JC Halcyon

Anan melangkahkan kakinya dengan lebar menuju gedung FKO. Penjelasan Haikal pagi tadi cukup membuat darahnya mendidih, belum lagi di perkuat bukti dari Sylvia yang jujur padanya tadi malam. Tidak ada yang bisa dia maafkan jika sudah mengusik Nada.

Yohan yang masih duduk berdiskusi dengan Aldeo di ruang kelas tidak tahu menahu langsung merasakan pukulan keras di pipi kirinya dari Anan.

“WOI ANJING, PEGANGIN GOBLOK!!” Teriak Haikal dari belakang, karena tertinggal ketika mengejar Anan tadi.

Aldeo dengan sigap menekuk kedua mangan Anan ke belakang agar kejadian yang barusan tidak terjadi lagi.

Haikal terengah engah berlari menuju samping Anan, dan ikut memegang kendali tubuh Anan yang masih meronta.

Yang lainnya juga datang menyusul. Beruntung karena ini masih pagi, tidak banyak mahasiswa yang datang hingga Adelio segera menutup pintu kelas dengan rapat, menghindari seseorang menonton konflik internal yang tengah terjadi pada teman temannya secara langsung.

“LO KALAU ADA MASALAH SAMA GUE, NGOMONG ANJING! JANGAN MALAH GANGGUIN NADA!” teriak Anan menggelegar.

Haikal hanya bisa menutup matanya pasrah dengan amukan Anan. Dirinya mengkode dari kedipan matanya pada Hengky, untuk menghubungi Nada. Yang bisa membuat Anan berhenti hanya Nada seorang, dan Haikal tau betul tentang hal itu.

Yohan kembali berdiri, dan masih memegang pipi nya yang sakit. Dinan sudah berdiri di samping Yohan untuk ikut mengamankan sesuatu yang lebih buruk akan terjadi.

“Gue bukan ga suka sama lo anjing.” Ucap Yohan kemudian penuh penekanan. “Gue suka sama Nada, tapi enggak dengan hubungan kalian.” Sambungnya lagi. “Lo udah ambil Nada, apa salahnya kalo Keira buat gue?! Lo maruk bangsat!!”

Anan kembali meronta ke depan, hendak memukul Yohan lagi. “DIA NADA, NADA CAROLINE. BUKAN KEIRA ABIGAIL. LO COMPARE KEDUANYA DEMI KERIBUTAN GUE DAN NADA?! LO GATAU GIMANA RASANYA DI CAP SEBAGAI PENGGANTI ANJING!!”

Hermas memandangi pemandangan di depannya dalam diam. Dia sudah tahu, kalau masalah yang lalu pasti masih belum usai dan mungkin ini adalah puncaknya.

Entah dari kapan, Hermas melihat kalau apa yang di rasakan oleh Yohan pada Nada sama kuatnya dengan yang Anan rasakan pada Nada. Hingga mungkin rasa itu berubah menjadi obsesi, dan Yohan melakukan segalanya untuk itu.

Enggak, ini serius. Semasa SMA, Yohan adalah teman Hermas. Dirinya tahu betul kalau sebenarnya Yohan sudah suka pada Nada sejak pertama kali pertemuan mereka usai Nada menghilang karena di tinggalkan Jeffery di mall.

Yohan menghargai keadaan Hermas saat itu, dimana dirinya belum dekat dengan Nada. Hingga pada akhirnya, ia tidak pernah mendapatkan kesempatan secara langsung untuk sekedar meminta nomor Nada.

Pada akhirnya Yohan tetap kalah dengan Anan, karena walaupun dirinya bertemu lebih dulu dengan Nada, pilihan Nada tetap pada Anan yang datang kemudian.

Hermas tersenyum, if we don't get lost at least once, we wont find answer to our questions right? harusnya teman temannya yang lain melepaskan keduanya dan membiarkannya untuk menyelesaikan masalah walaupun dengan perkelahian. Karena hanya itu yang bisa mereka lakukan, daripada menahan keduanya dan beradu cekcok seperti ini hingga tidak menemukan penyelesaian.

Hermas kemudian berjalan mendekati Anan dan Yohan. “Kalian berdua kalau mau berantem, berantem aja.” Ucapnya membuat Haikal yang tengah memegang lengan Anan melotot kesal.

“Ngomong oposi bocah jancok iki?” Sahut Haikal tidak percaya dengan usul saudaranya.

Hermas tersenyum kecil, “Mau ditanyain ke 1000 orang sekalipun Nan, Yohan ga akan nemuin jawaban dari permasalahan dia.” Ujar Hermas kemudian, menepuk pundak Anan pelan dan melepaskan cengkraman Dinan dan Haikal pada lengan Anan. “Karena pada dasarnya Yohan tuh nggak lagi cari jawaban. Dia cuma cari dukungan atas jawaban yg udah dia pegang sendiri. Lo tau dengan pasti kan Nan? Golongan orang-orang lemah yg enggak percaya diri karena gagal meyakinkan hati kecilnya sendiri.” Lanjut Hermas panjang lebar, membuat dada Yohan naik turun karena terbakar api amarah.

“ANJING LO!!” Yohan berteriak keras dan maju hendak memukul Hermas.

Anan menghadang jalan Yohan, dan kemudian perkelahian terjadi sesuai dengan apa yang Hermas inginkan. Dirinya menahan teman temannya yang lain agar tidak memisahkan keduanya. Mereka berdua butuh bicara satu sama lain, dan perkelahian adalah bahasa nya.

Haikal menatap ngeri ke arah saudara kembarnya, dia emang suka sama keributan, tapi bukan keributan yang brutal kaya gini.

“Nan, itu Nada dateng Nan. Ayo lah udah, jangan gini.” bujuk Adelio kemudian, dengan perlahan ia mencoba menarik tangan Anan yang masih dengan keras memukul Yohan yang tidak melawan. Tetapi di luar dugaan, justru Anan menepis kasar tangan Adelio.

Pintu kelas terbuka dengan kasar, Nada berteriak melihat pertengkaran yang terjadi antara Yohan dan Anan.

“ANAN, KALO MUKA GANTENG KAMU SAMPE BONYOK DAN JELEK, AKU BAKALAN PACARAN SAMA BINBIN!!” ancam Nada yang baru sampai di sana dengan Binbin.

“HEH YOK OPO AKU KOK DI ELOK ELOK NE? BARIKI SENG BONYOK RAINE YO AKU TO NAD LEK NGUNU CARANE?!” teriak Binbin frustasi, karena Nada tiba-tiba membawa dirinya. (Heh, apa maksud nya kok gue jadi di bawa bawa? Abis ini yang bonyok mukanya bakalan gue dong Nad, kalau gitu caranya?!)

Dinan membekap mulut Binbin cepat, mencoba meminimalisir hal apa yang akan di katakan Binbin kedepannya. “Udah diem, tuh liat Anan langsung berhenti.” bisik Dinan kemudian.

Haikal mendorong Hermas dengan brutal untuk memasuki rumah Keira yang saat ini tengah mereka datangi. Sudah sepuluh menit sejak mereka berdebat, dan pada akhirnya Hermas mengalah pada Haikal dan menurunkan egonya untuk mengetuk pintu masuk.

Keenan membuka pintu perlahan, terkejut dengan kehadiran Haikal dan Hermas di rumah mereka. “Kak Haikal, kak Hermas.” ucapnya pelan.

Haikal menggaruk tengkuknya tidak gatal, “Halo Keenan, Nada ada disini kan?” tanya Haikal dengan senyum canggung.

“Iya, di kamarnya. Ayo Keenan anterin.” Ujar Keenan perlahan, dan kemudian menyuruh Haikal Hermas masuk dan menuntunnya menuju kamar yang selama ini Nada tempati.

Haikal menggeleng tidak percaya, Nada masih sempat untuk mengulik jurnal nya dengan santai.

