Akhirnya Arzhan setuju untuk bertemu Imel. Cukup menyita waktu Imel, untuk meyakinkan bahwa yang akan ia bicarakan adalah hal penting.
“Kedua saudara lo dateng ke gue.”
Arzhan menoleh, dahinya berkerut. “Apa?”
Imel menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Dalam mimpi gue. Mereka bilang… mereka pingin lo ngelepasin belenggu di hati lo.”
Dunia terasa berhenti sejenak. Jantung Arzhan berdetak lebih cepat. Udara di sekelilingnya mendadak lebih berat. Ia menatap Imel dengan waspada, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang memaksa untuk mendengar lebih jauh.
Arzhan menunduk, bahunya terguncang, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.
Imel tetap duduk di sampingnya, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Sore ini, mereka duduk di bangku taman kampus, jauh dari keramaian. Matahari hampir tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang lembut.
Imel menghela napas pelan sebelum akhirnya berbicara. “Arzhan,” panggilnya. “Gue ngerti rasa sakit itu.”
Arzhan tidak merespons, tapi Imel tahu ia mendengar.
“Gue juga ngerasain ini.” Imel menatap langit, membiarkan kata-katanya keluar tanpa beban. “Adik gue satu-satunya juga udah nggak ada. Dan gue nggak cuma kehilangan dia, tapi gue juga harus ngeliat orang tua gue hancur karena kehilangan itu. Gue bisa ngerasain sakitnya sendiri, tapi lebih sakit lagi waktu harus lihat mereka kesakitan.”
Arzhan akhirnya menoleh sedikit, masih diam, tapi ada sesuatu di sorot matanya—sesuatu yang paham.
“Kita semua tau kalau luka ini nggak akan pernah bisa sembuh,” lanjut Imel. “Tiap ngeliat anak SMP pakai seragam sekolah, gue selalu keinget adik gue. Tapi nggak cuma itu, ngeliat mahasiswa baru di jalanan juga jadi inget dia juga. Seharusnya dia sekarang baru SMA.” Imel menelan ludah, mengatur emosinya sendiri. “Bahkan, dulu di bangku SMP, dia udah bilang kalau pengen kuliah ambil jurusan bahasa Inggris.” Imel tertawa kecil, getir. “He loved English so much.”
Arzhan mengepalkan tangannya di pangkuan. Suaranya terdengar serak ketika akhirnya berbicara, “Gue nggak bisa ngelepasin mereka, Mel.”
“Gue tahu.” Imel menoleh, menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Tapi mereka nggak pernah benar-benar pergi.”
Arzhan menggeleng, ekspresinya pias. “Gue nggak tahu.”
Lila melanjutkan, suaranya tetap tenang. “Lo pernah nanyain sesuatu di makam Kinara, kan?”
Arzhan merasakan tenggorokannya mengering.
Imel menarik napas pelan. “Gue cuma diminta nyampein satu kata sebagai jawabannya.”
Arzhan menelan ludah. “Apa?”
Imel tersenyum tipis. “Selalu.”
Satu kata. Tapi cukup untuk menghancurkan sesuatu di dalam dirinya.
Napas Arzhan tercekat. Tangannya mengepal, matanya terasa panas.
Imel menatapnya dengan penuh kesabaran. “Sebenarnya… apa yang lo tanyain di makam Kinara, Zhan?”
Arzhan menutup matanya sesaat. Ia tidak ingin mengatakannya, tidak ingin mengungkit sesuatu yang selama ini ia pendam sendiri. Tapi kali ini, ia merasa harus melepaskannya.
Suara Arzhan lirih, hampir tak terdengar, tapi penuh dengan duka yang selama ini ia sembunyikan.
“Apakah kalian juga rindu sama gue di sana?”
Dan saat itulah, ia menangis tersedu, seakan semua yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.
Imel menatap Arzhan dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menenangkan Arzhan, ingin menghapus sedikit beban dari pundaknya.
Jadi, untuk pertama kalinya, ia mengatakan sesuatu yang belum pernah ia katakan pada siapa pun.
“Arzhan,” panggilnya pelan. “Gue… punya kelebihan.”
Arzhan masih terisak, tapi ia mendongak sedikit, menatap Imel di antara air matanya.
“Gue bisa ngeliat belenggu manusia.” Imel mengakui dengan suara lirih. “Dan di antara semuanya, belenggu lo yang paling mencolok.”
Arzhan mengerjapkan mata, seolah baru menyadari sesuatu.
“Gue ngeliat hal itu sejak pertama kali ketemu lo,” lanjut Lila. “Itu kenapa gue coba ngedeketin lo. Gue tahu lo… terjebak. Gue tahu lo belum bisa ngelepasin sesuatu yang udah seharusnya pergi.”
Arzhan menggigit bibirnya, menunduk.
“Tapi gue juga tahu kalau lo nggak sendirian,” tambah Imel. “Gue bisa melihat luka itu, tapi gue juga bisa melihat orang-orang yang cinta sama lo. Kak Raka, Kak Nabil, orang tua lo… mereka semua masih di sini. Mereka masih rindu lo, masih pingin lo ada bersama mereka.”
Suara Imel melembut, tapi tetap tegas.
“Dan gue percaya, Kinara sama Arsha juga masih cinta banget sama lo, bahkan setelah mereka pergi.”
Arzhan menutup matanya, membiarkan air matanya terus jatuh. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendiri.
Imel diam, hanya mengulurkan tangan, meremas jemari Arzhan dengan lembut. Tidak untuk menguatkan, tidak untuk memberi jawaban, hanya untuk memberitahu bahwa ia tidak sendirian.