ingin tahu. Sakit pada kaki nya sudah menghilang, di gantikan dengan rasa pusing ringan yang melanda kepala bagian kiri nya. Kinara tidak pernah ingat, kalau dia memiliki riwayat migrain.

“Tas kamu sedang di ambilkan teman kamu yang laki-laki tadi ya. Hari ini cukup izin pulang dan istirahat saja.” Pesan bu Rina, guru UKS. Kinara tidak ada pilihan lain selain mengangguk, dan duduk dengan tenang di samping mama nya.

Dari kejauhan, dirinya bisa melihat tiga orang yang tengah ia hindari sedari pagi berjalan dengan tergesa menuju UKS.

“Mama kok ga ngabarin kakak kalau mau ke sekolah?” Tanya Harsha langsung begitu dirinya memasuki UKS, dan mengambil posisi di samping kanan Kinara.

Mama tersenyum tipis, “mama ke sini juga dadakan kak, cuma mau jemput adek nya aja.”

Nabil meneliti keadaan Kinara dari bawah ke atas, “apa nya sih yang sakit? Orang keliatan sehat aja.” Cibir nya.

Kinara hanya diam, tidak berniat menanggapi ucapan Nabil. Dirinya sudah lelah untuk bersusah payah menutup hati nya, dan tidak mendengarkan segala ucapan Nabil yang mungkin akan menyakiti hatinya lagi.

“Apasih kak Nabil, kok ngomong nya kaya gitu.” Tegur mama, sembari menatap Nabil intense.

“Ya abis orang sakit kaya ga sakit.”

Tak lama kemudian, Gale yang ternyata datang membawa tas dan juga jaket Kinara yang memang telah dirinya siapkan untuk di bawa pulang.

Eja kemana? Gale bilang anaknya tengah menikmati makan istirahat di kantin bersama Acel. Memang untuk mereka berdua tidak bisa di ganggu gugat.

“Mama pulang dulu ya kak, sekolah dan belajar yang bener.” Pesan mama pada ketiganya kemudian, sebelum menggandeng tangan Kinara untuk pergi dari sana.


“Masih sakit dek kaki nya?” Tanya mama sembari masih terfokus untuk menyetir mobil, membelah jalanan yang cukup sepi di depan nya.

“Enggak sakit ma, sekarang ganti pusing setengah di Kinara.” Jawab Kinara jujur. Dirinya tidak ingin menyembunyikan rasa sakit nya lebih lama, karena ia juga ingin mendapatkan pengobatan yang benar supaya rasa sakit nya berkurang.

“Kamu tadi muntah dek? Bu Rina bilang kamu katanya sempat muntah.” Tanya mama kembali.

Kinara menoleh sekilas, “muntah nya juga karena mual belom makan. Gapapa kok ma, sekarang udah ga mual lagi.” jelas Kinara kemudian.

Sebenernya iya, tadi Kinara sempat muntah saat berada di UKS. Eja yang lagi enak tidur, langsung kebangun karena dengar suara Kinara mual. Akhirnya dirinya berpindah tempat ke kelas, bukan karena jijik. Tapi Eja tahu, bahwa Kinara perlu mendapatkan tempat yang lebih nyaman ketika merasa sakit.

“Kita langsung ke rumah sakit aja ya sekarang, banyak hal yang di bilang sama bu Rina, bikin mama ga tenang.”

“Emang bu Rina ngomong apa ma?” tanya Kinara penasaran.

Mama menggeleng, enggan memberitahukan apa yang telah mereka bicarakan tadi.

“Bu Rina cuma bilang, kamu sakit dan perlu di rawat di rumah sakit.”

Kinara mengendikkan bahu nya acuh, “yaudah aku ikut aja kalau mama mau ke rumah sakit sekarang.”

Kinara kecil mengikuti Nabil yang berjalan di depannya dengan pelan.

“Kakak?” tanya Kinara merengek. Dirinya sudah cukup lelah jika harus mengikuti langkah Nabil yang lumayan lebar. Belum lagi sinar matahari siang membakar kulit nya saat ini.

“Hussh, Kinara diem.” Ujar Nabil menghentikan langkahnya sejenak, dan menoleh ke arah Kinara.

Hari ini Kinara pulang dengan Nabil naik sepeda, karena Kinara sendiri masih kelas empat sekolah dasar sedangkan Nabil menginjak kelas enam sekolah dasar. Kenapa kok ga bareng Arsha dan Arzhan? Alasannya adalah, karena mereka berdua kompak ga masuk sekolah karena sakit hari itu.

“Kita kenapa ga langsung pulang aja sih?” Tanya Kinara kecil masih belum terima.

“Kakak masih ada urusan, bentar aja ya Kinara.” Bujuk Nabil kembali.

