JC Halcyon

FLASHBACK

2018

Dengan tergesa Davidson berlari menyusuri lorong rumah sakit yang tengah tak ramai pengunjung itu, ya mungkin memang karrna jalur yang dia lewati adalah jalur VIP.

Nafasnya sedikit tersengal ketika sampai di pintu kamar rumah sakit, yang bertuliskan kamar VIP. Dari luar dia mendengar dengan pasti, bahwa ada isak tangis pilu dari seorang wanita. Jantungnya berdegup kencang, benar saja, istrinya telah tiada.

Jevanka, anak perempuan satu-satunya adalah orang yang berada di sisi istri tercinta nya itu di saat saat terakhir. Davidson melangkah dengan lemah, dan merengkuh tubuh anak gadisnya itu dengan lembut.

“Pa..” ucap Jevanka masih dengan isak tangisnya.

“It's okay darling, mama sudah punya tempat yang layak disana.” kata Davidson menenangkan.

“Tiffany Bintara, wafat hari Senin, tanggal 21 Mei 2018.” ucap salah seorang perawat disana, fasih dengan bahasa Jerman yang kental.

Mungkin hari itu, adalah hari yang menyakitkan bagi Jevanka, Jevano, dan Dean. Hari dimana malaikat mereka telah pergi, dan terbang meninggalkan dunia ini.

Jevanka yang sangat akrab dengan mamanya, justru adalah orang yang menjadi saksi mata atas kepergian Tiffany sendiri. Beban yang di rasakan Jevanka, jauh lebih berlipat ganda daripada saudara kembar juga kakaknya.

Demi menghibur Jevanka, akhirnya Davidson memilih menjual rumah di Austria, dan menguburkan Tiffany disana. Serta mengajak Jevanka untuk berkumpul dan tinggal bersama Jevano serta Dean di Indonesia.


“Tidak ada yang siap untuk kehilangan Jevanka, termasuk mama. Bila mama tiada, tetaplah berbahagia karena liku hidupmu masih panjang.”

Tiffany Bintara

Akhirnya malam di Lombok itu, di isi dengan pesta BBQ yang di adakan oleh Gale. Lagi-lagi Haidar kagum dengan betapa loyalnya Gale pada teman-temannya. Pesta BBQ? Siapa sangka bahwa Gale akan menyiapkan ini semua. Dilihat dari persiapan dia yang serba mendadak, ternyata Gale lebih ringkas dari pikiran Haidar.

Sembari menunggu daging yang matang, yang lainnya menunggu di meja panjang yang telah di siapkan mang Asep dari tadi sore.

“Mau maen?” tanya Zoya mencoba mengalihkan perhatian anak-anak pada ponsel nya masing-masing.

“Mau maen apa yang? Monopoli?” ucap Gale mengundang gelak tawa dari anak-anak lain, dengan brutal Zoya memukul lengan Gale.

“Ishhh, apasih. ToD gimana??” usul Zoya, setelah amarahnya mereda.

Fazel mengacungkan tangannya, ingin berbicara. “Ayokk, Tod seru nih kayanya. Ntar muternya pake botol kecap.” ucapnya semangat. “Yang gamau ngelakuin ToD nya, ntar disuruh minum kecap asin aja wkwkwkwkwk.” selorohnya, di dukung oleh Haidar.

“Gue sih oke-oke aja.” jawab Juna pendek.

Yang lainnya, menganggukan kepala setuju.

“Yaudah bentar, gue mintain botol kecap kosong dulu ke mang Asep.” ucap Zoya dan berdiri pergi dari sana.


Permainan dimulai, berdasarkan suit yang telah di lakukan Fazel memenangkan bagian pertama sebagai orang yang memberi ToD. Perlahan tapi pasti, dirinya memutar botol kecap itu. Dan ternyata botol kecap itu berhenti pas di arah Jevano yang tengah sibuk memakan daging BBQ.

“NAH KAN! KENA LO.” teriak Haidar kegirangan.

“Anjing! Kaget gue bangsat!” celetuk Juna marah, kaget ketika mendengar teriakan Haidar ketika dirinya ingin meminum soda.

“Tod Jev?” tanya Nathaniel singkat.

