JC Halcyon

Tulungagung, 2020

Kota ini terlalu terang untuk hatinya yang sedang gelap. Genta menatap layar ponsel yang kosong, hanya ada riwayat chat terakhir dari Nadia yang masih belum ia hapus. Bukan karena masih berharap, tapi karena dia belum siap menerima bahwa yang dulu pernah hangat, kini hanya tinggal nama.

Sudah tiga minggu sejak Nadia pergi. Ke luar negeri. Ke mimpi-mimpinya sendiri. Tanpa pamit. Tanpa alasan.

Dan Genta? Ia tinggal di sini—menjadi reruntuhan dari rencana masa depan yang gagal dibangun.

Di ruang tamu apartemen, suara bundanya terdengar melalui panggilan video. Wajahnya terlihat seperti biasa—tenang, bijak, tapi kali ini ada sesuatu yang berbeda.
Bukan tentang pekerjaan. Bukan tentang kesehatan. Tapi soal hal yang benar benar Genta ingin hindari saat inj.

“Genta, bunda udah ngobrol sama Bu Retno,” katanya, hati-hati. “Anaknya… Aria. Kamu mungkin inget. Dulu sempat main bareng pas kecil.”

Genta menatap bundanya di layar. Jarak ribuan kilometer tak mampu menyembunyikan maksud sebenarnya dari kalimat itu.

“Kamu tahu bunda nggak pernah maksain. Tapi bunda rasa kamu udah cukup dewasa untuk mulai serius mikirin hidup kamu.”

Bundanya memang tak tahu. Tapi sejujurnya pun Genta tak pernah benar-benar membuka luka itu di hadapan siapa pun, tapi seorang ibu selalu tahu. Dan mungkin, dalam logika sederhana orang tua, obat dari kehilangan adalah mengganti.

“Dia guru TK,” tambah bundanya. “Tenang, kalem. Nggak neko-neko. Bunda kenal keluarganya baik-baik.”

Genta akhirnya bicara, suara serak tapi ringan, “Jadi, ini Genta… dijodohin?”

Bundanya tertawa kecil. “Bisa dibilang begitu. Tapi kalau kamu nggak cocok, ya sudah. Cuma ajakan kenalan, kok.”

Ajakan kenalan. Tapi dengan ekspektasi yang diam-diam lebih besar dari itu.

Dan saat video call berakhir, Genta duduk diam. Kepalanya bersandar ke sofa. Lampu-lampu kota masih berkedip di luar jendela, seperti berusaha mengalihkan pikirannya dari kenyataan:
Mungkin… ini bukan tentang siap atau tidak. Tapi tentang mengikhlaskan bahwa cinta tidak selalu datang dari yang kita kejar, tapi kadang muncul dari yang datang menghampiri.

Namanya Aria.
Dan ia akan jadi bagian dari bab baru yang bahkan belum sempat Genta tulis rancangannya.

Pesan itu tidak langsung berbalas. Setelah Hazel mengirimkannya malam sebelumnya—penuh keraguan, kejujuran, dan rasa takut ditolak—yang ia dapatkan hanya sunyi. Tak ada notifikasi, tak ada balasan, hanya layar ponsel yang tetap gelap.

Tapi pagi harinya, seperti biasa, Hazel sudah berdiri di depan pagar rumah Meline. Menunggu. Deg-degan. Bertanya-tanya apakah hari ini Meline tetap akan keluar dan duduk di boncengan seperti kemarin-kemarin… atau tidak sama sekali.

Lalu pintu terbuka.

Tante Anna yang lebih dulu keluar, mengangguk kecil melihat Hazel, dan tersenyum simpul saat melihat Meline menyusul dengan langkah ringan. Tidak ada wajah murung, tidak ada kata yang belum selesai. Seolah semua kesalahpahaman telah menguap bersama matahari pagi.

“Jadi pagi ini barengin tetangga lagi, ya?” goda Meline saat membuka pintu mobil Hazel, senyum tipis mengembang di wajahnya.

Hazel tertawa pelan, menahan senyum lebar yang hampir pecah. “Bukan tetangga, tapi pacar?”

Meline tidak menjawab. Tapi ia juga tidak menolak. Ia hanya duduk, mengencangkan sabuk pengaman, dan membiarkan senyum itu tetap ada di wajahnya—diam-diam mengiyakan dengan caranya sendiri.