Tak jauh di depan, Kinara dapat melihat segerombolan anak berseragam SMP seperti tengah menunggu nunggu kedantangan Nabil.

“Cupu, gue kira sendirian ternyata bawa adek nya.” Kata salah seorang dari anak SMP itu.

“Adek gue ga ada yang jemput pulang, terpaksa gue bawa.” Ujar Nabil menjawab pertanyaan yang lain.

Kinara yang merasakan suasana mulai memburuk, dirinya beringsut mendekati Nabil dan memegang lengannya. “Kakak, ayo pulang aja.” Bujuk Kinara takut.

Nabil tak memperdulikan Kinara, dan masih bertengkar bertukar kalimat kasar pada beberapa anak laki-laki di depannya.

Sedikit yang Kinara dengar, mereka meributkan soal sok berani, arogan, dan yang lainnya. Tentu bagi Kinara kecil ini bukan lah hal yang cukup mengenakkan.

Sekali ketika salah satu dari mereka maju dan memukul Nabil, Kinara langsung melepaskan pegangannya pada Nabil dan berlari menjauh.

Tidak ada yang sadar, begitu pula dengan Nabil. Mereka masih larut pada pertengkaran yang tengah mereka lakukan.

Kinara berlari dengan kaki kecilnya, tertatih-tatih menuju kantor sekolah dasar. Yang mana ia yakini, masih ada guru lain yang berjaga, dan mungkin bisa menyelamatkan Nabil, kakak nya.

Tanpa dirinya sadari, sebongkah batu yang lumayan besar menghadang jalan nya berlari. Kinara tidak sengaja mengenai batu itu, dan membuatnya terjatuh dengan lumayan keras. Kaki sebelah kanan nya mengeluarkan darah yang cukup banyak. Dirinya tidak bisa mengeluh sekarang, karena yang dia tau Nabil tengah kesusahan di tempat lain.

Dengan memaksakan kakinya yang terluka, Kinara pada akhirnya sampai pada kantor ruang guru. Dirinya mencari guru yang kini tengah berjaga.

“Kinara kok belom pulang?” Satu suara berhasil menyapa nya.

“Pak Yoga, itu di samping gerbang belakang kak Nabil berantem sama anak SMP!!” Ucap Kinara langsung, memberitahu keadaan yang sebenarnya pada Yoga, guru olahraga nya.

Yoga yang langsung mengerti ucapan Kinara, langsung berjalan cepat menuju tempat yang sudah Kinara sebutkan.

Kinara mengikuti dari belakang dengan pincang, kakinya yang terluka cukup menghambat nya. Dirinya meringis, melihat begitu banyak darah yang keluar dari kaos kaki nya yang putih.

Begitu sampai, Yoga langsung memisahkan pertengkaran yang terjadi. Beberapa dari yang lainnya berhasil lolos dan kabur. Menyisakan seorang anak SMP dan Nabil sendiri yang lumayan luka sana sini usai pertengkaran.

Anak SMP itu tersenyum miring pada Nabil, ia melihat ke arah Kinara yang berada tak jauh dari sana. “Sok jagoan, tapi tetep berlindung balik badannya adek cewe lu ya.” Cibirnya membuat Nabil tertampar oleh rasa malu.

Nabil menatap Kinara dengan tajam. Dirinya tidak pernah sejengkel ini dengan orang yang suka ikut campur pada urusan orang lain.

Mengikuti saran Gale, Acel, dan juga Eja untuk beristirahat sejenak, Kinara akhirnya berjalan dengan lemas menuju panitia kesehatan.

Serius dia ga tau kalau dampak gak makan tuh bisa sampe selebay ini.

“Kenapa dek?” Tanya kakak panitia dengan cemas, membopong dirinya di satu tangan.

“Pusing dikit kak.” Jawab Kinara jujur.

Mereka percaya dengan ucapan Kinara, karena yang mereka lihat saat ini kulit wajah Kinara benar benar pucat pasi.

“Mau ke UKS? ayo baring di sana aja.” Ujar salah satu panitia yang lain, memegang lengan Kinara untuk diajak berdiri. “Apa mau kakak gendong?” Sambungnya kemudian.

Kinara hanya menggeleng lemah, dirinya tidak ingin menyusahkan lebih dari ini. Tapi apa yang dia harapkan hanyalah sekedar harapan, sebelum pusing yang hebat menyerang dan membuat seluruh pandangannya menggelap.

Sedikit sebelum kesadarannya sepenuhnya menghilang, dirinya melihat Arzhan berlari ke arahnya dan membawanya dalam rengkuhan hangat.


