JC Halcyon

Haikal melihat Nada tengah duduk termenung di kursi outdoor cafe itu. Berniat menjahili nya, Haikal mengendap-endap menuju belakang Nada.

Baru saja menepuk pundak Nada pelan, Haikal langsung merasa terbang kedepan dan kemudian tubuh terbanting dengan keras di tanah. Seluruh perhatian cafe tertuju pada Haikal dan Nada, mereka mulai berbisik-bisik.

“INI GUE NAD, ANJING!!” teriak Haikal kesakitan.

Nada kaget, dia kira itu adalah lelaki hidung belang. Hardin yang menjadi pelayan shift hari itu langsung berlari kedepan dan juga ikut menengahi hal yang baru saja terjadi.

“Eh sorry Kal, ini kenapa anjir??” tanya Hardin bingung pada Haikal yang sibuk membersihkan bajunya yang kotor habis di banting Nada menggunakan teknik Nage Waza tadi. Mereka mah kenal, kan temen sekolah. Belom lagi emang si Hardin nih satu geng nya Hermas. Lagian kayanya Haikal tuh terkenal deh satu sekolah, I mean siapa sih yang ga kenal Haikal? Tukang pentol depan sekolah juga kenal sama dia.

Never mind , balik lagi ke Hardin. “Excuse me, what happen??” tanya nya pada Nada juga.

Haikal menyatukan alisnya bingung, “apaan njir lo pake bahasa Inggris segala?” tanya Haikal pada Hardin. “Ini Nada, calon saudara tiri gue cok.” sambungnya lagi, membuat Hardin melongo bingung.

“LAH?! GUE KIRA BULE ANJER!!” teriak Hardin heboh. “Abis cantik banget buset.” lanjutnya lagi.

Nada mah biasa aja, dia juga sering di puji cantik. Yang dia bingungkan sekarang tuh Haikal, yang baru aja dia banting ke tanah.

“Aduh Kal, maaf banget. Gue kira tadi cowo bajingan.” tutur Nada meminta maaf, dan menuntun Haikal untuk duduk. “Gue kebiasaan reflek kaya gitu, kalo di luar rumah soalnya.” sambungnya lagi tak enak hati.

“Udah gapapa, salah gue juga tadi ada niat jahat mau ngagetin lo.” jawab Haikal menenangkan. “Eh Din, gue pesen cappucino satu deh, Nad lo mau minum apa? Sambil nunggu yang lainnya sampe?” tanya Haikal mengalihkan perhatiannya pada Nada.

Red Velvet aja.” jawab Nada cepat, “Hahh?? Gimana semuanya nyariin gue nih ceritanya??” tanya Nada berbunga bunga. Fikiran negatif yang sedari tadi terngiang-ngiang di otaknya langsung hilang.

Haikal mengagguk, “ya iyalah, lebih gila lagi kalo lo ilang malah ga di cariin.” ucap Haikal lagi.


Tak lama kemudian, Jeffrey datang bersama Jerome. Di barengi oleh Candra dan Jonathan, serta Delvin dan Tiyo di belakang nya. Yudha yang mengendarai motor tiba paling belakang.

Nada tuh aslinya tadi udah mau seneng, ternyata dia di cariin. Tapi begitu liat ga ada Hermas diantara rombongan calon saudara tirinya itu, dia jadi sedih lagi.

Candra yang melihat Nada sedih di sampingnya, langsung peka dan mengelus pundak Nada pelan. “Kenapa dek? Mau langsung pulang??” tanya Candra.

Nada tersentak kaget, dia kira ga ada yang sadar kalo dia lagi sedih. Gimana ya, Nada kan emang gatau malu nih akhirnya sambil nyari kesempatan dia langsung mepet ke arah Candra sambil mainin tangannya. Kode mau di rangkul samping.

Candra yang emang sejatinya peka banget sama keadaan, dan dia juga lagi berempati sama calon adek tirinya yang hari ini mau ilang, akhirnya juga ngerangkul pundak Nada.

“Kalian semua tuh, nerima nggak sih kalo gue jadi bagian keluarga kalian??” tanya Nada membuka pembicaraan.

Semua langsung menengok ke arah Nada. Nah kan, sekarang akhirnya Nada sendiri yang kicep, gara-gara di tolehin cogan cogan.

“Lo ngomong apa sih dek?? Kalo soal gue yang ninggalin lo hari ini gara-gara cewe gue, gue beneran minta maaf. Gue beneran ga ada niatan kaya gitu, gue udah nerima lo jadi bagian keluarga kita kok.” ucap Jeffrey menjawab dulu, dia beneran ngerasa bersalah soalnya.