Mobil pun melaju perlahan, membelah jalanan pagi yang mulai ramai. Hazel melirik ke arah Meline, hati-hati tapi penasaran.

“Ngomong-ngomong…” katanya membuka topik, “gue mau bilang ke Elio. Lo udah bukan temennya lagi. Sekarang lo punya gue. Gue yang bakal anter lo, jagain lo.”

Meline melirik dengan ekspresi geli. “Lo gak usah bilang apa-apa ke Kak Elio.”

Hazel mengernyit, pura-pura tersinggung. “Kok gitu? Dia harus tahu, dong.”

Meline hanya menggeleng sambil menahan tawa. “Karena gue sama Kak Elio cuma pura-pura.”

Hazel menoleh cepat. “Apa?”

Meline mengangguk. “Iya, kita cuma sandiwara. Buat bikin lo cemburu. Buat bikin lo sadar.”
Ia tertawa kecil, “Plot twist, kan?”

Hazel menatapnya dengan ekspresi tak percaya, lalu ikut tertawa. “Sumpah ya… pantes aja. Lo tuh orang yang kalau diajak ngobrol sama satpam komplek aja deg-degan. Bisa-bisanya akrab banget sama Elio cuma karena dianterin pulang sekali?”

“Yang bikin gue berani cuma lo,” bisik Meline sambil memalingkan wajah ke jendela, malu-malu.

Hazel tersenyum, kali ini penuh. “Gila. Lo sama Elio tega banget keroyokan bikin gue galau.”

Meline hanya tertawa. Dan pagi itu terasa jauh lebih hangat dari biasanya. Karena untuk pertama kalinya, mereka berjalan ke arah yang sama—tanpa keraguan, tanpa pura-pura.

Akhirnya Arzhan setuju untuk bertemu Imel. Cukup menyita waktu Imel, untuk meyakinkan bahwa yang akan ia bicarakan adalah hal penting.

“Kedua saudara lo dateng ke gue.”

Arzhan menoleh, dahinya berkerut. “Apa?”

Imel menatapnya dengan sorot mata yang sulit dibaca. “Dalam mimpi gue. Mereka bilang… mereka pingin lo ngelepasin belenggu di hati lo.”

Dunia terasa berhenti sejenak. Jantung Arzhan berdetak lebih cepat. Udara di sekelilingnya mendadak lebih berat. Ia menatap Imel dengan waspada, tetapi ada sesuatu dalam dirinya yang memaksa untuk mendengar lebih jauh.

Arzhan menunduk, bahunya terguncang, air mata jatuh tanpa bisa ia tahan.

Imel tetap duduk di sampingnya, membiarkan keheningan menyelimuti mereka. Sore ini, mereka duduk di bangku taman kampus, jauh dari keramaian. Matahari hampir tenggelam, mewarnai langit dengan semburat jingga yang lembut.

Imel menghela napas pelan sebelum akhirnya berbicara. “Arzhan,” panggilnya. “Gue ngerti rasa sakit itu.”

Arzhan tidak merespons, tapi Imel tahu ia mendengar.

“Gue juga ngerasain ini.” Imel menatap langit, membiarkan kata-katanya keluar tanpa beban. “Adik gue satu-satunya juga udah nggak ada. Dan gue nggak cuma kehilangan dia, tapi gue juga harus ngeliat orang tua gue hancur karena kehilangan itu. Gue bisa ngerasain sakitnya sendiri, tapi lebih sakit lagi waktu harus lihat mereka kesakitan.”

Arzhan akhirnya menoleh sedikit, masih diam, tapi ada sesuatu di sorot matanya—sesuatu yang paham.

“Kita semua tau kalau luka ini nggak akan pernah bisa sembuh,” lanjut Imel. “Tiap ngeliat anak SMP pakai seragam sekolah, gue selalu keinget adik gue. Tapi nggak cuma itu, ngeliat mahasiswa baru di jalanan juga jadi inget dia juga. Seharusnya dia sekarang baru SMA.” Imel menelan ludah, mengatur emosinya sendiri. “Bahkan, dulu di bangku SMP, dia udah bilang kalau pengen kuliah ambil jurusan bahasa Inggris.” Imel tertawa kecil, getir. “He loved English so much.”