“Anan nyari lo kaya orang stress, lo nya sendiri santai banget ya baca jurnal disini.” Cibir Haikal dan berjalan mendekati kasur Nada.

“Salah Anan, Kal. Hubungan butuh yang namanya komunikasi, dan Anan ga ngasih itu buat Nada.”

Nada nyengir, seneng di belain Hermas.

“Belain aja terus, lo ga liat Anan kaya mayat idup bingung cariin Nada.” Ujar Haikal lagi ketus.

“Lo kalo kesini berniat buat mood gue jelek, mending pulang aja. Biar Hermas aja sama gue.” Ujar Nada tidak suka.

“Yaudah katanya mau cerita tadi, cerita apa?” tanya Haikal kemudian, setelah selesai mengutarakan kekesalan nya.

Nada menyerahkan ponsel nya pada Haikal, “ada yang provokasi hubungan gue sama Anan. Lo tau gue bukan orang yang gampang terpancing sama ginian, tapi entah kenapa gue emang berasa relate sama ketikan dia.” Jelas Nada panjang lebar.

Haikal menerima ponsel Nada dengan penasaran, pesan provokasi seperti apa yang bisa membuat seorang Nada bisa lemah.

Hermas ikut penasaran dan berdiri di samping Haikal untuk turut melihat.

“Wah ini mah bener semua Nad, gimana lagi?” Ujar Haikal begitu melihat chat pertama dari anonim.

“Anjing, pergi lu!” Amuk Nada.

“Hahahahaha, maaf maaf. Lagian kalo kata gue dia terlalu ikut campur dan sotoy banget dah. Kaya yang paling tau sama hubungan lo sama Anan.” Kata Haikal setelah tawanya reda.

“Kenapa kalimat dia selalu intens ya? Dia bahkan tau lo lagi nungguin Anan pulang, atau Anan lagi kerja kelompok.” Ujar Hermas ikut menambahi. “Dia orang yang kita kenal.”

“Gue juga mikir gitu, tapi masalahnya disini siapa yang ga suka sama hubungan gue dan Anan, Her? Sampe dia segitunya mau rusak hubungan gue.” Ujar Nada tidak mengerti.

Haikal berfikir sejenak, “gue tau. Pasti ini ulah si brengsek Yohan.”

Satu pop up muncul dari ponsel Nada, membuat ketiganya menarik nafas diam dan saling berpandangan satu sama lain.

Nada melihat penampilan Haikal dari bawah ke atas. Seriusan ni anak kaya gembel beneran, di tambah dengan rambutnya yang acak acakan. Tadinya sih Nada emang mau ngatain, tapi dia tahan karena dia ga ingin tambah merusak mood Haikal yang memang sudah buruk.

“Gue aja yang nyetir?” tanya Nada begitu menghampiri Haikal yang berdiri menunggunya kurang lebih sejak lima menit tadi.

Haikal menggeleng, “gue aja yang nyetir.” putusnya langsung, dan mau tidak mau Nada menurutinya dan bergerak naik menuju kursi penumpang samping kemudi.


Pada akhirnya Haikal mengajak Nada untuk sekedar bercerita dan beristirahat di cafe angkringan dekat kampus.

“Gimana Kal? Lo kenapa hmm?” tanya Nada lembut, di liat dari wajahnya Haikal emang ni anak emang kayanya lagi banyak masalah banget.

“Tadi Kayla ngehampirin gue.”

Nada sudah menduga, hasil galau Haikal kali ini pasti tidak jauh dari Kayla. Gebetan yang tidak bisa dia lepas sejak jaman SMA dulu.

“Kenapa anaknya ngehampirin lo?” tanya Nada kemudian.

“Dia marah, karena gue gaet adek tingkat yang deket sama dia, dan cuma gue buat mainan.” lanjut Haikal kemudian.

Nada menggelengkan kepalanya, “Brengsek lo belom berhenti juga ya ternyata dari dulu.” ujar Nada tidak percaya.

“Dengerin dulu ih.”

“Iya, maaf. Lanjutin dah lanjutin.”

Haikal melanjutkan ceritanya, “Gue sempat debat sama Kayla, gue bilang jangan campuri urusan gue. Siapapun yang gue deketin itu bukan urusan dia sama sekali.” Nada mengangguk setuju. “Dan tiba-tiba Kayla bilang, kalau gue jangan sampe jadi brengsek kaya gini. Gue beda banget sama gue di SMA dulu. Padahal gue juga jadi kaya gini karena siapa anjing?!!” sambung Haikal lagi emosi.

Nada mengelus pundak belakang Haikal dengan lembut. Anaknya sekarang lagi emosi, jadinya dia ga bisa berkata banyak saat ini. “Kal, Kayla yang bilang kaya gitu ga salah. Tapi gue juga tau betul, gimana hubungan Kayla dengan Ren. Mungkin emang sekarang kayanya waktu yang tepat buat lo untuk berhenti mengharap bayang bayang Kayla yang mungkin bisa balik lagi ke lo.” Ujar Nada hati-hati dan penuh penekanan. “Toh pada akhirnya semua juga sama sama pergi kan? Cuma bedanya, Kayla emang ga bisa jadi milik lo. Itu aja.” Lanjutnya lagi, merasakan atmosfir panas sudah mereda di sekitar Haikal.

Haikal menunduk lesu, dirinya menyerap segala nasehat dari Nada dalam diam. Apa yang di katakan Nada ada benarnya. Mungkin sekarang Haikal sudah harus mulai berfikir terbuka. Kayla memang cantik, baik, dan luar biasa sempurna untuk dirinya yang sederhana. Tapi ia harus mulai menghilangkan rasa egoisnya, agar Kayla bisa bahagia meski bukan dia yang menjadi alasannya.

Lagu dari Nidji-Hapus Aku bergema di seluruh penjuru cafe. Hal ini cukup menyita atensi Haikal yang sedari tadi hanya terdiam dan menunduk pada tempatnya.

Buang semua puisi antara kita berdua Kau bunuh dia, sesuatu yang kusebut itu cinta

Yakinkan aku, Tuhan, dia bukan milikku Biarkan waktu, waktu Hapus aku Sadarkan aku, Tuhan, dia bukan milikku Biarkan waktu, waktu Hapus aku

“Nad, kira-kira Giring Nidji waktu ciptain lagu ini ngerasain rasa sakit kaya apa ya. Sampe minta di yakinin sama Tuhan?” Ucap Haikal bermonolog.

Nada tersenyum kecil, “Mungkin dia udah minta yakin sama Tuhan, tapi tetap berharap. Intinya sama kaya yang lo rasain sekarang, mati satu tumbuh seribu, tapi mengapa seribu yang datang tetep tidak bisa menggantikan satu yang hilang?”

Haikal terdiam membisu.

Nada menoleh dengan khawatir pintu masuk untuk ke taman belakang. Beneran takut kalo semisal Yudha, Hermas, dan Jonathan lempar petasan ke arah diri nya dan Anan.

“Kenapa hei?” tanya Anan lembut, menyentuh lengan Nada.

Nada menggeleng, dia ga mungkin terang terangan kan bilang kalau saudaranya yang lain pengen Anan cepet pulang. “Ga ada, berasa lagi di awasin aja.”

Anan ikut menoleh ke arah pintu. “Gak apa, aku udah izin papa kamu buat nemenin kamu lebih lama kok.” ujar Anan menenangkan.

Jadi sehabis rapat panjang tadi, Nada di bawa oleh Anan ke taman belakang. Sedangkan papa dan mamanya masih melanjutkan sesi maaf maafan. Dan Anan rasa, itu hal yang terbaik yang bisa dia lakukan saat ini.

“Nanti pasti bengkak lagi.” kata Anan sembari menyentuh kelopak Nada yang sembab sehabis menangis.