“Kenapa coba pake pingsan segala.” Ujar Arsha dari bilik UKS. Dirinya langsung berlari cepat begitu Arzhan mengabarinya kalau Kinara baru saja pingsan. “Pada semalem gue udah wanti wanti, sarapan dulu soalnya ada agenda bikin gelombang.”

Arzhan yang mendengar ucapan Arsha tertegun. Ini salah dirinya karena tadi pagi ia menuntut Kinara untuk segera bersiap-siap karena jam sudah menunjukkan pukul setengah enam.

Dirinya bukan panitia yang berjaga di lapangan seperti Arsha, jadi ia memiliki kebebasan sedikit untuk datang lebih lambat.

Arzhan mengerti, kalau kejadian hari ini yang menimpa Kinara sedikit banyak nya adalah ulah dari nya yang tidak memberikan kesempatan pada Kinara untuk sarapan terlebih dahulu.

Kinara terbangun dari ranjang UKS setelah ia mendengarkan suara yang cukup berisik keluar dari mulut Arsha. Emang nih Arsha, kalau udah cerewet susah banget buat di rem.

“Masih pusing?” Tanya Arsha kemudian, sembari membantu Kinara untuk bangun dan duduk di ranjang UKS.

Kinara menggeleng, “Ga pusing tapi sekarang mual.” Ujar nya jujur. Karena Kinara merasakan perutnya seperti di aduk saat ini.

“Mau muntah?” Tanya Arzhan dari samping kanan.

“Mual doang, ga sampe muntah.” Jawab Kinara lagi.

Arsha berkacak pinggang, “Lo tuh bandel banget perasaan. Lo pasti lemes hari ini gara-gara ga makan kan tadi pagi?” Tanya nya menuntut.

Arzhan terdiam, dirinya melihat reaksi Kinara yang hanya membisu di marahi oleh Arsha.

Sejujurnya Arzhan ingin berkata jujur, karena dia lah yang membuat Kinara tidak sarapan tadi pagi. Tapi lidahnya terlalu kelu untuk mengucapkan hal itu.

“Tadi pagi ga laper gue. Jadi ga sarapan.”

Di luar dugaan, justru Kinara mengeluarkan jawaban yang terkesan melindungi Arzhan. Padahal Arzhan kira, Kinara mungkin akan mengadukan dirinya pada Arsha.

“Ya terus maksud lo, kalau lo ga laper lo ga makan gitu? Terus sekarang sakit gimana hah?!” Tanya Arsha lagi, makin kesal dengan jawaban Kinara.

“Udah Sa, gausah terlalu di marahin anaknya. Kasian.” Kata Arzhan kemudian, mencoba melindungi Kinara dari amukan Arsha ya walaupun itu telat banget.

“Gini nih yang buat si Kinara manja, salah aja di belain mulu.” Cibir Arsha lagi.

Adelio ikut duduk bersama Hansa yang menatap Anan dan Nada yang tengah asyik bercanda dari kejauhan.

“Gamon?” Tanya Adelio singkat.

Hansa yang kaget dengan kedatangan Adelio tiba-tiba, langsung mengelus dada nya. “Gamon apaan dah, jadian aja belum.”

“Ohh, gue gamon soalnya.” Ujar Adelio menanggapi Hansa.

Hansa menatap Adelio dengan bingung, ga mungkin Anan kan? Karena setahu dia Nada adalah saudara nya. “Lo pernah ngehomo sama Anan? Sekarang gamon? Gitu kah?”

Adelio tertawa terpingkal, “bukan Anan anjir, gila lu.” Ujar nya setelah tawa nya mereda.

“Terus sama siapa? Hah? Masa sih? Nada?” Tanya Hansa bertubi-tubi, tidak percaya.

Adelio mengangguk, “gue sama Nada kan saudara tiri Del. Dulu sebelum nyokap Nada dan bokap gue nikah, kita pacaran tau semasa SMP. Tiga tahun full, sebelum Nada pindah ke Malang.” Jelas Adelio kemudian, mengundang tatapan simpati dari Hansa.

“Gamon nya sampe sekarang? Udah berapa tahun Del?” Tanya Hansa langsung.

Adelio berfikir sejenak, mencoba menghitung. “Gatau, udah ada tujuh tahun kali ya.” Jawabnya tanpa beban.

Hansa menghela nafasnya berat, dia ga menyangka kalau orang yang duduk di sampingnya ini menanggung beban yang lebih berat dari dirinya.

“Tapi kayanya lo pinter banget ya nyembunyiin hal itu, lo bahkan dukung hubungan Anan dan Nada sampai sekarang.” Ucap Hansa memberikan apresiasi.