Arzhan mengepalkan tangannya di pangkuan. Suaranya terdengar serak ketika akhirnya berbicara, “Gue nggak bisa ngelepasin mereka, Mel.”

“Gue tahu.” Imel menoleh, menatapnya dengan sungguh-sungguh. “Tapi mereka nggak pernah benar-benar pergi.”

Arzhan menggeleng, ekspresinya pias. “Gue nggak tahu.”

Lila melanjutkan, suaranya tetap tenang. “Lo pernah nanyain sesuatu di makam Kinara, kan?”

Arzhan merasakan tenggorokannya mengering.

Imel menarik napas pelan. “Gue cuma diminta nyampein satu kata sebagai jawabannya.”

Arzhan menelan ludah. “Apa?”

Imel tersenyum tipis. “Selalu.”

Satu kata. Tapi cukup untuk menghancurkan sesuatu di dalam dirinya.

Napas Arzhan tercekat. Tangannya mengepal, matanya terasa panas.

Imel menatapnya dengan penuh kesabaran. “Sebenarnya… apa yang lo tanyain di makam Kinara, Zhan?”

Arzhan menutup matanya sesaat. Ia tidak ingin mengatakannya, tidak ingin mengungkit sesuatu yang selama ini ia pendam sendiri. Tapi kali ini, ia merasa harus melepaskannya.

Suara Arzhan lirih, hampir tak terdengar, tapi penuh dengan duka yang selama ini ia sembunyikan.

“Apakah kalian juga rindu sama gue di sana?”

Dan saat itulah, ia menangis tersedu, seakan semua yang selama ini ia tahan akhirnya pecah.

Imel menatap Arzhan dengan perasaan campur aduk. Ia ingin menenangkan Arzhan, ingin menghapus sedikit beban dari pundaknya.

Jadi, untuk pertama kalinya, ia mengatakan sesuatu yang belum pernah ia katakan pada siapa pun.

“Arzhan,” panggilnya pelan. “Gue… punya kelebihan.”

Arzhan masih terisak, tapi ia mendongak sedikit, menatap Imel di antara air matanya.

“Gue bisa ngeliat belenggu manusia.” Imel mengakui dengan suara lirih. “Dan di antara semuanya, belenggu lo yang paling mencolok.”

Arzhan mengerjapkan mata, seolah baru menyadari sesuatu.

“Gue ngeliat hal itu sejak pertama kali ketemu lo,” lanjut Lila. “Itu kenapa gue coba ngedeketin lo. Gue tahu lo… terjebak. Gue tahu lo belum bisa ngelepasin sesuatu yang udah seharusnya pergi.”

Arzhan menggigit bibirnya, menunduk.

“Tapi gue juga tahu kalau lo nggak sendirian,” tambah Imel. “Gue bisa melihat luka itu, tapi gue juga bisa melihat orang-orang yang cinta sama lo. Kak Raka, Kak Nabil, orang tua lo… mereka semua masih di sini. Mereka masih rindu lo, masih pingin lo ada bersama mereka.”

Suara Imel melembut, tapi tetap tegas.

“Dan gue percaya, Kinara sama Arsha juga masih cinta banget sama lo, bahkan setelah mereka pergi.”

Arzhan menutup matanya, membiarkan air matanya terus jatuh. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia tidak merasa sendiri.

Imel diam, hanya mengulurkan tangan, meremas jemari Arzhan dengan lembut. Tidak untuk menguatkan, tidak untuk memberi jawaban, hanya untuk memberitahu bahwa ia tidak sendirian.

Mention of Suicide Trigger warning: Konten ini mengandung pembahasan tentang bunuh diri. Disarankan untuk membaca dengan kehati-hatian atau menghindari bacaan ini jika Anda merasa rentan atau terpengaruh secara emosional oleh topik tersebut.

Arsha melirik buku diary yang yang ada di nakas. Dengan enggan dirinya mengambil buku itu. Di baliknya beberapa lembar pertama yang sudah penuh dengan coretan tangannya. Dengan hati-hati, Arsha mengambil sebotol obat zolpidem yang selama ini di simpan nya secara diam diam dari saudara yang lain. Kemudian Arsha membuka lembaran baru pada kertas diary nya dan menuliskan sesuatu dengan serius.

