JC Halcyon

Nada terbangun pada tempat yang begitu asing bagi dirinya saat ini. Tidak lupa juga, rasa pusing masih mendominasi kepalanya.

“Hape? Hape gue mana jir?” tanya Nada mengeluh, dan meraba seluruh bagian kasur untuk menemukan ponselnya.

Terakhir kali perasaan dia lagi sama Anan di mobil deh, kok sekarang udah nyasar ke dimensi lain sih?

Nada bingung, karena dia khawatir saudaranya yang lain pasti lagi kocar kacir nyariin dia. Baru ketemu, masa udah ilang lagi sih?

Pintu kamar terbuka, menampilkan Anan yang membawa nampan berisi makanan dan juga segelas air putih. “Masih pusing?” tanya Anan lembut, dan segera menaruh nampan tadi pada nakas meja, kemudian duduk di samping Nada.

“Lo bawa gue kerumah lo beneran?” tanya Nada tergagap. Anan menganggukkan kepalanya. “Terus tadi lo gendong gue dari mobil buat pindah ke sini?”

Anan mengangguk lagi. “Kenapa? Masa malu sih. Kan ini bukan yang pertama.” ejeknya.

Kalau di pikir lagi, emang bener kata Anan, kalau gendong Nada waktu tidur itu bukan yang pertama. Dulu Anan juga pernah gendong dia dari mobil Haikal untuk di bawa ke sanggar pramuka.

“Orang tua lo mana? Aduh gue malu banget, pasti mikir gue yang enggak enggak.” keluh Nada kemudian, dan celingukan menatap pintu yang terbuka.

“Enggak kok, tadi katanya bunda pengen ngomong sama lo kalau udah bangun.”

“HAH? NGAPAIN?! GUE GA DI SIDANG KAN??”

Anan menyentil lembut dahi Nada yang tengah parno. “Sidang apasih, paling juga cuman nanya keadaan nya gimana.” kata Anan menenangkan.

Keduanya terdiam, baik Nada maupun Anan tidak berani membuka suara saat ini. Nada nya malu karena dia baper abis kena sentil Anan. Anan nya malu, karena dia abis nyentuh dahi nya Nada.

“Yaudah, makan dulu.” ujar Anan kemudian, menepis rasa canggung yang menguasai keduanya.

Tapi bukan Nada namanya kalau gak makin memperkeruh suasana. “Suap dong.” cicitnya pelan, membuat Anan kembali tegang.

“Mau?”

“Ya kan gue yang minta.”

Anan berdeham canggung, dirinya mulai mengambil piring tadi untuk mulai di suap kan pada Nada.

Nada makan dalam diam, Anan pun sama, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dirinya fokus menyuapi Nada makanan.

“Nyokap bokap gue juga kalah kalau gini mah, mereka aja ga pernah suap suapan kaya lo berdua.” suara Kayla dari pintu menyela.

Nada tersedak, Anan yang melihat hal itu buru buru menyodorkan segelas air untuk Nada minum. “Kay, bikin kaget aja.” tegur nya pada Kayla yang kini tengah tertawa puas.

Kayla menghampiri Nada dan menepuk pundak Nada perlahan. “Maaf, tadi emang sengaja godain. Kangen jaman SMA gue Nad, dulu lo yang selalu ngajarin gue buat godain cowo.” kelakar Kayla, dan mengambil duduk di samping Anan.

Nada tersenyum tipis, dirinya ingat kenangan sekolah yang cukup membuat masa mudanya itu berwarna.

“Di panggil tante itu Nan, sini gue aja yang suap Nada.” kata Kayla kemudian, sedikit mengusir Anan.

Anan menurut, dirinya mulai bangkit, dan berjalan menuju pintu untuk keluar. “Jangan lupa Nan, tutup pintu nya.” pesan Kayla lagi.

Setelah memastikan pintu tertutup, Kayla menolehkan kepalanya pada Nada. “Gimana sekarang, lo cerita dulu, atau gue dulu?”


Haikal terduduk diam di hadapan Adit dan Keenan yang kini tengah menatap intens dirinya.

Akibat menghilangnya Nada, pada akhirnya Bima memberitahukan lebih awal kalau ingatan Nada sudah pulih, dan ia akan segera kembali ke keluarga kandungnya sesegera mungkin.

Makanya sekarang ada Hermas dan Haikal yang di rumahnya Keira, karena keduanya lagi bingung nyariin Nada ada dimana.

“Kak Haikal saudaranya kak Keira yang asli?” tanya Keenan membuka pembicaraan setelah kondisi canggung cukup lama.

Haikal hanya dapat tersenyum bingung, soalnya Keenan udah tau identitas dia sekarang.

“Namanya Nada Caroline, bukan Keira Abigail.” ucap Hermas menyahuti ucapan Keenan. “Abis ini tolong kalian panggil nya Nada. Jangan buat saudara gue ga nyaman dengan terus terusan kalian panggil Keira.” lanjutnya dingin.

Rahang Adit mengeras, dirinya tidak suka dengan ucapan Hermas barusan. Apalagi mengetahui kalau Hermas adalah juniornya di satu fakultas, makin membuat dirinya di bodoh bodohi.

Haikal mencolek paha Hermas pelan, dirinya menanggapi ungkapan perang yang telah Hermas lempar barusan.

Keenan terdiam setelah mendengar ucapan Hermas, banyak fikiran yang menganggu dirinya baru baru ini. “Tapi Keenan masih boleh anggap kak Keira, eh Nada jadi kakak Keenan kan?” tanya Keenan memelas.

Haikal yang hatinya lebih lembut dari saudara tirinya itu tidak tega. “Ga cuma Nada kok Nan, lo boleh anggap gue juga sebagai kakak mulai sekarang. Adek Nada, adek gue juga.” hibur Haikal.


Nada bersiap keluar dari kamar inap Kayla di rumah Anan. Dirinya sudah siap untuk menemui ibunda Anan. Masalahnya sekarang dia ga ada pilihan boleh ga siap, atau pilihan buat pingsan lagi. Dia harus beneran berani buat menghadapi tantangan itu.

Sedikit yang Nada ingat, dari Kayla. Ibunda Anan adalah orang yang lembut, tapi tegas. Anan sangat menyayangi ibundanya, apalagi dirinya juga adalah anak tunggal di keluarga ini.

“Kaya ketemu calon mertua aja ya Nad.” goda Kayla di samping Nada, yang sedang menuju kamar ibunda Anan.

“Ya bagus kalo calon mertua, tapi disini suasana nya gue kaya di anterin buat ketemu calon majikan gini dah rasanya.”

Kayla ketawa ngakak, dirinya ga tau kalau seorang Nada bisa se grogi itu untuk bertemu tantenya.

“Asli dah Nad, mending lo godain anak cowo satu sekolahan daripada takut gini ketemu nyokapnya Anan.”

Nada menatap pintu kayu coklat yang berhiaskan ukuran berbentuk bunga. Dirinya sudah sampai di depan kamar ibunda Anan.

“Aduh Kay, gimana nanti kalo gue kena bantai di dalem?” bising Nada menahan lengan Kayla sejenak untuk tidak masuk terlebih dahulu ke dalam kamar.

“Kena bantai apanya sih Nad? Nyokapnya Anan bukan tirani anjir.” ujar Kayla menenangkan, “udah ayo masuk. Anan pasti bantu di depan nyokap nya nanti.” sambungnya lagi dan menarik paksa Nada.

Sesuai yang di ucapkan Kayla, Anan sudah duduk di samping ibunya yang terbaring dan tengah memijat kaki ibunya dengan telaten. Nada baru pertama kali ini melihat pemandangan Anan yang seperti ini.