Adelio tersenyum tipis, “Sa, kadang lo harus tau, daun yang jatuh dari ranting pun, ga pernah membenci angin. Sama kaya gue, Anan bagi gue dia terlalu sempurna sampai gue rasa ga ada celah bagi gue buat benci hubungan dia dan Nada.” Jelas Adelio panjang lebar.


Pagi menyapa, sudah waktunya bagi rombongan Nada untuk melanjutkan perjalanan. Perjalanan selanjutnya mereka langsung dihadapkan dengan sebuah tanjakan yang bernama tanjakan cinta, intinya di tanjakan cinta ini tuh terdapat suatu anggapan bahwa ketika kita melewati tanjakan tersebut dengan menyebutkan atau memikirkan nama orang yang kita cintai tanpa melihat kebelakang, maka hubungan cinta tersebut dipercaya akan abadi untuk selama – lamanya.

Nada pengen nyobain hal itu, tapi kali ini dia ga bisa liat Anan di belakangnya atau mitos tentang melihat kebelakang akan membuat hubungan retak bakalan terjadi.

Ya mau gimana yah, orang gapake mitos gituan aja hubungan dia sama Anan udah mau udahan, apalagi di tambah mitos itu tadi.

Belum cukup rasa takjub Nada, begitu mereka sampai di atasnya Nada dapat melihat keindahan Ranu Kumbolo dari ketinggian dan melihat luasnya savana yang bernama Oro-Oro Ombo.

Dan Nada makin bersyukur karena mereka melakukan pendakian di bulan yang pas. Jadi mereka semua bisa menikmati rimbunan tanaman berwarna ungu yang mirip dengan bunga lavender.

![]()

Nah ga jauh dari track oro-oro ombo tadi, mereka sampai di Cemoro kandang. Adelio menjelaskan, kenapa di namakan Cemoro Kandang, karena sisi kiri dan kanan track yang di penuhi oleh pohon cemara lah yang menjadikan asal usul nama itu tadi.

Candra menghimbau yang lain untuk istrahat sejenak, sebelum melanjutkan ke perjalanan selanjutnya.

Nada yang lumayan iseng, akhirnya meninggalkan rombongan buat kenalan dengan pendaki yang lain. Punya pacar bukan berarti bisa menghentikan sifat alamiah Nada yang suka tebar pesona. Dia tau kalau dia cakep, makanya tiap lewat orang orang mah demen aja ngeliatinnya.

Perjalanan di lanjutkan ke Jambangan, dan kemudian akan di teruskan di daerah Kalimati dan Arcopodo yang memiliki jarak lumayan dekat yaitu 1,2km saja.

Nada beruntung karena bisa sampai di sana sebelum matahari tenggelam, hingga dirinya bisa melihat betapa gagahnya Mahameru yang akan ia daki nanti.

Tapi hati Nada sedikit ragu, melihat betapa curam nya puncak Mahameru tadi. Apa dirinya bisa mencapai puncak Mahameru? Gimana caranya supaya dia bisa mencapai puncak yang jalannya di penuhi oleh batu dan pasir?

Perjalanan pada pos terakhir sudah tercapai, kini Nada dan yang lainnya sudah sampai di pos Kalimati sebelum mereka akan melakukan summit attack nanti.

Buat kalian yang belum tau, summit attack itu adalah istilah yang digunakan oleh para pendaki dalam melakukan perjalanan menuju puncak.

Adelio sendiri bilang, Kali Mati itu tempat paling ideal untuk mereka beristirahat sejenak atau tempat bermalam sebelum mendaki ke puncak Mahameru.

Nada ingat betul, pada saat dilakukan briefing sebelum memulai pendakian, para pendaki sudah diberitahukan bahwa batas terakhir pendakian adalah pos Kali Mati.

“Pikirin balik, niat kalian mau gimana. Kalau emang beneran mau ke puncak, ayo. Tapi kalau emang ada keraguan, ya gausah di sini aja.” Ujar Adelio berbicara kepada semuanya. “Bisa pergi sampai puncak emang bonus, tapi tujuan awal kita mendaki gunung adalah pulang dengan selamat.” Sambung nya lagi.

Nada yang duduk tenang di antara Jerome dan Arwena, kembali memantapkan hatinya.

Candra yang sudah melihat tekad dari mata Nada, dirinya tidak bisa berbuat apa-apa. “Kita bangun tenda disini aja. Habis ini kita rundingan, siapa aja yang mau naik ke puncak dan siapa yang istirahat sampai sini.”


Nada menyiapkan tas ransel berukuran kecil, yang akan dia gunakan untuk membawa logistik yang di rasa penting. Seperti air minum, atau beberapa makanan ringan kalau memang di perlukan.