Nada melengos ke arah samping, enggan menatap Jeffrey. “Emang kenapa sih Nad? Kok lo mikir kaya gitu?” tanya Jerome juga, ikut membenarkan benang kusut yang ada pada pikiran Nada.

Nada menggeleng pelan.

'Duh, kasih tau nggak ya? Gue beneran struggle soalnya, sebenci itu ya Hermas sama gue??'

“Ngomong aja, biar semua tau maksud lo apaan.” ucap Yudha singkat. Nada menoleh, dia tidak menyangka Yudha akan menanggapinya.

“Masalah Hermas.” ucap Nada akhirnya, “dia sebenci itu ya sama gue? Sampe dia ga ikut nyariin gue??” tanya Nada lagi.

Semuanya menghela nafas.

“Bukan maksud gue kaya manja, gue ilang semua wajib nyariin. Tapi kenapa sih, dia kaya menghindari gue? Gue emang se annoying itu??” sambungnya.

Jonathan mengelus kepala Nada lembut. Dia bisa mengerti perasaan calon saudara tirinya ini. Kalo dia jadi Nada, dia pasti juga sakit hati.

“Sorry nih, bukannya gue belain Hermas atau gimana ya.” ucap Haikal ikut menimbrung.

Delvin menoleh cepat ke arah Haikal, “apa? Ya kalo lo belain gue juga ga kaget sih. Air laut tuh asin sendiri Kal, bukan saudara kembarnya kalo ga di belain.” ucap Delvin memotong pembicaraan Haikal.

“Dengerin gue dulu anj!” ucap Haikal kesal, dia tidak ingin kesalahpahaman ini berlarut-larut. Akhirnya Haikal menunjukkan room chatnya dengan Hermas pada yang lainnya. “Yang nemuin pertama kali tuh Hermas, terus dia ngeshare ke gue. Jadi secara ga langsung dia tuh yang ngasih tau keberadaan Nada dimana sama kita.” ucap Haikal mulai menjelaskan.

“Masalah dia kenapa gamau jemput Nada, gue fikir itu karena dia masih belom terbiasa sama Nada, dan masih canggung. Jadi kalo emang Hermas benci sama Nada, dia gabakal ngasih tau gue kalo lo ada di sini Nad.” sambung Haikal lagi panjang lebar.

Semua mengagguk, wajah Nada terlihat sedikit berseri. “Gimana dek? Lega?” tanya Tiyo dengan tersenyum. Nada mengangguk senang.

'Yes, Hermas ga benci gue!!'


Waktu sudah menunjukkan pukul 19.34

Setelah mereka berbincang tentang banyak hal, akhirnya mereka memutuskan untuk pulang. Mereka rata-rata membawa mobil dua kursi, ya karena mereka datang dengan berdua.

Sedangkan Jeffrey membawa mobilio, yang memang mobil keluarga. Harusnya Nada tuh balik naik mobilnya Jeffrey bareng Jerome juga. Tapi karena Nada emang lagi ngambek, akhirnya dia gamau naik mobil barengan sama Jeffrey.

“Duh gue emang salah dek, plis lah minta maaf.” ucap Jeffrey memohon. Nada masih bersembunyi di balik badan Jonathan dan Delvin.

“Elo tuh yang salah bangsat, gausah maksa Nada buat maafin lo.” ucap Delvin galak, “kalo gue yang jadi Nada, tuh cewe langsung gue minta lo buat putusin.” sambungnya lagi sinis.

“Aku aja yang naik mobilnya Jeffrey dek?” tanya Candra, “ntar kamu semobil sama bang Jo, yah??” ucapnya lagi memberikan solusi.

'Duh, ni abang gue satu peka bener. Pengen gue sosor terus cium pipinya bangsat!!'

Nada menggeleng, ya karena dia tidak tega bila Candra harus mengalah demi dirinya.

Sebenernya sih bisa aja, dia balik bareng Haikal. Tapi Haikal lagi nongkrong sama temen-temen sekolahnya, itu tuh temen-temennya Hermas yang tadi pada kesini gara-gara mau liat Nada.

“Gausah deh kak, gue gapapa.” ucap Nada pelan, matanya langsung mengedar ke segala penjuru. “Gue balik sama bang Yudha aja!!” serunya lagi bersemangat, melihat Yudha membawa motor sendirian.