“Dare aja deh.” jawab Jevano santai.

Fazel melirikkan matanya usil, “coba lo tembak Zoya sekali lagi.” ucapnya, mengundang beragam tatapan orang disana.

“Wah, kalo kata aing lu mah nyari mati Zel.” ucap Haidar dan menepuk pundak Fazel.

Mata Gale berkilat, menatap reaksi Fazel. “Gue sih gamasalah, toh ini ToD doang kan?” kata Jevano masih santai. “Ntar kalo ada hal salah yang masih berkelanjutan, ya tinggal nyalahin Fazel. Kan ini ToD nya dia.” lanjutnya lagi memperkeruh suasana.

Fazel bergidik ngeri, dia takut kalau nanti malam akan ada Assassin suruhan Gale yang datang ke kamarnya, dan membunuhnya. “Yaudah ganti deh, sana lo tembak Mbak Sekar aja.” ucap Fazel cepat.

Wajah Jevano pias, mbak Sekar adalah penunggu villa Gale itu. Dan dia adalah satu-satunya orang paling galak disini setelah Zoya. Nyalinya menciut.

Fazel tersenyum menang, “berani nggak?” ucapnya menantang. Semakin mengulur waktu, semakin tipis saja kepercayaan diri Jevano. Akhirnya dia mengalah dan lebih memilih meminum kecap asin.


Giliran Mark, dia memutar botol kecap itu dan berhenti pas di depan Gale. Dirinya nenghela nafas lega, itu lebih baik daripada harus berhenti di Jevanka atau Nathaniel.

“ToD dude?” tanya Mark tersenyum.

“Just give me the Dare.” jawab Gale percaya diri.

“I will give you the dare that you like.” ucap Mark lagi. Gale hanya menaikan satu alisnya bingung. “Kiss Zoya, right now!” lanjutnya lagi, di sambung sorakan anak-anak lain.

“Kissing!! Kissing!! Kissing!!” seloroh yang lain bersahut-sahutan. Wajah Zoya sudah merah padam karena malu. Dengan segera Gale mengecup Zoya kilat. Menyisakan teriakan orang-orang disana.

Haidar agak shock sebenarnya, melihat adegan live yang biasanya dia tonton di drama Korea.


ToD masih berlanjut, dan kini botol sudah berada di tangan Juna. Dengan cepat Juna memutar botol kecap itu, dan berhenti di hadapan Nathaniel.

“Nah, ini dia main character kita hari ini.” ucap Jevano puas.

“ToD Nath?” tanya Juna.

“Gue pengen Dare, tapi Dare nya suruh nyium Jevanka boleh ga?” tanya Nathaniel berharap.

“Ya kalo gue yang ngasih dare sih, paling lo ntar gue suruh nyium mang Asep aja sih.” ucap Juna tengil, mengundang gelak tawa.

“Ck, yaudah Truth aja.” ucap Nathaniel pasrah dan menyender di lengan Jevanka, dia malas untuk melakukan apa-apa saat ini.

“Jujur, lo sebenernya udah suka sama Jevanka dari awal dia pindah sekolah kan?” tanya Juna menyudutkan. “Gue udah tau, tapi kenapa malah lo jadiin dia kacung buat ngerjain tugas lo?” lanjutnya lagi membuat Zoya bertepuk tangan karena senang, senang pertanyaan nya selama ini tersalurkan.

Jevanka menoleh ke arah Nathaniel yang menatap ke arah langit malam, mencari jawaban. “Lo suka sama gue dari awal masuk sekolah Nath?” tanya Jevanka ikut bingung.

Sudah terlanjur basah, akhirnya Nathaniel menganggukan kepalanya. “Terus alasan gue jadiin lo babu buat ngerjain tugas, ya biar ga ada yang berani deketin lo. Soalnya mereka tau, kalo lo itu orang gue.” jelasnya lagi.

“Ihhh, anjir Nathaniel bisa aja.” ucap Haidar gemas, “gue masih inget, waktu si Nathaniel rebutan Jevanka sama Jevano. Padahal Jevano kan kembarannya si Jevanka.” lanjutnya lagi mengundang tatapan tajam dari Nathaniel.