Yudha menghampiri Nada yang masih sibuk bersiap siap. “Adek beneran mau naik ke puncak?” Tanya Tiyo masih belum rela, karena dirinya tidak sanggup bila harus menemani Nada hingga ke puncak.

Nada tersenyum, “Masih ada kak Jerome, kak Delvin, sama bang Yudha yang temenin adek. Ada Haikal, Hermas, Adelio, sama Anan juga bang. Nada gapapa, mereka lebih dari cukup untuk jaga Nada kan?” Ujar Nada balik, berusaha menghibur kegundahan hati kakaknya itu.

Tiyo menatap Nada lekat. Dirinya harus lebih percaya lagi pada Nada, itu adalah kalimat yang sedari tadi ia gumam kan terus menerus.

Jonathan yang berada di tenda yang sama dengan Nada, hanya bisa menatap tekad adiknya itu dengan pasrah. “I just want to tell you love. Kita ga akan pernah bisa menaklukkan gunung, karena bukan gunung lah yang kita taklukan, tapi kita sendiri.”


Waktu berlalu cukup cepat bagi Nada, hingga akhirnya tepat pukul dua belas malam mereka melakukan summit attack.

Jalan yang begitu terjal menuju puncak sebelum batas vegetasi cukup menguras tenaga dan air minum yang tersedia, Anan sudah berulang kali memastikan Nada yang berada di depannya baik baik saja.

“Nad, kalau emang capek bilang aja. Kita istirahat.” Ujar Anan berulang kali juga mengingatkan.

Nada hanya membalas ucapan Anan dengan senyuman tipis, dan kembali berfokus pada track yang ada di depannya.

Waktu demi waktu berjalan sampailah mereka berdelapan di batas vegetasi. Semangat Nada timbul kembali begitu dirinya melihat antrian para pendaki yang tidak begitu panjang dengan cahaya headlamp.

Jam demi jam berlalu dengan begitu cepat, Adelio sudah memastikan dengan sedikitnya pendaki yang lain estimasi dari Kali Mati sampai Puncak Mahameru kurang lebih 5 sampai 6 Jam.

Hingga pada akhirnya terdapat suatu cekungan batu besar yang menghalangi pandangan Nada. Dan pada akhirnya, setelah perjuangan jalan berbatu juga pasir yang menyulitkan langkah mereka, sampailah Nada beserta ketujuh yang lainnya di Puncak Mahameru.

Terdapat rasa senang, gembira, terharu yang menjadi satu dan tidak akan menyangka bahwa Nada dapat mencapai puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa.

“Kak, bang...” Nada berbicara dengan tersendat, ingin menangis.

Delvin, Jerome, dan Yudha yang mengetahui hal itu langsung memeluk adik bungsunya dengan bahagia.

“Kamu hebat banget adek.” Bisik Yudha bangga.

Kemudian Nada mengambil duduk di samping Anan yang sudah siap menyambut mentari yang akan datang.

Memulai hari, dengan orang ia cintai. Nada tidak pernah sebersyukur ini dalam hidupnya.

“Nad, sebelum kesini bunda udah pesan sama aku untuk sampein hal ini ke kamu.” Kata Anan sembari menyisir rambut Nada yang tadi terkena pasir dengan pelan.

“Bunda? Bunda pesan apa?”

“Bunda bilang, gunung itu seperti Ibu, dia adalah tempat pelarian terbaik di saat diri kita sedang membutuhkan semangat baru. Keputusan kita buat kesini adalah hal yang tepat, karena kita juga butuh semangat baru untuk menyambut hidup yang akan terus datang.”

Nada meletakan banyak barang yang sudah dirinya beli dengan Anan dan Adelio untuk kepentingan pendakian nanti.

Iya, Adelio juga turut serta di pendakian kali ini, dan akan menjadi pemandu dengan Jerome nanti sesampainya di Semeru.

“Istirahat sayang, besok kita berangkat pagi.” Ujar Anan melihat Nada masih sigap memasukkan barang barang yang akan ia bawa.

Nada tersenyum, “habis ini Anan, aku mau masukin jaket mantel aku di tas.” Jawab Nada dan beranjak untuk mengambil jaketnya di dalam kamar.

Total yang ikut pada pendakian kali ini adalah lima belas orang. Kesepuluh saudara Nada, Nada sendiri, kemudian Anan, Adelio, Hansa, dan Jisel.

Jisel sudah menyiapkan semua barang nya bersama Hansa dan Hermas tadi. Saat ini anaknya tengah pergi lagi keluar dengan Hermas, gatau kemana.

Sedangkan Hansa tidur dan berbagi kamar bersama Haikal. Untuk Adelio dan Anan nanti, mungkin akan tidur bersama Jerome dan Hermas.