Yudha yang memang sudah menaiki motornya, langsung menurunkan footstep motornya nya supaya Nada bisa naik. Nada langsung lari ke arah Yudha, tidak lupa dia melepas jacket Bomber milik Jeffrey dan melemparkan nya pada Jeffrey.

Jeffrey mendengus sedih, dia sudah di tolak oleh Nada. Jerome yang melihat potongan baju Nada terlalu terbuka untuk di pakai menaiki sepeda motor, langsung membuka jaketnya dan memakaikannya pada Nada. “Pegangan bang Yudha, hati-hati.” ucap Jerome sebelum motor Yudha berjalan, dan pergi dari sana.

Delvin melirik Jeffrey sini, “besok-besok lagi gausah lu ngajakin Nada pergi kalo akhirnya lo tinggalin.” ucapnya sebelum menaiki mobil dan pergi dari sana juga.

Jonathan tertawa pelan, “Jeff Jeff, belom ada seminggu lo mau punya adek baru, udah mau di ilangin aja.” kelakar Jonathan dan pergi dari sana bersama Candra.

Di dalam umur Mark yang sudah menginjak duapuluh tujuh tahun ini, dirinya sudah cukup matang untuk menjadi seorang laki-laki.

Dirinya juga sudah membina rumah tangga, walaupun usia rumah tangganya masih terhitung seumuran jagung. Dia dan istrinya, Pida, baru menikah empat bulan yang lalu.

Dengan acara yang privat, juga hanya di hadiri orang-orang tertentu saja. Entah apa yang membuat sosok Pida ini menjadi orang yang dipilih Mark, karena masa lalu Mark yang sedikit kelam dengan banyak rasa kecewa di dalam hubungannya.

Mark pertama kali bertemu Pida di Inggris. Ya Inggris, negara yang menjadi tempat tujuan Mark dalam menempuh ilmu. Pida pun begitu. Mereka bertemu dengan tak sengaja di depan toko bunga, hingga perjalanan keduanya terus terhubung sampai saat keduanya sudah berani mengambil keputusan untuk mengikat janji.

Mark yang lelah sendiri, juga Pida yang sudah diburu oleh orang tuanya menikah. Akhirnya dari hal itu, keduanya membuat komitmen untuk selamanya bersama, dengan mengikat janji suci di depan altar.

“Balik.” ucap Haidar memecah lamunan Mark. Haidar sendiri adalah asisten pribadi Mark dalam menjalankan perusahaannya.

“Ga, kerjaan gue belom selesai.” jawab Mark singkat.

“Ini udah diluar jam kantor Mark. Gue juga mau pulang, ketemu anak gue.” ucap Haidar kesal.

Mark melirik sekilas, “yaudah, lo balik aja sana. Gue ga nahan lo disini kan?” jawab Mark santai, dan melihat jam yang sudah menunjukkan pukul 00.11 malam.

“Oke, gue balik duluan.” jawab Haidar menyerah. “Oiya, just reminder. Lo juga punya istri dirumah yang nungguin lo pulang.” ucap Haidar sebelum keluar dari ruangan Mark.

Mark sedikit termenung setelah apa yang di sampaikan oleh Haidar perlahan masuk ke fikirannya.

Mereka berdua memang tidak menjalankan pernikahan kontrak. Tapi tetap saja, Mark masih canggung dengan orang yang menyandang title sebagai istrinya itu.

Akhirnya, dengan sedikit berat hati, Mark berdiri dari kursi kerjanya dan menyambar kunci mobil untuk pulang ke rumahnya. Mungkin yang dibilang Haidar benar, dia masih punya istri yang pasti menunggunya di rumah. Jadi dia harus pulang.

Sebenarnya Nada sudah menyiapkan hati, jikalau Papa nya akan menikah dengan perempuan lain setelah bercerai dengan Mamanya. Dirinya juga sudah mengikhlaskan, kalau memang Papanya memilih untuk mencari pengganti Mama nya.

Sebagai anak yang berbakti pada orang tua, dirinya sudah merasa sangat bahagia ketika hak asuh anak yang menjadi akar permasalahan antara Papa dan Mamanya, jatuh dan di ambil oleh Papanya.

'Mendingan ikut Papa sih, daripada Mama.'

batinnya.

“Nada, Papa mau kenalin kamu sama calon Mama kamu yang baru. Kamu udah siap kan?” tanya Papa memecah atensi Nada, yang sedari tadi terfokus memandangi pohon di luar.