“Wah sumpah, mulutnya Haidar tuh kalo ga ember kayanya busuk sih.” kata Nathaniel ketus, kesal karena hal memalukan yang dia simpan rapat-rapat bisa terbongkar dengan mudah di hadapan Jevanka.

Jevanka hanya tersenyum lucu, melihat wajah kesal Nathaniel.

Tanpa mereka sadari, Shafira melihat hal itu dengan sinis. Dari samping.


Permainan masih terus di lanjutkan sampai pukul 23.55

Sepertinya ini akan menjadi putaran terakhir dari Shafira. Dan dengan kebetulan Botol kecap tadi mengarahkan ke arah Jevanka.

Wow, kebetulan yang manis.

“Dari aku nih Jev, ToD?” tanya Shafira sembari tersenyum.

“Duh apa ya?” ucap Jevanka bertingkah sekolah berfikir. “Truth ajadeh, males gue di suruh aneh-aneh.” lanjutnya, makin membuat senyum Shafira mengembang.

“Ohh, truth nih?” ucap Shafira puas, “yaudah, coba lo jujur. Dulu lo beneran lupa ya kalo nyokap lo di Austria udah meninggal? Sekarang udah inget belom?” tanya Shafira lagi.

Suasana langsung hening, semua bingung untuk membuka suara. Bagi Jevanka, kalimat yang di ucapkan Shafira tadi bagaikan air laut yang meluap seperti tsunami di kepalanya.

“SHAFIRA, LO ANJING!!” teriak Jevano murka, begitu bisa mengendalikan perasaanya. Dengan segera Jevano melangkahkan kaki mendekati Jevanka yang terdiam dan pucat.

“It's okay Lyn.” ucap Jevano menenangkan walau dengan nada panik, tapi hal itu tidak terdengar jelas oleh Jevanka.

Jevanka memutar otaknya, apa yang dia lupakan dimasa lalu? Mama nya telah tiada?

Nathaniel mendekapnya dengan kuat, bisa di rasakan Jevanka, kalau tangan Nathaniel gemetar ketika menutup telinganya.

“Shafira, lo tau dari siapa bangsat!!” samar-samar dirinya bisa mendengar teriakan Nathaniel untuk Shafira.

Jevanka menggali ingatannya di masa lalu, makin keras dia mencari, sakit kepalanya makin menjadi. Pandangannya mulai kabur, darah mulai keluar dengan deras dari hidungnya. Potongan memori yang sebelumnya di lupakan olehnya, yang menjadi ruang kosong dalam fikirannya mulai terisi kembali.

Dia ingat betapa hancurnya dirinya, kalau mamanya pergi meninggalkan dia selamanya. Juga betapa depresi dirinya, ketika dibawa pulang ke Indonesia. Berapa lama dia pulang ke psikiater untuk pengobatannya, juga pada akhirnya dia memilih menyerah, dan menabrakkan mobilnya pada pohon di pinggir jalan.

Dia ingat semua. Setidaknya itu yang bisa dia simpulkan sebelum semuanya berubah gelap, dan dia kehilangan kesadarannya.

“Jev? Mau kemana?” tanya Zoya yang masih asyik memakan udang, menahan tangan Jevanka.

Jevanka tersenyum, “ada urusan bentar. Udah lo makan aja dulu.” ucap Jevanka lagi.

“Gue temenin?” tanya Zoya lagi.

Jevanka menggeleng pelan, “gausah deh, gue sendirian aja.” jawabnya lagi dan bergegas pergi dari sana.


Dari lokasi yang di bagikan oleh Nathaniel tadi, Jevanka di arahkan ke jalan setapak yang memang mengarahkan dirinya ke suatu tempat.

Makin lama Jevanka berjalan, makin sadar kalau di samping kiri kanan jalan setapak tadi ada banyak lilin berjejer untuk menerangi jalanan yang mulai gelap.

Sampai di ujung jalan, mengarahkannya ke laut. Jevanka terkesiap ketika tangan seseorang tiba-tiba memegang pundaknya dan membalikkan badannya.

“Nath?” ucap Jevanka pelan.

“Duh anjing, gue grogi.” kata Nathaniel juga tak kalah pelan. Tangan Nathaniel yang dingin memegang tangan Jevanka dan mengarahkan ke dadanya.