“Bun, ini Nada anaknya sudah bangun.” ujar Anan pelan, dan menepuk kaki bunda nya perlahan.

Bunda yang mengerti hal itu, langsung terbangun dari ranjangnya dan mengikuti arah pandang Anan yang masih menatap Nada dengan lekat.

Bunda tersenyum, anak perjakanya sedang jatuh cinta terlalu dalam pada gadis cantik di depannya.

“Gimana cah ayu, nyaman tidurnya?” tanya Bunda lembut kepada Nada yang masih canggung. “Udah ih Anan, bisa berlubang nanti wajah cewe kamu kalau kamu liatin terus kaya gitu.” sambungnya juga, menggoda Anan.

Bukannya malu, Anan masih tersenyum dan kembali menatap Nada lekat yang kini juga tengah menatapnya.

“Nyaman tante tidur saya, maaf juga udah ngerepotin disini.” jawab Nada kelabakan, bingung di liatin Anan sama bundanya.

“Kenapa panggil tante? Samain aja sama Anan, panggil bunda.” ujar bunda menyela.

Nada menggaruk tengkuknya tidak gatal, hal ini terlalu baru untuknya. “Iya bunda.” ujar Nada pada akhirnya, menurut.

Senyuman Anan melebar, mendengar Nada memanggil bunda nya dengan sebutan yang sama dengan dirinya.

“Senyum terus mulut lo, lama lama sobek nanti.” sahut Kayla yang masih melihat semuanya sedari tadi. “Itu senyuman paling lebar yang akhirnya bisa gue liat setelah tiga tahun ini ya Nan.” sambungnya makin membuat perasaan Nada tak karuan.

Nada tidak menyangka, kalau Anan akan menyukainya se besar itu. Dirinya merasa teralu kecil untuk menerima hal itu.

Bunda mengelus lengan Nada lembut, “Nada kalau mau nginep sini dulu, ga apa. Nginap aja disini, nanti tidur sama Kayla. Tapi kalau Nada mau pulang, bunda bakalan suruh Anan untuk antar. Semua terserah Nada mau gimana.” ujar bunda. “Semua masalah yang terjadi, itu punya cara penyelesaian sendiri-sendiri. Bedanya, apakah kamu mau mengambil atau tidak langkah itu tadi.” sambungnya lagi, panjang lebar.

Nada menatap bunda dengan pandangan yang tidak bisa di artikan. “Yang sayang kamu ada banyak Nada, kamu ga perlu merasa minder dan kecil untuk hal itu. Apapun alasannya, mereka akan tetap sayang sama kamu.” ujar bunda lagi, membulatkan tekad yang sudah kuat di dalam benak Nada.

Nada menatap sendu jalanan yang kini ada di depannya. Gimana gimana? Kok sekarang Nada jadi di jalan? Perasaan tadi di dalem kamar deh sama Tiara.

Jadi gini, tadi selesai keduanya berbincang dan Tiara yang menenangkan Nada, Nada tuh sempet tidur. Karena ga mau menggangu tidurnya Nada, akhirnya Tiara beranjak keluar dari kamar itu. Siapa yang sangka kalau Nada ternyata cuma pura-pura, dan akhirnya dia kabur lewat jendela. Kalau kalian ga lupa, Nada udah pro dalam hal itu.

Cuma ya namanya Nada, ga klop kalau nggak ceroboh. Masalah dia sama, dia kabur tapi ga bawa uang sepeserpun selain ponsel nya. Beneran mau di ngatain bego, tapi anaknya jurusan fakultas kedokteran, ya pasti orang nya jauh dari kata bego.

Tapi untungnya kali ini ponsel dia terisi oleh paket internet. Jadi dirinya bebas buat hubungin siapapun sekarang. Masalah nya dia bawa ponsel miliknya, which is isi kontaknya cuma semua saudara nya yang kemaren dia pilih untuk di nomor dua kan. Malu dong kalo sampe harus telpon mereka, dan jemput Nada sekarang. Kemaren aja di suruh balik bareng nolak, pengen nyelesain masalah lah, apa lah. Sekarang malah pengen balik langsung ke rumah papa. Lucu emang Nada nih.

Akhirnya setelah pusing kelamaan mikir, dan pastinya juga pusing karena dia udah nangis lama, Nada memutuskan untuk menekan tombol call pada orang yang beberapa hari ini bahkan tidak pernah mencoba untuk menghubungi nya.

Belum ada lima detik panggilan berdering, Nada kaget karena Anan sudah mengangkat telpon darinya.

“Anan?”

”...”

Tidak ada jawaban yang terdengar, hingga Nada kembali memastikan apakah panggilannya dengan Anan benar-benar tersambung.

Tersambung ternyata, tetapi Anan memang memilih untuk diam dan tidak menjawab panggilan Nada barusan. Helaan nafas berat di keluarkan Nada, sudah banyak hal yang membebani fikiran nya, kali ini apa lagi?

“Dimana?”

tanya Anan kemudian, seolah menyadari situasi sulit yang kini tengah Nada hadapi. Nada melihat sekitarnya, dirinya tidak tahu persis sekarang ada di mana, karena sepanjang jalan dirinya hanya menghadap ke bawah, dan tidak melihat dengan benar jalanan di sampingnya.

“Eee, gatau.” cicitnya parau.

“Share location aja, gue otw. Ponselnya jangan di matiin.”

Ujar Anan kemudian dan Nada langsung menuruti perintah Anan. Dapat ia dengar dari sebrang telepon, suara Anan yang tengah berlari kemudian di susul dengan suara tutupan dari pintu mobil.

“Anan.”

Panggil Nada kemudian, memastikan.

“Iya Nada.”

“Hati-hati.”


Anan tidak tahu pasti, sudah sejak kapan dirinya hanya terdiam menatap gadis di sampingnya yang kini tengah tertidur dengan lamat.

Panggilan masuk yang sedari tadi terus terusan terlihat pada layar ponselnya dan juga Nada ia biarkan begitu saja. Dirinya tidak ingin mengangkat dan mengusik waktu tidur gadis di sampingnya ini.

Sedari awal, setelah dirinya berhasil menemukan tempat Nada berada, keduanya hanya bisa terdiam tanpa ada niatan untuk berbicara satu sama lain. Hingga pada akhirnya Nada menyerah dan memutuskan untuk tidur di kursi samping kemudi.

Anan juga menjalankan mobilnya tidak tahu arah, satu yang ia tahu, saat ini pasti Nada tidak ingin kembali baik ke rumah keluarga kandungnya, atau keluarga dari Keira.

Pada akhirnya Anan berhenti di sudut kota, dan memarkirkan mobilnya pada jalanan yang sepi di sana. Dengan ragu Anan mengulurkan tangan nya untuk menyentuh kelopak mata bagian atas Nada yang membengkak sejam tiga puluh menit yang lalu.

Anan khawatir, tentu saja. Tapi rasa khawatir nya ia tahan begitu melihat Nada yang tidur dengan pulas. Dalam diam, Anan mengelus kelopak mata Nada dengan perlahan. Dirinya tidak ingin membuat Nada terbangun oleh tindakannya itu.

“Anan.” panggil Nada serak, terbangun dari tidurnya.

“Iya.”

“Lo dimana?” tanya Nada dan meraba udara kosong di depannya. Beneran deh, Nada kayanya harus mulai berhenti buat nangis hebat, atau mata dia bakalan bengkak sampe gabisa di buka kaya gini lagi.