Nada tersenyum canggung, siap gak siap dia tetap harus menerima kenyataan bukan? Pasti hidupnya akan lebih berwarna dengan keluarga barunya. “Ya udah siap sih Pa.” jawab Nada menggantung. “Tapi, aku pasti ntar agak canggung sama calon istri Papa. Dia udah ada anak belum?” tanya Nada lagi penasaran. Karena selama ini dia hidup sebagai anak tunggal, punya saudara pasti seru bukan?

“Oiya, Papa lupa kasih tau.” ucap Papanya menjeda, “kamu bakalan punya Saudara, hehe.” lanjutnya lagi.

Nada tertarik, “wah bagus dong, nanti aku ga sepi lagi. Bisa maen bareng. Umur berapa anaknya tante..”

“Rima.” koreksi Papanya cepat.

“Eh iya, tante Rima.” sahut Nada.

“Ada yang seumuran kamu sayang, yang lebih tua dari kamu juga ada.” jawab Papanya santai.

Nada mengerutkan alisnya bingung, “hah? Emang anak tante Rima ada berapa? Dua ya??” cerca Nada lagi, makin penasaran.

“Kamu tadi pengennya rame kan? Ga sepi lagi. Pasti abis ini hidup kamu bakalan rame, anak tante Rima ada sepuluh.” ucap Papa Nada masih dengan Nada santai.

“Hah?! ulangi pa, gimana? Ada berapa??” tanya Nada lagi, sembari mengorek kupingnya, jikalau ada kotoran disana yang membuat telinganya tersumbat.

“Kaget ya? Sama Papa dulu juga kaget, cuma kagetnya udah lewat.” gurau Papa Nada, sembari menepuk puncak kepala anak semata wayangnya itu pelan. “Nanti akur yaa, kalian kalo udah serumah.” sambungnya lagi.

“Yang paling kecil umur berapa Pa? Terus cewe apa cowo?” tanya Nada masih belum puas.

“Yang paling kecil seumuran kamu tau, mereka kembar. Oiya, anak tante Rima tuh cowo semua.”

“HAH?!” teriak Nada lagi, makin kaget.

'Lah.. Gue cewe sendiri dong anj.'

“Ya ampun Nada, gausah teriak-teriak kali. Kuping Papa sakit.”

“Lah, terus nanti Nada cewe sendiri dong? Emang gapapa? Mereka saudara tiri loh Paa” ucap Nada ingin menangis. Di dalam bayangan nya, saudaranya yang baru adalah kumpulan lelaki jamet yang pasti jauh dari kata fashion dan jelek. Dia pasti akan di goda habis habisan, wajah Nada kan cantik sekali.

“Ya gapapa, itung itung kaya punya bodyguard sendiri hahaha. Bagus kan? Lagi pula mereka anak baik-baik, Papa udah menilai dari cara mereka menjaga tante Rima” jawab Papa Nada lagi.

Ingin rasanya Nada melompat keluar dari mobil, hidupnya bukan hanya berwarna lagi habis ini. Pasti akan menjadi abstrak.

Hidup terus berjalan, walaupun dunia mu runtuh. Mencoba menerima, justru lebih baik daripada membuangnya. Jevanka belajar banyak hal tentang kedatangan dan kepergian seseorang dalam hidupnya.

Terkadang Jevanka lupa, bahwa apa yang terjadi di semesta ini sudah ada yang mengatur.

Terkadang Jevanka juga lupa, karena asyik bersedih dia melewatkan banyak hal bahagia yang harusnya di nikmati.

Terkadang Jevanka juga lupa, karena sibuk mengeluh dirinya tidak menyadari bahwa banyak hal yang sepatutnya di syukuri.

Di depan nisan mamanya, Jevanka menjadi paham. Yang pergi biarlah pergi, yang tinggal sudah seharusnya di jaga.

Nathaniel membenarkan kacamata hitam yang bertengger di batang hidungnya, lengannya merengkuh tubuh Jevanka dan mengajaknya berlalu dari sana.

Semua sudah selesai, dan tidak ada hal yang perlu di sesali.

batin Jevanka

“Bi, aku mau Sacher Torte. Nanti makan itu yaaa?” rengek Nathaniel pada Jevanka.

Jevanka tersenyum, “hemm, tapi ganti baju dulu. Masa mau ke restoran pake baju item-item gini. Ntar di kira mafia lagi.”