Arsha merasa seperti beban yang selama ini menekan hatinya telah lenyap. Dalam pikirannya, dia sudah menemukan tujuan yang jelas. Meskipun itu bertentangan dengan banyak nya presepsi di keluarganya, namun bagi Arsha, itu terasa seperti jawaban atas semua penderitaan yang telah dia alami.

Dalam beberapa hari terakhir, Arsha terlihat sangat ceria dan penuh semangat. Senyumnya tak henti-hentinya menghiasi wajahnya, dan energi positifnya meluap seperti api yang berkobar-kobar. Baginya, rasanya seolah-olah semua beban telah terangkat dari pundaknya, dan dia merasa bebas untuk melangkah menuju tujuan terakhirnya.

Arsha menyadari bahwa dia berada dalam fase kembang api. Ini adalah saat di mana dia ingin bersinar terang sebelum akhirnya redup dan menghilang selamanya. Meskipun pikiran ini mungkin mengejutkan dan menakutkan bagi banyak orang, bagi Arsha, itu memberikan rasa lega dan ketenangan. Baginya, berpulang untuk bertemu dengan Kinara adalah akhir yang diinginkan dari perjalanan hidupnya yang penuh penyesalan.

“Kin, I hope this sleep is my last.”

Mention of Suicide Trigger warning: Konten ini mengandung pembahasan tentang bunuh diri. Disarankan untuk membaca dengan kehati-hatian atau menghindari bacaan ini jika Anda merasa rentan atau terpengaruh secara emosional oleh topik tersebut.

Arsha melirik buku diary yang yang ada di nakas. Dengan enggan dirinya mengambil buku itu. Di baliknya beberapa lembar pertama yang sudah penuh dengan coretan tangannya. Dengan hati-hati, Arsha mengambil sebotol obat zolpidem yang selama ini di simpan nya secara diam diam dari saudara yang lain. Kemudian Arsha membuka lembaran baru pada kertas diary nya dan menuliskan sesuatu dengan serius.

Arsha merasa seperti beban yang selama ini menekan hatinya telah lenyap. Dalam pikirannya, dia sudah menemukan tujuan yang jelas. Meskipun itu bertentangan dengan banyak nya presepsi di keluarganya, namun bagi Arsha, itu terasa seperti jawaban atas semua penderitaan yang telah dia alami.

Dalam beberapa hari terakhir, Arsha terlihat sangat ceria dan penuh semangat. Senyumnya tak henti-hentinya menghiasi wajahnya, dan energi positifnya meluap seperti api yang berkobar-kobar. Baginya, rasanya seolah-olah semua beban telah terangkat dari pundaknya, dan dia merasa bebas untuk melangkah menuju tujuan terakhirnya.

Arsha menyadari bahwa dia berada dalam fase kembang api. Ini adalah saat di mana dia ingin bersinar terang sebelum akhirnya redup dan menghilang selamanya. Meskipun pikiran ini mungkin mengejutkan dan menakutkan bagi banyak orang, bagi Arsha, itu memberikan rasa lega dan ketenangan. Baginya, berpulang untuk bertemu dengan Kinara adalah akhir yang diinginkan dari perjalanan hidupnya yang penuh penyeselan.

“Kin, I hope this sleep is my last.”

Genta menyikut lengan Arzhan dengan pelan. Kedatangan Gale dan Eja cukup menyita perhatian mereka semua. Pada akhirnya janji berhasil dibuat, dan mereka akan bermain bola volly bersama di gedung olahraga dekat universitas Raka.

Ketika mereka berkumpul di lapangan voli, suasana terasa tegang dan canggung. Pandangan mereka terpaut pada Gale dan Eja, yang membawa kenangan akan Kinara. Arsha, yang biasanya cenderung tertutup dan sedih, tiba-tiba muncul dengan semangat yang baru, mencoba membawa semangat baru ke dalam permainan.

“Eh ayok buru, sini siapa yang mau jadi spiker?” tanya Arsha bersemangat.

“Gue aja Sha.” ujar Farhan mengambil alih.

Pada tim Arsha terdapat Farhan, Nabil, dan Raka. Sedangkan pada tim Arzhan terdapat Gale, Eja, juga Genta. Meskipun awalnya suasana terasa canggung, mereka mulai bermain dengan seru. Melalui setiap pukulan dan melompatan, mereka mulai melupakan sejenak kecanggungan di antara mereka.