Nada kembali dari kamarnya lantai atas, menghampiri Anan dan Adelio yang masih sibuk mendata barang apa saja yang kurang dan perlu di bawa pada pendakian kali ini.

“Kok di masukin tas Nad?” tanya Adelio menghentikan pergerakan Nada untuk memasukkan jaket nya ke dalam tas.

“Lah, terus kalo ga gue masukin tas mau di taroh dimana?” tanya Nada balik, bingung.

“Pake aja Nad buat berangkat besok, di Semeru dingin banget. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya lo, pasti bakalan kena hipotermia nanti.” Sahut Delvin keluar dari kamarnya. “Bahkan kayanya lo harus pake jaket double deh.”

Delvin bahkan meminta izin untuk berlibur lima hari demi mewujudkan keinginan adiknya untuk mendaki gunung Semeru.

“Masa gue harus pake double? Nanti kalo gue gerah gimana??” Tanya Nada tidak percaya.

“Jaga jaga Nada, kita harus meminimalisir hal buruk yang akan terjadi. Apalagi kak Delvin dokter, dia paling tahu tentang kesehatan kamu kan?” Tanya Adelio balik, mendukung pernyataan Delvin.

“Ambil satu lagi jaketnya sayang, pakai jaket double atau kita sama sekali gak berangkat.” Ancam Anan kemudian.

Nada menghentakkan kakinya kesal, kemudian dirinya beranjak untuk kembali ke kamar mengambil jaket yang lain.

“Gausah panggil sayang ke Nada di depan gue.” Ujar Delvin sinis ke Anan. “Gue geli.” Sambung nya dan berlalu dari sana.


Perjalanan dari rumah di mulai dari jam empat pagi. Serius rasanya nyawa Nada belum kumpul waktu Jisel membangunkan dirinya dengan brutal sebelum masuk ke kamar mandi.

Adelio menyarankan untuk pergi jam empat pagi karena selain menghindari macet, juga meminimalisir waktu yang akan di tempuh di Semeru nanti.

Gunung Semeru yang letaknya secara administratif berada di antara Kabupaten Malang dan Kabupaten Lumajang, dengan ketinggian sekitar 3.676 mdpl (meter di atas permukaan laut) menjadikan gunung tersebut sebagai puncak gunung tertinggi yang ada di Pulau Jawa.

Kali ini Nada berada di dalam mobil yang sama dengan Anan, Yudha, Jeffery, Delvin, Jonathan, dan Haikal. Kadang Nada bingung, kenapa yang modelan nya manusia penuh emosi seperti mereka kecuali Anan harus berkumpul dengan dirinya gitu loh.

“Buset jaket lo double Nad?” Tanya Haikal menyadari tumpukan jaket yang kini tengah Nada gunakan.

Nada menganggukkan kepalanya malas, mengingat tadi Delvin dan Anan memaksa nya untuk memakai dua jaket sekaligus. “Iya, di Semeru dingin banget katanya.”

Yudha menganggukkan kepalanya mengerti, “Iya sih. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya lo, pasti bakalan kena hipotermia nanti.” Ucapnya kemudian, mengingatkan Nada pada kalimat Delvin semalam.

Titik pertama di tempuh kurang lebih hanya satu setengah jam menggunakan kendaraan pribadi ke pasar Tumpang. Sedikit informasi dari Adelio kemarin, bagi Nada dan yang lainnya yang berencana mendaki Gunung Semeru, untuk terlebih dahulu melakukan reservasi dan menyiapkan surat keterangan sehat.

Jerome yang tadi tidak berada satu mobil dengan Nada, langsung menghampiri Nada begitu dirinya keluar dari mobil.

“Baju kamu ga berat dek?” Tanya Jerome melihat Nada mengenakan dua jaket sekaligus.

“Iya, di Semeru dingin banget katanya.”

Jerome tersenyum kecil, “Ah iya bener. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya kamu, pasti bakalan ada kemungkinan kena hipotermia nanti.” Ujar Jerome setuju, dan menepuk kepala Nada pelan.

Nada kesel banget, udah berapa kali dirinya denger kata lemah, dan hipotermia dari kemaren? Emang itu kalimat slogan buat Semeru ya?

Jisel yang baru tiba dengan rombongan mobil Hermas juga ikut menghampiri Nada yang terduduk di kursi kayu titik pasar tumpang. Jisel menatap bingung Nada yang lebih diam dari biasanya.

Nada yang seolah mengerti tatapan Jisel, “Iya gue pake jaket double, soalnya disini dingin banget. Kalau orang yang metabolisme tubuhnya lemah kaya gue, pasti bakalan kena hipotermia nanti.” Ujarnya jengkel.

“Yaudah sih, ngapa sewot banget coba.”