Dean sibuk mengelupas kulit jeruk, untuk di makannya. Dari ujung matanya, dia menangkap keberadaan Nathaniel yang duduk dengan memegang erat tangan Jevanka yang hanya terdiam melamun.

Pemandangan yang tidak asing, hanya bedanya Mark dulu terus mengoceh di samping Jevanka. Dan kini Nathaniel hanya duduk diam dan menunggu Jevanka sampai tenang.

“Kak?” kata Zoya menepuk pundak Dean. Dean menoleh dan memincingkan satu alisnya ke atas seolah bertanya kenapa. “Lo istirahat aja sana, ajak si Jevano. Abis ini Haidar sama Juna kesini kok ikut jagain.” lanjutnya dan di jawab anggukan Dean.

Setelah Dean dan Jevano keluar dari ruangan, Zoya menghampiri Nathaniel.

“Nath?” tanya Zoya pada Nathaniel yang terdiam menggengam tangan Jevanka.

Nathaniel hanya menggeleng pelan, “kalian bisa nggak, keluar ruangan dulu? Biar Jevanka sama gue aja.” tanya Nathaniel serak. Tenggorokannya kering, karena tak meminum apapun sedari kemarin.

Tanpa basa-basi, Zoya, Gale, dan Fazel langsung keluar dari kamar pasien dan meninggalkan Jevanka dan Nathaniel berdua.

Nathaniel bangun dari tempat duduknya, dan memegang tangan Jevanka intens. “Ayo tidur, dari kemaren lo ga tidur.” ucap Nathaniel pelan.

Jevanka mengalihkan pandangannya pada Nathaniel. “Lo ngantuk? Yaudah, tidur di sofa sana.” jawab Jevanka lembut.

Nathaniel menggelengkan kepalanya kasar, “no! Itu lo. Dari kemaren lo bangun dari pingsan, sampe sekarang lo ga tidur Jevanka.” ucapnya kesal, “ayo tidur sama gue!” lanjutnya lagi, dan berdiri untuk berbaring di ranjang Jevanka.

“Why you don't say anything Nath?” tanya Jevanka sembari memainkan hoodie mint kesayangan Nathaniel. “Gimana caranya, lo bisa sabar sama seseorang yang bahkan natap lo dengan pandangan kosong?” sambungnya lagi lirih.

Nathaniel menepuk puncak rambut Jevanka, “Peluk aja sampe pertahanannya runtuh.” jawab Nathaniel singkat.

Jevanka sedikit terkesiap ketika Nathaniel memeluk tubuhnya yang ringkih, “Yesterday was heavy. Put it down. I'm here for you.”

FLASHBACK

2018

Dengan tergesa Davidson berlari menyusuri lorong rumah sakit yang tengah tak ramai pengunjung itu, ya mungkin memang karrna jalur yang dia lewati adalah jalur VIP.

Nafasnya sedikit tersengal ketika sampai di pintu kamar rumah sakit, yang bertuliskan kamar VIP. Dari luar dia mendengar dengan pasti, bahwa ada isak tangis pilu dari seorang wanita. Jantungnya berdegup kencang, benar saja, istrinya telah tiada.

Jevanka, anak perempuan satu-satunya adalah orang yang berada di sisi istri tercinta nya itu di saat saat terakhir. Davidson melangkah dengan lemah, dan merengkuh tubuh anak gadisnya itu dengan lembut.

“Pa..” ucap Jevanka masih dengan isak tangisnya.

“It's okay darling, mama sudah punya tempat yang layak disana.” kata Davidson menenangkan.

“Tiffany Bintara, wafat hari Senin, tanggal 21 Mei 2018.” ucap salah seorang perawat disana, fasih dengan bahasa Jerman yang kental.

Mungkin hari itu, adalah hari yang menyakitkan bagi Jevanka, Jevano, dan Dean. Hari dimana malaikat mereka telah pergi, dan terbang meninggalkan dunia ini.

Jevanka yang sangat akrab dengan mamanya, justru adalah orang yang menjadi saksi mata atas kepergian Tiffany sendiri. Beban yang di rasakan Jevanka, jauh lebih berlipat ganda daripada saudara kembar juga kakaknya.

Demi menghibur Jevanka, akhirnya Davidson memilih menjual rumah di Austria, dan menguburkan Tiffany disana. Serta mengajak Jevanka untuk berkumpul dan tinggal bersama Jevano serta Dean di Indonesia.


“Tidak ada yang siap untuk kehilangan Jevanka, termasuk mama. Bila mama tiada, tetaplah berbahagia karena liku hidupmu masih panjang.”