Anan mengambil tangan Nada yang masih berusaha meraih udara kosong di depannya, dan membawanya ke dalam genggaman hangat. “Gue disini.” ucap Anan singkat.

Nada kembali tenang, setidaknya untuk saat ini.

“Gue ga mau pulang ke rumah, Nan.” kata Nada mengadu.

Anan menganggukan kepala nya mengerti, walaupun saat ini pasti Nada tidak dapat melihatnya. “Ke rumah gue aja kalau gitu.” ujar Anan kemudian, masih setia memegang kedua tangan Nada.

“Gapapa?” tanya Nada pelan.

“Gapapa.”

Keduanya kembali terdiam, dan sepi mulai menguasai lagi. Tangan Nada masih berada di genggaman Anan, dan Nada rasa itu sudah cukup untuk mengobati rasa takutnya karena ia tidak bisa melihat apapun saat ini.

“Gue tadi beli tisu, udah gue taruh di dalam air dingin yang tadi juga gue beli. Kayanya sekarang udah dingin, mau di kompres mata nya?” tanya Anan kemudian, memecah keheningan. Nada bingung, sudah berapa lama dirinya tertidur dan melewatkan semua ini?

“Kita udah berapa lama pergi Nan?” tanya Nada kemudian, ingin memastikan.

Anan tidak menjawab, dan menempelkan tisu basah dengan telaten di atas mata Nada. Nada berjengit kaget merasakan dingin yang tiba-tiba menerpa kulitnya.

“Anan?”

“Udah tiga jam Nad, selebihnya ga gue itung.” jawab Anan kemudian, menjelaskan. “Gue ga mau menghitung waktu yang udah berlalu, terpenting sekarang gue udah sama lo.” lanjutnya lagi pelan, tapi masih terdengar Nada.

Nada menyentuh tangan Anan yang masih memegangi tisu basah. “Tapi kenapa kemaren waktu gue di rumah sakit, lo malah ga jengukin? Gue nungguin lo banget Anan.” Ujar Nada penuh penekanan pada Anan kemudian.

Anan menghela nafasnya pelan, dia sudah memperkirakan kalau akhirnya Nada akan menanyakan hal itu pada dirinya. Belum lagi kemarin Hermas juga memberitahu kalau Nada mencari nya.

“Maaf, gue belum sesiap itu.” jawab Anan pelan.

Nada ngerti kok, buat nerima kenyataan yang serba mendadak kaya gini juga perlu waktu. Lagipula Nada juga ga marah perihal Anan yang sama sekali ga menghampiri dia saat dia udah sadar, atau perihal Anan yang bahkan ga membalas chat nya yang terakhir. Nada ga marah, dan Nada ga kecewa dengan hal itu. Nada yakin, semua ada alasannya.

Saat ini ganti Anan yang menatap Nada lekat, “Ga marah?” tanya nya kemudian.

Nada menggeleng, “ga akan bisa marah juga kok. Yang lo lakuin juga bukan hal yang jahat.” jawab Nada tenang. “Dengan lo yang sekarang bela belain datang ke sini, demi gue, dan bahkan ga bertanya tentang perihal satu pun, itu jauh lebih berharga daripada gue harus marah sama lo Nan.” sambungnya lagi panjang lebar.

Anan tersenyum senang. Ini adalah senyuman paling tulus yang ia keluarkan setelah kurang lebih tiga tahun belakangan di penuhi oleh rasa sesak.

“Makasih ya Nad.”

“Makasih karena?”

“Udah kembali.”

Bibir Nada mengatup, dua kata tadi cukup membuat dirinya merasa haru.

“Dan juga, Happy late girlfriend day.”

“Kalah lagi dirimu dengan si Fero itu?” Rina, ibunda dari Salsa ibu kandung Nada mencibir. “Belum cukup dia mengugat cerai kau, hak asuh anak tetap jatuh juga di tangannya.” sambungnya belum usai.

Salsa hanya menundukkan kepalanya dalam diam, dirinya tidak menyangka kalau ibundanya tega berbicara seperti itu, padahal seharusnya saat ini dirinya mendapatkan semangat karena telah kalah dalam memperebutkan hak asuh anak mereka satu satunya.

“Salsa, dari awal ibu sudah menasehati mu. Ibu sudah berulang kali berbicara, lupakan saja mantan kekasihmu itu, dan hidup berbahagia dengan Fero. Dengan kepala mu yang keras itu, justru kau malah bermain gila di belakang Fero padahal kau masih terikat dah dalam janji pernikahan dengannya.” Sentak Rina masih belum puas. “Memang setelah ini, setelah Nada ikut dengan Fero, dan kau hidup dengan Adimas, hidup mu akan jauh lebih bahagia?” Lanjutnya mengejek.

“Ibu, udah jangan terus terusan memarahi Salsa.” sahut Bila, sebagai kakak tertua menengahi pertengkaran antara ibunda dan adiknya itu. “Salsa perlu waktu untuk menenangkan hatinya bu, kehilangan anak semata wayangnya juga bukan hal yang sepele bagi dirinya saat ini.” Ingat Bila lagi, dan membawa ibunya menjauh dari jangkauan Salsa yang saat ini tengah memendam emosinya.


“Kamu fikir akan berhasil merayu Nada dengan menggunakan Adelio, Mas?” tanya Salsa dengan apatis, dirinya sudah terlalu lelah dengan permasalahan yang terus terusan menerjang kehidupan nya.

“Kita coba dulu Sal, kamu tahu sendiri kalau sedari dulu di SMP Adelio sudah berteman dekat dengan Nada bukan?” jawab Adimas dengan optimistis, setelah dirinya memutuskan untuk mengirim Adelio bersekolah ke Malang, sekaligus mengawasi keadaan anak tiri nya itu.

Adimas menyayangi Nada seperti dirinya menyayangi Adelio. Adelio juga sudah bercerita dengan dirinya, kalau hubungan nya dengan Nada cukup baik, dan Adelio juga menyayangi Nada cukup besar. Tapi di balik itu, Adimas tidak mengetahui bahwa arti menyanyangi saudara tirinya dengan besar itu, adalah perasaan cinta antara pria dan wanita.

Dengan mengutus Adelio untuk pergi ke Malang, dan membujuk Nada untuk bertemu ibunya, Adimas fikir itu adalah langkah yang bagus. Menilik umur mereka yang sama, Adimas berfikiran kalau perasaan Nada lebih sederhana dari itu.

“Kamu tadi ajak Nada makan dulu, sayang?” tanya Salsa dengan antusias, menyambut Adelio yang baru pulang usai berjalan jalan dengan Nada untuk makan mie ayam.

Adelio mengangguk, dirinya senang melihat antusias ibu tiri nya itu mendengar kabar anaknya.

“Terus akhirnya kamu antarkan pulang?” tanya Salsa lagi, masih belum puas.

Sayangnya Adelio menggeleng, “Tadi Nada di jemput kakaknya Ma, buat pulang bareng.” Adelio mengatakan sebenarnya, karena memang Jerome lah yang menjemput usai sesi makan mereka berakhir.

Raut wajah Salsa terlihat tidak senang, dirinya tidak suka kalau hubungan Nada terlihat baik baik saja dengan anak anak dari Fero dan istri nya yang baru.


“Mama, Nada bilang mau pergi ke Banyuwangi akhir pekan ini.” ujar Adelio, setelah dirinya sempat bertemu Nada lagi dalam beberapa waktu belakangan.

Salsa mengrinyitkan dahinya heran, “Ke Banyuwangi memangnya mau ke mana Del?” tanya Salsa kemudian.