Jevanka mengerut bingung, detak jantung Nathaniel cepat sekali. “Nath..”

“Love make the shy brave and the brave shy Jevanka.” kata Nathaniel memotong ucapan Jevanka. “Gue gatau gimana cara nembak cewe yang bener, tapi lo tau dari detak jantung gue, kalo dia beneran bereaksi kaya gitu tiap deket lo.” lanjutnya masih menyusun kata-kata.

“So, will you be my girlfriend?” tanya Nathaniel hampir tersendat.

Jevanka terdiam, membuat Nathaniel semakin cemas.

“Sorry Nath...” jawab Jevanka membuat wajah Nathaniel pucat seketika. “Gue gabisa nolak, I will.” lanjutnya lagi.


Setelah sesi pengakuan perasaan tadi, Jevanka dan Nathaniel terduduk di pinggir pantai, menikmati matahari yang tenggelam.

Tiba-tiba tawa kencang dari anak-anak lain memenuhi senja hari itu, dan ternyata mereka telah bersembunyi di balik pohon kelapa sedari tadi.

“Lo liat muka Nathaniel bangsat, kaya mayat langsung.” kata Haidar berjalan ke arah mereka berdua, sembari menenteng sandal jepitnya.

“Gila sih, usil lo ga sembuh-sembuh.” ucap Jevano ikut menimpali, dan duduk di samping Jevanka.

Jevanka tersenyum menanggapi ucapan Jevano. “Gue gada niat ngusilin, cuma liat muka dia grogi dari awal lucu aja.” jawab Jevanka enteng. Nathaniel hanya memandang sinis keduanya.

“Deg deg nya masih kerasa sih, sumpah kalo gue tadi di tolak beneran pengen langsung lari ke laut aja sih. Tenggelam aja gue. Malu banget bangsatt!!” celoteh Nathaniel kesal, mereka semua hanya mentertawakan tingkah Nathaniel.

“Yah, harusnya lo tolak dulu tadi Jev, biar anaknya bisa nyebur laut.” ucap Juna pura-pura kesal.

“Yaudah sih, mending di ceburin sekarang gimana?” ucap Fazel memberi ide, dan langsung di setujui oleh yang lain.

“BENER JUGA, AYO ANGKAT YANG BARU JADIAN ANJING!!” teriak Haidar yang paling bersemangat.

“WOY, GUE GA BAWA BAJU BANGSAT KESINI. GUE BELOM BELI TADI!!” teriak Nathaniel ketakutan, ketika Jevano, Gale, Fazel, Juna, dan Haidar menggotong tubuhnya guna di ceburkan ke bibir pantai. “BABI LO SEMUA.” amuk Nathaniel.

Judul

Judul

“It's been a long time...” ucap Mark memulai pembicaraan.

FLASHBACK

“Mau tau nggak, aku punya cara supaya kamu bisa lebih rileks.” ucap Mark berusaha menghibur hati Jevanka.

“How??” tanya Jevanka sembari tersenyum sumbang, dirinya sudah terlalu lelah dengan semua ini.

“Not in here, first ayo kita keluar dulu.” ucap Mark lagi sembari menggandeng tangan Jevanka untuk keluar dari kamarnya. “Kita izin dulu ke kak Dean, baru pergi. Okay??” lanjutnya lagi dan berjalan menuju lantai bawah.

“Kemana??” sahut Jevano dari seberang.

“Ngajak Jevanka keluar, dia butuh udara baru kayanya.” jawab Mark singkat. Jevano hanya mengangguk ragu, firasatnya tidak baik soal ini, tapi dirinya juga tidak bisa melarang karena Mark sendiri adalah kekasih saudara kembarnya itu.

“Kak, kita pergi keluar sebentar.” ucap Jevanka pelan, menepuk lengan kakaknya yang tengah sibuk itu.

“Eh dek, kemana??” tanya Dean bingung, dan serentak menghentikan pekerjaan nya.

“Hangout kak, sama gw. Tenang aja.” sahut Mark menimpali. Dean mengiyakan.

“Hati-hati Mark, jagain Jevanka bener-bener.” kata Dean lagi final.