Tiffany Bintara

Akhirnya malam di Lombok itu, di isi dengan pesta BBQ yang di adakan oleh Gale. Lagi-lagi Haidar kagum dengan betapa loyalnya Gale pada teman-temannya. Pesta BBQ? Siapa sangka bahwa Gale akan menyiapkan ini semua. Dilihat dari persiapan dia yang serba mendadak, ternyata Gale lebih ringkas dari pikiran Haidar.

Sembari menunggu daging yang matang, yang lainnya menunggu di meja panjang yang telah di siapkan mang Asep dari tadi sore.

“Mau maen?” tanya Zoya mencoba mengalihkan perhatian anak-anak pada ponsel nya masing-masing.

“Mau maen apa yang? Monopoli?” ucap Gale mengundang gelak tawa dari anak-anak lain, dengan brutal Zoya memukul lengan Gale.

“Ishhh, apasih. ToD gimana??” usul Zoya, setelah amarahnya mereda.

Fazel mengacungkan tangannya, ingin berbicara. “Ayokk, Tod seru nih kayanya. Ntar muternya pake botol kecap.” ucapnya semangat. “Yang gamau ngelakuin ToD nya, ntar disuruh minum kecap asin aja wkwkwkwkwk.” selorohnya, di dukung oleh Haidar.

“Gue sih oke-oke aja.” jawab Juna pendek.

Yang lainnya, menganggukan kepala setuju.

“Yaudah bentar, gue mintain botol kecap kosong dulu ke mang Asep.” ucap Zoya dan berdiri pergi dari sana.


Permainan dimulai, berdasarkan suit yang telah di lakukan Fazel memenangkan bagian pertama sebagai orang yang memberi ToD. Perlahan tapi pasti, dirinya memutar botol kecap itu. Dan ternyata botol kecap itu berhenti pas di arah Jevano yang tengah sibuk memakan daging BBQ.

“NAH KAN! KENA LO.” teriak Haidar kegirangan.

“Anjing! Kaget gue bangsat!” celetuk Juna marah, kaget ketika mendengar teriakan Haidar ketika dirinya ingin meminum soda.

“Tod Jev?” tanya Nathaniel singkat.

“Dare aja deh.” jawab Jevano santai.

Fazel melirikkan matanya usil, “coba lo tembak Zoya sekali lagi.” ucapnya, mengundang beragam tatapan orang disana.

“Wah, kalo kata aing lu mah nyari mati Zel.” ucap Haidar dan menepuk pundak Fazel.

Mata Gale berkilat, menatap reaksi Fazel. “Gue sih gamasalah, toh ini ToD doang kan?” kata Jevano masih santai. “Ntar kalo ada hal salah yang masih berkelanjutan, ya tinggal nyalahin Fazel. Kan ini ToD nya dia.” lanjutnya lagi memperkeruh suasana.

Fazel bergidik ngeri, dia takut kalau nanti malam akan ada Assassin suruhan Gale yang datang ke kamarnya, dan membunuhnya. “Yaudah ganti deh, sana lo tembak Mbak Sekar aja.” ucap Fazel cepat.

Wajah Jevano pias, mbak Sekar adalah penunggu villa Gale itu. Dan dia adalah satu-satunya orang paling galak disini setelah Zoya. Nyalinya menciut.

Fazel tersenyum menang, “berani nggak?” ucapnya menantang. Semakin mengulur waktu, semakin tipis saja kepercayaan diri Jevano. Akhirnya dia mengalah dan lebih memilih meminum kecap asin.


Giliran Mark, dia memutar botol kecap itu dan berhenti pas di depan Gale. Dirinya nenghela nafas lega, itu lebih baik daripada harus berhenti di Jevanka atau Nathaniel.

“ToD dude?” tanya Mark tersenyum.

“Just give me the Dare.” jawab Gale percaya diri.

“I will give you the dare that you like.” ucap Mark lagi. Gale hanya menaikan satu alisnya bingung. “Kiss Zoya, right now!” lanjutnya lagi, di sambung sorakan anak-anak lain.

“Kissing!! Kissing!! Kissing!!” seloroh yang lain bersahut-sahutan. Wajah Zoya sudah merah padam karena malu. Dengan segera Gale mengecup Zoya kilat. Menyisakan teriakan orang-orang disana.

Haidar agak shock sebenarnya, melihat adegan live yang biasanya dia tonton di drama Korea.