Adelio menjelaskan bahwa Nada ingin merayakan kepulangan Papa Fero dan Mama Rima dari berbulan madunya dengan mengunjungi Banyuwangi bersama dengan seluruh saudara tirinya.

Lagi lagi Salsa merasa kalah dari Fero, mengingat Nada sama sekali tidak perduli untuk memberikannya kabar tentang hal itu, dan justru dirinya tau dari Adelio.


Salsa masih ingat dengan jelas, pukul sembilan pagi ketika dirinya tengah sibuk menilai berbagai furnitur yang baru sampai dari gudang pusatnya. Tiara, anak dari kakak pertamanya Bila menelepon dirinya berulang kali.

Setelah ia menyadari hal itu, dirinya langsung mengangkat panggilan dari Tiara dengan pelan. “Kenapa dek?” tanya Salsa dengan penasaran, karena tidak biasanya keponakannya itu menelponnya di waktu acak seperti ini.

“Mbak, aku ketemu Nada di jalur bawah kawah Ijen.” ujar Tiara dari sebrang sana.

Wajah Salsa berubah masam, dirinya tidak ingin mendengar cerita Tiara lebih lanjut tentang betapa menyenangkannya perjalanan anak gadisnya itu dengan keluarga nya yang baru.

“Mbak lagi sibuk dek, mbak tutup aja.”

“Mbak, Nada ga sadarkan diri disini. Aku ketemu dia udah dalam kondisi ga sadar, dan kepala dia luka berat. Aku rasa dia menginjak tanah rapuh di jalur atas sampai pada akhirnya jatuh ke bawah.” ujar Tiara dengan terengah-engah.

Kepala Salsa berputar, dirinya tidak mengharapkan berita seperti ini akan tersampaikan kepadanya dengan kondisi yang tidak memungkinkan.

“Mbak, aku tau kamu kaget. Sekarang mending aku telpon dulu mas Fero, dan aku bawa Nada ke rumah-”

“JANGAN!! JANGAN TELPON FERO RA!! KIRIM KAMU KE RUMAH SAKIT MANA, SAYA SAMA MAS ADIMAS LANGSUNG NYUSUL KE SANA!!” sela Salsa cepat, dan memutus sambungan Tiara.

Tiara tidak tahu, bahwa awal mula dari semua nya adalah dari tindakannya yang gegabah menuruti semua kemauan adik dari ibu nya.


Salsa duduk dengan rapuh di samping ranjang rumah sakit yang tengah merawat putrinya. Setelah melakukan perjalanan panjang dari kota Malang menuju Banyuwangi yang melelahkan, Salsa tetap bersikukuh untuk tidak memberitahu keberadaan Nada pada Fero.

“Mbak, mereka pasti nyariin Nada.” Ingat Tiara pada Salsa yang masih keras kepala.

“Itu salah mereka Ra, mereka tidak menjaga Nada dengan baik baik.” ujar Salsa tegas, “Tidak akan aku kembalikan Nada pada mereka, aku lebih rela Nada di rawat oleh orang lain dan tidak mengenaliku, daripada Nada harus di rawat oleh Fero dan istri barunya.”

Tiara terkejut, dirinya tidak menyangka kalau perkataan seperti itu bisa keluar dari mulut Salsa. “Mbak, ucapan adalah do'a.” Ingat Tiara menegur.


Belum selesai keterkejutan Tiara tentang Salsa yang menentang untuk memberitahu keberadaan Nada pada Fero, Fero yang kembali ke Malang dengan tangan hampa karena kehilangan Nada memberikan kabar tentang penemuan mayat tidak di kenali di sekitar wilayah Nada menghilang.

Salsa merasa bahwa itu adalah kesempatan yang bagus, karena waktu yang berlangsung juga belum begitu lama. Belum lagi Nada yang masih menjalankan perawatan intensif di rumah sakit yang dirinya sembunyikan.

“Mbak, jangan terlewat jauh dan memanfaatkan situasi saat ini.” Ingat Tiara pada Salsa yang bersikukuh untuk tidak mengizinkan mayat tersebut di otopsi, dan lebih memilih untuk mengiyakan bahwa itu adalah mayat Nada yang sebenarnya.

“Rasa sakit ku jauh lebih besar daripada ini Ra. Penghinaan dari nenek mu juga belum sepenuhnya hilang. Ayah dari suami mu, Bima kemarin juga menawarkan diri untuk mengurus dan merawat Nada. Mbak bisa berbuat sejauh ini, dan mbak yakin tidak ada cela untuk hal ini. Sehabis ini Nada akan di bawa ke Malaysia oleh keluarga Bima untuk perawatan lebih lanjut, mbak berharap di sana kamu bisa merawat Nada sebaik-baiknya.” ujar Salsa panjang lebar, sebelum dirinya pergi dan menimpakan seluruh tanggung jawab pada Tiara.


Badan Nada panas dingin mendengar seluruh penuturan cerita dari Tiara. Dirinya tidak menyangka, kalau dalang di balik semua ini adalah Mama nya sendiri. Hanya demi meninggikan ego nya, Mama nya rela memendam semua rahasia ini rapat-rapat.

“Kita kembali ke Malang juga atas keinginan mama kamu Nad, dia ingin bisa melihat kamu lebih dekat di sini.” ujar Tiara lagi, melembut karena dirinya kasihan melihat keterkejutan Nada.

“Mbak, kenapa?”

Tiara melihat Nada dengan tidak mengerti,

“Kenapa bisa sejauh ini mbak?”

Tiara kembali membungkam mulutnya, dirinya juga merasa bersalah karena secara tidak langsung ia sudah menjadi kaki tangan mama Nada selama ini, untuk turut menyembunyikan Nada.

“Mbak Tiara harus lihat Papa kemarin waktu ketemu aku lagi mbak, sekujur tubuh Papa gemetar karena haru. Papa bahkan ga berani lihat wajah aku, karena papa takut kalau aku bakalan berganti orang lain. Waktu aku pura-pura tidur, bahkan papa cium aku tanpa henti, ucapan syukur ga berhenti papa ucapin bahkan dalam waktu berjam jam. Kenapa bisa sejahat itu mbak? Papa aku salah apa?”

Tiara melihat Nada kini menangis dengan keras, setelah menyelesaikan ucapannya. “Kasian papa aku, kasian papa-” Nada menepuk nepuk dadanya keras, berusaha mengurangi rasa sesak di sana.

Tiara ikut menangis, melihat kondisi Nada yang cukup memprihatinkan saat ini. Dengan perlahan Tiara menarik Nada agar masuk ke dalam pelukannya. Setidaknya, hanya ini lah yang bisa ia lakukan sekarang.

Jeffery dan Jerome duduk di sudut ruangan, setelah pertemuan nya dengan Nada berakhir dramatis karena keburu Delvin ngamuk duluan.

Gimana ga ngamuk, si Jerome sekalinya liat Nada langsung loncat mau peluk Nada yang tangannya masih ada infus. Untung infusnya ga lepas. Belom lagi Jeffery yang nempel nempel terus sama Nada, kaya takut banget kalo di tinggal kedip Nada nya bakalan ilang.

“Diem lo berdua di situ.” perintah Delvin mutlak, tidak bisa di ganggu gugat.

Nada tersenyum kecil, hatinya menghangat. Dirinya kembali bernostalgia dengan ingatannya di masa lalu tentang kebersamaan mereka semua.

“Sebelumnya kak Jerome udah tau loh padahal, tapi ternyata belom terlalu kentara ya akhirnya.” ucap Nada kemudian, dan menatap Jerome lamat lamat.