Selepas menunggu semua sudah berkumpul, dengan formasi Candra yang datang paling akhir, kemudian rombongan mereka bergegas untuk langsung menuju ke basecamp Ranupani untuk cek kesiapan dan melakukan briefing dengan menggunakan jeep.

Nah di basecamp Ranupani rombongan Nada diberikan briefing untuk melaksanakan dan mematuhi hal hal apa saja yang di perbolehkan, atau hal lain yang di larang keras untuk di lakukan. Peraturan yang di beritahukan tadi itu salah satu bentuk contoh suatu upaya untuk menjaga kelestarian alam dan juga menghormati masyarakat adat yang berada di sana ya gaes.

Setelah selesai melakukan briefing, Adelio menghimbau yang lainnya untuk melakukan crosscheck pada barang bawaan sebelum benar benar melakukan pendakian yang sebenarnya.

Setelah di rasa cukup, kemudian pukul tujuh pagi rombongan Nada berangkat dari basecamp Ranupani untuk melakukan pendakian.

Formasi hari ini di isi oleh Adelio di depan sebagai penunjuk jalan, kemudian di lanjutkan dengan Tiyo dan Yudha yang berada di belakangnya. Jisel dan Hermas, Hansa, Nada sendiri, dan Anan juga yang berada di belakang Nada. Kemudian Jerome yang berada di belakang Anan, di temani oleh Haikal dan Candra. Delvin, Arwena, Jeffery, dan Jonathan sebagai penutup formasi.

Sebenernya Jeffery tadi udah agak gak rela karena yang berada di depan Nada adalah Hansa. Kemudian Yudha juga sama begitu mengetahui yang berada di belakang Nada adalah Anan. Tapi berkat teguran yang datang dari Candra, keduanya hanya bisa pasrah dengan keputusan yang sudah di buat.

Dari informasi yang di berikan oleh Adelio tadi, rasanya Nada udah mau nangis aja. Soalnya untuk sampai ke titik pertama mereka bermalam di Ranu Kumbolo tuh harus melewati empat titik pos yang jarak waktunya kurang lebih enam jam.

“Belom mulai Nad, jangan ngeluh dulu.” Ingat Jisel yang bersemangat.

“Siapa yang kemaren sombong bener ngajakin ke sini? Nih liat sekarang udah ngeluh.” Cibir Delvin sinis.

“Gapapa kok dek, jarak tempuh waktu yang di sebutin Adelio tadi tuh nggak bisa dijadiin tolak ukur. Kan itu tergantung dari intensitas padatnya jalur dan terus stamina yang dimiliki oleh setiap orang di dalam suatu rombongan. Kita disini kuat semua, pasti bisa sampai lebih cepat.” Ujar Arwena panjang lebar, menenangkan kegundahan hati Nada.


Setelah menempuh menuju titik utama peristirahatan kurang lebih lima jam, beneran selama itu sampe Nada tadi udah mau pingsan. Rombongan mereka sampai juga di Ranu Kumbolo.

Rasa lelah yang dirasakan Nada dan yang lainnya setelah menempuh perjalanan panjang, seketika hilang karena melihat pemandangan indah yang disuguhkan Ranu Kumbolo yang dapat terlihat dari tepi danau.

Di Ranu Kumbolo sendiri ternyata sudah banyak sekali tenda berdiri yang bisa Nada lihat. Belom lagi, ternyata tenda lain yang lebih banyak ada di dekat tanjakan cinta disisi satunya lagi.

Hawa dingin langsung terasa menusuk hingga ke tulang. Nada beruntung dia dengerin ucapan Delvin untuk pakai dua jaket sekaligus. Kalau enggak, udah lah dia gatau mau gimana lagi.

Beberapa yang lainnya langsung mendirikan tenda. Nada ga ikut membantu, dia tau diri dikit lah ya. Walaupun dia mantan anak pramuka, tetap aja dia ga selihai Anan dan Haikal, atau kaya Adelio yang udah khatam tentang membangun tenda. Nada justru khawatir malah jadi perusuh karena dia ga tahu apa-apa tentang tenda.

Nada duduk dan memandang danau di depannya dengan takjub. Banyak hal indah yang di ciptakan oleh Tuhan, dan ini hanyalah salah satunya, dan Nada sudah cukup terkesima dengan hal itu.

Delvin menghampiri Nada yang masih memandang matahari tenggelam dan danau yang ada di depannya. “Laper dek?” Tanya Delvin kemudian.

Nada tersenyum, menyambut kedatangan Delvin. “Enggak begitu kak, cuma capek dikit aja kaki gue.” Jawab Nada jujur.

Delvin mengerti, dan mengambil kaki Nada untuk dirinya pijat.