ToD masih berlanjut, dan kini botol sudah berada di tangan Juna. Dengan cepat Juna memutar botol kecap itu, dan berhenti di hadapan Nathaniel.

“Nah, ini dia main character kita hari ini.” ucap Jevano puas.

“ToD Nath?” tanya Juna.

“Gue pengen Dare, tapi Dare nya suruh nyium Jevanka boleh ga?” tanya Nathaniel berharap.

“Ya kalo gue yang ngasih dare sih, paling lo ntar gue suruh nyium mang Asep aja sih.” ucap Juna tengil, mengundang gelak tawa.

“Ck, yaudah Truth aja.” ucap Nathaniel pasrah dan menyender di lengan Jevanka, dia malas untuk melakukan apa-apa saat ini.

“Jujur, lo sebenernya udah suka sama Jevanka dari awal dia pindah sekolah kan?” tanya Juna menyudutkan. “Gue udah tau, tapi kenapa malah lo jadiin dia kacung buat ngerjain tugas lo?” lanjutnya lagi membuat Zoya bertepuk tangan karena senang, senang pertanyaan nya selama ini tersalurkan.

Jevanka menoleh ke arah Nathaniel yang menatap ke arah langit malam, mencari jawaban. “Lo suka sama gue dari awal masuk sekolah Nath?” tanya Jevanka ikut bingung.

Sudah terlanjur basah, akhirnya Nathaniel menganggukan kepalanya. “Terus alasan gue jadiin lo babu buat ngerjain tugas, ya biar ga ada yang berani deketin lo. Soalnya mereka tau, kalo lo itu orang gue.” jelasnya lagi.

“Ihhh, anjir Nathaniel bisa aja.” ucap Haidar gemas, “gue masih inget, waktu si Nathaniel rebutan Jevanka sama Jevano. Padahal Jevano kan kembarannya si Jevanka.” lanjutnya lagi mengundang tatapan tajam dari Nathaniel.

“Wah sumpah, mulutnya Haidar tuh kalo ga ember kayanya busuk sih.” kata Nathaniel ketus, kesal karena hal memalukan yang dia simpan rapat-rapat bisa terbongkar dengan mudah di hadapan Jevanka.

Jevanka hanya tersenyum lucu, melihat wajah kesal Nathaniel.

Tanpa mereka sadari, Shafira melihat hal itu dengan sinis. Dari samping.


Permainan masih terus di lanjutkan sampai pukul 23.55

Sepertinya ini akan menjadi putaran terakhir dari Shafira. Dan dengan kebetulan Botol kecap tadi mengarahkan ke arah Jevanka.

Wow, kebetulan yang manis.

“Dari aku nih Jev, ToD?” tanya Shafira sembari tersenyum.

“Duh apa ya?” ucap Jevanka bertingkah sekolah berfikir. “Truth ajadeh, males gue di suruh aneh-aneh.” lanjutnya, makin membuat senyum Shafira mengembang.

“Ohh, truth nih?” ucap Shafira puas, “yaudah, coba lo jujur. Dulu lo beneran lupa ya kalo nyokap lo di Austria udah meninggal? Sekarang udah inget belom?” tanya Shafira lagi.

Suasana langsung hening, semua bingung untuk membuka suara. Bagi Jevanka, kalimat yang di ucapkan Shafira tadi bagaikan air laut yang meluap seperti tsunami di kepalanya.

“SHAFIRA, LO ANJING!!” teriak Jevano murka, begitu bisa mengendalikan perasaanya. Dengan segera Jevano melangkahkan kaki mendekati Jevanka yang terdiam dan pucat.

“It's okay Lyn.” ucap Jevano menenangkan walau dengan nada panik, tapi hal itu tidak terdengar jelas oleh Jevanka.

Jevanka memutar otaknya, apa yang dia lupakan dimasa lalu? Mama nya telah tiada?

Nathaniel mendekapnya dengan kuat, bisa di rasakan Jevanka, kalau tangan Nathaniel gemetar ketika menutup telinganya.

“Shafira, lo tau dari siapa bangsat!!” samar-samar dirinya bisa mendengar teriakan Nathaniel untuk Shafira.

Jevanka menggali ingatannya di masa lalu, makin keras dia mencari, sakit kepalanya makin menjadi. Pandangannya mulai kabur, darah mulai keluar dengan deras dari hidungnya. Potongan memori yang sebelumnya di lupakan olehnya, yang menjadi ruang kosong dalam fikirannya mulai terisi kembali.