Jerome tersenyum tipis, dirinya mengingat pertemuan nya dengan Nada, yang saat itu masih menjadi Keira. Harusnya mulai dari situ dirinya sudah mulai curiga bukan? Memiliki kemiripan wajah yang sama persis saja sudah tidak masuk akal, apalagi juga kebiasaan nya?

“Kakak terlalu naif waktu itu Nad, kakak cuma sekilas kaya, oh iya ya, di dunia ini yang ga suka sawi juga bukan Nada doang, bisa aja itu emang kebetulan. Coba kalau waktu itu kakak lebih berani, apa ingatan lo bakalan juga lebih cepat buat kembali?” ujar Jerome menyesal.

Delvin menghela nafas, dirinya sudah memperkirakan kalau Nada kembali pasti banyak ujaran ujaran penyesalan yang akan datang silih berganti.

“Lo kecewa Nad? Saat itu gue ga ngenalin lo?” tanya Jerome kemudian, hati hati.

Nada menghela nafasnya pelan, “Gue sama sekali ga kecewa kak. Kalaupun harus ada kata kecewa, harusnya kalian yang disini kecewa sama gue. Bisa bisanya gue lupa sama kalian.” jawab Nada dengan sedih.

Jeffery menatap Nada dalam diam, dirinya masih belum percaya kalau yang ada di hadapannya adalah adiknya yang selama tiga tahun terakhir ini menjadi alasan tiap rasa bersalah dan kesepiannya.

“Bahas penyesalan dan masa lalu ga ada habisnya Nad, mending sekarang kita berfokus aja untuk masa depan yang bakalan kita jalani nanti.”

Ucapan Jeffery tadi membuat Nada tersadar, masih banyak hal yang bisa ia lakukan mulai dari sekarang, dan pastinya dirinya tidak akan membuat kata sia sia kembali dalam kosa kata hidupnya lagi.

Anan berlari usai Haikal memberitahunya kalau Keira sebenarnya adalah Nada. Serius, dia se bingung itu dengan jalan hidup dia yang bentuknya udah acak dan ga tertata lagi.

Miracle? Nggak, bagi Anan itu lebih dari sebuah keajaiban. Wanita yang ia tahu sudah tidak ada di dunia ini, ternyata masih hidup dan sehat hingga bisa berdampingan dengannya dalam beberapa waktu.

Satu dering yang keluar dari ponselnya menyadarkan Anan yang kini tengah berdiri tidak jelas di pinggir jalan.

“Nan? Lo kemana anjir. Kenapa langsung lari keluar apartemen?”

Suara Adelio menyapa gendang telinganya.

“Halo? Anan? Lo ga lagi bengong kan di jalan?”

tanya Adelio lagi, memastikan.

“Share loc anjir, gue susul.”

Panggilan di matikan, dan Anan kembali menatap kosong pada ponselnya.

Alih-alih membalas pesan Adelio, Anan justru menghentikan taksi yang lewat dan masuk kedalam nya.

“Mau kemana mas?” tanya supir dengan sopan.

“Rumah Sakit Lavalette pak.”


Anan berdiri dengan ragu di ruang inap Kamboja nomor 13 itu. Nomor kamar yang ia ketahui dari Haikal tadi.

Dirinya sedikit menggerutu, karena kaca pada jendela kamar tertutup rapat oleh kain. Jadi dirinya tidak bisa melihat orang di dalamnya, kecuali ia masuk ke dalam ruangan itu.

“Maaf mas, mau jenguk siapa ya?” tanya salah seorang suster yang tengah lewat membawa obat-obatan rumah sakit.

Anan menggaruk tengkuknya tidak gatal, sial dia sampai tepergok seperti ini. “Yang di dalam gapapa sus?” tanya Anan kemudian.

Suster melihat nomor kamar, dan kemudian kembali melihat Anan yang masih terdiam menunggu jawabannya. “Pacarnya ga apa-apa kok mas, besok mungkin juga sudah pulang. Mas nya masuk saja, jam jenguk masih di buka.” ujar suster itu, dan berlalu pergi.

Anan menegang mendengar ucapan si suster. Pacarnya tidak apa-apa katanya. Apa dia harus senang?

Anan menegakkan pundaknya, dia belum yakin kali ini, mungkin dia akan kemari lagi juga hati nya sudah lebih tertata. Dirinya sendiri, Anan yang lebih tau tentang hal itu. “Nanti Nad, maaf.” ujarnya sebelum pergi dan berlalu dari sana.

Nada mencoba membuka matanya perlahan, melawan terik dari sinar lampu yang begitu menusuk matanya.

“Kepalanya masih sakit kak?”

Nada terkesiap, begitu suara seseorang yang sudah ia panggil dengan sebutan ayah selama tiga tahun ini menyapa gendang telinga nya.

Dengan pelan, Nada menoleh ke arah ayah. “Ayah ga kerja?” tanya Nada selembut mungkin, dirinya belum tahu sejauh mana dan hal apa saja yang sudah terjadi selama dia tidak sadarkan diri.

“Ayah udah pulang, pulang lebih dulu.” jawab Ayah dengan senyuman kecil. “Masih sakit kepalanya?” tanya Ayah, mengulang pertanyaannya yang pertama. Nada menggeleng, kepalanya saat ini sudah jauh lebih baik daripada yang lalu.

Gumara terdiam, menatap gadis di depannya. Setelah dirinya bertemu dengan kedua orang tua Nada di depan tadi, pikirannya menjadi lebih kalut dari biasanya.

“Kakak udah inget?” Tanya Gumara menghentikan lamunan Nada.

Nada mengangguk dengan ragu, “Semuanya yah, kecuali hari itu.” jawab Nada singkat.

Gumara menghela nafasnya pelan, pada akhirnya bangkai yang selama ini telah ia dan keluarganya simpan tetap tercium bau nya bukan? Ia tidak bisa menyembunyikan hal ini jauh lebih lama lagi, menghormati perasaan kedua orang tua Nada juga.

“Adit dan Bima yang temuin kamu kak di kawah Ijen. Mereka melakukan pendakian melewati rute lain, dan di saat yang bertepatan itu mereka menemukan kamu sudah tidak sadarkan diri di pinggir jurang dengan kepala yang di penuhi darah kering.” Ujar Gumara kemudian, mencoba menarik ulur waktu sepanjang mungkin.

“Ayah ga bermaksud untuk menyembunyikan kamu, baik ayah sendiri atau saudaramu yang lain juga. Tetapi ketika kamu terbangun, dan mengetahui kenyataan kalau kamu ga ingat apa-apa tentang hidup kamu sebelum nya, kami justru membuat pilihan yang pada akhirnya juga berakhir pelik.”

Nada terdiam, mendengarkan setiap ucapan orang yang sudah ia panggil dengan sebutan ayah selama tiga tahun ini dengan seksama.

“Ayah, mas Bima, kak Adit, bahkan Keenan sudah pernah merasakan kehilangan sekali begitu Keira yang asli meninggalkan dunia. Kami fikir dengan kehadiran kamu, lubang di dalam hati mungkin bisa terisi dan sembuh kembali. Kami mengakui kalau kami memang egois, tapi kami juga sudah berupaya untuk mencari keluarga kandung kamu kak sebelum kami mengajakmu untuk pindah.”

Nada tersenyum miris, lagi lagi dirinya di tempatkan sebagai pengganti, entah saat ia menjadi Keira atau kembali lagi menjadi Nada sekarang. Dan hebatnya, seolah-olah dirinya tidak memiliki kesempatan selain hal itu.

“Siapa aja yang udah tau kalau aku udah ingat yah?” tanya Nada kemudian, memastikan.