Nada terkesiap merasakan sentuhan jari tangan Anan yang di dingin di matanya. “Gak papa, banyak yang jagain aku disini.” jawab Nada dan ikut menyentuh tangan dingin Anan.

Kemudian, Nada di kagetkan dengan runtunan pop up notifikasi yang muncul dari jendela layar ponselnya,

Nada mendelik kan matanya tidak percaya. Dengan segera dirinya melepaskan tangan Anan, dan kemudian menyisir seluruh sudut taman.

“Orang gila, di intipin beneran gue.” Gumam nya pelan, masih terdengar Anan.

Anan tertawa kecil, “Sayangnya mereka tulus sayang, itu bukan hal yang patut buat kamu kesal. Itu udah jadi tugas aku nanti, buat yakinin mereka kalau aku memang pantas buat kamu.” Ujarnya kemudian setelah melihat notifikasi dari ponsel Nada.

“Sayang?”

“Iya sayang?”

“Enggak, maksud gue lo tadi, LOH?! LO KOK MANGGIL SAYANG LAGI BARUSAN?! SENGAJA BANGET BIKIN HATI GUE GONJANG GANJING!!”

Anan tertawa lepas. Banyak hal yang dia ketahui dari cinta. Bundanya selalu menasehatinya, kalau jatuh cinta nanti, bahagianya akan sama dengan sedihnya. Tapi ketawanya akan lebih kecil daripada menangis nya. Dan Anan sudah melewati hal itu jauh lebih berat dari apa yang bisa di bayangkan.

“Nad, do you know who is more beautiful than you?” tanya Anan lagi pada Nada setelah tawanya reda.

Nada menolehkan kepalanya yang tengah memandang asik bintang ke arah Anan, “Ga ada” jawab Nada ketus, karena dia ga mau pujian Anan untuk wanita lain keluar dari mulutnya.

“That's right, no one.” jawab Anan dan kembali memfokuskan tangannya untuk mengusap lembut rambut Nada.

“ANAN UDAH ANJING, GUE SALTING BUSET.” rengek Nada kalang kabut. Sialan, dia yang biasanya godain orang sekarang malah di jadiin bulan bulanan sama Anan.

Kadang Anan berfikir, bukankah cantik itu relatif? tapi kok di Nada jadi mutlak? Tapi kemudian dirinya sadar, Nada is one of the beautiful things that earth has.

Anan juga menyadari penuh perasaannya sekarang. Tidak ada lagi bimbang di hatinya pada Nada. Karena sejatinya, pada saat itu bukan masih ada sisa rasa, tapi semua rasa itu masih dan tetap sama seperti di awal bertemu.

Nada melangkahkan kakinya dengan ragu, memasuki rumah yang ia sempat tinggalkan selama kurang lebih tiga tahun itu.

Anan yang merasakan keraguan Nada, dirinya langsung menggenggam tangan Nada dengan lembut, dan meyakinkan kalau tidak akan terjadi hal yang buruk sehabis ini.

“Kita kabur lagi aja apa ya Nan?” bisik Nada takut, masih mencegah Anan yang hendak mengetuk pintu masuk.

Anan menggeleng, “Kamu bilang mau coba untuk hadapi ini kan Nad. Ayo kita masuk, aku percaya sama kamu.” ujar Anan.

Nada kembali memegang tangan Anan yang hendak mengetuk pintu masuk, “Jangan di ketok ih, kita langsung masuk aja. Lagian ini juga rumah aku. Kok kesannya kaku banget kaya tamu.” Anan tersenyum dan mempersilahkan Nada untuk memegang gagang pintu masuk.

“I'm home.”

Ganti orang orang di ruang tamu yang kaget, usai kemunculan Nada. Semuanya sudah berkumpul di ruang keluarga rupanya. Bahkan Papa dan Mama memutuskan untuk pulang lebih awal setelah mendengar kabar kehilangan Nada.

“Lo kemana aja sih anjir?!” ucap Delvin berdiri, sembari berjalan tergesa ke arah Nada. Nada yang merasa terancam, kaya mau di terkam Delvin langsung berniat sembunyi di balik dada bidang Anan, sebelum dirinya masuk ke dalam pelukan hangat Delvin. “Jangan kabur kaburan lagi Nada, gue khawatir.” ujar Delvin kemudian, memeluk Nada erat.

Anan tersenyum, kemudian melepas genggamannya dengan lembut sebelum dirinya pergi ke sisi kiri ruang tamu untuk berkumpul bersama Hermas dan Haikal. Memberikan waktu untuk Nada dan saudaranya yang lain saling bertegur sapa.

“Abis ini bantu gue.” bisik Haikal dari samping.

“Bantu apa?” tanya Anan tidak mengerti.

“Bantu gebukin Adelio.”

Anan menoleh ke arah Hermas, Hermas sendiri hanya menggelengkan kepalanya tidak ingin ikut campur.


Sejak kapan ya terakhir kali Nada melihat mama dan papa nya bisa duduk saling berhadapan seperti ini.

Ya duduk doang, ga bareng kaya dulu. Soalnya di samping papa ada mama Rima, dan di samping mama ada om Adimas. Sedih bener kalo di pikir, meet up tapi bawa ayang sendiri sendiri.

Nada sendiri kini duduk anteng di tengah Jeffery dan Adit. Anaknya juga kaget, kanapa Ayah, mas Bima, mbak Tiara, kak Adit, dan juga Keenan bisa menyusul hingga ke sini. Usut punya usut, ternyata memang papa yang menyuruh mereka untuk kesini, untuk menjelaskan awal mula permasalahan terjadi.

Mama Salsa terus terusan memandangi Nada yang kini merasa kecil di antara Jeffery dan Adit. Merasa adiknya terintimidasi, Candra sebagai kaka tertua berusaha untuk mengalihkan perhatian Salsa.

“Tante sekeluarga gimana kabarnya? Sehat?” tanya Candra dan menyunggingkan senyum tipisnya.

Mau tidak mau, Salsa yang melihat sikap sopan Candra harus membalaskan dengan sopan juga. “Iya, sehat.” jawabnya singkat.

“Orang jahat emang jarang sakit sih.” bisik Haikal pada Adelio yang berdiri di sampingnya.

Adelio hanya tertawa kecil, dirinya tahu seberapa benci Haikal pada ibunda kandung Nada itu sekarang.

“Sekarang mau kamu gimana Salsa? Mau kamu sembunyikan seperti apapun lagi, sifat busuk mu itu dari dulu tidak pernah berubah ya.” ujar Fero tidak tahan. Rima yang berada di sampingnya hanya bisa menepuk pundak suaminya dengan lembut.

Salsa melengos sombong. “Kalau itu sikap busuk, lebih busuk mana dengan sikap mu yang memonopoli Nada, dan mendoktrin nya untuk membenci ibu kandungnya sendiri?”

Asli, Haikal udah mau terbang ke hadapan Salsa terus teriak depan muka nya. “Lo bacot banget anjing.”

Tapi itu dia tahan, karena yang lebih berhak mengatakan hal itu adalah Nada yang kini melihat semuanya dengan mata sinis.

“Mama, ga pernah berubah ya.” ucap Nada, menimbrung percakapan. “Kenapa ego dan gengsi mama ga pernah turun?” sambungnya lagi muak. Yang lain hanya terdiam melihat Nada yang sepertinya mulai lepas kendali.

Jeffery memeluk pinggang Nada, berjaga jaga jikalau adiknya itu akan meloncat dan terbang mencakar ibunda kandungnya.

“Kamu ga tau, seberapa besar usaha mama untuk mendekati kamu Nada. Sedangkan kamu hanya terus menempel pada papa mu tanpa perlu repot menoleh ke arah mama.” ujar Salsa lagi, memberikan pembelaan diri.