Dia ingat betapa hancurnya dirinya, kalau mamanya pergi meninggalkan dia selamanya. Juga betapa depresi dirinya, ketika dibawa pulang ke Indonesia. Berapa lama dia pulang ke psikiater untuk pengobatannya, juga pada akhirnya dia memilih menyerah, dan menabrakkan mobilnya pada pohon di pinggir jalan.

Dia ingat semua. Setidaknya itu yang bisa dia simpulkan sebelum semuanya berubah gelap, dan dia kehilangan kesadarannya.

“Jev? Mau kemana?” tanya Zoya yang masih asyik memakan udang, menahan tangan Jevanka.

Jevanka tersenyum, “ada urusan bentar. Udah lo makan aja dulu.” ucap Jevanka lagi.

“Gue temenin?” tanya Zoya lagi.

Jevanka menggeleng pelan, “gausah deh, gue sendirian aja.” jawabnya lagi dan bergegas pergi dari sana.


Dari lokasi yang di bagikan oleh Nathaniel tadi, Jevanka di arahkan ke jalan setapak yang memang mengarahkan dirinya ke suatu tempat.

Makin lama Jevanka berjalan, makin sadar kalau di samping kiri kanan jalan setapak tadi ada banyak lilin berjejer untuk menerangi jalanan yang mulai gelap.

Sampai di ujung jalan, mengarahkannya ke laut. Jevanka terkesiap ketika tangan seseorang tiba-tiba memegang pundaknya dan membalikkan badannya.

“Nath?” ucap Jevanka pelan.

“Duh anjing, gue grogi.” kata Nathaniel juga tak kalah pelan. Tangan Nathaniel yang dingin memegang tangan Jevanka dan mengarahkan ke dadanya.

Jevanka mengerut bingung, detak jantung Nathaniel cepat sekali. “Nath..”

“Love make the shy brave and the brave shy Jevanka.” kata Nathaniel memotong ucapan Jevanka. “Gue gatau gimana cara nembak cewe yang bener, tapi lo tau dari detak jantung gue, kalo dia beneran bereaksi kaya gitu tiap deket lo.” lanjutnya masih menyusun kata-kata.

“So, will you be my girlfriend?” tanya Nathaniel hampir tersendat.

Jevanka terdiam, membuat Nathaniel semakin cemas.

“Sorry Nath...” jawab Jevanka membuat wajah Nathaniel pucat seketika. “Gue gabisa nolak, I will.” lanjutnya lagi.


Setelah sesi pengakuan perasaan tadi, Jevanka dan Nathaniel terduduk di pinggir pantai, menikmati matahari yang tenggelam.

Tiba-tiba tawa kencang dari anak-anak lain memenuhi senja hari itu, dan ternyata mereka telah bersembunyi di balik pohon kelapa sedari tadi.

“Lo liat muka Nathaniel bangsat, kaya mayat langsung.” kata Haidar berjalan ke arah mereka berdua, sembari menenteng sandal jepitnya.

“Gila sih, usil lo ga sembuh-sembuh.” ucap Jevano ikut menimpali, dan duduk di samping Jevanka.

Jevanka tersenyum menanggapi ucapan Jevano. “Gue gada niat ngusilin, cuma liat muka dia grogi dari awal lucu aja.” jawab Jevanka enteng. Nathaniel hanya memandang sinis keduanya.

“Deg deg nya masih kerasa sih, sumpah kalo gue tadi di tolak beneran pengen langsung lari ke laut aja sih. Tenggelam aja gue. Malu banget bangsatt!!” celoteh Nathaniel kesal, mereka semua hanya mentertawakan tingkah Nathaniel.

“Yah, harusnya lo tolak dulu tadi Jev, biar anaknya bisa nyebur laut.” ucap Juna pura-pura kesal.

“Yaudah sih, mending di ceburin sekarang gimana?” ucap Fazel memberi ide, dan langsung di setujui oleh yang lain.

“BENER JUGA, AYO ANGKAT YANG BARU JADIAN ANJING!!” teriak Haidar yang paling bersemangat.

“WOY, GUE GA BAWA BAJU BANGSAT KESINI. GUE BELOM BELI TADI!!” teriak Nathaniel ketakutan, ketika Jevano, Gale, Fazel, Juna, dan Haidar menggotong tubuhnya guna di ceburkan ke bibir pantai. “BABI LO SEMUA.” amuk Nathaniel.

Judul

Judul