“Semua dek, semua udah tau.” Sahut Delvin memasuki kamar inap Nada.

Keira melangkahkan kakinya keluar dari cafe dengan berat. Pertengkaran antara Yohan dan Haikal masih terjadi di dalam, dan dirinya tidak akan peduli lagi.

Gatau lagi, hati nya sakit, kepalanya sakit, rasanya semua badan jadi sakit sampai dirinya bingung gimana supaya kegundahan nya sekarang bisa berhenti dia harus lakuin apa lagi.

Masih terdengar jelas di telinga nya, tentang Yohan yang menyebutnya pengganti Nada dan juga Haikal yang menyangkal hingga matanya memerah.

Ingatannya kembali ke waktu yang lebih lama, ketika Yohan menyatakan perasaannya. Ada perasaan familiar begitu dirinya mengingat hal itu lagi.

“If you’re really-really not in rush, May I offer my self to be your soon sweet boyfriend?”

“May I offer my self to be your soon sweet boyfriend?”

“May I be your boyfriend?”

Keira terkesiap, mendengar suara Anan terdengar jelas di telinga nya ketika mengatakan hal itu. Sakit pada kepalanya makin menjadi, tak tahan pada akhirnya Keira tetap mengalah dan memilih untuk menangis.

Kakinya berjalan dengan asal menuju gedung yang bertuliskan RSU LAVALETTE. Dari melewati keamanan, hanya ada satpam yang melihatnya dengan terheran karena ia menampakkan wajah menangis.

Akhirnya Keira menemukan lift pengunjung yang bisa ia naiki untuk menuju lantai paling atas, atap.

Ting!

Lift terbuka, dirinya berpapasan dengan dua pengunjung rumah sakit yang lain, yang juga menaiki lift yang sama. Kepalanya masih sakit, tapi kali ini dirinya memilih untuk tetap menyembunyikan wajahnya, malu karena ketahuan menangis.

“Halo mbak?? Ada yang sakit??” tanya pengunjung itu, yang ternyata masuk ke dalam lift lagi memastikan keadaan Keira.

Tunggu, kali ini Keira juga merasa familiar dengan suara yang menyapa gendang telinganya dengan lembut itu.

“Mbak? Gapapa?” Tanya pengunjung lelaki itu, lebih detail ke arahnya.

Kepala Keira makin sakit, dirinya mencoba memutar otaknya. Apa yang sudah ia lupakan di masa lalu? Bagian penting apa yang sudah ia lupakan? Hingga mendengar suara seseorang yang menanyakan keadaannya ini saja, kerinduan dalam hatinya benar-benar membuncah.

“Jeff, ambilin kursi roda di depan deh. Cepet!!”

Denyutan luar biasa di rasakan oleh Keira, saat dirinya berusaha menggali ingatannya. Pandangan nya mendadak kabur begitu dirinya mencoba untuk menolehkan kepala, melihat siapa seseorang yang kini tengah menatap khawatir dirinya.

Di tengah pusing yang luar biasa tengah melanda, Keira merasakan potongan potongan memori menghantam dirinya. Memenuhi lubang yang selama ini kosong di dalam ingatannya.

“Lo pokoknya harus disini, tunggu sampe yang lainnya sampe!”

Kaki Keira bergetar, dirinya menjambak rambutnya dengan asal. Pada akhirnya, ia sepenuhnya sadar dan ingat bahwasanya ialah Nada Carolina.

Nada ingat semuanya.

Nada menoleh ke arah Delvin yang ikut terpaku melihatnya. “Kak- kak Delvin?” Setidaknya itu kata terakhir yang Nada ucapkan sebelum ia merasakan cairan hangat keluar dari hidungnya, dan semuanya menjadi gelap. Sebelum dirinya benar benar kehilangan kesadarannya, Nada merasakan rengkuhan hangat yang kemudian mengangkatnya untuk berpindah dari sana.

Keira menatap pemandangan di sekitarnya dengan bingung. Beneran kaya orang pacaran mereka berdua mah. Udah meja sama kursi berduaan, belom lagi nuansa pink dan love menghiasi seluruh penjuru ruangan. Cafe apaan dah ini anjir.

Kalo kata Yohan, ini salah satu cafe elite yang ada di Malang, dan mostly banyak pasangan kondang yang berdatangan ke situ. Karena selain tempatnya strategis, juga banyak hidangan aesthetic yang pastinya menjadi kegemaran oleh pemuda masa kini.

Ya masalahnya, mereka berdua bukan pasangan. Dan Keira sendiri merasa kalau yang Yohan lakukan kepadanya ini lumayan berlebihan dengan mengajaknya ke cafe pasangan seperti ini.

Satu pop-up muncul di ponsel Keira, yang berasal dari Haikal.

Keira mengerutkan keningnya, ni anak minta shareloc udah kaya ngajak gelud gini. Ada apaan sih? Tapi Keira fikir, itu juga lebih bagus kalo ada Haikal disini. Siapa tau suasana canggung nya bakalan mereda kalau Haikal beneran nyamperin kesini.

Satu notifikasi kembali hadir di jendela pop up nya, Keira yakin kalau itu masih dari Haikal. Tapi kali ini, dirinya membiarkan notifikasi itu, dan lebih berfokus pada Yohan yang tengah asyik bercerita tentang keseharian nya mengajar anak-anak berlatih karate. Biar lebih menghormati aja, Keira juga ga mau kalau dia lagi ngomong malah di tinggal maen hape.

“Terus suatu hari, gue pernah dateng telat kan Kei. Lucunya anak-anak yang lain ga ada yang berani tegur gue. Ternyata rasa takut mereka sebesar itu ke gue, gue ga nyangka kalau selama ini gue terlalu keras sama mereka.” Ujar Yohan bercerita dengan semangat, “pada akhirnya, gue adain evaluasi dan bilang kali ini kalau ada yang telat even senior sendiri tegur aja. Senior terlambat, itu juga konsekuensi dia. Dan mulai saat itu, gue rasa hubungan gue bareng junior yang gue pegang lumayan nyatu lagi.”

Keira mengangguk angguk, mengerti. “Beneran sih Han, emang dalam beberapa kondisi, pressure seseorang yang tingkatannya lebih tinggi cukup mempengaruhi dalam sebuah hubungan.” kata Keira setuju.

Yohan bahagia, dirinya tidak menampik kalau ini adalah salah satu kegiatan paling membahagiakan dalam hidupnya. Bisa duduk bersama dengan seseorang yang mungkin kedepannya akan menjadi orang spesial dalam hidupnya, dan bisa bertukar cerita seperti ini. Ini termasuk hal baru bagi dirinya, walaupun sebenarnya banyak wanita lain yang memang memiliki niat untuk mendekatinya tetapi selalu ia tolak.

“Minuman lo beneran red velvet?” tanya Yohan memastikan, begitu salah satu pelayan menghampiri meja mereka dan meletakkan dua pesanan minuman.

“Iya, udah dari dulu gue suka red velvet.” ucap Keira jujur. Dirinya tidak perlu menyembunyikan hal seperti ini kan?

“Lo beneran mirip sama orang yang gue kenal, beneran serupa tapi gue fikir kalian ga sama.” ujar Yohan setelah menyelesaikan keterkejutan nya.

“Siapa? Nada?”

Mata Yohan kembali melotot kaget, tidak menyangka kalau Keira akan berkata blak-blakan seperti itu kepadanya. “Lo udah tau Nada?!” tanya nya serius.

Keira mengangguk perlahan, “Ya gue taunya dia pacarnya Anan doang sih, dan emang mirip gue.”