“Mama berusaha mendekati Nada? Nyatanya Nada sama sekali ga merasakan hal itu ada Ma! Sehabis pernikahan papa dengan mama Rima, mama malah buru-buru tuh pulang tanpa menghiraukan Nada lagi. Padahal saat itu, mama tahu betul keadaan Nada lagi ga baik baik aja.”

Tiyo terkesiap, dirinya ingat betul ketika Nada kehilangan kesadarannya pada saat pesta pernikahan kedua orang tua nya. Ternyata itu bermula dari pertemuan antara Nada dan ibunya.

Salsa hanya bisa bungkam, tidak memberikan alasan apapun lagi kali ini. Dirinya sudah terlalu bingung, karena banyak pembelaan yang memang sengaja dirinya buat buat supaya ia tidak terlalu bersalah.

“Mama ga tau, seberapa hancurnya kak Delvin waktu tahu aku hilang ma. Haikal cerita banyak ke Nada, kak Delvin bahkan terus terusan menghukum diri dia sendiri karena udah ninggalin Nada saat itu. Atau mama juga ga tau, betapa menderitanya papa saat tau dirinya gagal jaga Nada. Mama harusnya tau kan, ujian paling berat orang tua adalah ketika anaknya pergi. Tapi kenapa mama bisa setega itu nyembunyiin Nada di ayah, dan bikin papa jauh lebih menderita demi memuaskan ego mama?” ucap Nada panjang lebar, menahan tangis yang mungkin akan meledak sewaktu-waktu.

“Mama udah menghancurkan hidup banyak orang. Dan itu jauh lebih jahat daripada ketidakadilan yang selama ini mama dapatkan. Mama bahkan memanfaatkan orang yang tulus dan bersih seperti mbak Tiara untuk ikut andil di rencana mama? Mama pikir hal sebesar itu bisa di tanggung mbak Tiara? Mama ga tau, mama itu membebani banyak orang hanya untuk kesenangan mama sendiri!”

Salsa tidak tahan, dirinya kini berlutut di hadapan anak tunggalnya itu. “Mama salah Nada. Mama mengakui hal itu, dan mama akan berusaha untuk merenungi kesalahan mama ini untuk kedepannya. Mama di butakan oleh ego mama sendiri, karena mama juga tidak bisa membendung rasa kebencian yang besar karena kehilangan kamu. Mama minta maaf Nada, banyak minta maaf yang bisa mama ucapkan sekarang tapi belum tentu bisa menyembuhkan hati banyak orang yang sudah mama buat terluka. Mama minta maaf.”

Delvin menolehkan kepalanya pada Nada, adik yang sangat ia sayangi. Selama ini, dirinya tidak tahu kalau sumber segala kesakitan nya adalah ibunda kandung dari adiknya sendiri. Tapi mengetahui hal itu sekarang, hatinya jadi gamang dan abu-abu. Di sisi lain dirinya juga iba melihat wanita itu berlutut dengan tangisan yang masih keras.

Delvin pada akhirnya menghampiri Nada, mencoba untuk menenangkan hati adiknya itu. “Nada, dia nyokap lo. Dia yang lahirin lo. Seburuk apapun perlakuan dia di masa lalu, dia tetap ibu lo. Ga ada yang baik dari menyimpan dendam Nad.”

Nada menoleh dengan air mata yang masih bercucuran. “Kenapa lo bisa semudah itu memaafkan kak? Padahal kakak tau, dia alasan utama rasa sakit kakak.”

Arwena ikut menengahi, “Dengan memaafkan, emang itu ga mengubah masa lalu Nad. Tapi setidaknya lo bisa berbuat lebih baik untuk masa depan.”

“Semua orang pasti juga pernah melakukan kesalahan dek.” ujar Candra juga. “Termasuk kita juga. Mereka yang melakukan kesalahan di masa lalu, bukan berarti mereka ga bisa melakukan kebaikan di masa kini dan depan kan?” sambungnya lagi.

Pada akhirnya Nada mengalah, dirinya juga bukan pribadi yang pendendam. Apalagi dengan orang yang telah melahirkan dirinya.

Nada merangkul Salsa untuk berdiri dari posisi berlutut nya, dan kemudian memeluk ibunda nya itu dengan erat. Seberapa keras dirinya menolak, pada akhirnya dia juga tetap tidak tega. Apalagi setelah mendengar penuturan dari Wena dan juga Candra.

Nada percaya, setiap manusia punya hati dan keinginan untuk menjadi lebih baik. Dan yang membedakan ialah upaya, jalan dan proses untuk menjalaninya.

Nada terbangun pada tempat yang begitu asing bagi dirinya saat ini. Tidak lupa juga, rasa pusing masih mendominasi kepalanya.

“Hape? Hape gue mana jir?” tanya Nada mengeluh, dan meraba seluruh bagian kasur untuk menemukan ponselnya.

Terakhir kali perasaan dia lagi sama Anan di mobil deh, kok sekarang udah nyasar ke dimensi lain sih?

Nada bingung, karena dia khawatir saudaranya yang lain pasti lagi kocar kacir nyariin dia. Baru ketemu, masa udah ilang lagi sih?

Pintu kamar terbuka, menampilkan Anan yang membawa nampan berisi makanan dan juga segelas air putih. “Masih pusing?” tanya Anan lembut, dan segera menaruh nampan tadi pada nakas meja, kemudian duduk di samping Nada.

“Lo bawa gue kerumah lo beneran?” tanya Nada tergagap. Anan menganggukkan kepalanya. “Terus tadi lo gendong gue dari mobil buat pindah ke sini?”

Anan mengangguk lagi. “Kenapa? Masa malu sih. Kan ini bukan yang pertama.” ejeknya.

Kalau di pikir lagi, emang bener kata Anan, kalau gendong Nada waktu tidur itu bukan yang pertama. Dulu Anan juga pernah gendong dia dari mobil Haikal untuk di bawa ke sanggar pramuka.

“Orang tua lo mana? Aduh gue malu banget, pasti mikir gue yang enggak enggak.” keluh Nada kemudian, dan celingukan menatap pintu yang terbuka.

“Enggak kok, tadi katanya bunda pengen ngomong sama lo kalau udah bangun.”

“HAH? NGAPAIN?! GUE GA DI SIDANG KAN??”

Anan menyentil lembut dahi Nada yang tengah parno. “Sidang apasih, paling juga cuman nanya keadaan nya gimana.” kata Anan menenangkan.

Keduanya terdiam, baik Nada maupun Anan tidak berani membuka suara saat ini. Nada nya malu karena dia baper abis kena sentil Anan. Anan nya malu, karena dia abis nyentuh dahi nya Nada.

“Yaudah, makan dulu.” ujar Anan kemudian, menepis rasa canggung yang menguasai keduanya.

Tapi bukan Nada namanya kalau gak makin memperkeruh suasana. “Suap dong.” cicitnya pelan, membuat Anan kembali tegang.

“Mau?”

“Ya kan gue yang minta.”

Anan berdeham canggung, dirinya mulai mengambil piring tadi untuk mulai di suap kan pada Nada.

Nada makan dalam diam, Anan pun sama, tidak ada suara yang keluar dari mulutnya. Dirinya fokus menyuapi Nada makanan.

“Nyokap bokap gue juga kalah kalau gini mah, mereka aja ga pernah suap suapan kaya lo berdua.” suara Kayla dari pintu menyela.

Nada tersedak, Anan yang melihat hal itu buru buru menyodorkan segelas air untuk Nada minum. “Kay, bikin kaget aja.” tegur nya pada Kayla yang kini tengah tertawa puas.

Kayla menghampiri Nada dan menepuk pundak Nada perlahan. “Maaf, tadi emang sengaja godain. Kangen jaman SMA gue Nad, dulu lo yang selalu ngajarin gue buat godain cowo.” kelakar Kayla, dan mengambil duduk di samping Anan.