Saat istirahat, Gale duduk di bangku sambil menatap Arsha yang sedang berbicara dengan Raka dan Arzhan dengan energi yang luar biasa. Perubahan mendadak mood Arsha membuat Gale sedikit bingung. Ia bertanya-tanya apa yang bisa membuat Arsha begitu bersemangat tiba-tiba, terutama setelah beberapa minggu terakhir penampilan Arsha tidak baik-baik saja.

Tanpa bisa menahan rasa penasaran, Gale akhirnya menghampiri Nabil yang tengah berbicara dengan Farhan. Ia ingin mendiskusikan perubahan mood Arsha yang dinilai tidak biasa itu dengan Nabil.

“Bang, lo ngerasa nggak ada yang nggak beres sama kak Arsha?” ujar Gale, mencoba memulai pembicaraan dengan hati-hati.

Nabil menoleh dengan ekspresi yang penuh perhatian. “Gue sebenernya juga ngerasa gitu. Arsha tiba-tiba jadi semangat banget.”

Farhan mengangguk setuju, “Iya, gue juga mikir gitu. Kayaknya Arsha coba sembunyiin sesuatu, tapi gue nggak yakin apa.”

Sebelumnya telah di lakukan pemeriksaan menyeluruh pada Arsha. Tidak ada yang percaya bahwa seorang anak yang ceria seperti Arsha dalam sekejap memiliki gangguan depresi mayor. Kepergian Kinara benar-benar memukul telak Arsha dari segala sisi.

Gangguan depresi mayor adalah kondisi medis yang serius yang memengaruhi suasana hati, pikiran, dan tubuh seseorang secara umum. Gejala-gejalanya termasuk perasaan sedih yang mendalam, kehilangan minat atau kesenangan dalam aktivitas sehari-hari, perubahan berat badan atau nafsu makan, kesulitan tidur atau tidur berlebihan, kelelahan, perasaan bersalah atau tidak berharga, pikiran tentang kematian atau bunuh diri, dan sulit berkonsentrasi atau membuat keputusan.

Sebelumnya Arsha merasa denial atau menolak untuk menerima realitas yang terjadi pada dirinya, termasuk realitas tentang kondisi kesehatan mental nya sendiri. Tentu saja Arsha dengan depresi menolak untuk mengakui bahwa dirinya mengalami masalah mental atau bahwa ia membutuhkan bantuan.

Ini bisa terjadi karena berbagai alasan, seperti rasa malu, ketakutan akan stigma, atau karena mereka tidak menyadari bahwa gejala yang mereka alami merupakan bagian dari gangguan depresi mayor.

Gale menoleh lagi ke arah Arsha yang masih berbincang dengan asyik bersama Eja. Sungguh pemandangan yang baru ia lihat, karena selama kehidupan Kinara dirinya tidak pernah merasakan bahwa kakaknya juga peduli pada sahabatnya.

“Lo kangen sama Kinara nggak Le?” tanya Nabil kemudian, setelah Farhan berpamitan pada dirinya untuk pergi sebentar mengambil air.

Gale tersenyum kecil, “Lebih dari yang lo bisa pikirin bang.”

Special person, gue tau lo nembak Kinara waktu ulang tahun terakhir dia.”

Gale menoleh cepat ke arah Nabil yang masih melihat dirinya dengan seksama.

“Gue juga tau lo kasih hadiah kalung north star buat dia, dan gue juga tau apa artinya. Sebulat itu tekad lo buat dia, jadi apa yang lo suka dari Kinara?” tanya Nabil kemudian.

“Gue suka mata Kinara yang berbinar saat dia bahas soal bintang, gue suka Kinara yang suka bau dari buku, gue suka Kinara yang suka hujan. Gue suka Kinara yang bahkan masih bisa tersenyum padahal dia ga pernah dapat perlakuan baik dari kalian. Gue suka semua itu dari Kinara bang.” jawab Gale dalam satu tarikan nafas.

Nabil terdiam, “Gue kira, lo bakalan jawab semuanya. Lo suka semuanya tentang Kinara.”

Gale tertawa sarkas, “Itu jawaban terbodoh saat lo ga ngerti orang itu dengan baik bang.”

Gale menghela nafas nya dengan pelan, “Yah pada akhirnya memang gue suka segalanya tentang Kinara, kecuali kepergian dia.”