Yohan berdecih kecil, “pacar apanya.” gumamnya pelan. “I could be a better boyfriend than him.

I could do the shit that he never did.”

“Hah??” tanya Yohan kebingungan mendengar ucapan Keira.

“Lah lo lagi nyanyi kan? Ya itu gue lanjutin liriknya. Abis, I could be a better boyfriend than him. Part nya lanjut ke I could do the shit that he never did.”

Yohan tertawa terpingkal, “kocak banget lo Kei hahahahaha.”

Justru kini Keira yang bingung, “Beneran ga nyanyi dong tadi berarti?”

Yohan mengangguk kecil, “Terserah lo mau anggap apapun itu. Gue gapapa.”

'Ih anjing, jangan flirt ke gue bangsat. Gue cuma temen luuu.'

Berikutnya, suasana di antara keduanya cukup sepi karena mereka juga masih menikmati beberapa makanan yang sudah di pesan. Yohan terkekeh kecil begitu melihat satu serpihan kue tertempel di pipi bagian kanan Keira. Dengan sigap, Yohan mengambil serpihan kue tersebut dan membuat tubuh Keira tegang karena kaget.

Dengan segera Keira menampik tangan Yohan, dan mengusap pipinya kasar. “Ada kue nya ya? Hahaha makasih.” ucapnya canggung.

Yohan melirik Keira sebentar, dirinya mengerti kalau tubuh Keira mungkin melakukan penolakan karena kaget tadi.

“Kei, what are we?”

Keira mengerutkan keningnya tidak mengerti, Yohan tiba-tiba menanyakan hal seperti itu padanya. “Hah? Friends of course.”

I want more.”

Friends level two?”

“Hahahaha, lo sama lucunya ya ternyata. Maaf, okay gue bakalan to the point kali ini. If you’re really-really not in rush, May I offer my self to be your soon sweet boyfriend?”

Boifran boifren matamu picek!!

Haikal berjalan dengan cepat menuju keduanya. Keira yang belum selesai keterkejutan nya karena Yohan tiba-tiba mengutarakan perasaan kepadanya, makin terkejut karena Haikal datang di waktu yang tepat dan memotong sesi serius antara dirinya dan Yohan.

“Haikal??”

“Lo gapapa Kei?” tanya Haikal cepat, dan melihat seluruh anggota tubuh Keira dengan seksama. “Masih utuh, aman.”

“Apaan banget dah nanya lo, kaya gue mau mutilasi si Keira aja.” kata Yohan sinis, karena Haikal merusak kegiatan nya dengan Keira.

“Lo kan emang gila, gue gatau seberapa gila lo sampe bakalan ngelakuin hal itu juga.”

Yohan makin tersinggung.

“Sebelumnya bentar, Kal lo mundur dulu. Gue masih ada urusan sama Yohan.” Kata Keira kemudian, menengahi pertengkaran antara Yohan dan Haikal.

Yohan tersenyum menang, “gimana Kei?”

“Sorry sebelumnya Han, but can we just be friends?”

Senyum yang ada di wajah Yohan luntur. “Kenapa Kei?”

Keira bengong, ga ngerti yang ada di fikiran nya Yohan apa. “Ya kenapa apanya? Masa gue harus kasih alasan?” tanya Keira balik.

Yohan menelan ludahnya pahit, “maksud gue, apa yang kurang dari gue Kei? Gue bisa kok jadi-”

“Yohan, stop anjir. I want male friends, but why then y'all do weird shit like catching feelings? Lebih dari itu, lo juga gue anggap teman karena lo senior adek gue di karate. Ga lebih Yohan.” ucap Keira kemudian, meledak ledak. Keira dengan segera mengemas beberapa barang bawaannya, cukup sampai disini mungkin agenda antara dirinya dan Yohan sebelum semuanya berubah makin rumit.

“Lo ga ada malunya ya Han, pertama lo sembunyiin Keira, kedua lo nembak Keira? Gila obsesi lo tentang Nada dari dulu ga pernah berubah.” ujar Haikal memprovokasi.

Keira hanya terdiam mendengar perdebatan antara keduanya saat mengemas barang. Mau gimana pun, keduanya udah berteman jauh sebelum Keira bertemu dengan mereka. Maka dari itu, perdebatan ini bukanlah hal yang dia bisa masuki dengan sesuka hati.

“Gue obsesi sama Nada? Hah, terus gimana lo anjir?? Lo ga ngaca dengan diri lo sendiri.” jawab Yohan tak kalah menggebu. “Kei, lo harus tau. Nada, yang lo bilang cewe Anan, dia saudara Haikal sama Hermas yang udah ga ada.” sambungnya lagi dan menarik tangan Keira untuk mendengarkan keseluruhan nya.

“Diem lo bacot!!”

“Alasan kenapa Haikal dan yang lainnya approve lo dan circle lo masuk ke circle mereka, semata mata karena lo mirip Nada. Mereka ga pernah tulus sama lo, dan mereka cuma anggap lo sebagai duplicate Nada.” sambung Yohan masih tak gentar.

Tangan Keira bergetar, dirinya begitu kaget mendengar penjelasan Yohan barusan. Hati dia beneran tertusuk, karena Haikal lah yang beneran dia bahagiakan dalam jalur Keira dalam mendapatkan teman.

“ANJING LO BANGSAT!”

“KAL DIEM!” Bentak Keira kemudian, dirinya melihat Haikal yang kini sudah mencengkram kerah leher Yohan dengan keras. “Selama ini, lo anggap gue sebagai pengganti Nada? Jadi selama ini lo emang sengaja deketin gue, karena gue mirip saudara lo?” ujar Keira dengan suara bergetar, menahan tangis. “Oh ga cuma lo ternyata, semua sahabat lo juga gitu kan? Gue tiba-tiba inget abang lo, Jerome. Dia pasti juga berfikiran kalau gue Nada?”

“Kei, ga gitu...” suara Haikal melembut, mencoba membujuk Keira. Dirinya beneran frustasi kali ini.

“Gue, hidup mewakili diri gue sendiri brengsek. Gue bukan Nada.” kata Keira penuh penekanan, sebelum bergegas pergi dari sana meninggalkan keduanya.

“Lo beneran anjing Han, ga salah dari dulu gue ga pernah bolehin Nada deket deket sama lo even cuma tegur sapa doang.” ucap Haikal final, sebelum dirinya ikut pergi dari sana meninggalkan Yohan yang hanya terdiam.

“Nad, kenapa berserakan gini sih?” tanya Delvin dan melihat Nada yang tengah sibuk melipat beberapa bajunya yang akan dirinya bawa untuk ke Banyuwangi.

“Gatau gue mau pake baju yang mana kak.” rengek Nada kemudian, dan mulai memilah-milah kembali beberapa baju yang akan ia bawa.

“Pake mana aja yang nyaman, milih baju doang kenapa ribet banget sih.” gerutu Delvin ikut merapikan baju yang tidak jadi Nada bawa, kembali ke dalam lemari.

“Ih, lo tuh ga paham. Gue perlu untuk tampil prima setiap waktu tauk!” sahut Nada jengkel, karena Delvin tidak mengerti apa yang Nada inginkan.

“Kenapa harus tampil prima?” tanya Delvin kemudian, dan ikut duduk di depan Nada.

Nada menurunkan tangannya, menatap balik Delvin. “Ya ga ada, pengen aja keliatan cakep.”