Nada tersenyum tipis, dirinya ingat kenangan sekolah yang cukup membuat masa mudanya itu berwarna.

“Di panggil tante itu Nan, sini gue aja yang suap Nada.” kata Kayla kemudian, sedikit mengusir Anan.

Anan menurut, dirinya mulai bangkit, dan berjalan menuju pintu untuk keluar. “Jangan lupa Nan, tutup pintu nya.” pesan Kayla lagi.

Setelah memastikan pintu tertutup, Kayla menolehkan kepalanya pada Nada. “Gimana sekarang, lo cerita dulu, atau gue dulu?”


Haikal terduduk diam di hadapan Adit dan Keenan yang kini tengah menatap intens dirinya.

Akibat menghilangnya Nada, pada akhirnya Bima memberitahukan lebih awal kalau ingatan Nada sudah pulih, dan ia akan segera kembali ke keluarga kandungnya sesegera mungkin.

Makanya sekarang ada Hermas dan Haikal yang di rumahnya Keira, karena keduanya lagi bingung nyariin Nada ada dimana.

“Kak Haikal saudaranya kak Keira yang asli?” tanya Keenan membuka pembicaraan setelah kondisi canggung cukup lama.

Haikal hanya dapat tersenyum bingung, soalnya Keenan udah tau identitas dia sekarang.

“Namanya Nada Caroline, bukan Keira Abigail.” ucap Hermas menyahuti ucapan Keenan. “Abis ini tolong kalian panggil nya Nada. Jangan buat saudara gue ga nyaman dengan terus terusan kalian panggil Keira.” lanjutnya dingin.

Rahang Adit mengeras, dirinya tidak suka dengan ucapan Hermas barusan. Apalagi mengetahui kalau Hermas adalah juniornya di satu fakultas, makin membuat dirinya di bodoh bodohi.

Haikal mencolek paha Hermas pelan, dirinya menanggapi ungkapan perang yang telah Hermas lempar barusan.

Keenan terdiam setelah mendengar ucapan Hermas, banyak fikiran yang menganggu dirinya baru baru ini. “Tapi Keenan masih boleh anggap kak Keira, eh Nada jadi kakak Keenan kan?” tanya Keenan memelas.

Haikal yang hatinya lebih lembut dari saudara tirinya itu tidak tega. “Ga cuma Nada kok Nan, lo boleh anggap gue juga sebagai kakak mulai sekarang. Adek Nada, adek gue juga.” hibur Haikal.


Nada bersiap keluar dari kamar inap Kayla di rumah Anan. Dirinya sudah siap untuk menemui ibunda Anan. Masalahnya sekarang dia ga ada pilihan boleh ga siap, atau pilihan buat pingsan lagi. Dia harus beneran berani buat menghadapi tantangan itu.

Sedikit yang Nada ingat, dari Kayla. Ibunda Anan adalah orang yang lembut, tapi tegas. Anan sangat menyayangi ibundanya, apalagi dirinya juga adalah anak tunggal di keluarga ini.

“Kaya ketemu calon mertua aja ya Nad.” goda Kayla di samping Nada, yang sedang menuju kamar ibunda Anan.

“Ya bagus kalo calon mertua, tapi disini suasana nya gue kaya di anterin buat ketemu calon majikan gini dah rasanya.”

Kayla ketawa ngakak, dirinya ga tau kalau seorang Nada bisa se grogi itu untuk bertemu tantenya.

“Asli dah Nad, mending lo godain anak cowo satu sekolahan daripada takut gini ketemu nyokapnya Anan.”

Nada menatap pintu kayu coklat yang berhiaskan ukuran berbentuk bunga. Dirinya sudah sampai di depan kamar ibunda Anan.

“Aduh Kay, gimana nanti kalo gue kena bantai di dalem?” bising Nada menahan lengan Kayla sejenak untuk tidak masuk terlebih dahulu ke dalam kamar.

“Kena bantai apanya sih Nad? Nyokapnya Anan bukan tirani anjir.” ujar Kayla menenangkan, “udah ayo masuk. Anan pasti bantu di depan nyokap nya nanti.” sambungnya lagi dan menarik paksa Nada.

Sesuai yang di ucapkan Kayla, Anan sudah duduk di samping ibunya yang terbaring dan tengah memijat kaki ibunya dengan telaten. Nada baru pertama kali ini melihat pemandangan Anan yang seperti ini.

“Bun, ini Nada anaknya sudah bangun.” ujar Anan pelan, dan menepuk kaki bunda nya perlahan.

Bunda yang mengerti hal itu, langsung terbangun dari ranjangnya dan mengikuti arah pandang Anan yang masih menatap Nada dengan lekat.

Bunda tersenyum, anak perjakanya sedang jatuh cinta terlalu dalam pada gadis cantik di depannya.

“Gimana cah ayu, nyaman tidurnya?” tanya Bunda lembut kepada Nada yang masih canggung. “Udah ih Anan, bisa berlubang nanti wajah cewe kamu kalau kamu liatin terus kaya gitu.” sambungnya juga, menggoda Anan.

Bukannya malu, Anan masih tersenyum dan kembali menatap Nada lekat yang kini juga tengah menatapnya.

“Nyaman tante tidur saya, maaf juga udah ngerepotin disini.” jawab Nada kelabakan, bingung di liatin Anan sama bundanya.

“Kenapa panggil tante? Samain aja sama Anan, panggil bunda.” ujar bunda menyela.

Nada menggaruk tengkuknya tidak gatal, hal ini terlalu baru untuknya. “Iya bunda.” ujar Nada pada akhirnya, menurut.

Senyuman Anan melebar, mendengar Nada memanggil bunda nya dengan sebutan yang sama dengan dirinya.

“Senyum terus mulut lo, lama lama sobek nanti.” sahut Kayla yang masih melihat semuanya sedari tadi. “Itu senyuman paling lebar yang akhirnya bisa gue liat setelah tiga tahun ini ya Nan.” sambungnya makin membuat perasaan Nada tak karuan.

Nada tidak menyangka, kalau Anan akan menyukainya se besar itu. Dirinya merasa teralu kecil untuk menerima hal itu.

Bunda mengelus lengan Nada lembut, “Nada kalau mau nginep sini dulu, ga apa. Nginap aja disini, nanti tidur sama Kayla. Tapi kalau Nada mau pulang, bunda bakalan suruh Anan untuk antar. Semua terserah Nada mau gimana.” ujar bunda. “Semua masalah yang terjadi, itu punya cara penyelesaian sendiri-sendiri. Bedanya, apakah kamu mau mengambil atau tidak langkah itu tadi.” sambungnya lagi, panjang lebar.

Nada menatap bunda dengan pandangan yang tidak bisa di artikan. “Yang sayang kamu ada banyak Nada, kamu ga perlu merasa minder dan kecil untuk hal itu. Apapun alasannya, mereka akan tetap sayang sama kamu.” ujar bunda lagi, membulatkan tekad yang sudah kuat di dalam benak Nada.

Nada menatap sendu jalanan yang kini ada di depannya. Gimana gimana? Kok sekarang Nada jadi di jalan? Perasaan tadi di dalem kamar deh sama Tiara.

Jadi gini, tadi selesai keduanya berbincang dan Tiara yang menenangkan Nada, Nada tuh sempet tidur. Karena ga mau menggangu tidurnya Nada, akhirnya Tiara beranjak keluar dari kamar itu. Siapa yang sangka kalau Nada ternyata cuma pura-pura, dan akhirnya dia kabur lewat jendela. Kalau kalian ga lupa, Nada udah pro dalam hal itu.

Cuma ya namanya Nada, ga klop kalau nggak ceroboh. Masalah dia sama, dia kabur tapi ga bawa uang sepeserpun selain ponsel nya. Beneran mau di ngatain bego, tapi anaknya jurusan fakultas kedokteran, ya pasti orang nya jauh dari kata bego.