Arsha duduk di meja belajar nya dengan murung. Kedatangan Bachtiar dan Rila sama sekali tidak bisa menghiburnya. Hanya percakapan mereka tentang Kinara yang bisa membuatnya tenang.

Kini Arsha memegang dua buah kutek berwarna kuning dan merah satu satu di tangannya. Ia menatap kutek itu dengan lama, tak menyisakan setiap sudutnya.

“Lo bahkan belom sampai pakai yang warna merah, Ra.” gumamnya pelan.

Satu hal yang Arsha ingat, Nabil pernah menasehati nya bahwa Kinara sudah pergi menjadi bintang berkatai putih. Sejak saat itu, Arsha mencoba mencari tahu potongan puzzle yang selama ini Kinara berikan kepada mereka.

Kinara tidak pernah mengeluh tentang sakitnya, bahkan pada saat terakhir. Arsha baru tahu bahwa peninjauan penyembuhan Kinara sama sekali tidak ada kemajuan. Maka dari itu Kinara menyerah pada keadaan. Gale mengatakan itu kepadanya hingga kepalanya ingin meledak tidak mampu menerimanya.

Dirinya mulai mencari hal apa yang salah, hingga Kinara diam-diam menolak minum obat. Hal apa yang di sembunyikan Kinara, hingga dirinya menyerah pada keadaan. Hingga pada suatu titik, Arsha mengerti. Ini adalah hukuman yang pantas untuk dirinya selama ini.

“KENAPA HARUS KINARA TUHAN? KENAPA?”

Arsha membanting semua barang yang berada di dekatnya. Sudah empat hari ini, Arsha menolak untuk mengisi energi sekedar tidur maupun memasukan makanan kedalam perutnya. Arzhan hanya bisa menghela nafas pasrah sembari menghentikan Arsha.

Beberapa hari yang lalu setelah pertengkaran Arsha dan Gale, ingatan Arsha tentang kepergian Kinara yang sebelumnya terhapus menjadi kembali dengan utuh.

Sebelumnya Arsha sudah di bawa ke pemeriksaan awal mengenai gejala yang di derita nya. Sampai mereka semua lengah kalau Arsha juga bisa meledak pada akhirnya.

Bahkan sulit untuk sekedar menenangkan Arsha ketika emosi nya tengah meledak-ledak. Baik cara lembut dari Raka, maupun cara kasar dari Nabil. Keduanya tidak mampu mengatasi hal itu. Dan pada akhirnya, hal itu akan mereda ketika mereka meninggalkan Arsha sendirian.

Sama seperti kali ini, ketika Arsha meledak-ledak Arzhan hanya menghentikan dengan cara langsung membereskan barang yang di banting oleh Arsha. Dan itu membuat Arsha kewalahan hingga akhirnya ia menyerah dan pergi ke atas kasur untuk menangis keras.

Tidak ada yang tidak sedih melihat keadaan Arsha. Bahkan Bachtiar dan Rila hendak pergi kesini jika tidak di tahan oleh Raka. Karena Raka tahu, emosi Arsha saat ini bagaikan bom waktu yang bisa meledak kapan saja. Dan dia tahu persis, apa yang akan terjadi saat Arsha melihat Rila ada di hadapannya nanti.

“Zhan lo tau sesuatu nggak?” tanya Arsha kemudian setelah sedikit lebih tenang.

Arzhan beringsut mendekati Arsha yang terbaring di kasur. “Tau apaan, Sha?”

“Kalau orang nya ga ada, lo bakal ngelupain suaranya duluan.” jawab Arsha kemudian dengan suara lirih. “Gua udah hampir setengah gila Zhan, gua ngamuk tadi karena gue ga bisa inget gimana suara Kinara. Padahal suara dia yang bikin tenang.”

Arsha kembali meringkuk dan menangis di atas kasurnya. Tidak tahan, kemudian Arzhan ikut berbaring di kasur dan memeluk Arsha dari belakang. Kesedihan berulang kali menyapa hatinya, dan apa yang di katakan Arsha ada benar nya. Meskipun Arzhan tahu alasan hilangnya ingatan Arsha tentang suara Kinara, tapi dirinya juga takut suatu saat nanti juga akan lupa dengan bagaimana suara manis dari Kinara, adik perempuan satu satunya.