“Sirkuit??” tanya Jevanka kebingungan.

Mark menatap Jevanka lembut, dengan otomatis tangannya mengusap kepala Jevanka dengan perlahan. “Ayo balapan sama aku, kamu harus lepas semua masalah kamu disini. Kamu suka balapan kan? Gimana kalo kita ubah metode balapan kamu dari senang-senang ke pereda stress.” ucap Mark panjang lebar.

“Shall we??” tanya Jevanka memastikan, otaknya masih bimbang. Peristiwa yang menimpanya akhir-akhir ini sangat mengusik emosi dan fikirannya. “Okay, let's get ready. But before starting all this, I want to say something kak.” lanjutnya lagi cepat.

Mark menoleh kebingungan, “apa? It's for rules or what??” katanya lagi.

“No, let's break up.” ucap Jevanka singkat dan berlalu menaiki mobil balap itu. Pergi meninggalkan Mark yang berdiri mematung, shock dengan apa yang barusan Jevanka katakan.

Seakan tersadar akan bahaya sesuatu, Mark bergegas memasuki mobil balapnya dan menyusul Jevanka yang telah meninggalkan dirinya sedari tadi dengan kecepatan tinggi.

Dirinya sadar, bahwa dirinya telah menciptakan peluang pada Jevanka untuk mengakhiri semua kegundahan yang dia rasakan.

Benar saja, dirinya baru memasuki jalur ketiga rute, dan Mark melihat mobil Jevanka sudah hancur dengan bagian depan menabrak pohon. Fikirannya kalut, dan dengan segera dirinya mengecek mobil yang telah berasap itu. Jevanka disana, duduk di kursi kemudi dengan kepala yang bersimbah darah.


“Aku ngerasa bertanggung jawab penuh atas apa yang Jevanka lalui Fir.” ucap Mark setelah bercerita panjang lebar, “karena aku yang ngajak dia buat lepas stress di sirkuit.” lanjutnya lagi pelan.

Shafira mengelus lengan Mark dengan pelan, berusaha bersimpati. “That's not your fault kak. Itu keputusan Jevanka sendiri buat nabrakin mobil dia ke pohon.” ucap Shafira berusaha menenangkan Mark. “Seberat apapun masalah dia, harusnya bunuh diri bukan jalan utamanya.” sambungnya.

Fikirannya bercabang, dengan apa yang Mark ceritakan dan kondisi Jevanka saat ini. “Abis itu gimana? Kakak langsung bawa Jevanka kerumah sakit??” tanya Shafira lagi, berusaha mencari tahu.

“Ya, kakak langsung bawa dia ke rumah sakit, dan menghubungi keluarga Jevanka.” jawab Mark pelan, “mungkin sama kaya yang kamu fikirin, semua langsung menuding kakak, karena memang kakak yang salah.” ucap Mark lagi menunduk, menyesal. “But something happened.”

“What??” tanya Shafira cepat, penasaran.

“Jevanka amnesia. Dia bahkan ga inget kalau dia putusin aku sebelum kecelakaan.” jawab Mark ragu-ragu, “Transient Global Amnesia, itu yang aku denger dari dokter yang menjelaskan keadaaan Jevanka waktu itu. Dia cuma lupa dengan kejadian tertentu, termasuk dia putus dari aku atau tentang Mamanya yang udah meninggal. Yang bikin dia stress berat.” sambung Mark panjang lebar.

Mata Shafira melotot lebar, seolah baru saja mendapatkan Jackpot. “Hah?? Mamanya Jevanka udah meninggal??” tanya Shafira kaget.

Mark mengernyit bingung, “lah kamu ga tau? Emang ga ada publish media kalo istri Bintara Davidson udah meninggal??” tanya Mark juga semakin bingung.

“I don't know, kakak tau sendiri kan? Setiap informasi di keluarga pengusaha besar pasti di tutupi.” jawab Shafira lagi, mengungkapkan hal ganjal.

Dengan segera Mark membuka ponselnya dan mengetikkan beberapa kalimat yang mungkin bisa mendukung kecurigaannya saat ini.

“So, ini beneran nyata?” ucap Mark lagi, bingung dengan keadaan.