Nada terkejut dengan perlakuan Delvin, “eh kenapa kak? Jangan ih, lo kan juga cape tadi bawa tas carrier.” Ujar Nada menolak, dan berusaha menjauhkan kakinya dari jangkauan tangan Delvin.

“Secapek nya gue, rasa sayang gue ke lo bisa mengatasi hal itu. Gue ga suka liat lo sakit atau merasa ga nyaman Nad, sebisa mungkin apapun yang bisa gue lakukan buat comfort lo, bakalan gue lakuin.” Ucap Delvin menghangatkan hati Nada.

Nada memeluk lengan Delvin dari samping, “lo ga perlu sampe segitunya kak. Dengan lo ada disini, nemenin gue ketika lagi capek itu lebih dari cukup kok.” Kata Nada kemudian, membuat seulas senyum tulus muncul dari wajah Delvin.

Delvin mendengus geli, “Gue kira dulu punya adek lagi bakalan ngerepotin, ngeliat tingkah laku Haikal sama Hermas yang bikin kepala gue pusing, eh malah ketambahan lo yang tingkahnya jauh lebih parah dari mereka berdua.” Ujar Delvin kemudian, “tapi gue rasa, hal kaya gini justru bikin gue tambah hidup Nad. Makasih udah jadi adek gue. Baik dulu, sekarang atau pun nanti. Makasih Nad, gue sayang lo.”

“Sekarang kenapa lagi?” Tanya Keenan sembari membawakan Nada bantal untuk tidur di sofa ruang tamu.

Asli Keenan kaget banget begitu Nada datang. Dia ga expect kalau itu adalah Nada, mengingat hari sudah larut malam. Jadi dirinya fikir yang datang adalah ayah atau kak Adit yang selesai dengan urusan di kampus.

Nada tidak menjawab pertanyaan Keenan, dan sibuk melihat banyaknya chat yang masuk di ponselnya.

“Tidur sini?” Tanya Keenan lagi.

Nada mengangguk, “iya tidur sini.”

“Sampe kapan?” Tanya Keenan masih belum puas.

“Gatau, sampe apa yang gue pengen tercapai.” Ujar Nada singkat.

Keenan menggelengkan kepalanya pusing. Banyak hal yang membuat dirinya gagal paham dengan kakak nya itu. Terutama sifat egoisnya yang lumayan menguasai dirinya. Tapi kembali lagi, apapun keputusan Nada saat ini Keenan bukanlah orang yang tepat untuk memberikan wejangan.

Satu pesan masuk melalui ponsel Keenan, ada Haikal di situ yang memberikan satu link zoom untuk dirinya ikuti.

Keenan ingin tertawa begitu dirinya melihat Hermas, Jonathan, dan Jerome menatap dirinya dengan bingung.

“Loh Keenan, kakak kira yang masuk kak Nada.” ucap Jerome dari seberang layar.

Keenan tersenyum tipis, dan mengarahkan kamera laptopnya pada Nada yang kini acuh dan bermain ponsel sembari rebahan di atas sofa.

“Itu kak Nada nya, bang Jerome.” Ucap Keenan singkat.

“Kasih Nada.” Kata Hermas kemudian.

Keenan mengiyakan ucapan Hermas, dan menaruh laptopnya di hadapan Nada. Nada menatap laptop di depannya dengan malas, menyuruh Keenan untuk mengambil kembali.

Keenan menolak, “Kak, selesain dulu lah. Di bicarakan baik baik oke.”

“Keenan aja yang lebih muda, lebih pengertian daripada lo Nad.” Cibir Hermas dari seberang.

Nada menatap layar di depannya dengan malas. Kemudian dirinya mengambil posisi duduk di bawah, dan meletakkan laptop pada meja semula. Tidak lupa juga, Nada meminta secarik kertas dan juga pulpen untuk dirinya tuliskan sesuatu.

Keenan ikut menonton apa yang akan Nada lakukan sekarang. Dapat dengan jelas Keenan lihat, Nada tengah menuliskan kalimat berisikan “Gue ga mau pulang kalau pada gamau di ajakin naik ke puncak gunung Semeru.”

Segera setelah Nada selesai menuliskan kalimat itu, dirinya mengangkat kertas nya lalu melihatkan kalimat di kertas itu kepada tiga saudaranya yang masih terhubung pada zoom.

Belum selesai keterkejutan ketiga saudaranya, Nada menekan tombol keluar dari meeting dan mematikan zoom, kemudian menyerahkan laptop nya kembali pada Keenan.

“Gue mau ke kamar dek, kalau yang lain hubungin lo gausah di angkat, atau bilang aja gue tidur ya.” Ujar Nada kemudian dan pergi dari sana.