FLASHBACK

Arsha menangis seperti bayi di tanah sebelah Kinara. Sudah begitu lama waktu terlewati, dan Arsha masih menangis keras hingga air matanya tidak berhenti terjatuh. Yang lainnya juga merasa hampa, kesepian, dan tertekan sepeninggal Kinara.

Hal yang paling besar terjadi pada Arsha, hatinya penuh kemarahan, kebencian, kesedihan, dan rasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi satu satunya adik perempuan yang ia cintai dan sayangi di dunia ini.

Arsha kehilangan orang yang baru saja ia sadari bahwa kehadirannya penting di hidupnya. Orang yang bisa mengerti dirinya jauh lebih baik bahkan di banding saudara kembarnya sendiri. Orang yang telah lama terluka karena selalu ia tekan dengan ego nya.

Arzhan sudah menunggu saudara kembarnya sedari tadi, tapi Arsha sendiri enggan untuk bangkit dari duduk nya dan pulang ke rumah bersama yang lain.

Arzhan bisa mengerti hal itu, tetapi dirinya juga memahami perasaan Arsha. Bukan dirinya tidak bersedih atas kepulangan Kinara, ia sedih, hatinya hancur, tetapi di bandingkan perasaannya, penyesalan Arsha karena tidak bisa bertemu Kinara hingga saat terakhir lebih besar.

“Sha bentar lagi hujan. Kinara suka hujan, tapi kini dia bahkan ga akan bisa lagi menari di bawah hujan. Gue harap, dia bahkan bahagia di atas sana tempatnya hujan berasal.” ujar Arzhan kemudian, menepuk pundak Arsha dengan tabah.

Kemudian Arzhan membujuk Arsha yang sebetulnya masih enggan untuk pergi dari sana. Arzhan terpaksa melakukannya, karena ia tahu jika di biarkan bahkan Arsha akan membiarkan hujan menerpa badannya.

Kehilangan adalah bagian yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan, dan Arzhan tahu betul akan hal itu. Dan kadang-kadang penyesalan lah yang akan menjadi bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.


“Penolakan bukan hanya sebuah sungai di Mesir; itu adalah benteng yang kita bangun untuk melindungi diri dari kebenaran yang terlalu menyakitkan untuk ditanggung.”

** FLASHBACK **

Arsha menangis seperti bayi di tanah sebelah Kinara. Sudah begitu lama waktu terlewati, dan Arsha masih menangis keras hingga air matanya tidak berhenti terjatuh. Yang lainnya juga merasa hampa, kesepian, dan tertekan sepeninggal Kinara.

Hal yang paling besar terjadi pada Arsha, hatinya penuh kemarahan, kebencian, kesedihan, dan rasa bersalah. Ia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri karena tidak bisa melindungi satu satunya adik perempuan yang ia cintai dan sayangi di dunia ini.

Arsha kehilangan orang yang baru saja ia sadari bahwa kehadirannya penting di hidupnya. Orang yang bisa mengerti dirinya jauh lebih baik bahkan di banding saudara kembarnya sendiri. Orang yang telah lama terluka karena selalu ia tekan dengan ego nya.

Arzhan sudah menunggu saudara kembarnya sedari tadi, tapi Arsha sendiri enggan untuk bangkit dari duduk nya dan pulang ke rumah bersama yang lain.

Arzhan bisa mengerti hal itu, tetapi dirinya juga memahami perasaan Arsha. Bukan dirinya tidak bersedih atas kepulangan Kinara, ia sedih, hatinya hancur, tetapi di bandingkan perasaannya, penyesalan Arsha karena tidak bisa bertemu Kinara hingga saat terakhir lebih besar.

“Sha bentar lagi hujan. Kinara suka hujan, tapi kini dia bahkan ga akan bisa lagi menari di bawah hujan. Gue harap, dia bahkan bahagia di atas sana tempatnya hujan berasal.” ujar Arzhan kemudian, menepuk pundak Arsha dengan tabah.

Kemudian Arzhan membujuk Arsha yang sebetulnya masih enggan untuk pergi dari sana. Arzhan terpaksa melakukannya, karena ia tahu jika di biarkan bahkan Arsha akan membiarkan hujan menerpa badannya.

Kehilangan adalah bagian yang tak mungkin terpisahkan dalam kehidupan, dan Arzhan tahu betul akan hal itu. Dan kadang-kadang penyesalan lah yang akan menjadi bagian dari proses penyembuhan itu sendiri.