Tapi untungnya kali ini ponsel dia terisi oleh paket internet. Jadi dirinya bebas buat hubungin siapapun sekarang. Masalah nya dia bawa ponsel miliknya, which is isi kontaknya cuma semua saudara nya yang kemaren dia pilih untuk di nomor dua kan. Malu dong kalo sampe harus telpon mereka, dan jemput Nada sekarang. Kemaren aja di suruh balik bareng nolak, pengen nyelesain masalah lah, apa lah. Sekarang malah pengen balik langsung ke rumah papa. Lucu emang Nada nih.

Akhirnya setelah pusing kelamaan mikir, dan pastinya juga pusing karena dia udah nangis lama, Nada memutuskan untuk menekan tombol call pada orang yang beberapa hari ini bahkan tidak pernah mencoba untuk menghubungi nya.

Belum ada lima detik panggilan berdering, Nada kaget karena Anan sudah mengangkat telpon darinya.

“Anan?”

”...”

Tidak ada jawaban yang terdengar, hingga Nada kembali memastikan apakah panggilannya dengan Anan benar-benar tersambung.

Tersambung ternyata, tetapi Anan memang memilih untuk diam dan tidak menjawab panggilan Nada barusan. Helaan nafas berat di keluarkan Nada, sudah banyak hal yang membebani fikiran nya, kali ini apa lagi?

“Dimana?”

tanya Anan kemudian, seolah menyadari situasi sulit yang kini tengah Nada hadapi. Nada melihat sekitarnya, dirinya tidak tahu persis sekarang ada di mana, karena sepanjang jalan dirinya hanya menghadap ke bawah, dan tidak melihat dengan benar jalanan di sampingnya.

“Eee, gatau.” cicitnya parau.

“Share location aja, gue otw. Ponselnya jangan di matiin.”

Ujar Anan kemudian dan Nada langsung menuruti perintah Anan. Dapat ia dengar dari sebrang telepon, suara Anan yang tengah berlari kemudian di susul dengan suara tutupan dari pintu mobil.

“Anan.”

Panggil Nada kemudian, memastikan.

“Iya Nada.”

“Hati-hati.”


Anan tidak tahu pasti, sudah sejak kapan dirinya hanya terdiam menatap gadis di sampingnya yang kini tengah tertidur dengan lamat.

Panggilan masuk yang sedari tadi terus terusan terlihat pada layar ponselnya dan juga Nada ia biarkan begitu saja. Dirinya tidak ingin mengangkat dan mengusik waktu tidur gadis di sampingnya ini.

Sedari awal, setelah dirinya berhasil menemukan tempat Nada berada, keduanya hanya bisa terdiam tanpa ada niatan untuk berbicara satu sama lain. Hingga pada akhirnya Nada menyerah dan memutuskan untuk tidur di kursi samping kemudi.

Anan juga menjalankan mobilnya tidak tahu arah, satu yang ia tahu, saat ini pasti Nada tidak ingin kembali baik ke rumah keluarga kandungnya, atau keluarga dari Keira.

Pada akhirnya Anan berhenti di sudut kota, dan memarkirkan mobilnya pada jalanan yang sepi di sana. Dengan ragu Anan mengulurkan tangan nya untuk menyentuh kelopak mata bagian atas Nada yang membengkak sejam tiga puluh menit yang lalu.

Anan khawatir, tentu saja. Tapi rasa khawatir nya ia tahan begitu melihat Nada yang tidur dengan pulas. Dalam diam, Anan mengelus kelopak mata Nada dengan perlahan. Dirinya tidak ingin membuat Nada terbangun oleh tindakannya itu.

“Anan.” panggil Nada serak, terbangun dari tidurnya.

“Iya.”

“Lo dimana?” tanya Nada dan meraba udara kosong di depannya. Beneran deh, Nada kayanya harus mulai berhenti buat nangis hebat, atau mata dia bakalan bengkak sampe gabisa di buka kaya gini lagi.

Anan mengambil tangan Nada yang masih berusaha meraih udara kosong di depannya, dan membawanya ke dalam genggaman hangat. “Gue disini.” ucap Anan singkat.

Nada kembali tenang, setidaknya untuk saat ini.

“Gue ga mau pulang ke rumah, Nan.” kata Nada mengadu.

Anan menganggukan kepala nya mengerti, walaupun saat ini pasti Nada tidak dapat melihatnya. “Ke rumah gue aja kalau gitu.” ujar Anan kemudian, masih setia memegang kedua tangan Nada.

“Gapapa?” tanya Nada pelan.

“Gapapa.”

Keduanya kembali terdiam, dan sepi mulai menguasai lagi. Tangan Nada masih berada di genggaman Anan, dan Nada rasa itu sudah cukup untuk mengobati rasa takutnya karena ia tidak bisa melihat apapun saat ini.

“Gue tadi beli tisu, udah gue taruh di dalam air dingin yang tadi juga gue beli. Kayanya sekarang udah dingin, mau di kompres mata nya?” tanya Anan kemudian, memecah keheningan. Nada bingung, sudah berapa lama dirinya tertidur dan melewatkan semua ini?

“Kita udah berapa lama pergi Nan?” tanya Nada kemudian, ingin memastikan.

Anan tidak menjawab, dan menempelkan tisu basah dengan telaten di atas mata Nada. Nada berjengit kaget merasakan dingin yang tiba-tiba menerpa kulitnya.

“Anan?”

“Udah tiga jam Nad, selebihnya ga gue itung.” jawab Anan kemudian, menjelaskan. “Gue ga mau menghitung waktu yang udah berlalu, terpenting sekarang gue udah sama lo.” lanjutnya lagi pelan, tapi masih terdengar Nada.

Nada menyentuh tangan Anan yang masih memegangi tisu basah. “Tapi kenapa kemaren waktu gue di rumah sakit, lo malah ga jengukin? Gue nungguin lo banget Anan.” Ujar Nada penuh penekanan pada Anan kemudian.

Anan menghela nafasnya pelan, dia sudah memperkirakan kalau akhirnya Nada akan menanyakan hal itu pada dirinya. Belum lagi kemarin Hermas juga memberitahu kalau Nada mencari nya.

“Maaf, gue belum sesiap itu.” jawab Anan pelan.

Nada ngerti kok, buat nerima kenyataan yang serba mendadak kaya gini juga perlu waktu. Lagipula Nada juga ga marah perihal Anan yang sama sekali ga menghampiri dia saat dia udah sadar, atau perihal Anan yang bahkan ga membalas chat nya yang terakhir. Nada ga marah, dan Nada ga kecewa dengan hal itu. Nada yakin, semua ada alasannya.

Saat ini ganti Anan yang menatap Nada lekat, “Ga marah?” tanya nya kemudian.

Nada menggeleng, “ga akan bisa marah juga kok. Yang lo lakuin juga bukan hal yang jahat.” jawab Nada tenang. “Dengan lo yang sekarang bela belain datang ke sini, demi gue, dan bahkan ga bertanya tentang perihal satu pun, itu jauh lebih berharga daripada gue harus marah sama lo Nan.” sambungnya lagi panjang lebar.

Anan tersenyum senang. Ini adalah senyuman paling tulus yang ia keluarkan setelah kurang lebih tiga tahun belakangan di penuhi oleh rasa sesak.

“Makasih ya Nad.”

“Makasih karena?”

“Udah kembali.”

Bibir Nada mengatup, dua kata tadi cukup membuat dirinya merasa haru.

“Dan juga, Happy late girlfriend day.”

“Kalah lagi dirimu dengan si Fero itu?” Rina, ibunda dari Salsa ibu kandung Nada mencibir. “Belum cukup dia mengugat cerai kau, hak asuh anak tetap jatuh juga di tangannya.” sambungnya belum usai.