Delvin menatap lurus ke dalam mata Nada, “lo ga perlu bawa baju yang bagus, baju yang cocok, baju yang terlihat baik di lo Nada cuma buat sekedar tampil prima. Di mata gue, di mata saudara lo yang lain, di mata mama atau papa, lo tuh udah sangat amat cukup cantik.” ucap Delvin dalam satu tarikan nafas, membuat Nada yang di depannya tertegun karena tidak menyangka seorang Delvin akan berucap seperti itu kepadanya.

“Anjing satu lemari aja apa ya yang gue bawa kak?!”

“Hah?? Ya ga gitu juga bangsat!”


Delvin tersenyum, melihat gaun motif bunga berwarna kuning yang dirinya ambil dari dalam lemari Nada. Gaun itu adalah gaun yang dirinya pilihkan untuk Nada, supaya ia pakai ketika berada di Banyuwangi dulu.

Kenyataannya, hingga saat terakhir dirinya tidak pernah melihat Nada mengenakan gaun itu, dan kemudian gaun itu kembali dengan rapi di dalam lemari seperti semula.

“Del? Ngapain? Kok di kamar adek?” tanya Tiyo yang memanggi Delvin di depan pintu kamar Nada yang memang di biarkan terbuka. “Kok ngeluarin baju adek yang ini? Buat apa?” tanya Tiyo kemudian, dan duduk di samping Delvin dengan tenang.

Delvin hanya diam tak berguming, sambil sesekali mengelus gaun berwarna kuning itu lembut.

“Kangen Nada?”

Delvin berdecih, “Siapa sih emang di rumah ini yang ga kangen Nada?”

“Kalo kangen Nada, ayo ke makam. Bareng gue, atau bisa sama yang lain. Atau kalau mau quality time sama adek, sendirian aja ke sana.” ujar Tiyo kemudian, mencoba menghibur hati adiknya.

“Bang, apa permintaan gue punya adek cewe yang sedari dulu gue idam idam kan itu berat banget ya? Sampe Nada juga ikutan pergi.”

Tiyo menekuk alisnya tidak mengerti, “ngomong apasih?”

“Dulu gue minta adek cewe ke mama, tapi berakhir papa pergi.”

“Del, papa pergi itu karena waktunya udah buat pergi. Bukan karena lo minta adek cewe.”

“Terus ada Nada dateng, ga lama dia juga pergi. Apa karena emang permintaan gue punya adek cewe itu membebani banget ya?”

Tiyo tidak berucap lagi, dan memeluk Delvin dengan erat. Banyak hal yang Delvin pikirkan saat ini, dan Tiyo tahu benar itu. Luka yang Delvin tanggu sedari dulu, memang tidak benar benar pernah tertutup.

Mungkin iya, sempat terobati karena kedatangan Nada. Tiyo tahu benar, karena semenjak kedatangan Nada, Delvin lebih sering tersenyum dan mengekspresikan banyak hal dengan lebih sering. Tapi seperti kata Delvin, itu tidak bertahan lama dan justru membuat luka pada hati Delvin menganga jauh lebih lebar dari sebelumnya.

Delvin melepaskan pelukan Tiyo dengan perlahan, “Lo keluar aja, gue mau tidur kamar Nada malam ini.” ujar Delvin kemudian, dan di jawab oleh anggukan Tiyo yang beringsut bangun dari duduknya untuk keluar dari kamar Nada.

“Del, gue harap kita semua bisa bahagia ya mulai dari sekarang.” ucap Tiyo sebelum menutup pintu kamar, dan berlalu dari sana.

Iya Keira kaget. Beneran sekaget itu waktu liat Haikal dan Anan udah duduk tenang di sofa ruang tamu rumahnya.

Tadi Keira tuh lagi ngajarin Keenan garap tugas Biologi, jadi dirinya ga liat kalau banyak notifikasi di ponsel yang beneran nyepam banget. Dari yang penting, sampe ga penting penting amat.

“Kalian berdua kok bisa tau rumah gue? Nanya ke siapa?” tanya Keira menemani keduanya. Keenan beranjak ke dapur, dirinya sebagai tuan rumah dengan mandiri ingin mengambilkan Haikal dan Anan air minum.

“Nanya Jisel.” jawab Haikal singkat, “buset, rumah lo lumayan gede juga ya Kei.” puji Haikal dan mengedarkan pandangan ke sekeliling rumah.

Keira mengangguk mengiyakan, dan pandangannya beralih pada Anan yang sedari tadi terlihat fokus dengan ponselnya. “Lo kenapa juga ikut?” tanya Keira kepada Anan.

Anan melirik Keira sebentar, dan berpaling pada Haikal. “Ga ada, pengen jalan-jalan doang.” jawabnya padat.

Haikal tersenyum kecil, dirinya mentertawakan gengsi Anan yang cukup besar.

“Kak Haikal, kak Anan, adanya es teh manis doang ya. Maaf kalo gabisa siapin yang lebih.” ucap Keenan sembari membawa nampan yang berisi dua gelas es teh yang baru saja di buatnya.

“Eh santai aja kali, kita kan bukan presiden juga.” ujar Haikal berkelakar.

“Ini kalian berdua langsung dari rumah ke sini?” tanya Keenan lagi, dan memposisikan duduk di samping Keira. “Gila kaget banget gue waktu mas Bima tadi bilang ada cowo yang nyariin kak Keira. Gue kira kak Keira beneran udah ada pacar. Ternyata kalian berdua toh.” sambungnya panjang lebar.

Keira melirik Keenan, “kenapa kaget banget coba? Kaya hal aneh aja kalo gue punya pacar.”

“Ya aneh lah, lo kan nolep.” jawab Keenan langsung, membuat darah Keira mendidih.

“Ni anak, sana lu pergi!” perintah Keira kasar, menyisakan tawa Keenan yang senang berhasil menggoda Keira.

“Ini di rumah lo cuma sama Keenan, sama kakak lo yang pertama itu doang Kei?” tanya Haikal, begitu Keenan pergi dari sana.

Keira menggeleng, “nggak juga sih sebenernya. Masih ada kak Adit, sama ayah. Dan mas Bima tuh sebenernya udah nikah, dan punya istri. Jadi dia sama istrinya punya rumah sendiri. Mereka berdua kesini juga karena ada urusan.” jelas Keira.

Anan mengedarkan pandangannya pada seluruh sudut rumah, “ga ada foto keluarga.” gumam nya pelan.

“Hah?”

“Apaan?” sahut Haikal.

“Nggak, tadi kayanya gue denger Anan ngomong.” kata Keira kemudian.

“Ga penting.”

'Ye, biasa aja kali.'

“Jadi lo kesini cuma mau tau rumah gue doang kah?” tanya Keira kemudian, beralih ke topik utama.

“Iya, gabut juga sih sebenernya.” jawab Haikal jujur.

“Lo tuh anaknya emang ga bisa diem ya, ada aja tingkah lo yang harus gerak ini lah, itu lah.”

“Ya gapapa. Itu kan bukan hal buruk juga. Nah berhubung gue udah ke rumah lo nih, kapan-kapan ayo main ke rumah kita.”

“Rumah kita?” tanya Keira balik, kaget.

“Rumah gue deng, anjir ngakak kenapa gue bilang rumah kita ya?” Haikal mencoba untuk klarifikasi.

“Kaget gue anjir, soalnya ga mempan kalo itu tadi lo jadiin gombalan.”

“Yah, padahal gue udah belajar mati-matian buat flirting ke cewe.”

“Belajar dari siapa sih? Kurang ahli nih yang ngajarin lo kayanya.”

“Hahahaha, iya kayanya. Terus gimana dong?”

“Belajar lah sini dari gue, gue top gombal women.” ujar Keira kemudian, menanggapi lelucon Haikal.