Salsa hanya menundukkan kepalanya dalam diam, dirinya tidak menyangka kalau ibundanya tega berbicara seperti itu, padahal seharusnya saat ini dirinya mendapatkan semangat karena telah kalah dalam memperebutkan hak asuh anak mereka satu satunya.

“Salsa, dari awal ibu sudah menasehati mu. Ibu sudah berulang kali berbicara, lupakan saja mantan kekasihmu itu, dan hidup berbahagia dengan Fero. Dengan kepala mu yang keras itu, justru kau malah bermain gila di belakang Fero padahal kau masih terikat dah dalam janji pernikahan dengannya.” Sentak Rina masih belum puas. “Memang setelah ini, setelah Nada ikut dengan Fero, dan kau hidup dengan Adimas, hidup mu akan jauh lebih bahagia?” Lanjutnya mengejek.

“Ibu, udah jangan terus terusan memarahi Salsa.” sahut Bila, sebagai kakak tertua menengahi pertengkaran antara ibunda dan adiknya itu. “Salsa perlu waktu untuk menenangkan hatinya bu, kehilangan anak semata wayangnya juga bukan hal yang sepele bagi dirinya saat ini.” Ingat Bila lagi, dan membawa ibunya menjauh dari jangkauan Salsa yang saat ini tengah memendam emosinya.


“Kamu fikir akan berhasil merayu Nada dengan menggunakan Adelio, Mas?” tanya Salsa dengan apatis, dirinya sudah terlalu lelah dengan permasalahan yang terus terusan menerjang kehidupan nya.

“Kita coba dulu Sal, kamu tahu sendiri kalau sedari dulu di SMP Adelio sudah berteman dekat dengan Nada bukan?” jawab Adimas dengan optimistis, setelah dirinya memutuskan untuk mengirim Adelio bersekolah ke Malang, sekaligus mengawasi keadaan anak tiri nya itu.

Adimas menyayangi Nada seperti dirinya menyayangi Adelio. Adelio juga sudah bercerita dengan dirinya, kalau hubungan nya dengan Nada cukup baik, dan Adelio juga menyayangi Nada cukup besar. Tapi di balik itu, Adimas tidak mengetahui bahwa arti menyanyangi saudara tirinya dengan besar itu, adalah perasaan cinta antara pria dan wanita.

Dengan mengutus Adelio untuk pergi ke Malang, dan membujuk Nada untuk bertemu ibunya, Adimas fikir itu adalah langkah yang bagus. Menilik umur mereka yang sama, Adimas berfikiran kalau perasaan Nada lebih sederhana dari itu.

“Kamu tadi ajak Nada makan dulu, sayang?” tanya Salsa dengan antusias, menyambut Adelio yang baru pulang usai berjalan jalan dengan Nada untuk makan mie ayam.

Adelio mengangguk, dirinya senang melihat antusias ibu tiri nya itu mendengar kabar anaknya.

“Terus akhirnya kamu antarkan pulang?” tanya Salsa lagi, masih belum puas.

Sayangnya Adelio menggeleng, “Tadi Nada di jemput kakaknya Ma, buat pulang bareng.” Adelio mengatakan sebenarnya, karena memang Jerome lah yang menjemput usai sesi makan mereka berakhir.

Raut wajah Salsa terlihat tidak senang, dirinya tidak suka kalau hubungan Nada terlihat baik baik saja dengan anak anak dari Fero dan istri nya yang baru.


“Mama, Nada bilang mau pergi ke Banyuwangi akhir pekan ini.” ujar Adelio, setelah dirinya sempat bertemu Nada lagi dalam beberapa waktu belakangan.

Salsa mengrinyitkan dahinya heran, “Ke Banyuwangi memangnya mau ke mana Del?” tanya Salsa kemudian.

Adelio menjelaskan bahwa Nada ingin merayakan kepulangan Papa Fero dan Mama Rima dari berbulan madunya dengan mengunjungi Banyuwangi bersama dengan seluruh saudara tirinya.

Lagi lagi Salsa merasa kalah dari Fero, mengingat Nada sama sekali tidak perduli untuk memberikannya kabar tentang hal itu, dan justru dirinya tau dari Adelio.


Salsa masih ingat dengan jelas, pukul sembilan pagi ketika dirinya tengah sibuk menilai berbagai furnitur yang baru sampai dari gudang pusatnya. Tiara, anak dari kakak pertamanya Bila menelepon dirinya berulang kali.

Setelah ia menyadari hal itu, dirinya langsung mengangkat panggilan dari Tiara dengan pelan. “Kenapa dek?” tanya Salsa dengan penasaran, karena tidak biasanya keponakannya itu menelponnya di waktu acak seperti ini.

“Mbak, aku ketemu Nada di jalur bawah kawah Ijen.” ujar Tiara dari sebrang sana.

Wajah Salsa berubah masam, dirinya tidak ingin mendengar cerita Tiara lebih lanjut tentang betapa menyenangkannya perjalanan anak gadisnya itu dengan keluarga nya yang baru.

“Mbak lagi sibuk dek, mbak tutup aja.”

“Mbak, Nada ga sadarkan diri disini. Aku ketemu dia udah dalam kondisi ga sadar, dan kepala dia luka berat. Aku rasa dia menginjak tanah rapuh di jalur atas sampai pada akhirnya jatuh ke bawah.” ujar Tiara dengan terengah-engah.

Kepala Salsa berputar, dirinya tidak mengharapkan berita seperti ini akan tersampaikan kepadanya dengan kondisi yang tidak memungkinkan.

“Mbak, aku tau kamu kaget. Sekarang mending aku telpon dulu mas Fero, dan aku bawa Nada ke rumah-”

“JANGAN!! JANGAN TELPON FERO RA!! KIRIM KAMU KE RUMAH SAKIT MANA, SAYA SAMA MAS ADIMAS LANGSUNG NYUSUL KE SANA!!” sela Salsa cepat, dan memutus sambungan Tiara.

Tiara tidak tahu, bahwa awal mula dari semua nya adalah dari tindakannya yang gegabah menuruti semua kemauan adik dari ibu nya.


Salsa duduk dengan rapuh di samping ranjang rumah sakit yang tengah merawat putrinya. Setelah melakukan perjalanan panjang dari kota Malang menuju Banyuwangi yang melelahkan, Salsa tetap bersikukuh untuk tidak memberitahu keberadaan Nada pada Fero.

“Mbak, mereka pasti nyariin Nada.” Ingat Tiara pada Salsa yang masih keras kepala.

“Itu salah mereka Ra, mereka tidak menjaga Nada dengan baik baik.” ujar Salsa tegas, “Tidak akan aku kembalikan Nada pada mereka, aku lebih rela Nada di rawat oleh orang lain dan tidak mengenaliku, daripada Nada harus di rawat oleh Fero dan istri barunya.”

Tiara terkejut, dirinya tidak menyangka kalau perkataan seperti itu bisa keluar dari mulut Salsa. “Mbak, ucapan adalah do'a.” Ingat Tiara menegur.


Belum selesai keterkejutan Tiara tentang Salsa yang menentang untuk memberitahu keberadaan Nada pada Fero, Fero yang kembali ke Malang dengan tangan hampa karena kehilangan Nada memberikan kabar tentang penemuan mayat tidak di kenali di sekitar wilayah Nada menghilang.

Salsa merasa bahwa itu adalah kesempatan yang bagus, karena waktu yang berlangsung juga belum begitu lama. Belum lagi Nada yang masih menjalankan perawatan intensif di rumah sakit yang dirinya sembunyikan.

“Mbak, jangan terlewat jauh dan memanfaatkan situasi saat ini.” Ingat Tiara pada Salsa yang bersikukuh untuk tidak mengizinkan mayat tersebut di otopsi, dan lebih memilih untuk mengiyakan bahwa itu adalah mayat Nada yang sebenarnya.

“Rasa sakit ku jauh lebih besar daripada ini Ra. Penghinaan dari nenek mu juga belum sepenuhnya hilang. Ayah dari suami mu, Bima kemarin juga menawarkan diri untuk mengurus dan merawat Nada. Mbak bisa berbuat sejauh ini, dan mbak yakin tidak ada cela untuk hal ini. Sehabis ini Nada akan di bawa ke Malaysia oleh keluarga Bima untuk perawatan lebih lanjut, mbak berharap di sana kamu bisa merawat Nada sebaik-baiknya.” ujar Salsa panjang lebar, sebelum dirinya pergi dan menimpakan seluruh tanggung jawab pada Tiara.


Badan Nada panas dingin mendengar seluruh penuturan cerita dari Tiara. Dirinya tidak menyangka, kalau dalang di balik semua ini adalah Mama nya sendiri. Hanya demi meninggikan ego nya, Mama nya rela memendam semua rahasia ini rapat-rapat.

“Kita kembali ke Malang juga atas keinginan mama kamu Nad, dia ingin bisa melihat kamu lebih dekat di sini.” ujar Tiara lagi, melembut karena dirinya kasihan melihat keterkejutan Nada.

“Mbak, kenapa?”

Tiara melihat Nada dengan tidak mengerti,

“Kenapa bisa sejauh ini mbak?”

Tiara kembali membungkam mulutnya, dirinya juga merasa bersalah karena secara tidak langsung ia sudah menjadi kaki tangan mama Nada selama ini, untuk turut menyembunyikan Nada.

“Mbak Tiara harus lihat Papa kemarin waktu ketemu aku lagi mbak, sekujur tubuh Papa gemetar karena haru. Papa bahkan ga berani lihat wajah aku, karena papa takut kalau aku bakalan berganti orang lain. Waktu aku pura-pura tidur, bahkan papa cium aku tanpa henti, ucapan syukur ga berhenti papa ucapin bahkan dalam waktu berjam jam. Kenapa bisa sejahat itu mbak? Papa aku salah apa?”

Tiara melihat Nada kini menangis dengan keras, setelah menyelesaikan ucapannya. “Kasian papa aku, kasian papa-” Nada menepuk nepuk dadanya keras, berusaha mengurangi rasa sesak di sana.

Tiara ikut menangis, melihat kondisi Nada yang cukup memprihatinkan saat ini. Dengan perlahan Tiara menarik Nada agar masuk ke dalam pelukannya. Setidaknya, hanya ini lah yang bisa ia lakukan sekarang.

Jeffery dan Jerome duduk di sudut ruangan, setelah pertemuan nya dengan Nada berakhir dramatis karena keburu Delvin ngamuk duluan.

Gimana ga ngamuk, si Jerome sekalinya liat Nada langsung loncat mau peluk Nada yang tangannya masih ada infus. Untung infusnya ga lepas. Belom lagi Jeffery yang nempel nempel terus sama Nada, kaya takut banget kalo di tinggal kedip Nada nya bakalan ilang.

“Diem lo berdua di situ.” perintah Delvin mutlak, tidak bisa di ganggu gugat.

Nada tersenyum kecil, hatinya menghangat. Dirinya kembali bernostalgia dengan ingatannya di masa lalu tentang kebersamaan mereka semua.

“Sebelumnya kak Jerome udah tau loh padahal, tapi ternyata belom terlalu kentara ya akhirnya.” ucap Nada kemudian, dan menatap Jerome lamat lamat.

Jerome tersenyum tipis, dirinya mengingat pertemuan nya dengan Nada, yang saat itu masih menjadi Keira. Harusnya mulai dari situ dirinya sudah mulai curiga bukan? Memiliki kemiripan wajah yang sama persis saja sudah tidak masuk akal, apalagi juga kebiasaan nya?

“Kakak terlalu naif waktu itu Nad, kakak cuma sekilas kaya, oh iya ya, di dunia ini yang ga suka sawi juga bukan Nada doang, bisa aja itu emang kebetulan. Coba kalau waktu itu kakak lebih berani, apa ingatan lo bakalan juga lebih cepat buat kembali?” ujar Jerome menyesal.

Delvin menghela nafas, dirinya sudah memperkirakan kalau Nada kembali pasti banyak ujaran ujaran penyesalan yang akan datang silih berganti.

“Lo kecewa Nad? Saat itu gue ga ngenalin lo?” tanya Jerome kemudian, hati hati.

Nada menghela nafasnya pelan, “Gue sama sekali ga kecewa kak. Kalaupun harus ada kata kecewa, harusnya kalian yang disini kecewa sama gue. Bisa bisanya gue lupa sama kalian.” jawab Nada dengan sedih.

Jeffery menatap Nada dalam diam, dirinya masih belum percaya kalau yang ada di hadapannya adalah adiknya yang selama tiga tahun terakhir ini menjadi alasan tiap rasa bersalah dan kesepiannya.

“Bahas penyesalan dan masa lalu ga ada habisnya Nad, mending sekarang kita berfokus aja untuk masa depan yang bakalan kita jalani nanti.”

Ucapan Jeffery tadi membuat Nada tersadar, masih banyak hal yang bisa ia lakukan mulai dari sekarang, dan pastinya dirinya tidak akan membuat kata sia sia kembali dalam kosa kata hidupnya lagi.

Anan berlari usai Haikal memberitahunya kalau Keira sebenarnya adalah Nada. Serius, dia se bingung itu dengan jalan hidup dia yang bentuknya udah acak dan ga tertata lagi.

Miracle? Nggak, bagi Anan itu lebih dari sebuah keajaiban. Wanita yang ia tahu sudah tidak ada di dunia ini, ternyata masih hidup dan sehat hingga bisa berdampingan dengannya dalam beberapa waktu.

Satu dering yang keluar dari ponselnya menyadarkan Anan yang kini tengah berdiri tidak jelas di pinggir jalan.

“Nan? Lo kemana anjir. Kenapa langsung lari keluar apartemen?”

Suara Adelio menyapa gendang telinganya.

“Halo? Anan? Lo ga lagi bengong kan di jalan?”

tanya Adelio lagi, memastikan.

“Share loc anjir, gue susul.”

Panggilan di matikan, dan Anan kembali menatap kosong pada ponselnya.

Alih-alih membalas pesan Adelio, Anan justru menghentikan taksi yang lewat dan masuk kedalam nya.

“Mau kemana mas?” tanya supir dengan sopan.

“Rumah Sakit Lavalette pak.”


Anan berdiri dengan ragu di ruang inap Kamboja nomor 13 itu. Nomor kamar yang ia ketahui dari Haikal tadi.

Dirinya sedikit menggerutu, karena kaca pada jendela kamar tertutup rapat oleh kain. Jadi dirinya tidak bisa melihat orang di dalamnya, kecuali ia masuk ke dalam ruangan itu.

“Maaf mas, mau jenguk siapa ya?” tanya salah seorang suster yang tengah lewat membawa obat-obatan rumah sakit.

Anan menggaruk tengkuknya tidak gatal, sial dia sampai tepergok seperti ini. “Yang di dalam gapapa sus?” tanya Anan kemudian.

Suster melihat nomor kamar, dan kemudian kembali melihat Anan yang masih terdiam menunggu jawabannya. “Pacarnya ga apa-apa kok mas, besok mungkin juga sudah pulang. Mas nya masuk saja, jam jenguk masih di buka.” ujar suster itu, dan berlalu pergi.

Anan menegang mendengar ucapan si suster. Pacarnya tidak apa-apa katanya. Apa dia harus senang?

Anan menegakkan pundaknya, dia belum yakin kali ini, mungkin dia akan kemari lagi juga hati nya sudah lebih tertata. Dirinya sendiri, Anan yang lebih tau tentang hal itu. “Nanti Nad, maaf.” ujarnya sebelum pergi dan berlalu dari sana.